Selasa, 20 Oktober 2015

Quo Vadis Reformasi Birokrasi? (lagi)


Masih belum jelas bagi saya berapa banyak diantara pembaca yang menyadari bahwa pemerintah Indonesia telah memasuki tahap ke-2 dari Program Reformasi Birokrasi Nasional (RBN). Semakin tidak jelas lagi persentase pembaca yang mengetahui bahwa tidak satupun dari target program RBN tahun 2010-2014 yang tercapai (Permenpanrb Nomor 11 Tahun 2015). Bahkan, sangat mungkin hanya sedikit saja pembaca yang sadar apa itu program RBN.

Setahun sudah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berjalan, namun belum terlihat adanya upaya signifikan dalam mereformasi birokrasi. Meskipun Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019 sudah terbit, namun dalam praktiknya masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan. Hingga saat ini, misalnya, belum ada satupun peraturan pemerintah turunan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang terbit. Demikian pula dengan peraturan pemerintah untuk UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Padahal, ketika kedua UU tersebut terbit, harapan akan reformasi birokrasi seakan-akan terlihat besar. Kini, harapan tersebut pelan-pelan meredup, tergantikan oleh penganan lokal yang juga tidak jelas implementasinya atau larangan rapat di hotel yang juga mulai ditinggalkan oleh banyak instansi. Artikel ini berupaya menjelaskan faktor yang mendorong kegagalan reformasi birokrasi di Indonesia.

Reformasi birokrasi sejatinya merupakan program yang lazim dibawa oleh sebuah pemerintahan baru (Breul & Kamensky 2008). Reformasi birokrasi dianggap penting karena mewakili visi pemerintah yang berkuasa sekaligus wahana untuk mencapai visi tersebut (Pollitt & Bouckaert 2011). Jika pemerintah memiliki visi yang membutuhkan sumber daya finansial sangat besar, maka reformasi birokrasi akan diarahkan kepada efisiensi anggaran dan optimalisasi penerimaan negara. Terkait ini telah dinyatakan oleh Dror (dalam Leemans 1976) bahwa reformasi birokrasi pada umumnya memiliki tujuan yang terfokus, apakah itu untuk efisiensi administrasi, mengurangi kelemahan-kelemahan yang nyata, membentuk profil birokrasi yang baru, menyesuaikan sistem administrasi untuk kebutuhan yang mendesak, menata hubungan birokrat dan politisi, atau menata hubungan antara birokrasi dan masyarakat yang dilayani. Fokus dalam reformasi birokrasi menjadi penting karena reformasi bukanlah proses kerja biasa (not business as usual), bahkan reformasi harus dilakukan sembari pemberian pelayanan dan penyusunan kebijakan tetap berjalan. Ini seperti menambal kebocoran kapal ketika kapal tersebut sedang berlayar di tengah samudera.

Reformasi birokrasi tidak pernah menjadi pekerjaan yang mudah. Aberbach dan Christensen (2014) menyatakan bahwa sangat jarang program reformasi dalam skala besar berakhir  dengan kesuksesan. Merujuk Goliembiewski (dalam Rusaw 2001), ada lima hambatan struktural bagi perubahan di sektor publik, yaitu birokrasi adalah bagian dari segi empat kekuasaan yang memengaruhi pembuatan keputusan (bersama legislatif, media, dan masyarakat madani) sehingga tidak mudah untuk menentukan kebijakan sendiri. Selain itu, di dalam organisasi publik sendiri terdapat beragam kepentingan yang membuatnya sulit untuk memuaskan kebutuhan semua pemangku kepentingan. Ketiga, birokrasi memiliki karakteristik spesialisasi jabatan, sehingga banyak veto players dalam pembuatan keputusan untuk perubahan. Selanjutnya, pengawasan atas setiap tingkatan birokrasi membutuhkan keahlian yang jarang dimiliki oleh politisi. Terakhir, fondasi hukum birokrasi cenderung menjadikan mereka resisten terhadap perubahan.

Banyak faktor yang mendorong kegagalan reformasi birokrasi Indonesia, namun artikel ini hanya akan berfokus kepada kegagalan menemukan masalah yang dihadapi sekaligus gagal menemukan solusi atas masalah. Dalam banyak kesempatan, para pejabat yang membidangi aparatur negara menyatakan bahwa persoalan birokrasi Indonesia adalah organisasi yang tidak tepat fungsi dan tidak tepat ukuran. Akan tetapi, upaya konkret penataan fungsi dan ukuran tidak juga dilakukan. Hal yang sama terjadi ketika para pejabat tersebut mengatakan bahwa kita memiliki masalah overstaff sekaligus unqualified staff. Alih-alih melakukan rasionalisasi pegawai, belakangan justru tersiar kabar bahwa seluruh tenaga honorer eks K2 akan diangkat menjadi PNS. Kinerja buruk yang dapat berujung pemecatan, yang sebenarnya telah diatur dalam UU ASN, juga belum terdengar perkembangannya. Sebaliknya, solusi yang ditempuh justru dilakukan tanpa mengetahui masalah yang sebenarnya dihadapi. Sebagai contoh, seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) adalah solusi yang baik. Negara-negara maju seperti Korea, Singapura, atau Australia juga melakukan hal serupa. Akan tetapi, hingga kini belum pernah ada evaluasi atas pelaksanaan praktik tersebut yang telah berlangsung kira-kira 3 tahun sejak 2012. Masalah apa yang sebenarnya berhasil diatasi dengan seleksi terbuka JPT itu? Di permukaan, justru terlihat bahwa seleksi terbuka melahirkan masalah seperti “bisnis pansel” sebagaimana pernah diungkapkan Tempo (edisi 22 Juni 2015) atau persoalan seperti disharmoni dalam manajemen organisasi. Persoalan ini seakan mengonfirmasi Wettenhall (2011) yang menyatakan bahwa dalam reformasi, terlalu banyak perubahan yang dilakukan tapi terlalu sedikit perhatian diberikan kepada jejak perubahan itu, sehingga perubahan bisa menjadi tidak terarah atau justru perubahan terjadi tanpa ada sesuatu yang berubah.

Kegagalan menentukan masalah dan solusi adalah hal yang lazim dalam organisasi yang menghadapi situasi anarkis terorganisasi, yaitu situasi kerancuan preferensi, ketidakjelasan teknologi, dan partisipasi yang cair dalam pembuatan keputusan (Cohen et al. 1972). Situasi ini umumnya terjadi karena terlalu banyaknya rasionalitas individu atau kelompok yang justru mengakibatkan irasionalitas kolektif organisasi (Aberbach & Christensen 2014, p. 6). Ghobadian et al. (2009) menjelaskan kegagalan reformasi birokrasi dengan menggunakan stakeholders theory dan resource dependency theory. Berdasarkan stakeholders theory, birokrat akan cenderung mengakomodasi kepentingan stakeholders yang memiliki kekuatan, legitimasi, dan urgensi paling tinggi. Sementara itu, berdasrakan resource dependency theory, birokrasi akan bergantung kepada pihak eksternal yang memberikan sumber daya kepada organisasi tersebut. Mengingat birokrasi pada dasarnya adalah agent dari politisi (selaku principal), maka sedikit-banyak, rasionalitas dari para politisi, baik di eksekutif maupun legislatif, menjadi penting untuk diakomodasi oleh birokrasi. Reformasi birokrasi adalah persaingan kekuasaan antara birokrat dan politisi, serta antara kelompok-kelompok dalam masing-masing pihak tersebut (Bowornwathana & Poocharoen 2010). Jika veto players dalam reformasi birokrasi semakin banyak, maka peta veto arena yang harus dikendalikan menjadi semakin kompleks (Tsebelis 2010). Pada akhirnya, ini akan mendorong sistem kembali ke status quo alias kegagalan program reformasi birokrasi.

Situasi inilah yang terjadi pada program reformasi birokrasi di Indonesia. Terlalu banyak veto players dan significant actors yang mengakibatkan kesulitan dalam menemukan persoalan inti dari birokrasi dan solusi atas persoalan. Meskipun diawasi langsung oleh Wakil Presiden, reformasi birokrasi sejatinya mengundang banyak veto players. Dalam hal penetapan program nasional, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) adalah veto player. Dalam hal alokasi dan pencairan anggaran program, Dewan Perwakilan Rakyat dan Menteri Keuangan adalah veto players. Dalam hal implementasi program, masing-masing kepala instansi adalah veto player. Bahkan, pada praktiknya, pejabat-pejabat di tingkat menengah dan rendah juga adalah veto players dan significant actors. Jika melihat keseluruhan program RBN sejak periode pertama, hal ini akan sangat mudah dilihat. Bahkan dalam skala yang sangat kecil pun sulit untuk menentukan fokus reformasi birokrasi. Ini menimbulkan pertanyaan, siapa yang bertanggung jawab dalam reformasi birokrasi? Ruang diskresi dan akuntabilitas yang tidak jelas menimbulkan kecenderungan menghindari tanggung jawab diantara aktor-aktor reformasi birokrasi (Mortensen 2013).

Reformasi birokrasi akan selalu melahirkan resistensi. Salah satu definisi reformasi birokrasi yang paling dikenal sarjana ilmu administrasi publik sendiri adalah dari Caiden (1969) yang menyatakan bahwa reformasi administrasi adalah artificial inducement of administrative transformation, against resistance. Resistensi menjadi wajar karena banyaknya aktor [baca: kepentingan] yang terlibat dalam perubahan organisasi sektor publik. Mengingat perbedaan kekuasaan, legitimasi, dan urgensi dari aktor-aktor tersebut, maka akan selalu ada aktor yang kepentingannya tidak terakomodasi. Aktor inilah yang akan melakukan resistensi, bahkan balas dendam (retaliation) atas reformasi. Jika sebagian besar aktor berada pada optimalitas Pareto, maka kecenderungan untuk mempertahankan status quo akan lebih kuat dibandingkan melakukan perubahan.

Bagaimanapun, reformasi birokrasi menjadi prasyarat untuk pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Oleh sebab itu, alih-alih menghindari risiko berhadapan dengan para veto players dan significant actors, pihak yang ditunjuk sebagai focal point dalam reformasi birokrasi seharusnya berupaya memahami masalah yang sebenarnya dengan mengidentifikasi preferensi para aktor lain, karena preferensi mereka itulah yang akan memengaruhi respon mereka terhadap perubahan institusional (Gains & John 2010). Jika resistensi para aktor tersebut bersifat kultural, maka pemimpin reformasi harus dapat memanfaatkan simbol-simbol kultural tersebut untuk melakukan perubahan (Aberbach & Christensen 2014). Pemimpin reformasi tidak selayaknya mengalihkan isu besar reformasi birokrasi menjadi isu sepele dan bersikap seakan-akan sudah melakukan perubahan signifikan. Bagi sebagian besar kelompok masyarakat yang cenderung tidak mengabaikan persoalan birokrasi, pengalihan isu tersebut mungkin berhasil menumbuhkan legitimasi bagi pemimpin reformasi. Akan tetapi, bagi sebagian lainnya yang memiliki kepedulian, sikap tersebut tentu menimbulkan tanya: ke mana reformasi birokrasi?

Referensi:
Aberbach, JD & Christensen, T 2014, Why reforms so often disappoint, American Review of Public Administration, vol. 44, no. 1, pp. 3-16.

Bowornwathana, B & Poocharoen, O 2010, Bureaucratic politics and administrative reform: why politics matters, Public Organization Review, vol. 10, pp. 303-321.

Breul, JD & Kamensky, JM 2008, Federal government reform: lessons from Clinton’s “Reinventing Government” and Bush’s “Management Agenda” initiatives, Public Administration Review, vol. 68, no. 6, pp. 1009-1026.

Caiden, GE, Administrative Reform, New York: Aldine.

Cohen, MD, March, JG & Olsen, JP 1972, A garbage can model of organizational choice, Administrative Science Quarterly, vol. 17, no. 1, pp. 1-25.

Gains, F & John, P 2010, What do bureaucrats like doing? Bureaucratic preferences in response to institutional reform, Public Administration Review, vol. 70, no. 3, pp. 455-463.

Ghobadian, A, Viney, H & Redwood, J 2009, Explaining the unintended consequences of public sector reform, Management Decision, vol. 47, no. 10, pp. 1514-1535.

Leemans, AF 1976, The Management of Change in Government, The Hague: Martinus Mishoff.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019.

Pollitt, C & Bouckaert, G 2011, Public Management Reform: a Comparative Analysis of New Public Management, Governance, and the Neo-Weberian State, 3rd edn, Oxford: Oxford.

Rusaw, AC 2001, Four models of public sector change, dalam Liou, KT (ed.), Handbook of Public Management Practice and Reform, New York: Marcel Dekker, pp. 513-538.

Tsebelis, G 2010, Veto player theory and policy change: an introduction, dalam König, T, Tsebelis, G & Debus, M (eds),  Reform Processes and Policy Change: Veto Players and Decision-Making in Modern Democracies, New York: Springer, pp. 3-20.


Wettenhall, R 2011, Organisational amnesia: a serious public sector reform issue, International Journal of Public Sector Management, vol. 24, no. 1, pp. 80-96.

Tidak ada komentar: