Masih belum jelas bagi saya berapa banyak diantara pembaca
yang menyadari bahwa pemerintah Indonesia telah memasuki tahap ke-2 dari
Program Reformasi Birokrasi Nasional (RBN). Semakin tidak jelas lagi persentase
pembaca yang mengetahui bahwa tidak satupun dari target program RBN tahun
2010-2014 yang tercapai (Permenpanrb Nomor 11 Tahun 2015). Bahkan, sangat
mungkin hanya sedikit saja pembaca yang sadar apa itu program RBN.
Setahun sudah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berjalan,
namun belum terlihat adanya upaya signifikan dalam mereformasi birokrasi.
Meskipun Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019 sudah terbit, namun dalam
praktiknya masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan. Hingga saat
ini, misalnya, belum ada satupun peraturan pemerintah turunan dari
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang
terbit. Demikian pula dengan peraturan pemerintah untuk UU Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan. Padahal, ketika kedua UU tersebut terbit,
harapan akan reformasi birokrasi seakan-akan terlihat besar. Kini, harapan tersebut
pelan-pelan meredup, tergantikan oleh penganan lokal yang juga tidak jelas
implementasinya atau larangan rapat di hotel yang juga mulai ditinggalkan oleh
banyak instansi. Artikel ini berupaya menjelaskan faktor yang mendorong
kegagalan reformasi birokrasi di Indonesia.
Reformasi birokrasi sejatinya merupakan program yang lazim
dibawa oleh sebuah pemerintahan baru (Breul & Kamensky 2008). Reformasi
birokrasi dianggap penting karena mewakili visi pemerintah yang berkuasa sekaligus
wahana untuk mencapai visi tersebut (Pollitt & Bouckaert 2011). Jika
pemerintah memiliki visi yang membutuhkan sumber daya finansial sangat besar,
maka reformasi birokrasi akan diarahkan kepada efisiensi anggaran dan
optimalisasi penerimaan negara. Terkait ini telah dinyatakan oleh Dror (dalam
Leemans 1976) bahwa reformasi birokrasi pada umumnya memiliki tujuan yang
terfokus, apakah itu untuk efisiensi administrasi, mengurangi
kelemahan-kelemahan yang nyata, membentuk profil birokrasi yang baru, menyesuaikan
sistem administrasi untuk kebutuhan yang mendesak, menata hubungan birokrat dan
politisi, atau menata hubungan antara birokrasi dan masyarakat yang dilayani.
Fokus dalam reformasi birokrasi menjadi penting karena reformasi bukanlah
proses kerja biasa (not business as usual),
bahkan reformasi harus dilakukan sembari pemberian pelayanan dan penyusunan
kebijakan tetap berjalan. Ini seperti menambal kebocoran kapal ketika kapal
tersebut sedang berlayar di tengah samudera.
Reformasi birokrasi tidak pernah menjadi pekerjaan yang
mudah. Aberbach dan Christensen (2014) menyatakan bahwa sangat jarang program
reformasi dalam skala besar berakhir
dengan kesuksesan. Merujuk Goliembiewski (dalam Rusaw 2001), ada lima hambatan
struktural bagi perubahan di sektor publik, yaitu birokrasi adalah bagian dari
segi empat kekuasaan yang memengaruhi pembuatan keputusan (bersama legislatif,
media, dan masyarakat madani) sehingga tidak mudah untuk menentukan kebijakan
sendiri. Selain itu, di dalam organisasi publik sendiri terdapat beragam
kepentingan yang membuatnya sulit untuk memuaskan kebutuhan semua pemangku
kepentingan. Ketiga, birokrasi memiliki karakteristik spesialisasi jabatan,
sehingga banyak veto players dalam
pembuatan keputusan untuk perubahan. Selanjutnya, pengawasan atas setiap
tingkatan birokrasi membutuhkan keahlian yang jarang dimiliki oleh politisi.
Terakhir, fondasi hukum birokrasi cenderung menjadikan mereka resisten terhadap
perubahan.
Banyak faktor yang mendorong kegagalan reformasi birokrasi
Indonesia, namun artikel ini hanya akan berfokus kepada kegagalan menemukan
masalah yang dihadapi sekaligus gagal menemukan solusi atas masalah. Dalam
banyak kesempatan, para pejabat yang membidangi aparatur negara menyatakan
bahwa persoalan birokrasi Indonesia adalah organisasi yang tidak tepat fungsi
dan tidak tepat ukuran. Akan tetapi, upaya konkret penataan fungsi dan ukuran
tidak juga dilakukan. Hal yang sama terjadi ketika para pejabat tersebut
mengatakan bahwa kita memiliki masalah overstaff
sekaligus unqualified staff. Alih-alih melakukan rasionalisasi
pegawai, belakangan justru tersiar kabar bahwa seluruh tenaga honorer eks K2
akan diangkat menjadi PNS. Kinerja buruk yang dapat berujung pemecatan, yang
sebenarnya telah diatur dalam UU ASN, juga belum terdengar perkembangannya.
Sebaliknya, solusi yang ditempuh justru dilakukan tanpa mengetahui masalah yang
sebenarnya dihadapi. Sebagai contoh, seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi
(JPT) adalah solusi yang baik. Negara-negara maju seperti Korea, Singapura,
atau Australia juga melakukan hal serupa. Akan tetapi, hingga kini belum pernah
ada evaluasi atas pelaksanaan praktik tersebut yang telah berlangsung kira-kira
3 tahun sejak 2012. Masalah apa yang sebenarnya berhasil diatasi dengan seleksi
terbuka JPT itu? Di permukaan, justru terlihat bahwa seleksi terbuka melahirkan
masalah seperti “bisnis pansel” sebagaimana pernah diungkapkan Tempo (edisi 22 Juni 2015) atau persoalan seperti disharmoni
dalam manajemen organisasi. Persoalan ini seakan mengonfirmasi Wettenhall
(2011) yang menyatakan bahwa dalam reformasi, terlalu banyak perubahan yang
dilakukan tapi terlalu sedikit perhatian diberikan kepada jejak perubahan itu,
sehingga perubahan bisa menjadi tidak terarah atau justru perubahan terjadi
tanpa ada sesuatu yang berubah.
Kegagalan menentukan masalah dan solusi adalah hal yang lazim
dalam organisasi yang menghadapi situasi anarkis terorganisasi, yaitu situasi
kerancuan preferensi, ketidakjelasan teknologi, dan partisipasi yang cair dalam
pembuatan keputusan (Cohen et al. 1972). Situasi ini umumnya terjadi karena
terlalu banyaknya rasionalitas individu atau kelompok yang justru mengakibatkan
irasionalitas kolektif organisasi (Aberbach & Christensen 2014, p. 6).
Ghobadian et al. (2009) menjelaskan kegagalan reformasi birokrasi dengan
menggunakan stakeholders theory dan resource dependency theory. Berdasarkan stakeholders theory, birokrat akan
cenderung mengakomodasi kepentingan stakeholders
yang memiliki kekuatan, legitimasi, dan urgensi paling tinggi. Sementara itu,
berdasrakan resource dependency theory,
birokrasi akan bergantung kepada pihak eksternal yang memberikan sumber daya
kepada organisasi tersebut. Mengingat birokrasi pada dasarnya adalah agent dari politisi (selaku principal), maka sedikit-banyak,
rasionalitas dari para politisi, baik di eksekutif maupun legislatif, menjadi
penting untuk diakomodasi oleh birokrasi. Reformasi birokrasi adalah persaingan
kekuasaan antara birokrat dan politisi, serta antara kelompok-kelompok dalam
masing-masing pihak tersebut (Bowornwathana & Poocharoen 2010). Jika veto players dalam reformasi birokrasi
semakin banyak, maka peta veto arena
yang harus dikendalikan menjadi semakin kompleks (Tsebelis 2010). Pada
akhirnya, ini akan mendorong sistem kembali ke status quo alias kegagalan program reformasi birokrasi.
Situasi inilah yang terjadi pada program reformasi birokrasi
di Indonesia. Terlalu banyak veto players
dan significant actors yang
mengakibatkan kesulitan dalam menemukan persoalan inti dari birokrasi dan
solusi atas persoalan. Meskipun diawasi langsung oleh Wakil Presiden, reformasi
birokrasi sejatinya mengundang banyak veto
players. Dalam hal penetapan program nasional, Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) adalah veto player. Dalam hal alokasi dan pencairan anggaran program,
Dewan Perwakilan Rakyat dan Menteri Keuangan adalah veto players. Dalam hal implementasi program, masing-masing kepala
instansi adalah veto player. Bahkan,
pada praktiknya, pejabat-pejabat di tingkat menengah dan rendah juga adalah veto players dan significant actors. Jika melihat keseluruhan program RBN sejak periode pertama, hal ini akan sangat mudah dilihat. Bahkan dalam skala yang sangat kecil pun sulit untuk menentukan fokus reformasi birokrasi. Ini menimbulkan pertanyaan, siapa yang
bertanggung jawab dalam reformasi birokrasi? Ruang diskresi dan akuntabilitas
yang tidak jelas menimbulkan kecenderungan menghindari tanggung jawab diantara
aktor-aktor reformasi birokrasi (Mortensen 2013).
Reformasi birokrasi akan selalu melahirkan resistensi. Salah
satu definisi reformasi birokrasi yang paling dikenal sarjana ilmu administrasi
publik sendiri adalah dari Caiden (1969) yang menyatakan bahwa reformasi
administrasi adalah artificial inducement
of administrative transformation, against resistance. Resistensi menjadi
wajar karena banyaknya aktor [baca: kepentingan] yang terlibat dalam perubahan
organisasi sektor publik. Mengingat perbedaan kekuasaan, legitimasi, dan urgensi
dari aktor-aktor tersebut, maka akan selalu ada aktor yang kepentingannya tidak
terakomodasi. Aktor inilah yang akan melakukan resistensi, bahkan balas dendam
(retaliation) atas reformasi. Jika
sebagian besar aktor berada pada optimalitas Pareto, maka kecenderungan untuk
mempertahankan status quo akan lebih
kuat dibandingkan melakukan perubahan.
Bagaimanapun, reformasi birokrasi menjadi prasyarat untuk
pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Oleh sebab itu,
alih-alih menghindari risiko berhadapan dengan para veto players dan significant
actors, pihak yang ditunjuk sebagai focal
point dalam reformasi birokrasi seharusnya berupaya memahami masalah yang
sebenarnya dengan mengidentifikasi preferensi para aktor lain, karena
preferensi mereka itulah yang akan memengaruhi respon mereka terhadap perubahan
institusional (Gains & John 2010). Jika resistensi para aktor tersebut
bersifat kultural, maka pemimpin reformasi harus dapat memanfaatkan
simbol-simbol kultural tersebut untuk melakukan perubahan (Aberbach &
Christensen 2014). Pemimpin reformasi tidak selayaknya mengalihkan isu besar
reformasi birokrasi menjadi isu sepele dan bersikap seakan-akan sudah melakukan
perubahan signifikan. Bagi sebagian besar kelompok masyarakat yang cenderung
tidak mengabaikan persoalan birokrasi, pengalihan isu tersebut mungkin berhasil
menumbuhkan legitimasi bagi pemimpin reformasi. Akan tetapi, bagi sebagian
lainnya yang memiliki kepedulian, sikap tersebut tentu menimbulkan tanya: ke
mana reformasi birokrasi?
Referensi:
Aberbach, JD & Christensen, T 2014, Why reforms so often
disappoint, American Review of Public
Administration, vol. 44, no. 1, pp. 3-16.
Bowornwathana, B & Poocharoen, O 2010, Bureaucratic
politics and administrative reform: why politics matters, Public Organization Review, vol. 10, pp. 303-321.
Breul, JD & Kamensky, JM 2008, Federal government reform:
lessons from Clinton’s “Reinventing Government” and Bush’s “Management Agenda”
initiatives, Public Administration Review,
vol. 68, no. 6, pp. 1009-1026.
Caiden, GE, Administrative
Reform, New York: Aldine.
Cohen, MD, March, JG & Olsen, JP 1972, A garbage can
model of organizational choice, Administrative
Science Quarterly, vol. 17, no. 1, pp. 1-25.
Gains, F & John, P 2010, What do bureaucrats like doing?
Bureaucratic preferences in response to institutional reform, Public Administration Review, vol. 70,
no. 3, pp. 455-463.
Ghobadian, A, Viney, H & Redwood, J 2009, Explaining the
unintended consequences of public sector reform, Management Decision, vol. 47, no. 10, pp. 1514-1535.
Leemans, AF 1976, The
Management of Change in Government, The Hague: Martinus Mishoff.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019.
Pollitt, C & Bouckaert, G 2011, Public Management Reform: a Comparative Analysis of New Public
Management, Governance, and the Neo-Weberian State, 3rd edn,
Oxford: Oxford.
Rusaw, AC 2001, Four models of public sector change, dalam
Liou, KT (ed.), Handbook of Public
Management Practice and Reform, New York: Marcel Dekker, pp. 513-538.
Tsebelis, G 2010, Veto player theory and policy change: an
introduction, dalam König, T, Tsebelis, G
& Debus, M (eds), Reform Processes and Policy Change: Veto
Players and Decision-Making in Modern Democracies, New York: Springer, pp.
3-20.
Wettenhall, R 2011, Organisational amnesia: a serious public
sector reform issue, International
Journal of Public Sector Management, vol. 24, no. 1, pp. 80-96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar