Beberapa waktu lalu saya mengobrol online
dengan beberapa rekan di Jakarta soal sistem tunjangan kinerja. Saya sampaikan
bahwa dalam tulisan di blog saya sebelumnya, saya sudah menyatakan secara umum gagasan
saya atas sistem ini. Namun demikian, untuk tujuan berbagi, saya coba tuliskan
gagasan tersebut (dan hasil obrolan kemarin malam dengan rekan-rekan lainnya)
dalam tulisan ini. Isi tulisan ini murni gagasan semata dan bukan sebuah arahan
kebijakan dari pemerintah.
Meskipun mungkin beberapa organisasi publik
mengklaim telah lebih dulu menerapkan sistem tunjangan berbasis kinerja, tapi
harus diakui bahwa sistem ini dipopulerkan oleh Kementerian Keuangan pada masa
kepemimpinan Sri Mulyani. Istilah “remunerasi” ditelurkan sebagai asosiasi dari
sistem ini. Perlu saya ingatkan kembali bahwa penggunaan istilah remunerasi
tidaklah tepat, karena dalam ilmu manajemen sumber daya manusia, remunerasi
adalah keseluruhan imbal balik kesejahteraan yang diterima pegawai, termasuk
gaji, berbagai jenis tunjangan, dan bonus-bonus lainnya. Sementara itu,
tunjangan kinerja hanyalah satu bagian dari keseluruhan imbal balik tersebut.
Pada umumnya, diskusi seputar remunerasi
PNS berkutat pada hal-hal yang negatif, seperti “Pinter Goblok Pendapatan Sama”
yang merupakan ungkapan satir dari Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil
(keduanya sama-sama disingkat PGPS). Ungkapan ini mengilustrasikan bahwa
sepandai dan sekeras apapun PNS bekerja, penghasilan yang diterimanya akan sama
dengan PNS lain yang kurang pandai dan kurang keras bekerja. Dengan kata lain,
tidak ada untungnya menjadi pandai dan kerja keras jika menjadi PNS, karena
pada akhirnya, senioritaslah yang menentukan tingkat kesejahteraan.
Salah satu tujuan sistem tunjangan kinerja
adalah mengoreksi kesalahan tersebut. Asumsi yang digunakan adalah “PNS yang
berkinerja baik akan memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan PNS
yang tidak berkinerja baik”, sehingga diharapkan seluruh PNS akan berupaya
meningkatkan kinerjanya.
Ilustrasi Performance-Related Pay
Sumber: info.prosalesstaff.com
Sistem ini sebenarnya merupakan salah satu
produk dari gelombang manajerialisasi administrasi publik pada tahun 1980-an.
Seperti pernah saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya, pada awal tahun 1980-an
di negara-negara utama administrasi publik seperti AS dan Inggris berkembang
pendekatan manajerialisme seiring dengan kelahiran neoliberalisme. Asumsi yang
digunakan oleh penganut pendekatan ini adalah tidak relevannya dikotomi sektor
publik dan privat dan apabila organisasi sektor publik ingin memiliki
keunggulan dari organisasi privat maka mereka harus menjalankan organisasinya
ala manajer di perusahaan. Dari sinilah kemudian diperkenalkan istilah kinerja
sektor publik.
Singkat kata, setelah gelombang besar ini,
banyak negara yang kemudian menerapkan manajemen kinerja, salah satunya dengan
memberi tunjangan kinerja untuk organisasi pemerintahnya. Singapura mungkin
contoh sukses paling dekat dengan Indonesia. PM Lee Kuan Yew sangat
memerhatikan kesejahteraan dan kinerja PNS, yang kemudian dilanjutkan oleh
putranya Lee Hsien Loong yang semakin memperkuat sistem tunjangan berbasis
kinerja (Quah 2010, pp. 97-98). Contoh lain di Asia adalah Korea Selatan yang
memulai sistem ini sekitar satu dekade lalu. Mereka mengukur kinerja PNS dan
mengklasifikasi kinerja tersebut dalam empat kelas, yaitu S (20% kinerja
tertinggi), A (lebih dari 20% sampai 50%), B (lebih dari 50% sampai kurang dari 90%), dan C (10%
kinerja terendah). Masing-masing kelas
tersebut akan menerima tunjangan kinerja berbeda, dan apabila PNS masuk ke
kelas C, maka tidak ada tunjangan untuk kinerjanya dan mereka hanya akan
menerima gaji dan tunjangan dasar saja (Kim 2010, pp. 434-436).
Salah satu persoalan besar di Indonesia
terkait sistem tunjangan kinerja adalah praktik dari sistem ini belum
mencerminkan namanya. Sebagian besar kementerian/lembaga (K/L) memberikan
tunjangan kinerja kepada pegawainya berdasarkan kehadiran pegawai yang
bersangkutan di kantor. Hal ini tentu menjadi kelucuan tersendiri bagi publik
atau mereka yang memahami manajemen sumber daya manusia. Akan tetapi, tulisan
ini tidak bermaksud menjawab persoalan tersebut, karena saya yakin ke depannya
masalah ini akan mulai teratasi dengan diberlakukannya penilaian prestasi kerja
individual di seluruh instansi.
Pendahuluan yang cukup panjang tersebut
kiranya dibutuhkan untuk memberikan gambaran awal tentang sistem ini, meskipun
harus saya akui bahwa mungkin itu pun belum memadai bagi sebagian besar
pembaca. Dalam artikel ini saya akan jelaskan terlebih dahulu sistem pemberian
tunjangan kinerja kepada K/L yang berlaku pada saat ini beserta asumsi yang
digunakan. Setelah itu, saya akan sampaikan gagasan yang saya maksudkan pada
awal tulisan.
Seperti saya sampaikan di awal, sistem ini
terinspirasi dari apa yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Sistem ini kemudian
diformalisasi dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, yang
kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi
2010-2014 dan sejumlah peraturan pendukung seperti Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 7 s.d. 15 Tahun
2011. Seluruh peraturan tersebut baru memayungi pemberian tunjangan kinerja
untuk K/L, dan belum secara eksplisit menyatakan detail mekanisme pemberian
tunjangan kinerja untuk pemerintah daerah. Oleh karena itu, fokus tulisan ini
pun adalah untuk tunjangan kinerja K/L. Secara teknis, sistem ini juga diatur
dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 34 Tahun 2011 tentang Pedoman Evaluasi Jabatan dan Nomor 63 Tahun 2011
tentang Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri.
Dalam sistem ini, setiap K/L diharuskan
melakukan 2 hal secara bersamaan, yaitu program reformasi birokrasi di
organisasinya masing-masing dan penyusunan kelas jabatan. Saya tidak akan
bicarakan soal program reformasi birokrasi tingkat mikro (organisasional)
tersebut karena itu telah dan akan jadi bagian dari tulisan saya yang lain.
Kelas jabatan adalah pemeringkatan seluruh jabatan yang ada dalam sebuah
organisasi. Untuk melakukan ini, perlu dilakukan aktivitas yang disebut
evaluasi jabatan. Secara umum, evaluasi jabatan dan pemeringkatan jabatan yang
dilakukan oleh seluruh K/L menggunakan metode Factor Evaluation System (FES),
kecuali Kementerian Keuangan dan BPK yang menggunakan metode Hay (tapi BPK pun
kini beralih menggunakan FES). Keduanya sama-sama mengukur faktor-faktor yang
menjadikan sebuah jabatan lebih “bernilai” dibandingkan jabatan lain dalam
organisasi dan pada akhirnya nilai tersebut diperingkatkan untuk kemudian
diberikan penghargaan sesuai peringkat yang diperoleh, sebagaimana terlihat dalam ilustrasi di bawah. Bedanya adalah dalam
sistem FES yang digunakan Kemenpanrb sebagai pedoman untuk semua K/L, jumlah
peringkat yang akan dihasilkan adalah 17 (dengan 1 sebagai kelas paling rendah
dan 17 paling tinggi) sementara pada sistem Hay yang digunakan Kemenkeu jumlah
peringkat yang dihasilkan adalah 27 (dengan 1 sebagai kelas paling rendah dan
27 paling tinggi).
Ilustrasi Evaluasi Jabatan dan Kelas Jabatan
Sumber: natrem.com.au
Faktor-faktor yang digunakan untuk menilai
sebuah jabatan itu pada dasarnya berasal dari analisis jabatan (job analysis) dan peta jabatan. Oleh
karena itu, mustahil menyusun evaluasi jabatan dan kelas jabatan yang tepat
tanpa adanya analisis jabatan dan peta jabatan yang andal. Tidak andalnya data
yang digunakan untuk evaluasi jabatan akan mengakibatkan sebuah jabatan yang
mungkin seharusnya bernilai lebih rendah justru memperoleh kelas jabatan yang
lebih tinggi, dan ini seringkali terjadi.
Dalam manajemen kepegawaian negeri di
Indonesia, dikenal 2 jenis jabatan, yaitu jabatan struktural dan jabatan
fungsional. Untuk jabatan fungsional sendiri terdapat 2 jenis, yaitu jabatan
fungsional umum dan jabatan fungsional tertentu. Jabatan fungsional umum
sebenarnya tidak pernah terdefinisi dalam undang-undang, namun kurang lebih
adalah jabatan fungsional yang belum/tidak diatur tingkatan keahliannya dan
tata cara kenaikan tingkat keahliannya, sementara jabatan fungsional tertentu
adalah jabatan fungsional yang memiliki tingkatan keahlian yang spesifik dan
untuk menduduki tingkatan keahlian tersebut dibutuhkan syarat-syarat yang
diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri PANRB. Jabatan fungsional tertentu
ini juga dikelola secara khusus oleh suatu instansi pembina yang juga dapat
mengeluarkan aturan teknis terkait jabatan tersebut, termasuk analisis jabatan
yang bersangkutan.
Dengan adanya analisis jabatan yang standar
tersebut, seorang pemangku jabatan A pada suatu K/L secara kasar akan memiliki
nilai jabatan yang sama dengan pemangku jabatan A pada K/L lainnya, kecuali
apabila pada K/L yang satu jabatan tersebut memiliki ruang lingkup, dampak dan
lingkungan kerja yang lebih sulit dibandingkan pada K/L lainnya. Akan tetapi,
perbedaan tersebut tidak akan menghasilkan perbedaan kelas jabatan yang signifikan.
Asumsi tersebut pada dasarnya adalah
penegasan integrated personnel system
yang dianut oleh Indonesia (penjelasan soal sistem ini akan saya sampaikan pada
artikel Mengenal Manajemen SDM Aparatur), yaitu terintegrasinya norma dasar
kepegawaian dalam kewenangan pemerintah pusat (dalam hal ini Kemenpanrb dan
BKN), sehingga apabila terjadi mutasi berupa pertukaran posisi antara dua orang
PNS dalam jabatan dan tingkat keahlian yang sama namun bekerja pada dua
instansi berbeda, mereka akan dapat beradaptasi dengan mudah. Disebut mudah karena
analisis jabatan mereka akan sama dan kelas jabatan mereka dalam organisasi
juga tidak akan berbeda jauh. Inilah yang menjadi dasar pertimbangan sistem
evaluasi jabatan yang saat ini digunakan dan seringkali dilupakan oleh
kawan-kawan di sejumlah K/L.
Pernyataan terakhir saya merujuk pada
keresahan dari sejumlah kawan yang mengatakan “masa’ tunjangan kinerja saya
disamakan dengan K/L itu sih, padahal K/L saya menghasilkan penerimaan negara
sekian triliun lho”. Alasan ini tentu dapat mudah dimentahkan, karena
kementerian bukanlah for-profit
organisation. Seperti telah saya sampaikan, seorang PNS peneliti yang
bekerja asal-asalan boleh jadi sama bahayanya dengan seorang PNS pengawas
tambang yang bekerja asal-asalan. Seorang PNS guru yang korupsi memiliki dampak
negatif jangka panjang yang mungkin lebih berbahaya dibandingkan pengadministrasi
pajak yang korupsi. Oleh karena itu, menggunakan alasan nilai penerimaan negara
bukanlah argumentasi yang tepat. Bahkan, jika kita gunakan asumsi counterfactual, boleh jadi penerimaan
negara lebih besar apabila bukan dilakukan oleh K/L bersangkutan.
Keresahan tentang “disamaratakannya”
tunjangan kinerja K/L yang satu dengan K/L lainnya sebenarnya dapat dimengerti,
namun seperti saya katakan, itulah konsekuensi dari sistem negara kesatuan yang
kita anut. Namun demikian, saya memahami keresahan tersebut karena rekan-rekan
di sejumlah K/L tertentu memang terbiasa menerima tunjangan khusus yang
menjadikan penghasilannya lebih tinggi dari K/L lainnya.
Pada dasarnya, sistem saat ini telah
membedakan tunjangan kinerja K/L satu dengan K/L lain bahkan pada jabatan yang
sama. Pembedanya, selain seperti saya sampaikan di atas tentang kedudukan
jabatan tersebut dalam organisasinya, juga adalah nilai yang diperoleh instansi
terkait reformasi birokrasi. Nilai ini diperoleh dari Penilaian Mandiri
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), sebuah mekanisme self-assessment yang berangkat dari pendekatan total quality management yang dikembangkan di Eropa, yaitu Common Assessment Framework (CAF). K/L dengan
nilai PMPRB yang lebih tinggi diarahkan untuk memperoleh nilai tunjangan
kinerja organisasi yang lebih tinggi. Pada akhirnya, pegawai yang memangku
jabatan A pada K/L tersebut juga akan beroleh tunjangan kinerja yang lebih
tinggi dibandingkan pemangku jabatan A pada K/L yang memiliki nilai PMPRB lebih
rendah. Kondisi di atas adalah keadaan ideal dari asumsi yang digunakan
pemerintah, sehingga sekali lagi perlu saya sampaikan karena ini adalah
konsekuensi logis dari sistem kepagawaian dalam negara kesatuan yang kita anut.
Namun demikian, kondisi tersebut baru akan
terwujud dengan sempurna apabila organisasi pemerintah telah dibentuk dengan
tepat fungsi dan tepat ukuran. Tentu hal tersebut masih sangat jauh dari
kondisi saat ini, yaitu tumpang-tindihnya fungsi yang diperankan antara satu
K/L dengan K/L lainnya. Bahkan, bukan hanya antara kementerian dengan lembaga,
tetapi juga antarkementerian. Parahnya lagi, sejumlah lembaga yang tumpang
tindih (baik LPNK maupun LNS) dibentuk dengan payung hukum berupa undang-undang,
sehingga tidak dapat dibubarkan begitu saja oleh presiden. Tumpang-tindih ini
menjadikan masing-masing K/L berupaya menyelamatkan diri dan menjadikan
instansinya “lebih penting dari instansi lain”. Dalam pada itu, biasanya yang
dilakukan K/L adalah meningkatkan dukungan dari luar dan dari dalam
organisasinya, salah satunya dengan memberikan tunjangan tambahan dengan nilai
cukup besar kepada pegawainya, yang tidak sejalan dengan asumsi pada sistem kepegawaian terintegrasi dalam negara kesatuan Indonesia.
Secara pribadi, saya mendukung sepenuhnya
upaya menciptakan kondisi yang saya sebutkan di atas, dan itulah yang sedang
diupayakan saat ini. Namun demikian, reformasi birokrasi yang berhasil
seringkali justru dilakukan dengan pendekatan yang pragmatis dan tidak selalu idealis (lihat misalnya Pollit & Bouckaert
2011 dan Caiden & Sundaram 2004). Oleh karena itu, saya juga berusaha
mengusulkan alternatif kebijakan untuk menentukan besaran tunjangan kinerja
K/L, dengan skema sebagaimana terlihat dalam gambar berikut.
Usulan Perbaikan Sistem Tunjangan Kinerja
Dalam gagasan tersebut, besaran tunjangan
kinerja setiap K/L ditentukan oleh tiga koefisien, yaitu koefisien pembangunan,
koefisien besaran organisasi, dan koefisien reformasi. Masing-masing koefisien
memiliki nilai yang berbeda-beda, namun apabila dijumlahkan adalah 1. Pada dasarnya bobot/nilai masing-masing koefisien harus ditentukan melalui metode ilmiah, seperti Analytical Hierarchy Processs (AHP). Namun sekadar memberikan gambaran, dalam tulisan ini saya langsung memberikan bobot untuk setiap koefisien dan sub-koefisien. Koefisien
pembangunan adalah koefisien yang berangkat dari peran strategis sebuah K/L
dalam pembangunan nasional. Saya memberi bobot 0,4 untuk koefisien ini, yang
terbagi dalam dua sub-koefisien, yaitu Prioritas RPJMN (bernilai 0,4 dari 0,4)
dan Prioritas RKP (bernilai 0,6 dari 0,4). Prioritas RPJMN adalah prioritas
nasional dalam RPJMN yang diemban oleh K/L. Prioritas ini menggambarkan arah
utama kebijakan pembangunan seorang kepala pemerintahan (presiden) selama 5
tahun. Apabila sebuah K/L mengemban prioritas pembangunan nasional RPJMN, maka
kita dapat mengasumsikan K/L tersebut memiliki peran strategis yang lebih besar
dibandingkan K/L lainnya, sehingga K/L tersebut akan memiliki nilai
sub-koefisien Prioritas RPJMN yang lebih tinggi dari K/L lain. Oleh karena
RPJMN adalah rencana 5 tahunan, maka nilai sub-koefisien ini pun akan stabil
selama 5 tahun kecuali ada perubahan prioritas nasional di tengah masa berlaku
RPJMN. Sementara itu, sub-koefisien Prioritas RKP diukur dari prioritas
pembangunan tahunan yang biasanya ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah
(RKP). Oleh karena itu, K/L yang diberi amanat untuk menjalankan prioritas tersebut
akan memiliki nilai sub-koefisien Prioritas RKP yang lebih besar dari K/L
lainnya. Terkait dengan koefisien pembangunan ini, tentu peran Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menjadi
sangat krusial. Untuk menjalankan sistem ini, perlu dipastikan agar Kementerian
PPN/Bappenas tidak “bermain mata” dengan K/L dalam penentuan prioritas
pembangunan, baik dalam dokumen RPJMN maupun RKP.
Penetapan koefisien pembangunan ini sendiri
sejatinya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada
terkait tunjangan kinerja. Dalam Lampiran Peraturan Menteri PANRB Nomor 63
Tahun 2011 Bab II.1.C tentang Pemberian Tunjangan Kinerja disebutkan bahwa “Penetapan
pemberian tunjangan kinerja terutama didasarkan pada (1) kesiapan K/L dan pemda
dalam melaksanakan reformasi birokrasi secara berkesinambungan dan (2) dampak
potensial strategis dari pelaksanaan reformasi birokrasi K/L dan pemda.
Pernyataan yang lebih kurang sama kembali muncul pada Bab II.1.D tentang Pemberian
Tambahan/Pengurangan Anggaran Tunjangan Kinerja. Hal ini juga sebelumnya
disebutkan dalam Lampiran Peraturan Menteri PANRB Nomor 20 Tahun 2010 tentang
Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 Bab III bagian 3.6.a. tentang Pemberian
Tunjangan Kinerja. Dengan adanya koefisien ini, maka pernyataan tersebut dapat dimanifestasikan dalam pengukuran yang lebih konkret.
Koefisien besaran organisasi adalah
koefisien yang pada awalnya tidak ingin saya masukkan dalam gagasan ini karena
ini seperti buah simalakama, dengan alasan bahwa apabila pemberian tunjangan
kinerja K/L ditentukan oleh besaran organisasi, maka K/L akan berlomba-lomba
memperbesar organisasinya. Akan tetapi, akan menjadi kesalahan juga apabila
melupakan asumsi dasar bahwa ada sejumlah K/L yang memang secara alami
memerlukan organisasi yang besar (misalnya karena memegang fungsi utama
pemerintah pusat) dan bahwa mengelola K/L seperti itu memiliki tingkat
kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan K/L yang lebih kecil. Oleh karena itu,
dalam koefisien ini, saya hanya memberikan nilai yang kecil (0,1) dan hanya
mempertimbangkan jumlah pegawai sebagai sub-koefisien sekaligus indikator
utama. Jumlah pegawai merupakan indikator yang lebih mudah dikontrol, karena
pada dasarnya setiap organisasi dituntut melakukan analisis jabatan dan
analisis beban kerja, sehingga apabila K/L berusaha menambah pegawai secara
berlebihan (untuk memperoleh nilai koefisien yang lebih besar) akan dapat
diawasi dari kedua dokumen tersebut. Nilai koefisien ini akan disesuaikan
setiap tahunnya.
Koefisien reformasi adalah koefisien yang
terkait nilai pelaksanaan reformasi birokrasi dari masing-masing K/L. Koefisien
inilah yang selama ini menjadi dasar utama penentuan besaran tunjangan kinerja
K/L. Pengukurannya adalah dari nilai PMPRB yang sudah diverifikasi oleh Tim
Reformasi Birokrasi Nasional (TRBN) melalui Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional
(UPRBN). Dalam rangka mendorong pelaksanaan reformasi birokrasi dan mendukung
perbaikan berkelanjutan (continuous
improvement) yang merupakan tujuan PMPRB, saya pikir koefisien ini tetap
perlu memperoleh porsi terbesar, yaitu 50 persen dari total nilai seluruh
koefisien alias 0,5. Selain itu, penentuan nilainya pun perlu diatur per 3
tahun, bukan setiap tahun. Hal ini bukan berarti K/L hanya melakukan PMPRB per
3 tahun, mereka tetap perlu melakukan PMPRB setiap tahun, tapi dari capaian
reformasi birokrasi per 3 tahun itulah K/L tersebut akan dapat diganjar dengan
penghargaan/sanksi.
Pada dasarnya, pembobotan nilai tunjangan
kinerja bukan hanya dapat dilakukan pada tingkat instansi, melainkan juga pada
tingkat yang lebih rendah, yaitu hingga tingkat individu. Sebuah K/L dapat
merancang agar nilai tunjangan kinerja yang diperoleh pegawainya terdiri dari
komponen kehadiran (dengan bobot 0,3) dan prestasi kerja (0,7) misalnya. Lebih
lanjut, baik di tingkat K/L maupun individu, dapat diberlakukan aturan
tambahan, misalnya dengan mengganjar sanksi bagi mereka yang memperoleh nilai
kinerja (atau koefisien reformasi bagi K/L) buruk secara berturut-turut dan
sebaliknya memberi penghargaan bagi mereka yang memperoleh nilai kinerja (atau
koefisien reformasi bagi K/L) baik secara berturut-turut. Dengan demikian,
manajemen berbasis kinerja benar-benar menjadi ruh dari reformasi birokrasi.
Perbaikan sistem tunjangan kinerja tentulah
hanya merupakan satu bagian dari banyak bagian lain yang harus dibenahi dari
manajemen pemerintahan. Akan tetapi, diperlukan perhatian lebih untuk
memperbaiki sistem ini, sehingga program besar yang menjadi prioritas nasional
1 dalam RPJMN 2010-2014 tidak menjadi reformasi “seakan-akan” belaka (Andrews,
Pritchett, & Woolcock 2012, p. 4). Terlebih lagi, tunjangan kinerja boleh
jadi adalah pengeluaran terbesar dalam program reformasi birokrasi nasional,
sehingga tentu diharapkan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Hanya
saja, upaya perbaikan ini tidak bisa dibebankan kepada satu K/L, tetapi
membutuhkan dukungan nyata dari sejumlah K/L lain, DPR, dan warga negara
sebagai pemilik sah negeri.
26
Barry Drive, 27 September 2013
Referensi:
Andrews,
M, Pinchett, T & Woolcock, M 2012, ‘Escaping capability traps through
Problem Driven Iterative Adaptation (PDIA)’, CID Working Paper No. 240, Center for International Development at
Harvard University.
Caiden,
G & Sundaram, P 2004, ‘The specificity of public service reform’, Public Administration and Development,
Vol. 24, No. 5.
Kim, PS
2010, ‘The civil service system in the Republic of Korea’, in Berman, EM, Moon,
MJ & Choi, H (eds) 2010, Public administration
in East Asia: Mainland China, Japan, South Korea, and Taiwan, Boca Raton,
CRC Press.
Pollit,
C & Bouckaert, G 2011, Public
management reform: a comparative analysis of new public management, governance,
and the neo-Weberian state, 3rd edn, Oxford University Press,
New York.
Quah,
JST 2010, Public Administration
Singapore-Style, Bingley, Emerald Publishing.
2 komentar:
Saat ini di Kemenkeu penerapan tunjangan kinerja (di Kemenkeu disebut TKPKN), pada kenyataannya tidaklah berdasarkan kenerja pegawai (untuk level individu). Dua orang pegawai fungsional umum, jika sama-sama ditetapkan pada grade 7, maka akan menerima TKPKN yang sama besaranya walaupun beban kerja dan kinerjanya antara satu dengan yang lainnya berbeda. Karena sejak awal penerapan sistem grade, masih terikat/dipengaruhi dengan sistem pangkat/gol. ruang.Jadi sebenarnya sistem PGPS masih berlaku juga :)
Benar, bahwa Tunjangan Kinerja (TKPKN di Kemenkeu) masih dikaitkan dengan kehadiran seorang pegawai, walaupun tingkat kehadiran/kedisiplinan seorang belum tentu mencerminkan kinerjanya. Sejak dahulu, sebelum dikenal istilah tunjangan kinerja, perlakuan TKPKN memang demikinan. Setiap 1 hari ketidak hadiran, akan dipotong 5%, keterlambatan dan pulang cepat juga dipotong 2,5%. Hal inilah yang ditiru olek K/L lain dari Kemekeu, sehingga tunjangan kinerja dikaitkan dengan tingkat kehadiran.
Di Kemenkeu selalu mendapat berbagai pengecualian. Mulai dari struktur organisasi, jam kerja, bahkan sekarang grade sampai 27 level. Jadi, kelihatannya Kemenkeu akan mendapat tempat istimewa di sistem reformasi birokrasi, bisa jadi dapat pengecualian untuk pengisian JPT :)
Terima kasih sudah mau mampir dan memberi komentar. Saya juga menyadari hal tersebut, tapi dalam derajat yang rendah saya dapat memakluminya. Oleh karenanya, bagi saya lebih baik memberi masukan untuk rekan-rekan saya di Kementerian PANRB agar lebih gigih memperjuangkan pembangunan sistem manajemen kinerja yang komprehensif dan "benar-benar" manajemen kinerja. Kalau rekan-rekan di kementerian lain juga bisa berinovasi, tentu juga sangat baik karena kita bisa bertukar pengalaman. Reformasi itu iteratif, tidak selalu berhasil. Jadi, jangan sampai sekali gagal lalu menyerah. Kalau kita mau dan mampu saling belajar, insha Allah perbaikan itu nyata.
Posting Komentar