Kemarin (19 Desember 2013), sidang
paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan pengesahan Rancangan
Undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) menjadi Undang-undang.
Meskipun tentu butuh waktu hingga diundangkan, namun banyak kalangan, dari
Menteri PANRB, Ketua Komisi II DPR, hingga sejumlah akademisi mengatakan bahwa
ini adalah tonggak sejarah perubahan dalam birokrasi Indonesia. Tulisan ini
berusaha menggambarkan secara singkat perjalanan RUU ASN hingga menjadi UU,
butir-butir perubahan yang dimaksud oleh para tokoh tersebut yang disertai
catatan penulis terhadapnya.
IIustrasi RUU Aparatur Sipil Negara
Undang-undang ini berawal dari adanya
harapan untuk melakukan perubahan pada sistem kepegawaian yang berlaku, yaitu
yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999. Harapan ini diapungkan
pada masa Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009) oleh Menneg PAN saat itu
Taufiq Efendy dan telah disampaikan kepada Presiden agar menjadi RUU inisiatif
pemerintah. Namun, atas sejumlah pertimbangan, Presiden saat itu memutuskan
untuk menunda pembahasan RUU tersebut. Pada saat Kabinet Indonesia Bersatu II
(2009-2014) terbentuk, dengan penambahan nomenklatur “reformasi birokrasi” bagi
Kementerian PAN, usul ini semakin tenggelam karena dianggap tidak diperlukan.
Taufiq Efendy yang ketika itu menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR justru
berpandangan bahwa jika pemerintah tidak ingin membahas RUU tersebut sebagai
inisiatif pemerintah, maka biarkan itu menjadi inisiatif DPR. Maka, pada akhir
2010, dibentuklah tim pakar yang terdiri atas beberapa guru besar di bidang
ilmu administrasi publik dan Ekonomi, yaitu Mifthah Thoha, Sofian Effendi
(UGM), Prijono Tjiptoherijanto, dan Eko Prasojo (UI), untuk membantu DPR
merumuskan RUU yang kemudian dikenal sebagai UU ASN ini.
Sejak saat itu, RUU ASN bergulir seperti
bola panas, terutama kepada pemerintah, karena terdapat sejumlah ide progresif
yang dianggap kontroversial, seperti pembentukan Komisi Aparatur Sipil Negara
yang berwenang melakukan seleksi pejabat eselon I dan II, pengisian jabatan
eselon I dan II dari non-PNS, pengalihan peran Pejabat Pembina Kepegawaian
kepada pejabat karir tertinggi, penghapusan eselon III ke bawah, pemberhentian
PNS atas dasar kinerja yang buruk, hingga sanksi pidana bagi pihak-pihak yang melakukan
kecurangan dalam pengadaan CPNS dan promosi PNS. Gagasan-gagasan yang “di luar
kelaziman birokrasi” ini sempat beroleh resistensi dari sejumlah kalangan di
birokrasi. Namun demikian, harus diakui pula bahwa kemampuan DPR sebagai legal drafter juga kurang baik, sehingga
terdapat cukup banyak inkonsistensi dan kesalahan redaksional yang fatal dalam
RUU ASN versi pertama. Resistensi dan kesalahan-kesalahan tersebut menjadikan
pembahasan RUU ini berlarut-larut hingga akhirnya disahkan pada akhir 2013 ini.
Apa yang terjadi dalam berlarut-larutnya proses ini tidak dapat saya tuliskan
di sini, namun saya sangat terbuka apabila pembaca butuh mendiskusikannya
secara lisan.
Disetujuinya RUU ASN untuk Dibawa ke Sidang Paripurna DPR
Pasang-surut dan tarik-menarik gagasan
terjadi selama proses penyusunan, hingga akhirnya terbentuklah UU ASN
sebagaimana disahkan oleh DPR kemarin. Secara pribadi, saya sempat patah arang pada
RUU ASN karena ada sejumlah gagasan yang baik ternyata patah di tengah jalan
ketika muncul versi lanjutan dari RUU. Namun demikian, menilik UU yang akhirnya
disahkan, sejumlah hal patut diapresiasi karena memang memberikan nuansa baru
yang lebih baik dalam sistem manajemen SDM aparatur di Indonesia. Beberapa
perubahan signifikan dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, UU ASN memberikan koridor yang
cukup baik dalam pengaturan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengelolaan pegawai pemerintah non-PNS alias
honorer telah menjadi masalah yang mengemuka sejak awal KIB I. Setelahnya,
banyak pula instansi yang merekrut pegawai kontrak dengan mekanisme yang
terkesan mengada-ada (seperti seakan-akan dari perusahaan alih daya/outsourcing
atau dengan manuver melalui manipulasi anggaran untuk membayarkan honornya)
untuk mengakali ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Penegasan aturan soal PPPK
ini merupakan jalan keluar yang patut diapresiasi, karena ini akan memisahkan
PPPK dari ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan karena UU ASN akan menjadi lex specialis dari masalah ini.
Kedua, secara filosofis UU ASN hanya
mengenal eselonisasi hingga tingkat ke-2, yang disebut sebagai Jabatan Pimpinan
Tinggi. Meskipun demikian, secara implisit, eselonisasi tetap dipertahankan dalam
nama Jabatan Administrasi. Jabatan Administrasi terdiri atas administrator
(ekuivalen dengan eselon III dalam sistem sebelumnya), pengawas (ekuivalen dengan
eselon IV dalam sistem sebelumnya), dan pelaksana (ekuivalen dengan eselon V
dan fungsional umum dalam sistem sebelumnya). Pesan implisit ini membuka ruang
penafsiran yang sangat luas dan berpotensi ambigu. Misalnya, apakah seluruh
jabatan eselon III memang akan dialihkan sebagai administrator? Jika demikian,
bagaimana dengan wacana pengalihan jabatan eselon III di sejumlah instansi yang
sebetulnya berkarakteristik fungsional? Hal ini baru akan terjawab dalam
peraturan pemerintah (PP) yang menjadi pelaksana UU ini nantinya.
Ketiga, UU ini memberi pengakuan dan tanggung
jawab kehormatan kepada pejabat tinggi (high
rank officials) di birokrasi, yang disebut sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi
(JPT). Pada dasarnya, ini merupakan manifestasi dari gagasan senior executive service (SES) yang dulu
diperkenalkan RUU ASN versi awal. SES merupakan praktik yang lazim di
negara-negara yang telah menganut New Public Management (NPM). Pada umumnya,
setiap SES akan memiliki tanggung jawab yang tinggi karena dia akan menjadi
penghubung antara birokrasi dengan politisi, panutan (role model) bagi birokrat, dan penasihat utama (senior advisor) bagi pejabat politik.
Dengan tanggung jawab itu, umumnya SES akan menerima tunjangan tambahan,
pendidikan dan pelatihan khusus, dan tentunya sanksi yang lebih berat apabila
melanggar. Namun demikian, dalam UU ASN, tidak ada penjelasan terkait ketiga
hal tersebut bagi pemangku JPT. Tanpa adanya penjelasan ini, sebenarnya JPT
tidak dapat dikategorikan sebagai praktik SES.
Ilustrasi JPT sebagai Motor Profesionalitas ASN
Keempat, UU ASN mengatur tentang
kelembagaan dalam manajemen SDM aparatur. Hal ini patut diapresiasi karena
potensi tumpang-tindih kewenangan antara menteri di bidang pendayagunaan
aparatur negara (sebut saja Menpan J) dan
menteri di bidang dalam negeri (sebut saja Mendagri J) sudah dapat diminimasi, bahkan mungkin hilang. Kewenangan penuh
berada pada Menpan, karena UU ini sekaligus menghapuskan Bab V “Kepegawaian”
dari UU 32/2004. Pengaturan kewenangan juga terdapat antara Kementerian PANRB,
Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan sebuah
komisi yang akan dibentuk yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Pengaturan
ini sudah cukup rapi, meskipun potensi tumpang-tindih masih bisa terjadi
terutama antara Kemenpanrb dengan BKN (Pasal 26 dan Pasal 48 huruf e). Hal ini
sangat mungkin terjadi apabila kedua instansi tidak bekerja sama dalam
pelaksanaan tugas tersebut.
Kelima, UU ini menjadi dasar pembentukan
KASN. Bagi sebagian orang, ini mungkin dianggap sebagai titik lemah UU ASN,
namun bagi saya pribadi, pembentukan KASN adalah manifestasi dari praktik
governance di bidang pendayagunaan aparatur negara. Prinsip dasar dari governance
adalah perluasan pelaksana pemerintahan dari pemerintah kepada aktor lain di
negara, yaitu masyarakat sipil (civil
society) dan sektor swasta. Di Indonesia, hal ini terejawantahkan dalam
bentuk Lembaga Non Struktural (LNS). Saya sadar bahwa sejumlah LNS tidak
berfungsi secara efektif dan cenderung mengakibatkan inefisiensi anggaran
negara, namun saya pikir tidak untuk KASN. PNS adalah unsur yang penting dalam
penyelenggaraan negara, bahkan seringkali PNS lebih berkuasa dibandingkan
pejabat politik karena memiliki budaya organisasi dan pengalaman yang lebih
dibandingkan sebagian pejabat politik. Oleh karena itu, tidak jarang pejabat
politik (misalnya menteri atau kepala daerah) gagal menjalankan organisasinya
karena tidak memiliki PNS yang berkualitas baik. Apabila seluruh proses terkait
manajemen PNS diserahkan hanya kepada PNS (Kemenpanrb, BKN, LAN), maka terdapat
potensi “saling melindungi” yang berakibat tidak efektifnya manajemen PNS
tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan KASN yang keanggotannya dapat diisi oleh
PNS maupun non-PNS.
Namun demikian, tentunya dibutuhkan
pengaturan yang lebih komprehensif agar KASN dapat berfungsi efektif. Hal ini
terkait dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki KASN, salah satunya mengawasi
proses pengisian JPT. Dengan perkiraan jumlah eselon I dan II (setara JPT) di
Indonesia yang per Agustus 2013 mencapai 15.726 jabatan (3.318 pegawai instansi
pusat dan sisanya pegawai pemerintah daerah), mekanisme pengawasan seperti apa
yang dapat dibangun oleh KASN untuk memastikan pengisian jabatan ini berjalan
efektif? Apabila 15.000-an jabatan ini
dapat dipastikan terisi oleh orang-orang yang berkualitas dan berintegritas,
maka sebetulnya ini bukan angka yang tinggi, karena mereka ini nantinya akan
memimpin sekitar 4,4 juta PNS di seluruh Indonesia. Tentu ini merupakan pengungkit
yang luar biasa bagi perbaikan birokrasi Indonesia. Inilah yang kiranya patut
menjadi perhatian lebih lanjut, agar KASN tidak bernasib sama dengan sejumlah
LNS lain yang seakan sia-sia.
Keenam, UU ASN secara eksplisit menyebutkan
bentuk pengembangan karier PNS dengan pemberian kesempatan praktik kerja di
instansi lain termasuk perusahaan swasta paling lama selama satu tahun (Pasal
70 ayat 5 dan 6). Ketentuan ini mengingatkan saya pada gagasan reform leaders academy yang dicetuskan
oleh Philia Wibowo, partner McKinsey Indonesia yang juga salah seorang anggota
Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional. Dalam penjelasan ayat 6,
disebutkan pula bahwa pemerintah dapat membuka kesempatan kepada pegawai swasta
untuk menduduki jabatan ASN sesuai persyaratan kompetensi paling lama satu tahun.
Ini merupakan terobosan yang patut diapresiasi. Saya cukup terkejut membaca
adanya ketentuan ini dalam versi akhir RUU ASN. Namun demikian, pengaturan
tentang “dapat” ini harus disusun dengan seksama agar tidak menjadi sia-sia
karena di lapangan nanti pelaksana menganggap hal tersebut tidak dibutuhkan.
Ketujuh, UU ASN membuka peluang
diberhentikannya PNS atas alasan kinerja (Pasal 77 ayat 6). Hal ini tentu patut
diapresiasi karena memberikan nuansa baru dalam birokrasi terutama dalam hal
penilaian kinerja PNS. Namun demikian, patut dinanti bagaimana pengaturan
lanjutannya dalam PP yang diamanatkan kemudian. Kedelapan, atas penilaian
kinerja PNS tersebut juga akan diberikan tunjangan kinerja (Pasal 80 ayat 3). Kedua
hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi birokrasi untuk membangun
sistem manajemen kinerja yang komprehensif.
Kesembilan, UU ASN menjadikan pengisian JPT
terbuka secara nasional. JPT sendiri terdiri dari tiga tingkatan, yaitu JPT
utama (yang kini ekuivalen dengan Kepala LPNK), JPT madya (yang kini ekuivalen
dengan eselon I), dan JPT pratama (yang kini ekuivalen dengan eselon II).
Pengisian JPT utama dan madya dilakukan secara nasional. Artinya, setiap PNS
yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan akan dapat melamar pada lowongan JPT
yang dibuka pada setiap instansi. Sebagai contoh, seorang PNS dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dapat melamar sebagai Sekretaris Daerah Provinsi X.
Ketentuan lain adalah dimungkinkannya pengisian JPT utama dan madya dari
kalangan non-PNS atas persetujuan Presiden (Pasal 109 ayat 1). Seluruh proses
pengisian JPT dilakukan melalui tim seleksi yang dibentuk oleh masing-masing
instansi dengan anggota tim seleksi terdiri dari internal dan eksternal
instansi.
Namun demikian, gagasan yang cukup baik ini
menimbulkan ambivalensi ketika disebutkan dalam Pasal 111 bahwa aturan ini “dikecualikan
bagi instansi pemerintah yang telah menerapkan sistem merit dalam pembinaan
pegawai ASN dengan persetujuan KASN”. Pengecualian ini dapat dilihat dari
kacamata positif maupun negatif. Dari sisi positif, ini memberi ruang bagi
pejabat pembina kepegawaian di instansi untuk mengembangkan sistem manajemen
SDM aparaturnya sendiri, atau dalam istilah populernya let the manager manages. Namun demikian, dari sisi negatif, pengecualian ini juga akan
memunculkan ambivalensi manakala instansi yang dikatakan sudah menerapkan “sistem
merit” ini tidak ingin membuka diri kepada PNS dari instansi lain. Dualisme ini
dapat mengarah pada kesia-siaan karena nantinya instansi akan cenderung melakukan
penutupan diri tersebut dengan bungkus “sistem merit” yang izinnya dapat
diperpanjang layaknya SIM (Surat Izin Mengemudi, atau dalam hal ini mungkin lebih
tepat sebagai Surat Izin Merit). Pengecualian ini juga sejatinya menunjukkan
bahwa dalam birokrasi pemerintah masih terdapat ego sektoral, karena saya dapat
menangkap instansi mana yang akan mengajukan pengecualian ini nantinya. Oleh
karena itu, pengecualian sebaiknya terbatas pada detail mekanismenya semata,
tapi tidak boleh menutup kesempatan yang dimiliki setiap pegawai di penjuru
NKRI untuk menduduki JPT. Jangan sampai fungsi ASN sebagai perekat dan
pemersatu bangsa menjadi pudar dengan pengecualian atas nama “sistem merit”,
karena sistem merit tidak berarti menutup kemungkinan pegawai daerah menduduki
JPT di pusat dan sebaliknya.
Ilustrasi PNS sebagai Miniatur Persatuan Bangsa
Kesepuluh, UU ASN memperkenalkan sistem
kontrak pada JPT, yang berlaku per lima tahun. Hal ini mirip dengan yang
dilakukan Australia, yaitu jabatan secretary
di setiap kementerian hanya dapat diisi selama lima tahun dan selanjutnya harus
dipilih kembali. Dengan demikian, diharapkan terjadi penyegaran dan tidak ada “pengkaplingan”
jabatan oleh seseorang atau sekelompok orang. Bahkan, pemangku JPT yang gagal
memenuhi target kinerja selama 1 tahun akan diberi kesempatan 6 bulan untuk
ditinjau ulang. Artinya, kinerja kembali menjadi kata kunci dalam manajemen SDM
aparatur. Tentu saja hal ini masih harus dipersenjatai dengan peraturan
pelaksananya nanti.
Sepuluh butir tersebut kiranya yang patut
menjadi perhatian karena memberikan nuansa baru dalam manajemen SDM aparatur.
Sebenarnya masih ada sejumlah hal lain seperti pensiun, korps pegawai, dan
lain-lain, namun dalam pandangan saya pribadi tidak terlalu signifikan
dibandingkan kesepuluh hal di atas. Bagaimanapun, UU ASN merupakan UU yang
cukup fleksibel karena sebagian besar ketentuan di dalamnya bersifat
multiinterpretasi. Oleh karena itu, dibutuhkan kontrol publik yang ketat dalam
proses penyusunan peraturan pelaksana dari UU ASN (yang dalam perhitungan
sederhana saya terdapat 3 Perpres, 19 PP, dan 1 Permenpan, dengan jumlah PP
bisa saja lebih tergantung pemisahan materinya). Kontrol ini diperlukan agar
semangat perubahan dari UU ASN tidak kempis di tengah jalan karena interpretasi
konservatif dari peraturan pelaksananya kelak. Hanya dengan demikianlah UU ASN
dapat benar-benar mengantarkan kita pada era baru manajemen SDM aparatur
Indonesia. Wallahua’lam bishawab.
Acton,
20 Desember 2013
3 komentar:
Bermanfaat sekali penjabaran Bung Alfie tepat di momen gegap-gempita UU ASN. Secara garis besar, membuka mata strength dan weaknesses UU ASN yang masih dalam tahap benih ini. Tidak banyak yang aware khususnya tentang pros dan cons 'sistem merit' sebagai prasyarat. Ditunggu selalu ulasan berikutnya.
Mas Alfie,
Bagus sekali: rinci dan kritis sekali. sangat membantu saya dalam memahami ASN secara komprehensih. Terima kasih banyak!
Wass,
Gatot
Pak Gatot yang baik hati,
Terima kasih. Semoga bermanfaat, layaknya saya membaca blog Pak Gatot sang dewa musik yang selalu menghibur dan mencerahkan. hehehe.
Salam.
Posting Komentar