Setelah lama tidak menulis lagi di blog, akhirnya saya putuskan
untuk mengangkat topik ini. Tulisan ini sejatinya berangkat dari tugas akhir
saya untuk mata kuliah Comparative Public
Sector Management beberapa waktu lalu. Akan tetapi, beberapa bagian telah
melalui pengembangan dan peringkasan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan blog
ini. Dalam tulisan ini, saya akan membandingkan penerapan sistem jabatan senior
birokrasi (selanjutnya senior executive
service/SES) di negara-negara tetangga Indonesia, yaitu Malaysia,
Singapura, dan Australia. Sistem di Indonesia juga akan saya bahas secara
singkat. Pemilihan negara-negara tersebut didasarkan pada kedekatan geografis,
yang diasumsikan turut memengaruhi laju dan pola reformasi birokrasi di suatu
negara (Painter dan Peters 2010, p. 9).
Isu jabatan SES sendiri merupakan isu yang tidak dapat dipisahkan
dari upaya banyak negara dalam melakukan reformasi birokrasi. Pada 2010, lebih
dari tiga perempat anggota OECD menyatakan memiliki sistem SES (Lafuente et al.2012, p. 9). SES dalam tulisan ini diterjemahkan sebagai kelompok jabatan di
birokrasi yang berada pada tingkat tinggi dan dikelola secara berbeda
dibandingkan dengan pegawai pada umumnya, baik dari sisi rekrutmen, hubungan
industrial, pengembangan, dan remunerasi (Lafuente et al. 2012, pp. 3-4). Di
Amerika Serikat, SES telah ada sejak tahun 1953 lewat laporan dari Hoover
Commission yang mengamanatkan SES untuk menjalankan fungsi kajian pendahuluan
dan analisis kebijakan, formulasi kebijakan, dan pemberian nasihat kepada
pejabat politik (White 1955, p. 239). SES dilihat sebagai jembatan antara
pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan, atau, dalam debat klasik
administrasi publik, antara politik dan administrasi. Seorang menteri yang baru
ditunjuk seringkali tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang bidang
tugas instansinya. Mereka juga cenderung memiliki komitmen berganda dengan
konstituen dan parlemen, sehingga mereka akan banyak bergantung pada nasihat
dari para SES. Tidak jarang pula SES dapat mengakibatkan kejatuhan seorang
menteri lewat ketidakmampuan atau keengganan mereka menjalankan kebijakan
(Davies 1998, pp. 124-125). Kedudukannya yang tinggi dalam birokrasi, yang pada
umumnya berkarakter hierarkis, menjadikan SES memiliki peran sangat besar dalam
mendorong perubahan di birokrasi. Tidak belebihan jika Bank Dunia menyebutkan
bahwa alasan banyak negara membentuk sistem SES adalah sebagai solusi alternatif
dari kegagalan mereka mengubah birokrasi secara komprehensif (Bank Dunia 2012,
p. 1).
Dalam artikel ini, perbandingan sistem SES akan dilakukan lewat
perspektif public service bargains
(PSBs) yang dikembangkan oleh Hood dan Lodge (2006). PSBs pada dasarnya adalah
hubungan birokrasi dengan aktor-aktor lain dalam sistem politik, khususnya
dengan pejabat politik yang merupakan atasan langsungnya (menteri/kepala
daerah). Dalam hubungan tersebut, pada umumnya pejabat politik memiliki
berharap memiliki birokrat yang kompeten dan loyal, sementara birokrat berharap
mendapat jaminan posisinya di birokrasi tetap aman serta kompensasi lainnya
baik yang terukur dengan uang maupun yang tidak (Hood & Lodge 2006, p. 7).
PSBs memberikan lensa yang faktual karena berkaitan erat dengan prinsip dasar
politik, yaitu siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana. PSBs secara umum meliputi area seperti kompetensi, kompensasi, dan loyalitas birokrat. Saya tidak akan
menjabarkan terlalu detail tentang PSBs, karena pembaca dapat langsung
membacanya dari buku Hood dan Lodge.
SES di Malaysia
Sistem kepegawaian negeri di Malaysia dipengaruhi oleh budaya,
sejarah, dan politik Hindu, Islam, kolonial Inggris, dan Melayu (Wan Abdullah 2010, p. 155). Namun,
sejak terbitnya New Economic Policy pada 1971, pegawai negeri di Malaysia
didominasi etnis Melayu, hingga mencapai 91 persen dari total PNS (Yaakob etal. 2011, p. 137). Untuk SES, yang di Malaysia disebut sebagai Jawatan Utama Sektor Awam (JUSA), diatur
agar untuk setiap JUSA yang bukan Melayu harus ada enam JUSA yang Melayu,
sehingga minimal 85 persen JUSA adalah etnis Melayu (Chin 2011, p. 146). Pada
umumnya JUSA direkrut dari kelompok PNS yang disebut Perkhidmatan Tadbir dan Diplomatik (PTD). PTD adalah sistem elitis
yang diwariskan oleh pemerintah kolonial Inggris. Untuk menjadi anggota PTD,
seseorang harus melalui serangkaian tes. Pertama adalah tes tulis, yang
meliputi pengetahuan umum, kemampuan memecahkan masalah, dan essay berbahasa
Inggris dan Melayu. Setelah melalui tes ini, kandidat harus mengikuti asesmen
kompetensi selama 3 hari. Selanjutnya, mereka juga akan mengikuti pelatihan 10
hari yang disebut sebagai PTD Unggul sebelum ditempatkan di
kementerian. Di kementerian, mereka akan menjalani on the job training selama enam bulan, dilanjutkan dengan kuliah
Diploma of Public Administration selama enam bulan. Setelah itu, mereka
menduduki jabatannya masing-masing, dan selama itu pula mereka mengikuti
serangkaian pelatihan yang dirumuskan dalam PTD Roadmap M41 (Manaf 2011, p.
221). Sejak 1992, Malaysia telah menerapkan manajemen kinerja dan mengaitkan
kompensasi dengan capaian kinerja. Berdasarkan kinerja, gaji seorang pegawai
pada tahun mendatang (n+1) bisa statis, horizontal, vertikal, atau diagonal. JUSA
di Malaysia memiliki masa kerja permanen layaknya PNS pada umumnya, namun dalam
banyak kasus, menteri dapat memberhentikan seorang JUSA dari jabatannya (non-job) karena tidak memenuhi
ekspektasi kinerja atau, yang sering terjadi, karena JUSA tersebut tidak
menunjukkan loyalitas politik kepada UMNO sebagai partai penguasa sepanjang
masa di Malaysia. Ini menjadikan seorang JUSA harus setia dan berpihak kepada
garis politik UMNO apabila ingin bertahan dalam birokrasi.
SES di Singapura
Layaknya Malaysia, sistem kepegawaian di Singapura juga menerima
pengaruh Inggris. Sistem otoritarian yang dikembangkan Lee Kuan Yew di
Singapura menjadikan birokrasi menjadi elemen penting dalam pemerintahan
Singapura, layaknya poros ABG (ABRI-Birokrasi-Golkar) di Indonesia pada masa
Suharto. Administrative Service, sebutan SES di Singapura, dengan demikian
adalah sub-kelompok elite dalam kelompok elite di masyarakat Singapura.
Administrative Service dikelola oleh Public Service Commission (PSC). Terdapat empat
cara bagi seseorang untuk dapat bergabung dalam Administrative Service, yaitu
Dual Career Scheme, Management Associates Program, Management Executive Scheme,
dan Mid-career Entry Scheme (lebih jelasnya lihat Jones 2009, pp. 78-79).
Secara singkat, SES di Singapura bisa direkrut dari dalam birokrasi ataupun
dari luar birokrasi. Seorang pejabat Administrative Service dapat ditransfer
oleh PSC dari satu instansi ke instansi lain untuk kebutuhan pengembangan
kapasitas individu maupun instansi. Kinerja pejabat AS dinilai dan
kompensasinya dilekatkan dengan hasil penilaian tersebut. Sebagai negara
aristokrasi, tidak heran jika Singapura memberikan penghargaan yang tinggi
kepada pejabat Adminsitrative Service yang merupakan orang-orang terpilih,
bahkan penghasilan mereka dipatok berdasarkan penghasilan rata-rata pegawai
setingkat di sektor swasta (Quah 2010). Akan tetapi, dalam perspektif PSBs, SES
di Singapura, seperti halnya di Malaysia, tidak memiliki posisi tawar yang kuat
dan sangat mudah dipolitisasi. Pada tahun 2000, Lee Kuan Yew pernah mengatakan
bahwa “pemerintahan dipimpin oleh para menteri, bukan PNS. Para menterilah yang
membuat kebijakan, bukan PNS” (Jones 2009, p. 75), yang menunjukkan kekuasaan
para pejabat politik atas birokrasi. Layaknya UMNO di Malaysia, People’s Action Party (PAP) di Singapura
juga adalah partai yang berkuasa sepanjang masa sejak kemerdekaan Singapura,
sehingga sulit memisahkan pandangan objektif birokrat dari subjektivitasnya
untuk “mencari selamat” dari kebijakan PAP.
SES di Australia
Sistem SES di Australia sudah pernah saya muat dalam artikel sebelumnya. Berikut adalah gambaran singkat sesuai dengan kebutuhan artikel ini. Australia menerapkan model pemerintahan Westminster yang
dimodifikasi, seperti juga Malaysia dan Singapura. SES di pemerintah federal
Australia telah diterapkan sejak 1984 pada masa Perdana Menteri Bob Hawke. Era
tersebut bersamaan dengan gelombang besar manajerialisme di Inggris yang
dipimpin oleh Margaret Thatcher dan Amerika Serikat oleh Ronald Reagan. Hawke
melakukan sejumlah perubahan besar dalam birokrasi di Australia (Halligan
2004), termasuk dalam hal SES dan manajemen Secretary of Department (Sekjen
Kementerian) yang merupakan kepala lembaga. SES, yang terdiri dari tiga kelas,
yaitu SES 1-3, dikelola oleh Australian Public Service Commission (APSC),
terutama dalam hal rekrutmen dan pengembangan. Rekrutmen SES dapat berasal dari
dalam birokrasi ataupun dari luar birokrasi. Rekrutmen dikelola oleh APSC
dengan cara control ketat dalam panitia seleksi SES. APSC menempatkan minimal
satu orang sebagai representasi APSC (bisa berasal dari APSC maupun orang lain
yang ditunjuk merepresentasikan APSC) dan menyetujui/menolak komposisi tim
seleksi yang dibentuk oleh masing-masing instansi. Untuk pejabat setingkat SES
3, komisioner APSC akan terlibat langsung dalam tim seleksi atau setidaknya
mendelegasikan kepada pejabat paling senior di Departemen lain. Manajemen
harian SES dilakukan oleh masing-masing Secretary of Department dan tidak dapat
diintervensi oleh pejabat politik (menteri). SES yang berasal dari luar
birokrasi dapat menjabat hingga lima tahun. Baik SES dari luar maupun dalam
birokrasi dikelola lewat manajemen kinerja dan kompensasi yang dikaitkan dengan
hasil penilaian kinerja. Menteri hanya dapat memberhentikan Secretary of
Department atas persetujuan Perdana Menteri tetapi tidak dapat mencampuri
pengelolaan SES ataupun level lain di bawahnya dalam keadaan apapun. Secretary
of Department pada umumnya direkrut dari SES yang berpengalaman panjang. Masa
kerja seorang Secretary adalah lima tahun dan dapat diperpanjang kembali.
SES di Indonesia
Di Indonesia, sejatinya sistem SES belum benar-benar terbentuk
sempurna. Keberadaannya diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (UU ASN), namun hingga kini belum satupun Peraturan Pemerintah
yang diamanatkan UU tersebut terbit. Akan tetapi, berdasarkan UU ASN dan
praktik selama ini, dapat dikatakan bahwa SES di Indonesia memiliki
karakteristik yang seharusnya unik dari SES di Malaysia, Singapura, dan
Australia. Selain karena sistem pemerintahan Indonesia sangat minim menerima
pengaruh dari Inggris, Indonesia juga bukan lagi negara semi-otoriter layaknya
Malaysia dan Singapura. Berdasarkan UU ASN, SES Indonesia yang disebut dengan
Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) dapat
direkrut dari dalam ataupun luar birokrasi. Namun demikian, dibutuhkan
persetujuan Presiden untuk jabatan-jabatan apa saja yang dapat diisi oleh non-PNS.
Rekrutmen dilakukan melalui panitia seleksi yang dibentuk masing-masing
instansi. Keanggotaan panitia seleksi ditelaah oleh Komisi Aparatur Sipil
Negara (KASN) dan komisi tersebut juga memberikan rekomendasi atas panitia
seleksi tersebut. Rekomendasi KASN berdasarkan UU ASN bersifat mengikat, namun
tidak disebutkan sanksi akibat tidak mengikuti rekomendasi tersebut selain
bahwa KASN dapat melaporkan kepada Presiden. Dengan demikian, peran presiden
dalam menjamin proses rekrutmen berjalan objektif menjadi vital. Manajemen
kinerja juga diterapkan kepada JPT, dengan evaluasi kinerja dilakukan setiap
tahun. Apabila ada JPT yang tidak memenuhi kinerja, diberikan kesempatan
perbaikan selama enam bulan. Apabila tidak ada perkembangan dan tidak ada upaya
perbaikan, maka pejabat tersebut dapat diberhentikan dari JPT-nya dan
diturunkan ke jabatan di bawahnya. Seorang JPT menduduki jabatan selama lima
tahun dan dapat kembali menduduki jabatan tersebut setelah melalui seleksi
ulang. Dengan demikian, secara hubungan industrial, pada dasarnya sistem SES di
Indonesia lebih revolusioner dibandingkan negara-negara tetangga. Pejabat
politik (menteri/kepala daerah) pun tidak mudah melakukan intervensi di tengah
masa jabatan karena terdapat aturan bahwa seorang JPT (dalam capaian kinerja
normal) baru dapat diganti setelah setidaknya dua tahun menjabat. Dengan
demikian, peluang pejabat politik memperluas ruang tawar-menawarnya dalam
kerangka PSBs hanya terjadi pada rekrutmen dan penilaian kinerja.
Perbandingan di atas tentu tidak bersifat tuntas (exhaustive) karena sifat blog ini yang
bukan sepenuhnya akademis melainkan juga populer. Akan tetapi, dari penjabaran
singkat di atas, terlihat bahwa Indonesia dan Australia memberikan ruang yang relatif
besar kepada SES dalam kerangka PSBs, setidaknya dalam tataran legal-formal
untuk Indonesia karena hingga kini belum ada peraturan pelaksana dari UU ASN
yang dapat menjamin ruang ini tetap cukup besar. Dari peraturan
perundang-undangan yang telah ada, yaitu UU ASN, celah setidaknya sudah
terlihat dalam hal rekrutmen dan penilaian kinerja SES. Oleh sebab itu,
peraturan pemerintah (PP) turunan UU ASN nantinya harus dapat memberikan
jaminan checks and balances agar
celah-celah tersebut, dan mungkin juga celah lainnya, dapat diminimasi dalam
praktiknya. Ini bukan berarti kita harus membebaskan birokrasi dari politik,
karena dampak birokrasi yang korup tidak lebih ringan dari politik yang korup.
Itulah sebabnya birokrasi harus didorong untuk terus menjadi transparan dan
diperluas cakupan akuntabilitasnya dari hanya akuntabilitas manajerial
(hierarkis) menjadi akuntabilitas professional (kepada asosiasi profesi), legal
(kepada hukum positif), dan demokratis (kepada publik dan parlemen). Dengan
kedua prinsip tersebut dan pencegahan intervensi berlebihan politisi terhadap
birokrasi, terutama kepada SES, kita dapat berharap bahwa SES mampu mengomandoi
perubahan/reformasi dalam birokrasi dan memberikan pendapat yang objektif
terhadap gagasan-gagasan pejabat politik berdasarkan pengetahuan dan keahlian
yang mereka miliki.
Bauhinia St, 21 Juni 2015
Daftar referensi:
Chin, J 2011, History and context of public administration in Malaysia, in Berman, EM (ed.), Public Administration in Southeast Asia: Thailand, Philippines, Malaysia, Hong Kong, and Macao, Boca Raton: CRC Press, pp. 141-154.
Davies, MR 1998, Civil servants, managerialism and democracy, International Review of Administrative Sciences, Vol. 64, No. 1, pp. 119-129.
Hood, C & Lodge, M 2006, The politics of public service bargains: rewards, competency, loyalty – and blame, Oxford: Oxford University Press.
Jones, DS 2009, Recent reforms in Singapore’s administrative elite: Responding to the challenges of a rapidly changing economy and society, Asian Journal of Political Science, Vol. 10, No. 2, pp. 70-93.
Lafuente, M, Manning, N & Watkins, J 2012, International experiences with senior executive service cadres, The World Bank Global Expert Team Note, April 2012, viewed on 5 June 2015,
Manaf, NA 2011, Civil service system in Malaysia, in Berman, EM (ed.), Public Administration in Southeast Asia: Thailand, Philippines, Malaysia, Hong Kong, and Macao, Boca Raton: CRC Press, pp. 211-238.
Painter, M & Peters, BG 2010, The analysis and administrative traditions, in Painter, M & Peters, BG (eds), Tradition and public administration, Hampshire: Palgrave MacMillan, pp. 3-18.
Quah, JST 2010, Public administration Singapore style, Bingley: Emerald.
Wan Abdullah, NR 2010, Civil service system and civil service reform in Malaysia, in Kim, PS (ed.), Civil service system and civil service reform in ASEAN member countries and Korea, Seoul: Daeyoung Moonhwasa, pp. 152-184.
White, LD 1955, The senior civil service, Public Administration Review, Vol. 15, No. 4, pp. 237-243.
World Bank 2012, Senior public service: High performing managers of government, viewed on 5 June 2012,
Yaakob, AF, Salleh, A, Jusoff, K & Hussain, MKA 2011, Malaysian civil service: Problems and challenges, viewed on 5 June 2012,
2 komentar:
Mau dong bibliographynya fie, diemailin juga boleh
Hi Awe, maaf sebelumnya saya lupa memasukkan daftar referensi dari artikel ini. Sekarang sudah diperbarui, semoga bermanfaat ya.
Posting Komentar