Kamis, 26 Desember 2013

Memastikan Perubahan yang Nyata dari UU ASN

Sehari setelah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 19 Desember 2013, saya menuliskan sejumlah catatan atas Undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Tulisan tersebut memang belum sepenuhnya menggambarkan potensi perubahan dan masalah yang ditimbulkan dari UU ASN, namun setidaknya memberikan gambaran dan peringatan sederhana atas kondisi manajemen sumber daya manusia (SDM) aparatur di Indonesia pascadiberlakukannya UU ASN nantinya. Pada tulisan kali ini, saya berusaha memberikan beberapa masukan untuk dapat dipertimbangkan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) yang dibutuhkan dalam rangka implementasi UU ASN.

UU ASN merupakan produk hukum yang cukup kompleks dan membutuhkan penafsiran yang kolektif. Sulit bagi individu, termasuk saya, atau bahkan sekelompok orang untuk menafsirkan UU ini. Oleh karena itulah, dibutuhkan banyak masukan dari berbagai pihak agar penafsiran UU ASN, yang nantinya termanifestasi dalam PP/Perpres-nya, tidak menjadi salah sasaran atau jauh dari harapan kolektif atas perubahan dalam manajemen SDM aparatur.

Sebuah contoh dari kompleksnya UU ini adalah pada judulnya, yaitu aparatur sipil negara. Dalam Pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa aparatur sipil negara adalah “profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah”. Sementara itu, pada butir 2 disebutkan bahwa pegawai ASN adalah "PNS dan PPPK yang diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Pembaca yang sudah akrab dengan penelitian pada umumnya telah memahami bahwa sebuah definisi terdiri dari definiendum (objek yang dijelaskan, yang dalam definisi di atas saya cetak miring dan bergaris bawah) dan definiens (penjelasan dari objek tersebut). Definisi haruslah memenuhi kaidah 1) kecukupan penjelasan; 2) ditulis dalam format baku; 3) memuat karakteristik esensial dari objek yang didefinisikan; 4) tidak berbentuk metafora; 5) tidak bersifat sirkuler (dapat dibalik-balik antara definiendum dan definiens); dan umumnya 6) tidak dalam bentuk kalimat negatif. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa definisi yang diberikan pada konsep “ASN” dan “pegawai ASN” belum memenuhi kecukupan penjelasan dan kurang memberikan karakteristik esensial dari objek yang didefinisikan.

Definisi konsep “ASN” akan semakin membingungkan apabila dihadapkan dengan konsep “aparatur negara” yang dalam KBBI didefinisikan sebagai ‘alat kelengkapan negara, terutama yang meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari’. Hanya dengan penyelipan kata “sipil” di tengah-tengah frasa “aparatur negara”, objek alat kelengkapan negara berubah menjadi profesi dan penjelasan yang meliputi aspek yang luas (kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian) tiba-tiba berubah menjadi sangat sempit berupa hanya kepegawaian (PNS dan PPPK). Penjelasan atas hal ini tentu sangat rumit dan hanya dapat ditelusuri dari risalah rapat-rapat pembahasan UU ASN. Saya sendiri atau mungkin para ahli bahasa atau administrasi publik pun belum tentu sepakat dengan pendefinisian tersebut.

Akan tetapi, menguliti satu-persatu kekurangan dari UU ASN tentu tiada guna, karena hanya akan berujung pada salah satu dari dua hal: menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi atau selamanya menggerutu atas kekurangan tersebut. Oleh karena itu, saya ingin memfokuskan pada langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam rangka mengejawantahkan harapan perubahan yang diusung oleh UU ASN.

Sebuah kata kunci yang saya berikan kepada pembaca sebelum membaca detail gagasan saya adalah “kinerja”. Inilah yang harus menjadi benang merah dari keseluruhan fungsi dalam manajemen SDM aparatur pascadiberlakukannya UU ASN kelak. Meskipun kata ini tidak muncul secara eksplisit dalam bagian awal UU ASN, namun semangat “kinerja” dapat ditangkap dari asas kebijakan dan manajemen ASN (Pasal 2), prinsip dasar ASN (Pasal 3), nilai dasar ASN (Pasal 4), dan perilaku pegawai ASN (Pasal 5 ayat 2). Ini merupakan hal yang positif karena hampir semua best practices manajemen SDM aparatur di negara lain juga dibangun dalam kerangka manajemen kinerja. Oleh karena itu, manajemen ASN juga selayaknya dibangun atas dasar manajemen kinerja. Penjabaran masukan saya adalah sebagai berikut dan ringkasan atas masukan tersebut dapat dilihat pada akhir tulisan.

Hubungan antara Jabatan Administrasi dan Jabatan Fungsional

Dengan manajemen kinerja, saya dapat melupakan sejenak potensi kerancuan yang timbul akibat adanya tingkatan dalam jabatan administrasi (Pasal 14) dan hubungannya kelak dengan jabatan fungsional (Pasal 18). Bagi pembaca yang telah berkenalan dengan pengelolaan kepegawaian tentu hal ini sudah menjadi kebingungan bersama. Kebingungan yang saya maksudkan adalah memisahkan antara alur tugas dan alur akuntabilitas antara pejabat struktural eselon III ke bawah dengan pejabat fungsional tertentu (JFT). Oleh karena itu, kedua PP yang diamanatkan pada Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (4) harus dapat memberikan gambaran peta hubungan yang jelas antara jabatan administrasi dan jabatan fungsional dalam sebuah organisasi. Meskipun nantinya kedua jenis jabatan tersebut diatur dalam PP terpisah, kerancuan hubungan antara keduanya harus dapat diminimasi. Jangan sampai kedua PP seakan berdiri sendiri dan kembali membiarkan instansi menerjemahkannya dalam organigram masing-masing. Untuk itu, pembangunan jiwa fungsional menjadi wajib dilakukan oleh setiap instansi. Dengan jiwa fungsional, maka mutasi jabatan fungsional ke administrasi dan sebaliknya bukan menjadi persoalan pelik. Hubungan antara pemangku kedua jenis jabatan juga akan berlangsung lebih profesional karena pemangku jabatan administrasi (terutama di tingkat administrator dan pengawas) juga memahami pola kerja para pemangku jabatan fungsional.

Meskipun mungkin bukan contoh yang dapat digunakan di semua instansi, namun saya merefleksikan pada pengalaman saya bekerja di Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI beberapa tahun silam. Seorang dosen bergelar magister (S2) dengan golongan dan kepangkatan yang lebih rendah dapat saja menjadi Ketua Departemen atau seorang doktor (S3) menjadi Dekan, yang artinya mereka juga membawahkan para guru besar (Profesor) yang sudah mencapai golongan IV/d atau IV/e. Pada periode tertentu, jabatan Dekan atau Ketua Departemen tadi dapat saja diduduki oleh dosen yang lebih senior golongan/kepangkatannya, dan begitu seterusnya. Tidak ada masalah dalam hal ini, karena mereka semua sama-sama memahami dan bahkan mengalami bagaimana pola kerja jabatan fungsional yang mereka pimpin.

Dalam rangka membangun kesepahaman ini, maka sebaiknya dalam PP soal kedua jabatan ini disusun aturan agar sebagian besar PNS (termasuk yang saat ini menduduki jabatan fungsional umum meskipun tidak bisa seluruhnya) diarahkan untuk memiliki kompetensi yang ekuivalen dengan sebuah jabatan fungsional, baik fungsional keahlian ataupun keterampilan. Ekuivalensi ini disesuaikan dengan bidang tugas utama (core business) dari organisasi atau unit organisasi masing-masing. Misalnya, seorang camat harus diarahkan agar memiliki kompetensi yang ekuivalen dengan jabatan Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah (P2UPD). Dengan demikian, suatu saat seseorang yang menduduki jabatan camat dapat beralih/dialihkan menjadi P2UPD dan sebaliknya. Untuk itu, aturan mengenai jabatan fungsional (terutama keahlian) perlu dibuat lebih fleksibel untuk memungkinkan peralihan jenis jabatan ini. Selain itu, dibutuhkan uji kompetensi bagi seluruh PNS, terutama yang saat ini menduduki jabatan eselon III dan IV (atau jabatan administrator dan pengawas) agar dapat diarahkan kepada jabatan fungsional yang ekuivalen. Pada saat yang bersamaan, dalam sebuah kelompok jabatan fungsional di organisasi atau unit organisasi, diwajibkan adanya pengembangan keahlian melalui pola kerja gugus tugas (task force), pertukaran pengetahuan (sharing knowledge), dan rotasi subkelompok. Hal ini sebetulnya dapat dipelajari dari pola kerja para peneliti di LIPI atau perekayasa di BPPT.

Manajemen Jabatan Pimpinan Tinggi

Sebagaimana saya tuliskan dalam artikel sebelumnya, filosofi awal pembentukan jabatan pimpinan tinggi adalah mengadaptasi (jika enggan disebut mengadopsi) pola senior executive services (SES) yang banyak diterapkan oleh negara-negara maju terutama sejak berkembangnya paradigma New Public Management (NPM). Di Amerika Serikat, pembentukan sistem SES adalah untuk menjembatani pola dualisme jabatan karir dan jabatan politik yang telah mereka adopsi sejak akhir abad ke-19. Di Australia, pembentukan sistem SES dilakukan sebagai bagian dari paket reformasi sektor publik yang dilakukan Perdana Menteri Bob Hawke pada tahun 1984. Pola ini juga kemudian diikuti banyak negara lainnya termasuk Korea Selatan karena dianggap mampu menjadi katalisator kinerja birokrasi. Kesamaan praktik SES di kedua negara adalah bahwa setiap pemangku SES berperan sebagai penasihat utama (senior advisor) kepada pejabat politik (menteri dan kepala pemerintahan), penghubung antara sistem politik murni dan sistem birokrasi murni, pemersatu (aktor utama) dalam koordinasi antarinstansi, dan panutan (role model) bagi birokrat dalam hal kode etik birokrat. Kesamaan lain adalah dibutuhkannya keahlian tertentu untuk dan selama menjadi SES (melalui diklat), diberikannya tunjangan khusus SES, dan diterapkannya sanksi yang lebih berat bagi SES yang melakukan pelanggaran dan/atau berkinerja buruk. Dalam UU ASN, sebagian besar karakteristik ini tidak muncul secara eksplisit, sehingga saya katakan bahwa JPT sebenarnya hanya perubahan nama saja dari eselon I dan II yang berlaku saat ini.

Oleh karena itu, untuk menjadikan JPT sebagai sebuah katalisator kinerja birokrasi, maka RPP yang diamanatkan Pasal 19 ayat 4 perlu mengatur tidak hanya syarat untuk menduduki JPT, namun juga syarat selama menduduki JPT. Sebagian syarat dalam kelompok kedua ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 116-118, namun masih belum sepenuhnya menggambarkan sebuah sistem SES yang utuh. RPP mengenai JPT perlu mengatur adanya pendidikan dan pelatihan (diklat) yang wajib diikuti oleh setiap pemangku JPT (dapat dibuat bergiliran sesuai capaian kinerja). Hal ini bisa diintegrasikan dengan diklat yang disebutkan dalam Pasal 70 ayat 5 dan 6, yaitu diklat yang berupa kesempatan magang di instansi lain atau di perusahaan swasta selama paling lama 1 (satu) tahun. Diklat lainnya juga dapat dibuat dengan pola yang inovatif (misalnya pendekatan 70/20/10 yang digunakan SES Australia) dan berbasis target kinerja masing-masing pemangku JPT.

Selain diklat, setiap pemangku JPT juga perlu diberikan tanggung jawab khusus berupa pembangunan manajemen pengetahuan (knowledge management) lintas unit organisasi. Sebagai contoh, setiap JPT pratama di Kementerian X diwajibkan memaparkan progres kerjanya kepada unit-unit kerja lain di kementerian tersebut melalui sebuah forum semi-formal secara bergiliran setiap bulan. Sementara itu, setiap JPT madya diwajibkan melakukan hal yang sama dalam forum JPT madya setiap bulan secara bergiliran. Dengan demikian, fungsi JPT sebagai aktor utama dalam koordinasi antarinstansi dapat berjalan secara sistemis. Ini juga akan mendorong organisasi pemerintah menjadi organisasi pembelajar (learning organisation).

Bagi banyak pemangku JPT (atau eselon I dan II) saat ini, mengikuti diklat atau melakukan diskusi semacam itu dianggap sebagai kegiatan sia-sia. Pola pikir ini perlu diubah dengan merancang diklat dan pembangunan knowledge management sebagai bagian dari penilaian kelayakan setiap JPT. Tentu saja harus diiringi dengan catatan agar diklat tersebut tidak menjadi “proyek mainan” instansi yang bertanggung  jawab dalam bidang diklat ini. Dengan sistem yang terbangun sedemikian rupa, maka setiap JPT akan memiliki kesadaran akan pentingnya koordinasi dan organisasi pembelajar, selain juga kinerja yang tentunya akan mengiringi kedua hal tersebut.

Tidak kalah penting adalah RPP mengenai JPT ini nanti perlu pula mengatur sanksi kepada pemangku JPT. Pasal 118 ayat 4 sudah memfasilitasi sebagian dari hal ini dengan adanya ketentuan bahwa pegawai JPT yang gagal memenuhi kompetensi jabatannya dapat dipindahkan pada jabatan yang lebih rendah. Istilah “jabatan yang lebih rendah” dapat diartikan sebagai “JPT madya turun menjadi JPT pratama”, sementara “JPT pratama turun menjadi jabatan fungsional”. Tentu ini tidak dimaksudkan untuk menekankan pada pendekatan sanksi, namun menjadi penting untuk memastikan elemen diklat dan pembangunan organisasi pembelajar sebagai pendamping dari kinerja dalam uji kompetensi JPT, dan sanksi dapat mendorong itu.

Akan tetapi, tanpa adanya penghargaan, sistem ini akan menjadi tidak adil. Oleh karenanya, RPP nanti juga sebaiknya memberikan sistem penghargaan (finansial maupun non-finansial) kepada JPT yang berhasil memenuhi persyaratan yang dibutuhkan dan mencapai kinerja yang baik. Hanya dengan pembangunan sistem JPT yang komprehensif-lah maka filosofi dasar pembentukan JPT dapat terlaksana dengan baik.

Pengembangan, Pola Karier, Promosi, Mutasi, dan Penilaian Kinerja

Keempat hal pertama yang menjadi subjudul di atas sebenarnya harus jalin berkelindan dengan perencanaan dan pengadaan PNS. Seluruh aktivitas ini disatukan oleh manajemen kinerja yang menjadi simpulnya. Artinya, keputusan untuk merencanakan, mengadakan, mengembangkan membentuk pola karier, mempromosi/mutasi PNS di setiap organisasi harus berlandaskan kebutuhan manajemen kinerja organisasi dan individu. Hal ini untuk menghindari adanya rekrutmen pegawai atas dasar kepentingan politik atau pengembangan pegawai dan promosi yang berdasarkan kekerabatan. RPP yang diamanatkan Pasal 57, Pasal 67, dan Pasal 74 harus disusun dengan mempertautkannya pada RPP yang diamanatkan pada Pasal 78.

Manajemen kinerja sendiri tidak semata-mata penilaian kinerja. Manajemen kinerja meliputi keseluruhan siklus kinerja yang setidaknya terdiri dari perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, dan evaluasi kinerja. Keempat fungsi manajemen kinerja ini harus pula didesain selaras antara level organisasi, unit organisasi, dan individu.

Ilustrasi sederhana dari prinsip tersebut adalah sebagai berikut. Setiap organisasi seharusnya tidak hanya diwajibkan menyusun rencana pengembangan kompetensi tahunan (Pasal 70 ayat 4), tetapi itu harus menjadi bagian dari rencana jangka menengah pengembangan SDM aparatur, misalnya selama 5 tahun atau sama dengan rentang waktu perencanaan kebutuhan SDM. Kedua perencanaan ini dibangun dengan berpedoman pada tujuan dan sasaran organisasi selama rentang waktu tersebut, yang didapat dari dokumen renstra kementerian/lembaga atau RPJMD untuk pemerintah daerah. Artinya, PNS yang akan direkrut selama periode tersebut adalah yang diharapkan dapat mendukung pencapaian kinerja organisasi. Demikian pula dengan pengembangan kompetensi PNS, dilakukan untuk mendukung pencapaian dan perbaikan berkelanjutan dari kinerja organisasi. Bagaimana jika diperlukan perbaikan yang bersifat mendesak? Dalam hal ini, organisasi dapat melakukan mutasi pegawai, baik lintas unit organisasi maupun lintas organisasi lainnya. Apabila tidak dimungkinkan, maka dapat dilakukan rekrutmen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) pada posisi yang dibutuhkan untuk mendukung pencapaian kinerja sampai dengan PNS yang ada siap untuk mengisi peran tersebut melalui promosi. Semua ini tetap berdasarkan pada manajemen kinerja.

Sedikit catatan saya khusus untuk penilaian kinerja adalah agar RPP yang disusun kelak bukan hanya memberikan baseline, tetapi juga mendorong inovasi dalam penilaian kinerja pegawai. Apabila ada instansi yang berinisiatif menerapkan sistem penilaian 360° (penilaian diri sendiri, atasan, rekan setingkat, dan bawahan) misalnya, maka RPP tersebut harus dapat memberikan apresiasi. Jika perlu, inovasi semacam itu dapat difasilitasi dalam RPP tersebut.

Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja

Keberadaan aturan mengenai PPPK dalam UU ASN merupakan angin segar karena membuka pintu kepastian hukum atas praktik pegawai kontrak atau honorer yang selama ini banyak diterapkan di instansi pemerintah. Dengan adanya pengaturan terkait PPPK, maka pegawai dimaksud tidak diatur dalam rezim UU Ketenagakerjaan tetapi dalam UU ASN dan peraturan pelaksananya kelak. Oleh karena ini menyangkut hubungan industrial yang tidak sederhana, maka PP yang diamanatkan dalam Pasal 107 haruslah merupakan PP yang komprehensif agar tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari. Saya belum memiliki keahlian dalam bidang hubungan industrial, sehingga tidak bisa memberikan banyak masukan di bidang tersebut. Akan tetapi, seperti halnya manajemen PNS, manajemen PPPK juga harus dibangun atas dasar manajemen kinerja, baik pada tingkat organisasi, unit organisasi, maupun individu.

Adapun catatan lain adalah RPP tentang PPPK ini harus secara tegas memuat masa kontrak maksimum seorang PPPK, karena dalam Pasal 98 hanya memuat durasi minimum kontrak, yaitu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Terkait ini, sebaiknya ditetapkan durasi maksimum kontrak adalah 2 (tahun) untuk kemudian dapat diperpanjang lagi. Hal ini untuk meminimasi potensi politisasi rekrutmen PPPK oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, terutama pejabat pembina kepegawaian (PPK) dan pejabat yang berwenang. Meskipun telah ada KASN sebagai pengawas sistem merit nasional, namun dengan banyaknya jumlah PNS (saat ini sekitar 4,7 juta) dan belum dapat diprediksinya kebutuhan atas PPPK di kemudian hari, tentu akan lebih baik apabila celah penyelewengan dapat ditutup sejak dini.

Selain itu, diperlukan pula pengaturan perihal jabatan apa saja yang dapat diisi oleh PPPK. Sebagai sebuah UU yang memiliki semangat perubahan, sebenarnya UU ASN dapat saja memberikan peluang agar PPPK dapat mengisi seluruh jenis jabatan administrasi, termasuk administrator (alias eselon III saat ini). Tentunya dengan catatan bahwa posisi tersebut memang tidak dapat diisi secara optimal oleh PNS yang ada. Yang tidak kalah penting adalah pengaturan perihal siapa yang dapat menjadi PPPK. Saya pikir peluang rekrutmen PNS yang sudah pensiun untuk bekerja kembali sebagai PPPK patut diminimasi karena akan menghambat regenerasi di tubuh instansi maupun PNS secara keseluruhan.

Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi

Dalam tulisan saya terdahulu, bab ini menjadi yang paling saya kagumi sekaligus sesalkan. Saya kagumi karena aturan dalam Pasal 108-110 disusun sedemikian rupa sehingga menunjukkan bahwa JPT memang didesain sebagai mesin utama penggerak perubahan birokrasi secara nasional melalui proses pengisiannya yang dilakukan terbuka dan nasional (bisa lintasinstansi). Akan tetapi, saya sesali juga karena Pasal 111 kemudian memberikan pengecualian proses pengisian yang terbuka itu bagi “instansi yang telah menerapkan sistem merit”. Frasa “telah menerapkan sistem merit” ini akan menimbulkan dualisme dalam sistem pengisian JPT, karena instansi yang tidak menyukai pengisian JPT secara nasional akan berusaha “terlihat merit” untuk memperoleh pengecualian yang dimungkinkan oleh Pasal 111.

Persoalan menjadi sedikit pelik karena tidak ada atribusi dari UU ASN untuk menyusun PP khusus mengenai pengisian JPT. Oleh karena itu, saya menyarankan agar terkait hal ini dimasukkan dalam PP mengenai JPT yang diamanatkan dalam Pasal 19 ayat 4 dan/atau pengaturan lebih lanjut mengenai KASN melalui Perpres sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 42. Dalam PP yang menjadi amanat Pasal 19 ayat 4, kiranya perlu diatur agar meskipun instansi tidak melakukan seleksi terbuka secara nasional, namun seluruh proses yang dilakukan di internal organisasinya tetap harus diumumkan kepada publik dan memperoleh masukan publik. Sementara itu, dalam Perpres yang menjadi amanat Pasal 42, saya berpendapat bahwa diperlukan adanya prasyarat yang ketat bagi sebuah organisasi untuk dapat dikatakan “telah menerapkan sistem merit”. Prasyarat ini tidak boleh sekadar kelengkapan dokumen semata, karena ini akan mereduksi makna sistem merit. Hal yang dapat dijadikan prasyarat misalnya instansi diharuskan untuk melakukan survey internal kepada para pegawai dan eksternal kepada pengguna layanan. Selain itu, KASN juga melakukan verifikasi lapangan dan pengumpulan data primer ke instansi yang bersangkutan. Bahkan, dapat pula dilakukan audit oleh pihak ketiga yang disetujui oleh KASN.

Selain terkait keterbukaan dan cakupan nasional dalam pengisian JPT, salah satu catatan yang menjadi kekhawatiran sebagian PNS adalah aturan dalam Pasal 109 ayat 1 yang membolehkan JPT diisi oleh non-PNS dengan persetujuan Presiden. Secara pribadi saya menyetujui bunyi pasal tersebut, namun kekhawatiran adanya politisasi dengan masuknya calon pemangku JPT yang memiliki afiliasi politik harus dapat diantisipasi dengan membuat syarat yang tegas, misalnya calon non-PNS tidak boleh menjadi kader parpol apapun selama 5 tahun sebelum melamar posisi JPT. Contoh lainnya adalah agar keluarga inti hingga tingkat ke-2 dari pejabat pembina kepegawaian dan pejabat yang berwenang dilarang melamar posisi JPT non-PNS. Di sisi hilir, manajemen kinerja tentu juga harus diterapkan kepada setiap JPT, sehingga apabila pemangku JPT non-PNS ini tidak berkinerja baik, maka mereka dapat dikenakan sanksi yang tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itulah diperlukan kerangka manajemen kinerja yang andal, sehingga potensi politisasi seperti ini dapat dimitigasi.

Penutup

Tulisan ini tentu bukan satu-satunya bahan masukan untuk UU ASN, karena harapan atas UU ASN sejatinya adalah harapan seluruh rakyat Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, saya juga berharap agar masukan-masukan seperti yang saya berikan di atas dapat diperhatikan oleh penyusun kebijakan pelaksana dari UU ASN. Seperti dikatakan pada awal tulisan, kinerja menjadi simpul dari seluruh subtopik dalam UU ASN. Bahkan, bidang lain dari aparatur negara (seperti kelembagaan, tatalaksana, dan pengawasan) dapat pula diikat oleh simpul manajemen kinerja, sehingga pada akhirnya akan terbangun sistem manajemen pemerintahan yang kohesif, koheren, dan tentunya diharapkan mampu mengantarkan hasil yang efektif dan efisien. Dengan sekitar 30 peraturan pelaksana yang harus disusun sebagai amanat UU ASN, maka menetapkan fokus pada manajemen kinerja menjadi sebuah alternatif yang paling efektif untuk menjamin pelaksanaan UU ini nantinya dapat benar-benar mewujudkan harapan masyarakat atas birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani.


Canberra, Boxing Day 2013


Matriks Ringkasan Masukan atas PP/Perpres UU ASN

Nomor Pasal
Perihal
Masukan
Keterkaitan dengan Pasal Lain
17
Jabatan administrasi dan jabatan fungsional
·    Perlu memuat hubungan antara jabatan fungsional dan jabatan administrasi
·    Perlu mendorong uji kompetensi jabatan fungsional bagi seluruh pemangku jabatan eselon III dan IV saat ini
·    Perlu mendorong pola kerja gugus tugas (cluster/task force), pertukarang pengetahuan (knowledge sharing), dan rotasi subkelompok dalam kelompok jabatan fungsional

19 ayat 4
Jabatan pimpinan tinggi
·    Perlu mengatur peran pemangku JPT sebagai senior advisor, penghubung antara birokrasi dan politik, pemersatu dalam koordinasi lintas instansi, dan role model dalam penerapan kode etik dan kode perilaku.
·    Perlu mengatur bukan hanya syarat untuk menjadi JPT, tetapi juga syarat selama menjadi JPT, termasuk diklat khusus dan pengembangan manajemen pengetahuan.
·    Perlu dibangun sistem sanksi bagi JPT yang gagal memenuhi syarat jabatannya.
·    Perlu aturan untuk meminimasi peluang seleksi internal dalam pengisian JPT, yaitu dengan mengharuskan “instansi yang telah menerapkan sistem merit” mengumumkan kepada publik setiap proses seleksi JPT-nya dan membuka kesempatan publik memberi masukan.
·    Perlu ada pembatasan non-PNS yang akan menduduki JPT, misalnya berupa:
o Minimal 5 tahun terakhir tidak menjadi kader parpol
o Bukan merupakan keluarga inti dan tingkatan kedua dari pejabat pembina kepegawaian atau pejabat yang berwenang
o Manajemen kinerja yang jelas dan tegas untuk JPT non-PNS yang tidak berkinerja baik.
Pasal 70 ayat 5 dan 6 (terkait diklat khusus)

Pasal 118 ayat 4 (terkait sanksi)

Pasal 111 (terkait pengisian JPT)

Pasal 109 ayat 1 (terkait JPT non-PNS)
Pasal 42
KASN à Pengisian JPT
·    Perlu ada prasyarat yang ketat bagi instansi untuk dikatakan “telah menerapkan sistem merit”
·    Contoh prasyarat:
o Melakukan survey internal dan eksternal
o Verifikasi lapangan dari KASN
o Audit oleh pihak ketiga yang ditunjuk atau disetujui KASN
Pasal 111 (pengecualian dalam pengisian JPT)
Pasal 57
Pasal 67
Pasal 74


Pasal 78
Penyusunan kebutuhan CPNS
Pengadaan CPNS
Pengembangan karier, pengembangan kompetensi, pola karier, promosi, mutasi
Penilaian kinerja
·    Keempat PP perlu memiliki benang merah berupa manajemen kinerja
·    Perencanaan pengembangan pegawai sebaiknya selaras dengan perencanaan kebutuhan pegawai yaitu 5 tahun. Keduanya merupakan turunan dari renstra K/L atau RPJMD Pemda
·    PP terkait penilaian kinerja perlu mendorong inovasi dalam manajemen kinerja, sehingga tidak semata-mata menjadi baseline
Seluruh pasal terkait PPPK dan JPT
Pasal 107
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)
·    Perlu memerhatikan komprehensivitas hubungan industrial (dapat mencontoh pola yang dikembangkan dalam UU Ketenagakerjaan tapi tidak sepenuhnya meniru)
·    Keberadaan PPPK tetap dalam koridor manajemen kinerja, sehingga perencanaan kebutuhan PPPK juga terintegrasi dengan perencanaan kebutuhan PNS dan perencanaan pengembangan pegawai, yaitu berlandaskan renstra K/L dan RPJMD pemda.
·    Perlu ada penegasan durasi maksimum setiap termin kontrak, misalnya 2 (dua) tahun
·    Perlu memuat jenis jabatan yang dapat diduduki PPPK (sebaiknya bukan fungsional keahlian)
·    Perlu dipertimbangkan agar PPPK dapat menduduki jabatan administrator dengan syarat tertentu
·    Perlu diatur agar PNS yang telah pensiun tidak dapat menjadi PPPK

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Review yang yang rinci dan valid. Points yang disampaikan sangat membantu perumusan PP, Perpres dan Permen yang perlu disusun dengan sangat segera. Saya sudah mengigantkan ini pada para ahli yang akan dilibatkan dalam penyusunannya.

Bagaimana masukan Pak Alfie berkaitan dengan harmonisasi dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan serta kebijakan operasional terkait lainnya? Bagaimana mendesakkan UUASN ini sebagai lex soecialis yang superior terhadap peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan tersebut?

Dengan berkah adanya kelimpahan waktu, mungkin Pak Alfie dapat memberikan 'guidance' yang tentu lebih jernih.

Terima kasih banyak atas refleksinya.

Unknown mengatakan...

Terima kasih Pak Agung. Saya juga sebenarnya ingin menganalisis dari sisi harmonisasi, tapi saya belum punya data soal perkembangan pembahasan revisi UU 32/2004 sebagai UU yang menurut saya paling dekat hubungannya dengan UU ini. Kalau dengan UU Pelayanan Publik atau UU Keuangan Negara, saya pikir tidak akan tumpang-tindih selama PP/Perpres dari UU ASN ini disusun dengan teliti. Kalau Pak Agung bisa membantu dengan RUU revisi UU 32/2004, mungkin saya bisa coba berikan pandangan saya. Hehe. Sekali lagi terima kasih. Semoga sukses selalu.

Eko Sakapurnama mengatakan...

Nice paper bro, komprehensif dan mendalam. Gue sepakat, "soul" dari UU ASN ini adalah, perubahan kinerja PNS itu sendiri, supaya lebih produktif dan kompetitif ada jalur PPPK yang bisa juga menjabat JPT, dengan kontrol ketat KASN dan sistem manajemen SDM yang komprehensif dari hulu (perencanaan) sampai dengan hilir (pemeliharaan).

Yang gue khawatirkan justru jabatan JPT yang dapat lintas instansi pusat dan daerah, akan menjadi tantangan tersendiri terutama pemda2 yang belum reformis. Sebagai catatan, dalam penelitian dg Bappenas tahun lalu, waktu itu wwcr langsung dengan kepala BKD Pemprov Sulut, dan Sekre BKDD Pemkab Minut, mereka sangat resisten dengan bunyi pasal JPT ini. Argumentasi yang disampaikan adalah unsur kedaerahan yang mungkin akan menghambat proses kerja, ketika seorang pimpinan bukan dari suku/etnis setempat. Karena ini menyangkut budaya kerja, budaya organisasi yang ngga bisa dipaksa untuk berubah secara instan, perlu proses agar membiasakan diri terhadap situasi yang akan berbeda tersebut.

Mindset dan mental set ini yang mungkin bisa menjadi penghambat implementasi UU ASN. Apalagi sistem pendidikan di Indonesia juga belum merata secara kualitas dan kuantitas. Paradox perubahan bisa terjadi. Organisasi hanya ingin berubah pada tataran permukaan saja (misal pemenuhan dokumen anjab, abk), tapi dalam pola prilaku nya, masih menginginkan status quo. Nah, mau ngga mau comfort zone harus diobrak abrik. Mekanisme punishsment (jangan reward terus) harus lebih mudah dan gampang diterapkan, ngga njlimet seperti sekarang.

Sok dilanjutkan diskusinya.... :))

Unknown mengatakan...

Thanks bos Ekos. Faktor budaya emang harus jadi perhatian dalam melakukan reformasi, seperti kata Jerry Killian (2008). Tapi bukan berarti reformasi harus nurut sama budaya, karena mungkin budaya juga jadi bagian yang harus diubah. Artinya, teman-teman yang menyusun RPP-RPerpres untuk UU ASN harus memahami budaya untuk mengubah budaya yang perlu diubah, atau bahasa tegasnya "Memahami untuk menaklukkan". Semoga Mas Ekos dan tim bisa menghasilkan PP/Perpres yang sesuai harapan perubahan. Aamiin.