Dua hari terakhir (20 dan 21 Februari 2014),
The Australian National University (ANU) kedatangan Menteri Keuangan RI, Muhammad
Chatib Basri. Kunjungan Dede, panggilan akrabnya, ke ANU sebenarnya merupakan
bagian saja dari tujuan utamanya melakukan perjalanan ke Australia terkait
dengan pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara anggota
G-20 di Sydney pada 22 dan 23 Februari 2014. Akan tetapi, kehadiran Dede di ANU
menjadi nostalgia karena dia menyelesaikan studi master dan doktornya di ANU.
Bahkan namanya masih tercatat sebagai adjunct fellow di laman Crawford School
of Public Policy.
Diskusi Panel "Indonesia's Choice". Photo taken by Herbert Hasiholan
Menjadi semakin spesial karena Dede bukan
hanya tampil sekali, tetapi dua kali di dua hari berturut-turut. Pada hari
pertama, Dede tampil dalam diskusi panel yang sekaligus merupakan peluncuran
berkala East Asia Forum yang dalam edisi terbaru mengambil tema “Indonesia’s
Choices”. Selain Dede, diskusi tersebut menghadirkan tiga profesor dari ANU,
yaitu Hugh White, Virginia Hooker, dan Andrew MacIntyre. Sementara itu, pada
hari kedua, Dede menyampaikan kuliah umumnya sendiri yang diberi judul “Navigating
Indonesia’s Economy During Uncertainties: The End of Easy Money”. Tulisan ini
adalah ringkasan dan sedikit catatan pribadi saya atas topik yang diangkat Dede
dalam kedua forum ilmiah tersebut. Tentunya karena keduanya adalah forum
ilmiah, maka apabila ada perbedaan antara apa yang disampaikan Dede dan catatan
saya, itu harus dipandang dalam kacamata pertukaran gagasan dan bukan
ketidaksinkronan aparatur negara J
Kuliah Umum Chatib Basri 21 Februari 2014
Sebagaimana diketahui bersama, Dede
ditunjuk sebagai Menteri Keuangan pada Mei 2013 menggantikan Agus Martowardojo
yang menjadi Gubernur Bank Indonesia. Sekitar sebulan setelahnya, pemerintah
memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Tentunya hal ini bukan
kebijakan yang populer karena itu terjadi sangat dekat dengan periode inflasi
tahunan tertinggi, idul fitri. Akan tetapi, Dede menjelaskan bahwa kebijakan
tersebut diambil bukan tanpa dasar. Selain untuk meminimasi inflasi
berkepanjangan apabila dilakukan dalam jarak yang jauh dari idul fitri,
kebijakan tersebut diambil dengan tujuan yang juga telah dipikirkan
masak-masak, yaitu menurunkan permintaan dalam negeri atas impor. Hal ini terkait
dengan kondisi defisit current account
balance (CAB) yang tinggi. Dengan menaikkan harga BBM, asumsi dasarnya
tentu untuk menurunkan permintaan atas impor untuk konsumsi dalam negeri.
Dengan demikian, defisit CAB tidak akan terlalu dalam dan perlambatan ekonomi
pun tercapai.
Secara statistik, kebijakan tersebut
kiranya dapat dikatakan cukup efektif karena impor Indonesia pada triwulan III2013 adalah terendah dalam empat tahun terakhir. Tentunya saya mengabaikan
faktor lainnya yang mungkin berperan. Target penurunan defisit CAB juga
terjadi, dari USD 9,9 miliar pada triwulan II menjadi USD 8,4 miliar pada
triwulan III. Bahkan, tren ini berlanjut pada triwulan IV menjadi USD 4,0 miliar
sesuai rilis Bank Indonesia pada pekan lalu.
Namun demikian, Dede mengakui bahwa apa
yang dilakukannya memang ditujukan spesifik untuk mengatasi masalah dalam
jangka pendek. Tentunya kita masih menanti dampak lanjutan dari pengurangan
stimulus (tapering off) oleh Bank
Sentral Amerika Serikat yang telah dan akan dilakukan selama tahun 2014 ini.
Apabila itu mengakibatkan penurunan konsumsi di AS, ada kemungkinan akan
berakibat pula pada menurunnya permintaan dunia pada ekspor Indonesia, sebuah
faktor yang mendorong perbaikan CAB di dua triwulan terakhir 2013.
Untuk itu, menurut Dede, diperlukan
perbaikan yang dapat memberi pengaruh jangka panjang pada perbaikan ekonomi
Indonesia. Dengan asumsi bahwa di masa depan Indonesia akan “secara resmi” menjadi
negara pengimpor minyak “permanen”, Dede menyampaikan bahwa perekonomian riil
kita harus beralih dari ketergantungan pada sektor energi dan mineral, terutama
dalam bentuk mentah, kepada sektor lain yang masih memberi keunggulan
komparatif (comparative advantage)
bagi Indonesia, misalnya tekstil. Dede memberi catatan bahwa peralihan ini
harus dilakukan dalam kerangka peningkatan kapasitas penawaran (supply) dengan perspektif global, sehingga
bukan hanya jumlah tetapi juga kualitas dan kecerdikan melihat ceruk pasar
global yang harus menjadi fokus Indonesia. Hal ini, menurut Dede, hanya dapat
dilakukan apabila kita memfokuskan pada perbaikan human capital, infrastruktur dan kelembagaan.
Untuk meningkatkan human capital, Dede menyatakan bahwa pemerintah akan memberikan
insentif pajak kepada pengusaha yang mau berinvestasi pada pendidikan dan
pelatihan pegawainya serta melakukan penelitian dan pengembangan di Indonesia.
Tentunya ini sejalan dengan teori pertumbuhan ekonomi modern yang mengasumsikan
pengetahuan sebagai modal tidak terlihat dan tidak akan berkurang. Namun,
penekanan Dede adalah pada pendidikan vokasional. Mempertimbangkan pertumbuhan
dan peran usaha kecil dan menengah yang vital dalam perekonomian Indonesia,
pilihan ini menjadi rasional. Akan tetapi, bila Dede mengawali pembahasan human capital ini dalam rangka perbaikan
ekonomi Indonesia jangka panjang,
maka pendidikan ilmiah (pendidikan umum) perlu menjadi fokus karena dari
pendidikan ilmiah-lah umumnya pengetahuan dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan
yang pada akhirnya menjadi dasar penemuan dan pengembangan produk-produk
strategis di berbagai bidang (pertanian, perikanan, pengobatan, dan lain-lain).
Aspek kedua yang disebutkan oleh Dede
adalah infrastruktur. Masalah ini memang sudah cukup sering diungkapkan bahkan
oleh Presiden. Dalam tiga tahun terakhir, pidato kenegaraan Presiden selalu
menyebutkan infrastruktur sebagai salah satu persoalan utama pembangunan Indonesia.
Tentu ini bukan tanpa alasan. Apabila pembaca jalan-jalan ke beberapa daerah
pertambangan, misalnya di Kalimantan Selatan dan Timur, pembaca akan menemukan
banyak jalan dan pelabuhan yang dibangun khusus oleh perusahaan penambangan.
Bagi investor, tentunya kondisi ini membuat mereka harus mengeluarkan uang
lebih apabila ingin berusaha di Indonesia. Belum lagi jika kita bicara logistik
barang ke pelabuhan besar atau menuju pasar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
salah satu faktor yang membuat harga buah-buahan impor lebih murah daripada
buah-buahan lokal adalah mahalnya ongkos transportasi dari daerah penghasil (di
Indonesia!) ke pasar (di Indonesia juga!!). Oleh karenanya, dalam hal ini saya
sepenuhnya sepakat dengan Dede Basri bahwa masalah ini harus ditangani segera
dan sebaik mungkin.
Pengungkit terakhir menurut Dede adalah
kelembagaan (institusional). Persoalan utama dari kelembagaan menurut Dede
adalah korupsi dan kompetensi. Dede mengatakan bahwa untuk memperbaiki
kelembagaan, strategi yang harus dilakukan sebaiknya adalah membuat
perubahan-perubahan kecil yang terakumulasi dibandingkan perubahan besar yang
membutuhkan biaya tinggi. Terkait ini, saya sepakat bahwa perubahan kecil perlu
dilakukan untuk memperoleh kemenangan-kemenangan kecil yang mudah dilihat oleh
masyarakat maupun penyelenggara negara. Akan tetapi, akumulasi perubahan kecil
ini tidaklah ekuivalen dengan perubahan besar dan mendasar dari aspek
kelembagaan. North (1990) dalam Institutions,
Institutional Change and Economic Performance memang menyebutkan bahwa
perubahan inkremental dalam kelembagaan akan dapat mendukung tumbuh-kembangnya
pengetahuan, sebagai aspek yang paling penting, dalam organisasi perekonomian.
Akan tetapi, istilah “inkremental” yang disebutkan oleh North pada dasarnya
mencakup perubahan pola pengambilan keputusan, pemunculan kompetisi dalam
relasi kelembagaan, dan penegakan dalam pemberian penghargaan dan sanksi bagi
pelaku kelembagaan ekonomi. Aspek-aspek ini, dilihat dalam konteks Indonesia,
tentu tidak sebanding dengan contoh-contoh kecil yang diberikan Dede dalam
kuliahnya, yaitu tracking system
dokumen investasi dan perpajakan.
Bagaimanapun, dalam kacamata ekonomi makro,
capaian Dede Basri sebagai Menteri Keuangan patut diapresiasi. Analisisnya
terkait faktor-faktor pengungkit perekonomian Indonesia dalam jangka panjang
juga sangat detail dan terjustifikasi. Tentu tidak semua benar, karena tidak
mungkin dan tidak boleh Menteri Keuangan bekerja sendiri. Pandangan dari para
ekonom dan pakar di bidang lain tentu patut pula diperhatikan. Tidak kalah
penting adalah mereka yang terpinggirkan dalam laju ekonomi makro Indonesia,
karena pemerintah boleh bekerja untuk efisiensi, tetapi negara bekerja untuk
keadilan.
Di
kaki Black Mountain sambil menikmati kari bebek Aceh, 21 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar