Dalam sejumlah perkuliahan, seminar, atau
bahkan obrolan ringan yang pernah saya alami, tidak jarang pesertanya (baik
saya maupun peserta lain) mengatakan bahwa birokrasi Indonesia adalah warisan
dari birokrasi kolonial Hindia-Belanda. Istilah-istilah seperti pangreh praja (yang secara sederhana
diartikan sebagai pegawai pemerintah yang memimpin/volkshofden) juga lahir pada masa kolonial tersebut, yang katanya
masih mewarnai perilaku SDM aparatur negeri kita. Meskipun sudah cukup banyak
penulis yang menceritakan bagaimana pengaruh pemerintahan kolonial pada
birokrasi Indonesia saat ini, namun gambaran soal birokrasi pemerintah kolonial
tersebut kiranya belum banyak diketahui oleh teman-teman yang tidak mendalami
ilmu administrasi negara atau hukum. Tulisan ini bertujuan mengisi ruang
tersebut.
Peters dan Painter (2010, pp. 4-6)
menyatakan bahwa tradisi administrasi suatu negara akan menentukan karena dia
membawa sejarah desain kelembagaan, budaya, dan pola pemerintahan negara
tersebut. Apabila kita lihat adanya suatu instansi (baik itu kementerian, LPNK,
ataupun LNS) yang memiliki kewenangan sangat besar dan sulit untuk dilikuidasi,
boleh jadi itu karena kita melupakan desain kelembagaan pada masa awal instansi
tersebut didirikan. Demikian pula dengan budaya organisasi dan pola
pemerintahan yang kemudian melahirkan istilah pangreh praja, tentu lahir pada konteks tertentu yang belum tentu
sesuai dengan konteks organisasi pada saat ini. Namun kita seringkali lupa dan
terus melestarikan budaya dan pola tersebut. Lebih lanjut (pp. 234-235), kedua
penulis juga memberikan catatan bahwa warisan budaya dan warisan struktur harus
dipahami oleh pelaku administrasi publik yang ingin melakukan perubahan
(reformasi) administrasi publik, karena perubahan (change) dan kesinambungan (continuity)
seringkali berjalan beriringan. Oleh karena itu, memahami birokrasi kolonial
Hindia-Belanda kiranya dapat pula membantu saya dan pembaca untuk lebih
memahami konteks budaya, kelembagaan, dan pola pemerintahan pada masa itu
sehingga kita juga bersepakat untuk mengubah yang perlu diubah dan
mempertahankan yang masih layak dipertahankan.
Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels
Birokrasi kolonial Hindia-Belanda sendiri
dapat dikatakan baru dimodernisasi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal
Hermann Willem Daendels (berkuasa 1808-1811) yang sejatinya adalah wakil dari
pemerintah Perancis. Daendels melakukan sejumlah perubahan signifikan dari pola
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)
yang terbukti gagal pada saat itu. Selain diwarnai sejumlah korupsi, VOC pada
masa itu juga belum benar-benar memiliki bangunan sistem pemerintahan yang
solid, yang meliputi hubungan akuntabilitas antara pemerintahan kolonial dan
penguasa lokal. Seringkali pejabat VOC justru menerima suap dari raja-raja
lokal agar nilai pajak yang mereka setorkan bisa lebih kecil (cukup familiar
kan dengan kondisi ini? Hehe). Daendels mengubahnya dengan menjadikan para raja
daerah sebagai wakil pemerintah kolonial yang tunduk pada pemerintah kolonial.
Asumsi yang digunakan Daendels adalah dengan membangun pemerintahan yang kuat,
maka penerimaan negara juga akan semakin tinggi dan dapat digunakan untuk
membangun pertahanan yang kokoh (mempertahankan Hindia-Belanda dari serangan
Inggris adalah tujuan yang diberikan Napoleon kepada Daendels). Meskipun
kemudian Hindia-Belanda jatuh ke tangan Inggris pada 1811, Thomas Stamford
Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda dudukan Inggris
(1811-1815) memperkokoh bangunan pemerintahan yang sudah didirikan oleh
Daendels. Sejak dipimpin kedua tokoh inilah administrasi publik Indonesia
mengalami perubahan besar yang sebagiannya dikatakan masih bertahan hingga saat
ini.
Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles
Untuk memahami bangunan pemerintahan
Hindia-Belanda setelah masa tersebut hingga sebelum jatuh ke tangan Jepang,
saya akan meringkasnya dengan membagi deskripsi ini dalam 2 bagian: struktur
pemerintahan pusat dan struktur pemerintahan daerah. Adapun analisis singkat
dari gambaran tersebut ditujukan membantu pemahaman atas konteks birokrasi pada
masa kolonial agar kita dapat menilai kembali relevansinya dengan kondisi
Indonesia di abad ke-21 ini.
Struktur Pemerintahan Pusat
Pemerintahan pusat Hindia-Belanda secara
langsung merupakan perpanjangan tangan dari pemerintahan Kerajaan Belanda. Di
Negeri Belanda, kekuasaan atas daerah jajahan, termasuk Hindia-Belanda,
dipegang oleh Kementerian Daerah Jajahan. Merekalah yang berwenang membentuk
undang-undang, mengawasi anggaran, dan menerima laporan dari pelaksana daerah
jajahan. Selain itu, mereka juga berwenang membentuk pemerintahan, membagi
pemerintahan daerah berdasarkan provinsi, membentuk departemen/kementerian di
negara jajahan, dan pengangkatan pejabat Gubernur Jenderal, Letnan Gubernur
Jenderal (apabila dibutuhkan), Wakil Presiden dan anggota Dewan Hindia-Belanda,
Presiden Mahkamah Agung, Presiden dan anggota Dewan Pemeriksa, dan pimpinan tinggi
angkatan darat dan laut.
Pelaksana kekuasaan tertinggi di daerah
jajahan (dalam hal ini Hindia-Belanda) adalah Gubernur Jenderal. Seorang
Gubernur Jenderal haruslah berkewarganegaraan Belanda berusia minimal 30 tahun
dan tidak memiliki perusahaan di Hindia-Belanda. Gubernur Jenderal memiliki
masa jabatan 5 tahun dan memegang fungsi eksekutif dan legislatif. Sebagai
pemegang kekuasaan legislatif, Gubernur Jenderal memastikan pelaksanaan
ordonansi hukum dari pemerintah Kerajaan Belanda. Dalam kondisi tertentu, dia
juga dapat menunda pelaksanaan ordonansi tersebut dan membuat peraturan
penggantinya dengan melaporkan kepada Menteri Daerah Jajahan. Sebagai pemegang
kekuasaan eksekutif, Gubernur Jenderal menetapkan dan memberhentikan pegawai
negeri, mendorong perdagangan dan industri, memimpin angkatan darat dan laut,
menetapkan UU kedaruratan, menetapkan perjanjian damai dan perang dengan
raja-raja lokal, hingga menahan dan/atau mendeportasi pihak-pihak yang dianggap
dapat membahayakan pemerintahan.
Dewan Hindia-Belanda adalah kekuatan
penyeimbang dari Gubernur Jenderal. Dewan ini terdiri dari seorang Wakil
Presiden dan empat orang anggota yang kesemuanya haruslah warga negara Belanda
berusia minimal 30 tahun dan tidak memiliki hubungan darah dengan Gubernur
Jenderal. Gubernur Jenderal dapat mengusulkan nama anggota Dewan, namun
penetapan anggota Dewan merupakan kewenangan Menteri Daerah Jajahan. Sebelum
1836, Dewan Hindia-Belanda benar-benar merupakan kekuatan yang dapat
menyeimbangkan kekuasaan Gubernur Jenderal, namun sejak era Gubernur Jenderal
van den Bosch, kekuasaan Dewan ini dikurangi hingga akhirnya pada 1854
fungsinya adalah sebagai lembaga konsultatif bagi Gubernur Jenderal. Untuk
setiap undang-undang yang akan diterbitkan, Gubernur Jenderal wajib
berkonsultasi kepada Dewan Hindia-Belanda, namun kekuasaan untuk menetapkan
undang-undang tersebut tetap berada di Gubernur Jenderal. Dewan dapat
melaporkan kepada Kementerian Daerah Jajahan apabila usulannya tidak disetujui
oleh Gubernur Jenderal, untuk kemudian Menteri Daerah Jajahan memutuskan apakah
keputusan Gubernur Jenderal dapat diterima atau tidak.
Terkait dengan fungsi penyusunan anggaran,
sejak tahun 1918 dibentuklah dewan rakyat (Volksraad)
yang keanggotaannya merepresentasikan penduduk Hindia-Belanda. Pada awal
pembentukannya, Volksraad memiliki 38
anggota yang terdiri dari 19 perwakilan daerah dan 19 penunjukan pemerintah.
Komposisi anggota Volksraad pertama
adalah 19 anggota keturunan Eropa, 11 dari etnis Jawa, 2 Melayu, 2 Minahasa, 1
Ambon, 1 Tionghoa, dan 1 Arab.
Dalam menjalankan pemerintahannya, seorang
Gubernur Jenderal dibantu oleh sekretariat jenderal dan departemen-departemen.
Sekretariat jenderal adalah unit yang menjalankan fungsi kesekretariatan dan
pembantu pimpinan bagi Gubernur Jenderal. Pengawasan publikasi, kodifikasi
hukum, penasihatan rancangan undang-undang, hingga pengawasan kerja
departemen-departemen merupakan tugas dari sekretariat jenderal yang dikepalai
oleh seorang Sekretaris Jenderal. Dapat dikatakan bahwa ini adalah sebuah
organisasi kementerian super (superministry)
pada masa itu karena tugas dan kewenangannya yang luas.
Pada awalnya, departementalisasi di
Hindia-Belanda tidak berjalan dengan baik. Sejak berakhirnya pemerintahan
Raffles pada 1815, pemerintah Hindia-Belanda mulai mencoba mencari model yang
tepat untuk departementalisasi, yang pada intinya menempatkan Direktorat
Jenderal Keuangan sebagai pusat departemen. Setahun pertama, Ditjen Keuangan
hanya memiliki dua direktorat, yaitu Direktorat Urusan Kolonial dan Direktorat
Produksi dan Perdagangan. Pembagian ini menunjukkan transisi dari masa
pemerintahan VOC-Daendels-Raffles ke pemerintahan kolonial sepenuhnya. Pada
1832, ditambahkanlah Direktorat Kebudayaan dan pada 1854 kemudian lahir
Direktorat Pekerjaan Umum. Pada saat itulah pemerintah kolonial mengakui bahwa
Ditjen Keuangan menjadi terlalu besar dan menjelma sebagai superministry hingga akhirnya pada 1855 Ditjen Keuangan dibubarkan
untuk kemudian dipecah menjadi lima direktorat: Direktorat Keuangan, Direktorat
Properti dan Kewilayahan, Direktorat Produksi dan Perdagangan, Direktorat
kebudayaan, dan Direktorat Pekerjaan Sipil. Selanjutnya pada 1871 ditambahkan
Direktorat Keadilan, 1905 Direktorat Pertanian, dan 1908 Direktorat Urusan
Pemerintahan.
Struktur Pemerintahan Daerah
Pemerintahan daerah pada masa
Hindia-Belanda, terutama sejak awal abad ke-20 dapat diklasifikasi berdasarkan
hubungannya dengan pemerintah kolonial. Dari klasifikasi itu, terdapat dua
kelompok pemerintahan daerah, yaitu yang tunduk langsung kepada pemerintahan
kolonial (binnenlandsche bestuur) dan
pemerintahan pribumi yang diberikan kewenangan mengelola pemerintahannya sendiri
oleh pemerintah kolonial (inheemsche
bestuur). Ilustrasinya sebagaimana terlihat pada gambar berikut.
Struktur Pemerintahan Daerah Hindia-Belanda
Daerah-daerah yang diberi kekuasaan
menjalankan pemerintahannya sendiri pada awalnya ditetapkan sebagai sekutu oleh
Belanda. Namun status ini direvisi menjadi vasal (kerajaan jajahan) untuk
meningkatkan pengaruh Belanda di daerah-daerah itu. Akan tetapi, dalam
praktiknya banyak kerajaan yang tidak berkenan dengan status vasal tersebut,
sehingga lahirlah sejumlah konflik. Hingga abad 19, dari 350 distrik yang ada
di Hindia-Belanda, 330 diantaranya tunduk pada “Deklarasi Pendek”, yang intinya
mengakui kedaulatan pemerintahan Hindia-Belanda. Sejak itulah hubungan keuangan
pusat-daerah yang lebih terlembaga mulai lahir di Indonesia. Sejak itu pula
kekuasaan Direktorat Keuangan dipulihkan kembali karena banyaknya urusan
perbendaharaan yang dilakukan di Daerah. Ditambah dengan fungsi pajak yang juga
dilakukan Direktorat tersebut, maka pada 1911 lahirlah Office of Financial Affairs
yang mengelola seluruh aspek keuangan pemerintahan pusat dan daerah. Dapat
dikatakan bahwa sejak adanya Short Declaration, pola pemerintahan daerah
Hindia-Belanda telah sempurna menganut integrated
prefectoral system yang dikembangkan Daendels (lihat tulisan saya Mengenal Pemerintahan Daerah). Pola ini telah berhasil melemahkan otonomi dari
karesidenan dan kabupaten/kota (gemeente/staadsgemeente)
di Hindia-Belanda secara vertikal maupun horizontal dengan masuknya perwakilan
dari departemen-departemen yang ada di Batavia dalam urusan pemerintahan di
daerah.
Seorang residen dalam menjalankan fungsi
eksekutifnya dibantu oleh lembaga Sekretariat Karesidenan, dikepalai oleh
Sekretaris Residen. Fungsi yang dijalankannya adalah fungsi kesekretariatan,
meskipun apabila pemerintah pusat belum memiliki instansi vertikal di
karesidenan itu, maka Sekretaris Residen berperan sebagai kepala kantor
perwakilan pemerintah pusat. Residen juga memiliki subordinat yaitu kepala
distrik bernama Asisten Residen (untuk karesidenan di wilayah Jawa) atau Controleur (untuk luar Jawa). Di Jawa
juga ada Controleur untuk wilayah
tertentu yang cukup luas, namun perannya adalah sebagai subordinat dari Asisten
Residen untuk mengkoordinasi wilayah kewedanaan.
Sementara itu, di sejumlah wilayah di Jawa
terdapat pula bupati-bupati yang merupakan keturunan pribumi Indonesia. Para
bupati ini sebenarnya adalah “mantan” raja-raja kecil di Jawa yang memegang
kekuasaan tradisional. Pada masa Daendels, kekuasaan mereka sejatinya telah
direduksi dan semakin kecil lagi pada masa pemerintahan Raffles. Namun
demikian, Gubernur Jenderal van der Capellen melalui Staatsblad Nomor 22 Tahun 1820 tentang Kewajiban, Gelar, dan
Pangkat Bupati mengembalikan sebagian kekuasaan mereka dengan tujuan sebenarnya
untuk memudahkan penguasaan atas daerah-daerah di Jawa. Kebijakan ini
diteruskan oleh Gubernur Jenderal van den Bosch yang merestorasi sepenuhnya
kekuasaan bupati atas para pribumi. Munculnya integrated prefectoral system dengan pola dualisme ini adalah hasil
dari restorasi peran bupati tersebut, yaitu bupati dapat mengatur para pribumi
sementara urusan teknis dan pemerintahan umum yang menyangkut keturunan Eropa
berada di bawah kewenangan asisten residen.
Tata struktur pemerintahan daerah
Hindia-Belanda pertama kali diatur dalam Reglement
op het Beleid der Regering van Nederlandsch-Indie (Staatsblad Nomor 2 Tahun 1855) atau yang lebih dikenal dengan RR.
Ini dapat dikatakan merupakan konstitusi Hindia-Belanda. Dalam RR, diatur
susunan hierarki pemerintahan dari pusat ke daerah yang meliputi gewesten, afdelingen, onderafdelingen,
district, dan onderdistrict. Sistem pemerintahan daerah dengan struktur yang
dikenal hingga saat ini, yaitu struktur tiga tingkat (three-tier government) pemerintah pusat-pemerintah
provinsi-pemerintah kabupaten/kota baru disempurnakan pada tahun 1905 dengan
ditetapkannya ordonansi atas perubahan konstitusi di Belanda pada 1903 dan Decentralisatie Wet (undang-undang desentralisasi) pada tahun
yang sama. Meskipun demikian, keberadaan kewedanaan dan karesidenan tetap
dipertahankan sebagai kontrol pemerintah pusat.
Desentralisasi ini diinisiasi oleh Menteri
Daerah Jajahan W.K. Baron van Dedem van Vosbergen pada tahun 1893 (meskipun
UU-nya sendiri baru terwujud pada masa Menteri Daerah Jajahan Idenburg). Tujuan
desentralisasi ini adalah untuk meningkatkan kewenangan pemerintahan
Hindia-Belanda dan pemerintahan daerah di Hindia-Belanda dalam hal urusan
pemerintahan. Dalam UU tersebutlah diatur adanya suatu Dewan
Provinsi/Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh kepala daerah dan beranggotakan
perwakilan dari keturunan Eropa, pribumi, dan Timur Jauh. Pada umumnya, di
daerah berbentuk kota (staadsgemeente),
anggota Dewan yang berasal dari keturunan Eropa dipilih oleh perwakilannya,
tetapi di daerah lainnya (provinsi/kabupaten) seluruh anggota dewan ditunjuk
oleh pemerintah. Adanya perwakilan dari pribumi juga merupakan hasil negosiasi
van Dedem dengan parlemen Belanda yang pada awalnya menolak usulan itu. Akan
tetapi, van Dedem berargumen bahwa Suriname dan Curacao yang juga jajahan
Belanda saja memiliki perwakilan pribumi dalam parlemennya sejak 1865. Dari
dewan daerah ini kemudian dipilihlah anggota-anggota College van Gedeputeerden (Badan Pemerintah Harian/BPH) ayng berjumlah
2-6 orang dan dipimpin oleh kepala daerah. Berdasarkan pembagian kewenangannya,
dewan daerah menjalankan fungsi legislatif sementara BPH menjalankan fungsi
eksekutif.
Kewenangan yang dimiliki oleh dewan daerah
ini berbeda-beda setiap daerah, tergantung payung hukum yang dimilikinya. Namun
demikian, secara umum mereka bertanggung jawab atas pemeliharaan fasilitas
publik seperti air, saluran pembuangan, administrasi pemerintahan, pemadan
kebakaran, pemakaman, rumah potong hewan, angkutan sungai dan perairan, pasar,
kesehatan publik, dan lain-lain. Adapun tujuan dan kewenangan utama yang
dimiliki oleh dewan daerah adalah pengawasan atas keuangan daerah. Kewenangan
utama lainnya termasuk menetapkan objek pajak daerah baru atau menaikkan nilai
pajak. Hal ini dikarenakan subsidi pemerintah pusat ke pemerintah daerah
semakin berkurang dan tidak mencukupi untuk menjalankan pemerintahan, terutama
dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk.
Siswa OSVIA Probolinggo. Sumber: id.wikipedia.org
Menyadari perubahan besar dari UU
Desentralisasi yang memiliki potensi negatif apabila tidak dikelola dengan baik,
Menteri Daerah Jajahan Idenburg melengkapi aturan tersebut dengan program rekrutmen
dan pelatihan SDM aparatur terutama yang berasal dari pribumi. Dari sanalah
kita mengenal lahirnya OSVIA (Opleiding
School voor Inlandshce Ambtenaren) pada tahun 1900, yang merupakan cikal-bakal STPDN pada masa ini. Akan tetapi, karena pemerintah
Belanda dan Hindia-Belanda masih memiliki kekhawatiran akan semakin kuatnya
semangat keindonesiaan dari para pribumi, desentralisasi dan program reformasi
SDM aparatur ini pada akhirnya tidak pernah berjalan sepenuh hati. Gagalnya
regenerasi dan vitalisasi peran SDM aparatur pribumi ini kemudian menimbulkan
persoalan pada masa awal kemerdekaan Indonesia, yaitu minimnya ketersediaan SDM
aparatur yang berkualitas untuk menjalankan pemerintahan yang baru terbentuk.
Pada masa itu, akhirnya banyak PNS yang dipromosikan secara cepat meskipun
tidak memiliki kualifikasi yang memadai. Hasilnya adalah lemahnya pelaksanaan
program-program pemerintah negara baru Indonesia.
Refleksi
atas Tradisi Birokrasi Kolonial
Pemerintahan Hindia-Belanda patut diakui
telah menanamkan dasar birokrasi modern di Indonesia, meskipun dalam sejumlah
kasus ditemui inkonsistensi akibat dipertahankannya pola birokrasi kerajaan di
banyak daerah. Hal ini tidak terlepas dari kebutuhan pemerintah Hindia-Belanda
pada saat itu. Pada masa Daendels dan Raffles, tuntutan utama pemerintah
superior (Perancis dan Inggris) adalah pemerintahan Hindia-Belanda yang kuat,
modern, mampu meningkatkan volume perdagangan, dan memiliki pertahanan yang
kuat atas serangan asing. Oleh karena itulah, mereka menciptakan birokrasi yang
dapat dikatakan lepas sepenuhnya dari pola pemerintahan tradisional kerajaan
yang dikenal di bumi nusantara. Namun demikian, sejak kembali ke tangan
kerajaan Belanda, tantangan yang dihadapi adalah menciptakan kesejahteraan
penduduk (terutama keturunan Eropa) dan stabilitas keamanan dalam negeri untuk
melemahkan kekuatan ekstrimis/pejuang kemerdekaan. Oleh sebab itu, membangun
hubungan dengan raja-raja lokal menjadi penting agar dukungan kepada pemerintah
Hindia-Belanda tetap mengalir dan gerakan perlawanan pejuang kemerdekaan dapat
dihalau langsung oleh sekutu Belanda ini.
Merujuk pada hal tersebut, tantangan
pemerintahan Indonesia pada saat ini dapat dikatakan lebih kompleks lagi karena
tekanan bukan hanya datang dari luar negeri (berupa globalisasi) atau dari dalam negeri (berupa
lokalisme), tetapi dari kedua arah tersebut (alias glokalisasi). Desain
pemerintahan yang diperlukan tentu tidak dapat berupa dekonsentrasi sepenuhnya
atau sebaliknya desentralisasi sepenuhnya, tetapi harus berupa kombinasi atau
modifikasi dari keduanya. Bertahannya pemerintahan kolonial hingga lebih dari
satu abad (1816-1942 alias sejak kembalinya Hindia-Belanda ke Belanda) salah
satunya disebabkan keberanian pemerintah Belanda membuat Deklarasi Pendek dan
Deklarasi Panjang dengan para raja lokal yang mengatur hak dan kewajiban
masing-masing raja/daerah dan hubungannya dengan pemerintah Hindia-Belanda.
Keberadaan deklarasi-deklarasi ini menunjukkan kesadaran pemerintah Belanda
bahwa masing-masing daerah memiliki keunikannya, sehingga jangkauan pemerintah
pusat dan keleluasaan yang dimiliki pemerintah daerah dapat berbeda antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Apabila saat ini kita justru menginginkan
keseragaman pola untuk semua daerah, mungkin ini justru menunjukkan kemunduran
dari praktik yang dikembangkan pemerintah kolonial.
Departementalisasi yang dilakukan oleh
pemerintah Hindia-Belanda juga menunjukkan kebutuhan mereka pada masa itu. Sebagai
pemerintah yang meneruskan misi perdagangan VOC, menjadi wajar ketika fokus
pemerintahan saat itu adalah pada urusan keuangan. Untung atau rugi adalah
indikator yang paling nyata untuk mengukur keberhasilan suatu entitas bisnis,
oleh karenanya memperkuat unit-unit kerja di bidang keuangan dan perdagangan
adalah suatu kewajaran pada masa itu. Terlebih lagi heterogenitas urusan yang
ditangani dalam bidang keuangan pada masa itu juga belum terlalu tinggi. Patut
dipertimbangkan apakah saat ini kita masih menghadapi situasi yang serupa
sehingga perlu mengembangkan pola departementalisasi yang serupa pula. Tentu
hal ini harus dijawab oleh pemimpin tertinggi negara ini.
Ketergantungan sejarah (path dependency) bukanlah suatu hal yang
absolut. Sebuah negara dapat saja lepas dari ketergantungan itu, tergantung
kuatnya tekanan untuk berubah dan kuatnya tekad untuk melakukan perubahan.
Dalam kondisi Indonesia saat ini, sinyal tekanan untuk perubahan itu masih
terasa lemah, sehingga kita mungkin tidak sadar bahwa apapun yang kita lakukan
akan terjebak pada path dependency
ini. Oleh karenanya, memahami konteks kebijakan pada setiap masa kiranya
menjadi kompetensi dan kebutuhan yang wajib dimiliki oleh para pembuat kebijakan.
Ursula
Hall Laurus Wing, 3 Februari 2014
Referensi:
Geographical Section of the Naval
Intelligence Division, Naval Staff, Admiralty 1920, A manual of Netherlands India, London: His Majesty’s Stationery
Office.
Peters, BG & Painter, M (eds) 2010, Tradition and public administration, New York: Palgrave MacMillan.
Rohdewold, R 1995, Public administration in Indonesia, Melbourne: Montech.
Rohdewold, R 1995, Public administration in Indonesia, Melbourne: Montech.
Schiller, AA 1955, The formation of federal Indonesia 1945-1949, Bandung: van Hoeve.
Schmutzer, EJM 1977, Dutch colonial policy and the search for identity in Indonesia:
1920-1931, Leiden: E.J. Brill.
Suwarno, PJ 1990, Sejarah
birokrasi: pemerintahan Indonesia dahulu dan sekarang, 2nd edn,
Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar