Senin, 23 Mei 2011

Qui Reformabit Reformatores?


Perubahan adalah hal yang niscaya dialami semua orang di dunia. Perubahan akan datang, meskipun reaksi atas perubahan dapat berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya. Hal ini terjadi bahkan sejak manusia masih berada pada fase anak-anak. Seorang anak yang memiliki adik bayi, misalnya, menghadapi situasi perubahan perlakuan dari orang tuanya, dari sebelumnya dimanja dengan perhatian dan tutur kata yang lembut menjadi pengasuhan yang tegas. Adiknyalah yang kini menerima pengasuhan yang memanjakan tadi. Atas perubahan tersebut, anak tadi dapat saja mengubah sikapnya yang biasa dimanja menjadi lebih dewasa, atau dia dapat saja berlindung kepada kakek-neneknya untuk tetap memperoleh pengasuhan yang memanjakan tadi. Bagaimanapun sikap anak itu, perubahan pengasuhan orang tuanya tetaplah terjadi.

Pada cakupan (scope) dan tingkat abstraksi yang lebih tinggi, perubahan juga terjadi. Sebuah kelas perkuliahan di kampus, misalnya, menghadapi perubahan sistem perkuliahan dengan diperkenalkannya e-learning yang memungkinkan dosen untuk mengunggah video materi kuliah yang dapat diunduh segera oleh mahasiswa  dan sistem informasi akademik yang memungkinkan dosen untuk melakukan pengolahan nilai mahasiswa secara online. Terhadap perubahan ini, pada dasarnya dosen dapat memutuskan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut atau tidak bergeming dengan tetap menjalankan perkuliahan secara konvensional. Sama halnya dengan perubahan yang dialami anak pada ilustrasi pertama, dosen tersebut dapat “menghindari” perubahan, namun sejatinya perubahan itu tetap akan terjadi.

Pada cakupan dan abstraksi yang lebih tinggi, perubahan dapat dilihat dari perspektif sistem. Perspektif sistem sebagaimana dikembangkan oleh Forester (1968) adalah upaya menyederhanakan situasi sosial ke dalam suatu struktur yang dapat dilihat dan dikendalikan oleh manusia. Meskipun merupakan penyederhanaan, suatu sistem dalam perspektif ini haruslah mampu merefleksikan kondisi nyata semirip mungkin.

Forester membagi dua sistem berdasarkan sequence-nya, yaitu open systems dan feedback systems. Pada open systems, keluaran (output) adalah respon dari fungsi masukan (input), namun demikian keluaran berada dalam kondisi isolasi karena tidak dapat mempengaruhi masukan kembali. Sementara itu, pada feedback systems, keluaran dilihat sebagai sebuah pengalaman, sehingga dapat memberi pengaruh pada masukan selanjutnya. Feedback systems sendiri terdiri atas negative feedback dan positive feedback. Negative feedback adalah feedback yang selalu berusaha menstabilkan sistem untuk mencapai tujuannya. Sementara itu positive feedback adalah feedback yang memberikan kekuatan kepada sistem untuk meningkatkan lagi apa yang sudah dihasilkan sebelumnya.

Sebagian besar peristiwa adalah feedback systems dan seluruh peristiwa sosial adalah feedback systems, dengan skema dasar sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Hal yang menjadi kunci adalah bagaimana pengetahuan kita dalam melihat sistem tersebut.


Gambar 1; Sumber Gambar: Forester (1968)

Pada gambar di atas, terlihat bahwa pada dasarnya, suatu peristiwa berawal dari adanya kondisi sistem. Kondisi sistem ini kemudian menjadi informasi yang terekam dalam pikiran (para) pengambil keputusan, untuk kemudian pengambil keputusan ini mengambil kebijakan yang akan mengubah kondisi sistem yang dilihat di awal tadi. Ilustrasi yang paling sering digunakan adalah saat kita menggunakan kran untuk mengisi air di wadah (gelas/ember).


Gambar 2; Sumber gambar: Senge (1990)

Sebagaimana terlihat pada Gambar 2, kondisi air di dalam gelas adalah peristiwa yang menjadi perhatian. Pada saat gelas dalam kondisi kosong (terlihat oleh mata), informasi ini diterima oleh otak kita sebagai kondisi yang tidak tepat, karena kita membutuhkan gelas itu terisi. Selanjutnya, otak mengirimkan pesan kepada tangan untuk memutar kran sehingga air dari kran mengisi gelas. Pada saat itu, mata kembali mengirim pesan kepada otak bahwa gelas masih jauh dari penuh, sehingga otak kembali menugaskan tangan untuk memutar kran lebih besar lagi agar air lebih cepat mengisi gelas. Pada saat gelas hampir penuh terisi, dengan cepat mata mengirim informasi kepada otak untuk kemudian otak menugaskan tangan memutar kran ke arah sebaliknya, hingga pada akhirnya gelas terisi penuh tanpa luber.

Dari situasi tersebut, terlihat bahwa gelas, mata, dan tangan serta kran adalah elemen-elemen penting dalam sistem “pengisian air ke gelas”. Perubahan kondisi gelas (dari kosong menjadi penuh) adalah perubahan yang diharapkan terjadi. Mata menerima informasi bahwa gelas masih kosong, hingga informasi ini sampai ke otak. Atas informasi yang masuk tersebutlah otak memerintahkan tangan untuk memutar kran sehingga air mengisi gelas. Inilah masukan, proses, dan keluaran dari sistem tersebut. Keluaran dapat menjadi informasi selanjutnya, karena air yang terbuka deras membuat gelas hampir saja luber. Informasi ini disampaikan dengan cepat ke otak dan direspons cepat pula oleh tangan dengan menutup kran. Inilah feedback dalam sistem yang dimaksud.

Pada peristiwa tersebut, sebenarnya kita dapat saja mengangkat gelas ketika airnya hampir penuh tanpa menutup kran. Akan tetapi, dengan demikian kita tidak mengatasi masalah dari sumbernya. Kita hanya menjadikan masalah tampak tidak ada (padahal dengan membiarkan kran terbuka, kita sedang menciptakan masalah lainnya yang mungkin lebih besar: kebanjiran, pemborosan, dan perusakan lingkungan). Inilah prinsip-prinsip dasar dari perspektif sistem.

Ya, perspektif sistem mengajak kita untuk melihat peristiwa dari struktur pembentuk sistemnya, tidak semata-mata dari apa yang terlihat. Dengan demikian, apabila terdapat masalah pada sistem tersebut, kita akan cenderung mengambil kebijakan yang tepat. Sebagai ilustrasi, dalam dunia kedokteran, demam dan batuk bukanlah suatu penyakit. Demam dan batuk adalah “gejala” dari suatu penyakit (misalnya flu, paru-paru, atau luka luar yang hebat, dan penyakit lainnya). Tubuh yang demam dan batuk pada dasarnya sedang mengirimkan sinyal ke otak bahwa ada penyakit yang bersemayam di tubuhnya. Oleh karenanya, apabila mengalami demam dan batuk, selayaknya seseorang tidak langsung mengonsumsi obat, namun menunggu beberapa saat untuk mengetahui penyakit atau konsultasikan saja pada dokter.

Perspektif sistem juga mengajarkan kita untuk bertindak secara tepat, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari tim (sistem), karena perubahan yang terjadi pada subsistem pada akhirnya akan berakibat pada sistem itu sendiri. Individu dan kelompok haruslah dapat melihat dirinya sebagai bagian dari sistem, sehingga apapun yang akan dilakukannya melalui pemikiran yang matang. Dalam perspektif sistem, sebagaimana disampaikan oleh Senge (1990), unit-unit dalam organisasi tidak dapat bersikap “I am my position” alias egois. Sebaliknya, antara unit yang satu dengan unit yang lain seharusnya terbentuk saling percaya dan saling membantu, karena hubungan yang baik ini akan membuat kerja organisasi menjadi semakin baik. Senge juga menyampaikan bahwa kesalahan yang lazim dilakukan organisasi adalah dengan mengasumsikan bahwa musuh berada di luar sana (the enemy is out there), sehingga unit-unit kerja cenderung menyalahkan unit kerja lainnya atau bahkan organisasi lainnya ketika tujuan organisasi tidak dapat dicapai. Padahal, tidak tercapainya tujuan organisasi itu justru seringkali terjadi karena kegagalan individu dan unit kerja dalam melihat sistem organisasi secara holistik dan komprehensif.

Persoalannya kemudian adalah kalau kita mengaitkan perubahan ini dengan upaya reformasi birokrasi yang sedang gencar dikampanyekan oleh pemerintah. Dalam bangunan kebijakan makro, terlihat bahwa reformasi birokrasi diupayakan melalui pendekatan yang deduktif, dengan rumusan generik diberikan oleh tim reformasi birokrasi nasional sementara bentuk dan model reformasi dikembangkan oleh setiap instansi (baik di pusat maupun daerah) sesuai dengan karakteristik masing-masing.

Birokrasi Indonesia sendiri telah dibentuk mentalnya sejak lama melalui pendekatan kolonialis Belanda. Kolonialis Belanda memosisikan birokrasi sebagai alat mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu (Saptawan: 2010). Praktik ini dilanjutkan pada masa awal kemerdekaan hingga beberapa dekade setelahnya. Oleh sebab itu, perubahan terencana melalui reformasi birokrasi sejatinya sangat sulit dilakukan, meskipun bukan hal yang mustahil. Ini karena birokrasi terbiasa loyal kepada apapun yang diperintahkan oleh atasan atau rezim dan tidak terbiasa dengan pengembangan inisiatif sendiri.

Dalam situasi yang demikian, maka diperlukan pihak-pihak yang menjadi reformis. Pihak-pihak inilah yang diharapkan mampu menjadi tulang punggung reformasi birokrasi. Dalam perspektif sistem, pihak-pihak seperti ini disebut sebagai pengungkit (leverage). Dengan perubahan yang baik pada leverage, maka perubahan sistem yang diharapkan juga akan tercapai dengan upaya yang lebih ringan. Perubahan pada leverage ini akan menjadi acuan bagi pihak-pihak lain yang akan direformasi, tentu saja tetap dengan mempertimbangkan karakteristik masing-masing pihak. Ini berangkat dari pemahaman akan sistem dengan ilustrasi kran air tadi, bahwa jika kita langsung mengubah putaran kran, kita akan menyelesaikan masalah, tapi jika kita hanya menggeser gelas, maka sebenarnya masalahnya hanya seakan-akan selesai. Reformasi pun demikian. Perubahan pada pihak tertentu menjadi kunci agar pihak lain mengikutinya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menunjuk salah satu pihak. Bagaimanapun, diperlukan kebijaksanaan untuk melihat keseluruhan sistem. Ya, kebijaksanaan dan bukan sekadar pengetahuan tingkat tinggi. Saya teringat beberapa waktu lalu di sebuah mailing list asosiasi keilmuan tertentu terjadi perdebatan yang tidak terlalu substantif. Para anggotanya, yang rata-rata doktor dan profesor, mengeluarkan pendapat yang berbasis keilmuan. Akan tetapi, perdebatan tidak juga berakhir, hingga akhirnya muncul pendapat yang tidak berat secara keilmuan tetapi lebih kepada kebijaksanaan. Hal yang sama diharapkan terjadi juga pada persoalan reformasi birokrasi ini. Bukan saling tunjuk pihak yang bertanggung jawab atas reformasi birokrasi yang dibutuhkan saat ini, melainkan kebijaksanaan untuk melihat dan memahami sejenak kondisi sistem dan posisi masing-masing dalam sistem tersebut.

Reformasi, sebagaimana saya jelaskan dalam tulisan sebelumnya, adalah kebutuhan dari birokrasi sendiri dan bukan semata-mata kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, birokrasi sendirilah yang selayaknya mengedepankan perubahan sistem ini. Lalu siapa yang akan menjadi pihak pengubah (reformis)? Siapa yang akan mengubah sang pengubah ini? Menjawab pertanyaan ini, sepertinya masih relevan jika kita merujuk pada pertanyaan Plato dalam Republic, “qui custodiet ipsos custodes?” ‘siapa yang akan mengawasi sang pengawas?’. Pada akhirnya, Plato menjawab yang mengawasi mereka adalah diri mereka sendiri. Kiranya hal yang sama berlaku pada pertanyaan “qui reformabit reformatores?” atau ‘siapa yang akan mereformasi sang pereformasi?’. Ya, hanya diri mereka sendiri, dan itu adalah untuk kepentingan bangsa dan negara.

Di kaki Patung Pemuda, 23 Mei 2011

Tidak ada komentar: