Kamis, 09 Juni 2011

Open Mind, Open Heart, Open Will: Sebuah Resensi dan Refleksi

Beberapa hari ini, saya membaca sebuah buku yang selama ini hanya teronggok di rak. Bukunya berjudul “Theory U: Leading from the Future as It Emerges”, ditulis oleh C. Otto Scharmer dan diterbitkan pada tahun 2009 (saya silap membaca, selama ini saya membaca namanya Scharner, ternyata yang benar adalah Scharmer). Seingat saya, dulu buku ini hasil fotokopi dari Pak Rozan Anwar, Direktur Daya Dimensi Indonesia yang kebetulan juga sebagai Koordinator Pengembangan Program Pascasarjana Ilmu Administrasi UI. Saat ikut memfotokopi dulu, sebenarnya saya tidak benar-benar tertarik dengan judul buku ini. Dua hal yang mendorong untuk ikut memfotokopi adalah karena (1) direkomendasikan oleh Pak Rozan, dan (2) kata pengantar buku ditulis oleh Peter Senge. Beruntunglah pekan lalu ada cuti bersama sehingga saya jadi iseng melirik-lirik rak buku yang memang sebagian buku di sana belum benar-benar saya sentuh.


Gambar 1. Sampul Buku Theory U. Sumber: diesel-ebooks.com

Buku ini sendiri sebenarnya sangat tidak menarik dari penampilannya. Bukan karena desain sampulnya, tapi karena terlalu tebal. Termasuk Glossary dan Notes, buku ini memiliki 485 halaman. Ini belum termasuk kata pengantar dari Peter Senge sebanyak 9 halaman. Whew.

Perasaan tidak menarik itu juga muncul saat membaca halaman-halaman awal dari buku ini, karena alurnya sangat lamban. Bahkan, tidak jarang pula ditemukan pengulangan kalimat. Akan tetapi, semakin bergerak ke dalam, semakin saya memahami bahwa Scharmer ingin agar pembacanya memahami secara menyeluruh apa yang ingin dia sampaikan dan tidak ingin pembaca melupakan setiap detail.

Hal yang membuat saya tertarik adalah karena ternyata buku ini mampu membuat pikiran saya terbawa. Hal ini hanya terjadi saat saya membaca “The Fifth Discipline”-nya Peter Senge. Ternyata memang demikian, Theory U yang dibangun oleh Scharmer memang berangkat dari systems thinking ala MIT Sloan Business School. Scharmer memodifikasi beberapa hal yang menjadikan Theory U lebih komprehensif, namun juga lebih rumit dibandingkan memahami pendekatan systems thinking dari Jay W. Forester atau Senge.

Scharmer membuka buku ini dengan menceritakan kasus-kasus dari level makro (krisis ekonomi AS, kesenjangan ekonomi global, degradasi lingkungan, kelemahan sistem kesehatan dan pendidikan), meso (kasus-kasus perusahaan besar dan kecil), hingga mikro (individual; Scharmer menceritakan pengalaman pribadinya). Dalam setiap kasus tersebut, inti masalahnya adalah pada perubahan dan bagaimana mengelolanya. Dengan pembukaan semacam ini, Scharmer ingin menyampaikan bahwa ide yang ditawarkannya dapat digunakan pada berbagai level analisis.

Buku ini sendiri bercerita tentang bagaimana menjadi organisasi pembelajar yang memiliki kemampuan mumpuni dalam hal mengambil keputusan atas situasi. Scharmer menggambarkan kegagalan kita dalam melihat, menganalisis, dan mengambil keputusan atas situasi adalah karena kita terbentur pada blind spot pemikiran kita. Konsep blind spot sendiri beranjak dari situasi yang dihadapi mata kita saat terlalu fokus pada suatu titik, sehingga titik yang terletak dekat dengan mata justru seakan menghilang. Gambar 2 biasanya digunakan untuk menjelaskan tentang blind spot.

Gambar 2. Blind Spot. Sumber: serendip.brynmawr.edu

Coba tutup mata kiri Anda dengan tangan, lalu fokuskan mata kanan pada tanda plus di sebelah kiri. Pada jarak baca normal, Anda tentu masih dapat melihat tanda plus tersebut dan tanda titik di sebelah kanannya. Coba secara perlahan jauhkan jarak pandang Anda dengan memundurkan kepala. Kedua tanda tersebut masih akan terlihat. Sekarang coba secara perlahan lagi dekatkan kepala Anda dengan layar (mata kanan masih tetap fokus pada tanda plus), maka pada jarak tertentu tanda titik itu akan menghilang. Jika Anda terlalu semakin dekat dengan layar, maka tanda itu akan muncul lagi. Jarak di mana tanda titik itu menghilang itulah yang disebut blind spot. Bagi yang tidak benar-benar mempelajari Ilmu Fisika (seperti saya), tentu hal ini tidak masuk akal. Tapi demikianlah adanya. Pada suatu jarak tertentu, jika kita terlalu fokus pada suatu hal, maka hal lain akan terlewat dari “pandangan” kita.

Masalah Blind spot inilah yang ingin dipecahkan Scharmer dengan pendekatan Teori U. Scharmer mengajak kita untuk mengalihkan fokus yang selama ini kita gunakan. Pada masa lalu, organisasi (privat maupun publik) berorientasi pada hasil atau produk, sehingga mereka terjebak dalam melihat situasi hanya pada permukaannya saja. Hal ini merupakan suatu kelemahan, sebagaimana juga dijelaskan oleh Forester (1968) dan Senge (1990), sebagai hanya melihat events atau symptoms semata, sebagaimana terlihat pada Gambar 3.


Gambar 3. Gunung Es Systems Thinking. Sumber: escalatedthinking.com

Dengan hanya melihat pada hasil/produk, kita akan terjebak pada sikap yang reaktif dan cenderung repetitif. Reaktif karena kita hanya bertindak saat hasil/produk tersebut muncul sebagai masalah, sementara repetitif karena kita cenderung mengambil keputusan yang sama atas masalah yang sama karena kita sudah terbiasa dengan hal tersebut. Oleh Scharmer, hal ini disebut sebagai proses downloading (mengunduh).

Apabila kita berupaya melihat lebih dalam, kita akan mampu menemukan bahwa gejala/hasil/produk tersebut memiliki pola-pola tersendiri dalam kemunculannya. Inilah yang disebut sebagai pattern, atau dalam sejumlah literatur systems thinking disebut sebagai story atau cerita. Dengan memahami cerita, kita tidak akan begitu saja bereaksi atas suatu gejala/hasil/produk, tapi berusaha merangkaikannya dengan masa lalu. Akan tetapi, langsung mengambil keputusan atas pattern juga tidak cukup, karena hanya melihat sedikit sekali variabel yang mempengaruhi/dipengaruhi oleh gejala/hasil/produk tersebut. Oleh karenanya, systems thinking mengajak kita untuk melihatnya lebih dalam lagi, yaitu dari structure atau struktur pembentuk sistem itu sendiri.

Pada structure, kita akan menemukan keterkaitan antarvariabel dalam cerita atas masalah yang kita hadapi. Dari sana, menurut pendekatan systems thinking konvensional, kita akan dapat mengambil keputusan untuk mengintervensi sebuah variabel yang menjadi leverage (pengungkit), yaitu variabel yang dengan perubahan kecil saja dapat mengubah/memperbaiki keseluruhan sistem masalah. Apabila pengamatan pada level events setara dengan pengamatan pada gejala/hasil/produk (what), maka pengamatan pada level structure ini sebanding dengan pengamatan pada proses (how).

Pendekatan systems thinking konvensional telah menjelaskan bahwa mental models dan container (container merupakan lapisan terbawah yang sebenarnya lahir setelah Fifth Discipline, karena pada Fifth Discipline tidak dijelaskan mengenai lapisan ini) merupakan faktor yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan. Mental models adalah pemikiran/alasan yang terbentuk dalam diri seseorang untuk menyatakan bahwa situasi A akan berakibat B jika diatasi dengan strategi C. Mental models terbentuk dari kombinasi perilaku, kepercayaan, moral, etika, harapan, nilai, dan pengalaman yang dimiliki seseorang. Karena banyaknya elemen pembentuk ini yang bercampur menjadi satu, seringkali seseorang sulit untuk memahami mental models-nya. Demikian pula dengan container, yaitu kerangka pemikiran yang membentuk dan dapat pula menghalangi mental models. Bagaimanapun, systems thinking konvensional tidak secara mendalam menjelaskan bagaimana mengelola mental models dan container. Inilah yang ingin disempurnakan oleh Scharmer melalui Teori U, yaitu tidak sekadar memahami dan menghargai what dan how, tetapi juga memahami dan menghargai why atau source where our actual operation comes from.

Dalam menggambarkan Teori U, Scharmer meletakkan pondasi bahwa seseorang haruslah berani untuk “menerima” dan “menjawab” situasi tidak hanya dengan cara mengunduh, namun juga melihat sepenuhnya (open mind), mengerti sepenuhnya (open heart), dan menerima sepenuhnya (open will), untuk kemudian mengembangkan keputusan berdasarkan hasil penerimaan itu. Scharmer melihat bahwa konstruksi systems thinking konvensional telah berhasil mengajak orang untuk open mind (lewat pemahaman atas events, patterns, dan structure) dan open heart (lewat pemahaman atas mental model), namun belum sepenuhnya mengeksplorasi bagaimana sumber terdalam di diri kita mampu melihat dan menerima situasi tersebut dengan jernih melalui open will. Pentingnya open will dijelaskan Scharmer melalui kalimat “the same person in the same situation doing the same thing can effect a totally different outcome depending on the inner place from where that action is coming” (p.27).

Dalam memahami “inner place” ini, kita perlu mengetahui terlebih dahulu setiap komponen pembentuk Teori U, sebagaimana terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Teori U. Sumber: cultivatelearning.com

Pada Gambar 4, komponen-komponen pembentuk Teori U adalah downloading, seeing, sensing, presencing, crystallizing, prototyping, dan embodying dan performing. Kedua komponen ini sendiri terbagi atas komponen “penerimaan” yang terletak di sisi kiri dan komponen “penciptaan” yang terletak di sisi kanan. Downloading adalah proses melihat dunia dari kebiasaan pemikiran yang dimiliki oleh pelaku. Seeing adalah proses menahan diri untuk melakukan penilaian dan melihat kenyataan yang ada dengan “mata yang jernih”. Sensing adalah menghubungkan diri dengan persoalan yang ada. Presencing, yang merupakan inti dari Teori U, adalah proses menghubungkan diri dengan sumber utama segala pemikiran kita. Dari sinilah segala keputusan kita tentang masa depan dibuat.

Pada komponen “penciptaan”, yang dimaksud dengan crystallizing adalah proses membayangkan hal di masa depan yang akan terjadi. Prototyping adalah menghidupkan keputusan yang baru melalui “dialog dengan alam semesta”. Sementara itu, embodying dan performing adalah menanamkan keputusan yang baru dalam konteksnya.

Seperti dikatakan sebelumnya, pada umumnya dalam menghadapi suatu persoalan kita melakukan proses downloading dan performing alias “mencomot” informasi yang sudah ada di pikiran kita untuk langsung mengambil keputusan. Dalam banyak kasus, terutama di level organisasi, keputusan seperti ini sulit menghasilkan keluaran yang menggembirakan. Oleh karenanya, pengambil keputusan haruslah open mind. Inilah prasyarat untuk melakukan proses seeing. Yang perlu dilakukan adalah menganalisis persoalan yang ada dengan “mata yang jernih”, artinya mencoba melihat keseluruhan gambar yang mungkin tertangkap. Dalam sistems thinking konvensional, hal ini sama dengan proses converting story to structure. Untuk itu, kita harus mampu menahan diri dari mengambil keputusan secara tergesa-gesa. Pada tahap ini, kita biasanya menghadapi penghalang yang dinamakan sebagai Voice of Judgment (VOJ).

Selain itu, kita juga harus melakukan pengalihan cara pandang dari orang ketiga yang menganalisis situasi/masalah menjadi orang kedua yang merasakan situasi/masalah bersama. Untuk melakukan ini, diperlukan open heart. Disebut demikian karena memang pada dasarnya kegiatan ini membutuhkan “rasa”. Penghalang kita dari “rasa” ini disebut sebagai Voice of Cynicsm (VOC; bukan penjajah itu looh. Hehe).

Untuk masuk lebih ke dalam lagi, kita memerlukan open will, yaitu lebih menyatukan diri dengan permasalahan dan mengubah cara pandang dari orang kedua menjadi orang pertama. Dalam open will, kita akan berhadapan dengan Voice of Fear (VOF), yaitu dorongan dalam diri yang menghalangi kita untuk mencerna dan melarutkan diri dalam suatu masalah agar dapat memutuskan dengan hati dan pikiran yang jernih. VOF ini dapat berupa ketakutan akan kehilangan harta, ketakutan akan dipermalukan, ketakutan akan kematian, dan sebagainya. Jika kita berhasil melarutkan diri kita sehingga menyatu dengan permasalahan yang ada, maka kita sudah siap masuk ke dalam fase presencing. Pada saat memasuki fase ini, kita akan berhadapan dengan dilema antara jiwa kita yang berada di masa lalu dan jiwa kita yang siap memutuskan untuk masa depan. Scharmer mengistilahkan ini sebagai self (diri yang terikat masa lalu) dan Self (diri yang siap menuju keputusan untuk masa depan). Keseluruhan proses “penerimaan” diri atas masalah ini bukanlah proses yang sekuensial, melainkan simultan atau setidaknya berjalan dalam waktu yang sangat singkat.

Saya mencoba mencerna Teori U ini dengan apa yang terjadi dalam birokrasi di Indonesia, terutama dalam rangka reformasi. Banyak pimpinan lembaga yang merasa telah melakukan reformasi dalam organisasinya. Sebagian melakukannya dengan mengejar persetujuan dari Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional agar memperoleh tunjangan kinerja, sebagian dengan melakukan restrukturisasi, sebagian dengan pengurangan anggaran, dan lain sebagainya. Akan tetapi, sebagian lembaga berhasil, namun juga tidak sedikit yang belum berhasil dan merasa berhasil. Kiranya hal ini dapat dianalisis dengan Teori U.

Reformasi, sebagaimana disampaikan oleh Caiden (1971, dalam Mariana, Paskarina, dan Nurasa, 2010) adalah the artificial inducement of transformative against resistance. Dalam pengertian ini, reformasi adalah sesuatu yang artifisial atau buatan atau dalam istilah Dror directed change of the main features of an administrative system (Leemans: 1976). Istilah “directed change” ini berarti bahwa reformasi adalah produk dari keputusan yang dibuat oleh manusia. Tentunya, ini juga berarti reformasi sebagai produk dari pertentangan self dan Self dari organisasi yang melakukannya (self dan Self di sini tidak hanya berarti individu, tetapi juga dapat digunakan dalam konteks kolektif).

Bagi organisasi yang memutuskan reformasi (termasuk contents, contexts, dan strategy/tools) semata-mata melalui downloading, tentunya hampir dapat dipastikan reformasinya tidak akan berjalan dengan baik, karena yang terjadi justru adalah business as usual. Padahal, inti dari reformasi adalah perubahan, sebagaimana istilah “transformative” yang digunakan Caiden atau “change” yang digunakan oleh Dror.

Scharmer menjelaskan teknik-teknik yang dapat digunakan untuk “mengaktifkan” kemampuan kita melakukan seeing, sensing, dan presencing. Akan tetapi, saya tidak akan terlalu mendalam membahas itu di sini. Meskipun demikian, kiranya penting untuk para pengambil keputusan mempelajari teknik-teknik tersebut. Adapun hal yang terpenting adalah bagaimana organisasi mampu menginternalisasi nilai-nilai seeing, sensing, dan presencing ini kepada para anggotanya.

Untuk mampu melakukan itu, reformasi yang akan dilakukan tidak dapat sekadar mengejar tunjangan kinerja dengan berburu konsultan untuk merumuskan roadmap dan dokumen usulan reformasi birokrasi. Konsultan adalah pihak yang harus diakui memiliki kemampuan lebih karena kedalaman pemahamannya akan konsep-konsep manajemen. Akan tetapi, untuk memahami konteks organisasi yang merupakan bagian dari strategi apapun, diperlukan keterlibatan aktif dari para personelnya. Dengan menggantungkan dokumen usulan dan roadmap kepada konsultan, apa yang diharapkan dari reformasi –bahkan mungkin apa yang dimaksud dengan reformasi– tidak akan dipahami oleh para pegawai.

Dalam kaitannya dengan seeing dan sensing ini, diperlukan suatu wadah bagi para pegawai (termasuk pejabat menengah dan tinggi) untuk dapat menyampaikan pemikirannya atas kondisi yang ada. Hal yang telah menjadi kebiasaan pada saat ini adalah tingginya “pagar” yang tercipta antarlevel maupun antarfungsi dalam organisasi. Pagar ini mengakibatkan komunikasi tidak berjalan dengan efektif, baik antara pimpinan dengan bawahan maupun antarpimpinan atau antarbawahan di level yang sama. Pada akhirnya, terdapat dua gejala yang umum terjadi, yaitu (1) ketakutan bawahan untuk menyampaikan gagasan kepada atasannya, dan (2) penilaian negatif atas semua (atau setidaknya sebagian besar) hal yang dilakukan oleh unit lain dalam organisasi.

Terkait dengan hal ini, Scharmer juga menjelaskan 4 (empat) hal yang menghalangi individu/organisasi untuk menjadi pembelajar, yaitu:
1.    Not recognizing what you see (tidak mengenali apa yang dilihat)
2.    Not saying what you think (tidak mengatakan apa yang dipikirkan)
3.    Not doing what you say (tidak mengerjakan apa yang dikatakan)
4.    Not seeing what you do (tidak melihat apa yang dikerjakan)

Not recognizing what you see terjadi dalam bentuk proses downloading yang terjadi sepanjang waktu. Not saying what you think terjadi dalam bentuk keengganan individu-individu dalam organisasi untuk menyampaikan ide dan/atau keluhan kepada rekan dan/atau atasannya. Not doing what you say terjadi dalam bentuk munculnya “orang-orang suci” yang memberikan petuah-petuah bijak namun tidak mengejawantahkan petuahnya. Sementara itu, not seeing what you do terjadi dalam bentuk tidak melakukan monitoring dan evaluasi atau melakukan monitoring dan evaluasi hanya sebagai formalitas. Ini sebagaimana terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Empat Penghalang Menjadi Pembelajar. Sumber: Scharmer, 2009.

Untuk mengatasi kegagalan pembelajaran ini, kita tidak dapat “sekadar” melakukan restrukturisasi. Terbentuknya “pagar” memang secara sederhana dapat dikatakan sebagai hasil dari hirarki dalam organisasi. Akan tetapi, sebagaimana diajarkan oleh pendekatan systems thinking, adalah terlalu naif kalau kita hanya melihat dari satu hubungan asimetris semata. Sementara itu, potret besar dari sistem yang membentuk hubungan asimetris tersebut tentu berbeda antara organisasi satu dengan yang lainnya. Untuk itulah organisasi perlu mewadahi “brainstorming” dan “heartstorming” diantara anggotanya, karena melalui proses inilah akan tercipta kesepahaman (open mind) dan kesalingpengertian (open heart) diantara personel organisasi.

Mungkin hal ini terkesan klise. Akan tetapi, menurut saya hal ini menjadi sesuatu yang substansial untuk dilakukan. Apabila teman-teman pembaca berpikir bahwa ini hanya dapat dilakukan oleh pimpinan level atas, maka saya akan menolak pendapat tersebut. Secara praktis, brainstorming dan heartstorming ini dapat dilakukan oleh siapapun dalam organisasi. Namun untuk lebih “amannya”, dapat dilakukan oleh pimpinan level menengah (mungkin setara eselon III). Bagaimana caranya? Tidak perlu berpikir formalistik dan birokratis. Tujuan inti dari brainstorm dan heartstorm adalah pertemuan dan penemuan inspirasi dan aspirasi. Untuk itu, pendekatan yang formalistik dan birokratis justru akan menghambat tercapainya tujuan inti ini. Penciptaan suasana yang santai, baik di jam kantor, diantara jam kantor, ataupun setelah jam kantor, dapat menjadi solusi. Suasana tersebut dapat diciptakan di kantor ataupun di luar kantor, tergantung pada kesiapan dan karakteristik kantor. Suasana tersebut juga dapat diciptakan dalam kelompok-kelompok kecil ataupun dalam kelompok yang lebih besar. Tentu saja akan lebih baik apabila beberapa pemimpin level menengah ini mengkoordinasi kelompok-kelompok kecil untuk kemudian mereka sendiri melakukan brainstorm dan heartstorm ini.

Yang dibutuhkan, sebagaimana saya sampaikan di tulisan sebelumnya, adalah pemikiran yang jernih tentang arti pentingnya perubahan bagi organisasi. Apabila pemimpin di level menengah memiliki pengetahuan ini, maka seharusnya mereka tidak perlu takut untuk menjadi motor dari perubahan tersebut. Sayangnya, dalam banyak kasus, yang terjadi justru mereka mengalami ketakutan tersebut dan balik menasihati “Tunggu dulu. Perubahan itu harus pelan-pelan” yang sejatinya memiliki arti yang 11:12 dengan “Nanti aja deh, tunggu gue pensiun dulu. Kan gue juga mau naik jadi eselon I”. Mungkin saja mereka menolak jika dikatakan demikian. Tapi sebenarnya ketakutan seperti ini sangat manusiawi. Ini adalah ketakutan yang terbentuk di level presencing, level terdalam tempat pertempuran antara self dan Self, yang seringkali tidak disadari oleh pelakunya.

Oleh karena itu, dengan memperhatikan karakteristik yang demikian, kiranya yang diperlukan adalah perubahan pada pendekatan reformasi yang dilakukan oleh masing-masing lembaga. Pendekatan reformasi yang saat ini lebih bersifat kombinasi antara top-down dan bottom-up sebenarnya sudah baik, karena berupaya mencapai komitmen pucuk pimpinan organisasi (melalui top-down) dan keterlibatan elemen organisasi (melalui bottom-up). Akan tetapi, belum tercapainya pembangunan hubungan yang bersifat lateral menunjukkan kentalnya pendekatan top-down dari reformasi yang berjalan. Sayangnya, kontrol implementasi dari atas ke bawah yang merupakan kekuatan dari pendekatan top-down justru masih lemah. Untuk itulah, kiranya inisiatif dari lembaga dan para pimpinan level menengahnya dalam menumbuhkan kesadaran akan reformasi dan merumuskan strategi reformasi perlu dibuka seluas-luasnya dalam arahan reformasi di tingkat nasional.

Di Kaki Patung Pemuda, 8-9 Juni 2011

Tidak ada komentar: