Jumat, 20 Desember 2013

Selamat Datang Era Baru Sumber Daya Manusia Aparatur (dengan Catatan)

Kemarin (19 Desember 2013), sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) menjadi Undang-undang. Meskipun tentu butuh waktu hingga diundangkan, namun banyak kalangan, dari Menteri PANRB, Ketua Komisi II DPR, hingga sejumlah akademisi mengatakan bahwa ini adalah tonggak sejarah perubahan dalam birokrasi Indonesia. Tulisan ini berusaha menggambarkan secara singkat perjalanan RUU ASN hingga menjadi UU, butir-butir perubahan yang dimaksud oleh para tokoh tersebut yang disertai catatan penulis terhadapnya.

IIustrasi RUU Aparatur Sipil Negara

Undang-undang ini berawal dari adanya harapan untuk melakukan perubahan pada sistem kepegawaian yang berlaku, yaitu yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999. Harapan ini diapungkan pada masa Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009) oleh Menneg PAN saat itu Taufiq Efendy dan telah disampaikan kepada Presiden agar menjadi RUU inisiatif pemerintah. Namun, atas sejumlah pertimbangan, Presiden saat itu memutuskan untuk menunda pembahasan RUU tersebut. Pada saat Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014) terbentuk, dengan penambahan nomenklatur “reformasi birokrasi” bagi Kementerian PAN, usul ini semakin tenggelam karena dianggap tidak diperlukan. Taufiq Efendy yang ketika itu menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR justru berpandangan bahwa jika pemerintah tidak ingin membahas RUU tersebut sebagai inisiatif pemerintah, maka biarkan itu menjadi inisiatif DPR. Maka, pada akhir 2010, dibentuklah tim pakar yang terdiri atas beberapa guru besar di bidang ilmu administrasi publik dan Ekonomi, yaitu Mifthah Thoha, Sofian Effendi (UGM), Prijono Tjiptoherijanto, dan Eko Prasojo (UI), untuk membantu DPR merumuskan RUU yang kemudian dikenal sebagai UU ASN ini.

Sejak saat itu, RUU ASN bergulir seperti bola panas, terutama kepada pemerintah, karena terdapat sejumlah ide progresif yang dianggap kontroversial, seperti pembentukan Komisi Aparatur Sipil Negara yang berwenang melakukan seleksi pejabat eselon I dan II, pengisian jabatan eselon I dan II dari non-PNS, pengalihan peran Pejabat Pembina Kepegawaian kepada pejabat karir tertinggi, penghapusan eselon III ke bawah, pemberhentian PNS atas dasar kinerja yang buruk, hingga sanksi pidana bagi pihak-pihak yang melakukan kecurangan dalam pengadaan CPNS dan promosi PNS. Gagasan-gagasan yang “di luar kelaziman birokrasi” ini sempat beroleh resistensi dari sejumlah kalangan di birokrasi. Namun demikian, harus diakui pula bahwa kemampuan DPR sebagai legal drafter juga kurang baik, sehingga terdapat cukup banyak inkonsistensi dan kesalahan redaksional yang fatal dalam RUU ASN versi pertama. Resistensi dan kesalahan-kesalahan tersebut menjadikan pembahasan RUU ini berlarut-larut hingga akhirnya disahkan pada akhir 2013 ini. Apa yang terjadi dalam berlarut-larutnya proses ini tidak dapat saya tuliskan di sini, namun saya sangat terbuka apabila pembaca butuh mendiskusikannya secara lisan.

Disetujuinya RUU ASN untuk Dibawa ke Sidang Paripurna DPR

Pasang-surut dan tarik-menarik gagasan terjadi selama proses penyusunan, hingga akhirnya terbentuklah UU ASN sebagaimana disahkan oleh DPR kemarin. Secara pribadi, saya sempat patah arang pada RUU ASN karena ada sejumlah gagasan yang baik ternyata patah di tengah jalan ketika muncul versi lanjutan dari RUU. Namun demikian, menilik UU yang akhirnya disahkan, sejumlah hal patut diapresiasi karena memang memberikan nuansa baru yang lebih baik dalam sistem manajemen SDM aparatur di Indonesia. Beberapa perubahan signifikan dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, UU ASN memberikan koridor yang cukup baik dalam pengaturan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengelolaan pegawai pemerintah non-PNS alias honorer telah menjadi masalah yang mengemuka sejak awal KIB I. Setelahnya, banyak pula instansi yang merekrut pegawai kontrak dengan mekanisme yang terkesan mengada-ada (seperti seakan-akan dari perusahaan alih daya/outsourcing atau dengan manuver melalui manipulasi anggaran untuk membayarkan honornya) untuk mengakali ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Penegasan aturan soal PPPK ini merupakan jalan keluar yang patut diapresiasi, karena ini akan memisahkan PPPK dari ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan karena UU ASN akan menjadi lex specialis dari masalah ini.

Kedua, secara filosofis UU ASN hanya mengenal eselonisasi hingga tingkat ke-2, yang disebut sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi. Meskipun demikian, secara implisit, eselonisasi tetap dipertahankan dalam nama Jabatan Administrasi. Jabatan Administrasi terdiri atas administrator (ekuivalen dengan eselon III dalam sistem sebelumnya), pengawas (ekuivalen dengan eselon IV dalam sistem sebelumnya), dan pelaksana (ekuivalen dengan eselon V dan fungsional umum dalam sistem sebelumnya). Pesan implisit ini membuka ruang penafsiran yang sangat luas dan berpotensi ambigu. Misalnya, apakah seluruh jabatan eselon III memang akan dialihkan sebagai administrator? Jika demikian, bagaimana dengan wacana pengalihan jabatan eselon III di sejumlah instansi yang sebetulnya berkarakteristik fungsional? Hal ini baru akan terjawab dalam peraturan pemerintah (PP) yang menjadi pelaksana UU ini nantinya.

Ketiga, UU ini memberi pengakuan dan tanggung jawab kehormatan kepada pejabat tinggi (high rank officials) di birokrasi, yang disebut sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Pada dasarnya, ini merupakan manifestasi dari gagasan senior executive service (SES) yang dulu diperkenalkan RUU ASN versi awal. SES merupakan praktik yang lazim di negara-negara yang telah menganut New Public Management (NPM). Pada umumnya, setiap SES akan memiliki tanggung jawab yang tinggi karena dia akan menjadi penghubung antara birokrasi dengan politisi, panutan (role model) bagi birokrat, dan penasihat utama (senior advisor) bagi pejabat politik. Dengan tanggung jawab itu, umumnya SES akan menerima tunjangan tambahan, pendidikan dan pelatihan khusus, dan tentunya sanksi yang lebih berat apabila melanggar. Namun demikian, dalam UU ASN, tidak ada penjelasan terkait ketiga hal tersebut bagi pemangku JPT. Tanpa adanya penjelasan ini, sebenarnya JPT tidak dapat dikategorikan sebagai praktik SES.

Ilustrasi JPT sebagai Motor Profesionalitas ASN

Keempat, UU ASN mengatur tentang kelembagaan dalam manajemen SDM aparatur. Hal ini patut diapresiasi karena potensi tumpang-tindih kewenangan antara menteri di bidang pendayagunaan aparatur negara (sebut saja Menpan J) dan menteri di bidang dalam negeri (sebut saja Mendagri J) sudah dapat diminimasi, bahkan mungkin hilang. Kewenangan penuh berada pada Menpan, karena UU ini sekaligus menghapuskan Bab V “Kepegawaian” dari UU 32/2004. Pengaturan kewenangan juga terdapat antara Kementerian PANRB, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan sebuah komisi yang akan dibentuk yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Pengaturan ini sudah cukup rapi, meskipun potensi tumpang-tindih masih bisa terjadi terutama antara Kemenpanrb dengan BKN (Pasal 26 dan Pasal 48 huruf e). Hal ini sangat mungkin terjadi apabila kedua instansi tidak bekerja sama dalam pelaksanaan tugas tersebut.

Kelima, UU ini menjadi dasar pembentukan KASN. Bagi sebagian orang, ini mungkin dianggap sebagai titik lemah UU ASN, namun bagi saya pribadi, pembentukan KASN adalah manifestasi dari praktik governance di bidang pendayagunaan aparatur negara. Prinsip dasar dari governance adalah perluasan pelaksana pemerintahan dari pemerintah kepada aktor lain di negara, yaitu masyarakat sipil (civil society) dan sektor swasta. Di Indonesia, hal ini terejawantahkan dalam bentuk Lembaga Non Struktural (LNS). Saya sadar bahwa sejumlah LNS tidak berfungsi secara efektif dan cenderung mengakibatkan inefisiensi anggaran negara, namun saya pikir tidak untuk KASN. PNS adalah unsur yang penting dalam penyelenggaraan negara, bahkan seringkali PNS lebih berkuasa dibandingkan pejabat politik karena memiliki budaya organisasi dan pengalaman yang lebih dibandingkan sebagian pejabat politik. Oleh karena itu, tidak jarang pejabat politik (misalnya menteri atau kepala daerah) gagal menjalankan organisasinya karena tidak memiliki PNS yang berkualitas baik. Apabila seluruh proses terkait manajemen PNS diserahkan hanya kepada PNS (Kemenpanrb, BKN, LAN), maka terdapat potensi “saling melindungi” yang berakibat tidak efektifnya manajemen PNS tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan KASN yang keanggotannya dapat diisi oleh PNS maupun non-PNS.

Namun demikian, tentunya dibutuhkan pengaturan yang lebih komprehensif agar KASN dapat berfungsi efektif. Hal ini terkait dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki KASN, salah satunya mengawasi proses pengisian JPT. Dengan perkiraan jumlah eselon I dan II (setara JPT) di Indonesia yang per Agustus 2013 mencapai 15.726 jabatan (3.318 pegawai instansi pusat dan sisanya pegawai pemerintah daerah), mekanisme pengawasan seperti apa yang dapat dibangun oleh KASN untuk memastikan pengisian jabatan ini berjalan efektif?  Apabila 15.000-an jabatan ini dapat dipastikan terisi oleh orang-orang yang berkualitas dan berintegritas, maka sebetulnya ini bukan angka yang tinggi, karena mereka ini nantinya akan memimpin sekitar 4,4 juta PNS di seluruh Indonesia. Tentu ini merupakan pengungkit yang luar biasa bagi perbaikan birokrasi Indonesia. Inilah yang kiranya patut menjadi perhatian lebih lanjut, agar KASN tidak bernasib sama dengan sejumlah LNS lain yang seakan sia-sia.

Keenam, UU ASN secara eksplisit menyebutkan bentuk pengembangan karier PNS dengan pemberian kesempatan praktik kerja di instansi lain termasuk perusahaan swasta paling lama selama satu tahun (Pasal 70 ayat 5 dan 6). Ketentuan ini mengingatkan saya pada gagasan reform leaders academy yang dicetuskan oleh Philia Wibowo, partner McKinsey Indonesia yang juga salah seorang anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional. Dalam penjelasan ayat 6, disebutkan pula bahwa pemerintah dapat membuka kesempatan kepada pegawai swasta untuk menduduki jabatan ASN sesuai persyaratan kompetensi paling lama satu tahun. Ini merupakan terobosan yang patut diapresiasi. Saya cukup terkejut membaca adanya ketentuan ini dalam versi akhir RUU ASN. Namun demikian, pengaturan tentang “dapat” ini harus disusun dengan seksama agar tidak menjadi sia-sia karena di lapangan nanti pelaksana menganggap hal tersebut tidak dibutuhkan.

Ketujuh, UU ASN membuka peluang diberhentikannya PNS atas alasan kinerja (Pasal 77 ayat 6). Hal ini tentu patut diapresiasi karena memberikan nuansa baru dalam birokrasi terutama dalam hal penilaian kinerja PNS. Namun demikian, patut dinanti bagaimana pengaturan lanjutannya dalam PP yang diamanatkan kemudian. Kedelapan, atas penilaian kinerja PNS tersebut juga akan diberikan tunjangan kinerja (Pasal 80 ayat 3). Kedua hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi birokrasi untuk membangun sistem manajemen kinerja yang komprehensif.

Kesembilan, UU ASN menjadikan pengisian JPT terbuka secara nasional. JPT sendiri terdiri dari tiga tingkatan, yaitu JPT utama (yang kini ekuivalen dengan Kepala LPNK), JPT madya (yang kini ekuivalen dengan eselon I), dan JPT pratama (yang kini ekuivalen dengan eselon II). Pengisian JPT utama dan madya dilakukan secara nasional. Artinya, setiap PNS yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan akan dapat melamar pada lowongan JPT yang dibuka pada setiap instansi. Sebagai contoh, seorang PNS dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat melamar sebagai Sekretaris Daerah Provinsi X. Ketentuan lain adalah dimungkinkannya pengisian JPT utama dan madya dari kalangan non-PNS atas persetujuan Presiden (Pasal 109 ayat 1). Seluruh proses pengisian JPT dilakukan melalui tim seleksi yang dibentuk oleh masing-masing instansi dengan anggota tim seleksi terdiri dari internal dan eksternal instansi.

Namun demikian, gagasan yang cukup baik ini menimbulkan ambivalensi ketika disebutkan dalam Pasal 111 bahwa aturan ini “dikecualikan bagi instansi pemerintah yang telah menerapkan sistem merit dalam pembinaan pegawai ASN dengan persetujuan KASN”. Pengecualian ini dapat dilihat dari kacamata positif maupun negatif. Dari sisi positif, ini memberi ruang bagi pejabat pembina kepegawaian di instansi untuk mengembangkan sistem manajemen SDM aparaturnya sendiri, atau dalam istilah populernya let the manager manages. Namun demikian, dari sisi negatif, pengecualian ini juga akan memunculkan ambivalensi manakala instansi yang dikatakan sudah menerapkan “sistem merit” ini tidak ingin membuka diri kepada PNS dari instansi lain. Dualisme ini dapat mengarah pada kesia-siaan karena nantinya instansi akan cenderung melakukan penutupan diri tersebut dengan bungkus “sistem merit” yang izinnya dapat diperpanjang layaknya SIM (Surat Izin Mengemudi, atau dalam hal ini mungkin lebih tepat sebagai Surat Izin Merit). Pengecualian ini juga sejatinya menunjukkan bahwa dalam birokrasi pemerintah masih terdapat ego sektoral, karena saya dapat menangkap instansi mana yang akan mengajukan pengecualian ini nantinya. Oleh karena itu, pengecualian sebaiknya terbatas pada detail mekanismenya semata, tapi tidak boleh menutup kesempatan yang dimiliki setiap pegawai di penjuru NKRI untuk menduduki JPT. Jangan sampai fungsi ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa menjadi pudar dengan pengecualian atas nama “sistem merit”, karena sistem merit tidak berarti menutup kemungkinan pegawai daerah menduduki JPT di pusat dan sebaliknya.

Ilustrasi PNS sebagai Miniatur Persatuan Bangsa

Kesepuluh, UU ASN memperkenalkan sistem kontrak pada JPT, yang berlaku per lima tahun. Hal ini mirip dengan yang dilakukan Australia, yaitu jabatan secretary di setiap kementerian hanya dapat diisi selama lima tahun dan selanjutnya harus dipilih kembali. Dengan demikian, diharapkan terjadi penyegaran dan tidak ada “pengkaplingan” jabatan oleh seseorang atau sekelompok orang. Bahkan, pemangku JPT yang gagal memenuhi target kinerja selama 1 tahun akan diberi kesempatan 6 bulan untuk ditinjau ulang. Artinya, kinerja kembali menjadi kata kunci dalam manajemen SDM aparatur. Tentu saja hal ini masih harus dipersenjatai dengan peraturan pelaksananya nanti.

Sepuluh butir tersebut kiranya yang patut menjadi perhatian karena memberikan nuansa baru dalam manajemen SDM aparatur. Sebenarnya masih ada sejumlah hal lain seperti pensiun, korps pegawai, dan lain-lain, namun dalam pandangan saya pribadi tidak terlalu signifikan dibandingkan kesepuluh hal di atas. Bagaimanapun, UU ASN merupakan UU yang cukup fleksibel karena sebagian besar ketentuan di dalamnya bersifat multiinterpretasi. Oleh karena itu, dibutuhkan kontrol publik yang ketat dalam proses penyusunan peraturan pelaksana dari UU ASN (yang dalam perhitungan sederhana saya terdapat 3 Perpres, 19 PP, dan 1 Permenpan, dengan jumlah PP bisa saja lebih tergantung pemisahan materinya). Kontrol ini diperlukan agar semangat perubahan dari UU ASN tidak kempis di tengah jalan karena interpretasi konservatif dari peraturan pelaksananya kelak. Hanya dengan demikianlah UU ASN dapat benar-benar mengantarkan kita pada era baru manajemen SDM aparatur Indonesia. Wallahua’lam bishawab.


Acton, 20 Desember 2013

3 komentar:

Laut dan Kita mengatakan...

Bermanfaat sekali penjabaran Bung Alfie tepat di momen gegap-gempita UU ASN. Secara garis besar, membuka mata strength dan weaknesses UU ASN yang masih dalam tahap benih ini. Tidak banyak yang aware khususnya tentang pros dan cons 'sistem merit' sebagai prasyarat. Ditunggu selalu ulasan berikutnya.

Unknown mengatakan...

Mas Alfie,

Bagus sekali: rinci dan kritis sekali. sangat membantu saya dalam memahami ASN secara komprehensih. Terima kasih banyak!

Wass,
Gatot

Unknown mengatakan...

Pak Gatot yang baik hati,

Terima kasih. Semoga bermanfaat, layaknya saya membaca blog Pak Gatot sang dewa musik yang selalu menghibur dan mencerahkan. hehehe.

Salam.