Jumat, 06 Mei 2011

Reformasi, Daripada Repot Nanti

Genderang perubahan telah bergulir sejak tahun 1997 ketika krisis ekonomi melanda kawasan Asia. Krisis tersebut telah memunculkan keresahan di masyarakat, utamanya keresahan dalam hal yang paling hakiki, yaitu untuk mempertahankan hidup. Ini disebabkan pada masa krisis tersebut diperkirakan 7,3 juta orang kehilangan pekerjaan. Pada waktu yang bersamaan, masyarakat yang resah ini menyadari bahwa di tengah keresahannya mereka tidak memiliki saluran yang memadai untuk memperbaiki kondisinya, baik saluran agregasi, artikulasi, hingga manifestasi pendapatnya menjadi kebijakan publik. Inilah yang mendorong krisis menjadi semakin melebar dan mendalam, yang berpuncak pada kerusuhan massal pada 1998.

Tidak ada satupun pihak yang menginginkan kerusuhan tersebut terjadi, bahkan untuk membayangkannya kembali. Akan tetapi, kerusuhan tersebut ternyata telah menjadi pendorong yang kuat atas perubahan besar yang terjadi di Indonesia hingga saat ini. Tercatat sejak 1998 Indonesia telah melalui sejumlah perubahan dalam bidang hukum, politik, dan ekonomi. Pada bidang hukum, terjadi sejumlah perubahan sebagai akibat amendemen UUD 1945, diantaranya pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial sebagai pemegang kekuasaan yudikatif bersama Mahkamah Agung (meskipun Komisi Yudisial tidak berwenang dalam pengadilan sehingga disebut kekuasaan yudikatif semu) serta pemisahan Kepolisian dari ABRI/TNI. Pada bidang politik, perubahan terjadi diantaranya pada pembatasan masa jabatan Presiden, rezim pemilihan umum legislatif yang bebas, penghapusan dwifungsi ABRI/TNI dan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden. Sementara itu, pada bidang ekonomi, selain pelunasan utang kepada lembaga donor (terutama IMF), perubahan besar terletak pada pengelolaan perbankan dan sektor moneter yang lebih terbuka.

Kiranya perlu diakui secara objektif bahwa perubahan-perubahan tersebut memang benar-benar telah mengubah kehidupan Indonesia sebagai negara. Perubahan-perubahan ini yang kita sebut sebagai reformasi. Akan tetapi, kedua konsep ini (“negara” dan “reformasi”) perlu dipahami dengan baik agar kita tidak salah dalam menyikapinya.

(sumber foto: mbaksiwi.blogspot.com)

Kata negara (state) berasal dari bahasa Latin “stare” yang berarti ‘berdiri’ atau “status’ yang berarti ‘sebuah kondisi’. Cicero, seorang penulis dari Roma, menggunakan istilah status civitatis atau status regni untuk menunjukkan kondisi yang dibutuhkan untuk stabilitas (Vincent: 1992). Lebih lanjut, Vincent menyatakan bahwa terdapat sejumlah karakteristik mendasar dari sebuah negara, yaitu memiliki wilayah yang teridentifikasi dengan jelas berikut warga negaranya. Negara juga memiliki kedaulatan atas seluruh warganya dan seluruh kelompok dalam wilayahnya. Pada dasarnya kedaulatan ini berasal dari warga negaranya sendiri. Dalam menjalankan kedaulatan tersebut, negara memiliki lembaga lain yang dinamai birokrasi. Pada perkembangannya, karena sebuah “negara” pada dasarnya merupakan konsep yang tidak sekadar konsep sosial belaka tetapi juga merupakan konsep yang berkembang dalam ilmu hukum dan ilmu politik, maka sebuah negara akan secara kokoh berdiri manakala terdapat pengakuan deklaratif dari negara lainnya. Inilah kiranya yang menjadi dasar dalam memahami istilah negara.

(sumber foto: bdiyogyakarta.kemenperin.go.id)

Sementara itu, istilah “reformasi” sebagai sebuah serapan dari bahasa Inggris “reform” merupakan sebuah ragam kata untuk “change” alias ‘perubahan’. Ragam lainnya dapat ditemukan dalam “transformation”, “reinvention”, dan lain-lain. Pollit dan Bouckaert (2004) menjelaskan bahwa reform membawa sebuah kekhasan, yaitu tidak sekadar berubah, tapi sebuah perubahan yang menguntungkan (beneficial), yaitu perubahan dari kondisi yang tidak diharapkan ke kondisi yang diharapkan. Dari definisi ini, setidaknya terdapat dua dimensi dari istilah “reformasi”, yaitu (1) reformasi merupakan perubahan yang menguntungkan dan (2) reformasi merupakan perubahan yang terencana dan jelas arah perubahannya. Kedua dimensi reformasi ini haruslah terpenuhi agar tidak semua perubahan kita sebut sebagai reformasi.

Berangkat dari pemahaman singkat atas kedua konsep di atas, kiranya perubahan-perubahan hukum, politik, dan ekonomi yang telah dilalui Indonesia layak kita sebut sebagai reformasi hukum, reformasi politik, dan reformasi ekonomi. Ketiganya merupakan perubahan yang direncanakan dan jelas arahnya (yaitu sesuai dengan tuntutan masyarakat dan mahasiswa pada aksi besar-besaran 1998 sebagaimana dituangkan kembali dalam TAP MPR. Apabila kemudian terdapat pertanyaan “lalu di mana unsur menguntungkan dari perubahan tersebut?”, kiranya jawabannya terletak pada belum utuhnya kita memahami konsep negara.

Negara pada dasarnya adalah sebuah sistem. Sistem (system-Eng.) adalah kelompok yang terdiri dari bagian-bagian yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama (Forester: 1968). Sistem dapat berupa makhluk hidup, benda mati, ataupun kombinasi diantara keduanya. Sebuah mobil adalah sistem yang terdiri dari busi, baterai (aki), bahan bakar, mesin, pelumas, ban, roda, dan elemen-elemen lain pembentuknya (termasuk sopir) yang bekerja sama dengan tujuan memindahkan orang/barang dari satu tempat ke tempat lain. Transportasi perkotaan adalah sebuah sistem yang terdiri dari kendaraan bermotor pribadi (mobil, motor), kendaraan umum (bus, kereta api, taksi, bajaj, dll), jalan, rambu dan alat pengendali lalu lintas, petugas lalu lintas, dan elemen-elemen lain yang bertujuan memudahkan perpindahan orang dan barang dalam sebuah wilayah. Dalam sebuah sistem, gagal berfungsinya suatu subsistem akan berakibat pada kinerja keseluruhan sistem dalam mencapai tujuannya.

Telah dijelaskan bahwa negara, dalam memanfaatkan kedaulatan yang diberikan warga negaranya, memiliki lembaga bernama birokrasi. Konsep ini, yang semakin dikenal setelah Weber menyampaikannya sebagai model paling rasional dari dominasi legal-rasional sebuah negara, merupakan konsep yang telah mengalami “keterlanjuran” pemahaman. Birokrasi yang dianggap Weber sebagai model paling rasional untuk pemerintahan terlanjur berkonotasi serba negatif dalam pemahaman masyarakat, dari kelambanan, inkompetensi, hingga koruptif. Padahal, nilai-nilai dasar birokrasi yang dikembangkan Weber sejatinya sangatlah baik. Tentu saja, perkembangan zaman dan kontekstualisasi tempat merupakan hal yang tidak boleh dilupakan dalam mengimplementasikan sebuah konsep, karena bagaimanapun konsep adalah bentukan manusia yang tidak luput dari kekurangan.

Mengingat peran pentingnya dalam sebuah negara, tidak salah jika penulis katakan bahwa perubahan-perubahan dalam sub-subsistem negara haruslah melibatkan pula perubahan pada birokrasi. Birokrasi adalah pelaksana administrasi dari negara yang bertugas memastikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, negara mampu mencapai tujuan-tujuannya. Terlebih, pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, birokrasi masih memainkan peran penting dalam menjalankan negara secara keseluruhan. Hal ini disebabkan masyarakat masih bertransformasi dari kondisi serbakekurangan menuju perbaikan kesejahteraan. Di negara-negara maju, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik, kesadaran masyarakat dalam berperan aktif mengelola kepemerintahan (governance) telah terbangun dengan baik dan tertib. Secara pasti, birokrasi di Indonesia harus mampu melayani dan menyejahterakan masyarakatnya untuk kemudian mengelola kepemerintahan (governance) bersama dengan masyarakat.

Oleh karena itulah, reformasi dalam bidang administrasi negara menjadi hal yang krusial untuk dilakukan. Terdapat beberapa alasan terkait hal ini. Pertama, perkembangan yang terjadi di dunia meniscayakan globalisasi dalam arti pertukaran orang, barang, dan informasi yang tidak lagi berbatas ruang dan waktu. Hal ini termanifestasi, misalnya, dalam sejumlah perjanjian internasional tentang kawasan perdagangan bebas (barang), persaingan tarif murah transportasi antarnegara (orang), dan pertumbuhan penggunaan internet di negara-negara berkembang (informasi). Dengan kecenderungan tersebut, paradigma yang berkembang di negara-negara maju akan dengan mudah memasuki pembicaraan sehari-hari penduduk di negara-negara berkembang. Salah satu diantaranya adalah reformasi administrasi. Banyak sekali negara di dunia yang kini disebut negara maju melakukan reformasi administrasi, bahkan sejak beberapa dekade yang lalu. Dalam sebuah konferensi internasional di Bali pada tahun 2010, seorang profesor dari Cina bahkan menyebut salah satu kunci sukses Cina meraih kemajuan pesat dalam bidang ekonomi selama satu dekade terakhir adalah karena Cina telah melakukan reformasi administrasi. Memang hipotesis ini terlalu prematur, namun pengalaman di banyak negara lain (Inggris, Italia, Brasil misalnya) juga menunjukkan hal yang sama. Globalisasi menyadarkan masyarakat yang belum sepenuhnya sejahtera bahwa perekonomian Cina dan Brasil dapat melaju pesat karena reformasi administrasi. Apabila wajah birokrasi Indonesia sebagai unsur administrasi negara tidak menunjukkan perbaikan, maka hal ini dapat menjadi bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu.

Kedua, birokrasi selalu hidup dalam dilema, antara loyal kepada atasan dan loyal kepada masyarakat sebagai pihak yang dilayani. Dalam reformasi administrasi, birokrasi akan memiliki arah yang jelas dan cara yang terbaik untuk mencapai arah tersebut, sehingga tidak perlu mendikotomikan loyalitas kepada atasan dan kepada masyarakat. Ingat bahwa reformasi adalah perubahan yang terencana menuju arah yang baik. Dengan fokus pada tujuan dan sasaran reformasi administrasi, birokrasi tidak perlu merisaukan dilema yang ada, karena apa yang mereka lakukan pada dasarnya akan memberi kebaikan bagi masyarakat maupun atasannya. Hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini tentu saja pada proses penetapan tujuan dan sasaran reformasi administrasi, apakah dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat atau sekadar kebutuhan birokrasi semata. Dror (dalam Leemans: 1976) menyatakan bahwa tujuan umum reformasi administrasi dapat dibedakan atas 6 (enam) jenis, yaitu (1) efisiensi administrasi; (2) pengurangan kelemahan-kelemahan; (3) pembentukan profil baru birokrasi; (4) penyesuaian sistem administrasi untuk mengantisipasi kebutuhan mendesak masyarakat; (5) penataan sebagai akibat pemisahan pejabat karir dan politis; dan (6) perubahan hubungan antara sistema administrasi dengan masyarakat yang dilayaninya. Pada dasarnya, apabila ditetapkan dengan memperhatikan kondisi lingkungan birokrasi (baik satuan organisasi birokrasi maupun birokrasi secara keseluruhan), maka tujuan-tujuan tersebut akan dapat tercapai seluruhnya dan tidak semata mengejar efisiensi.

Ketiga, secara teoretik, dalam ilmu manajemen sejak era F. W. Taylor hingga kini, remunerasi yang baik menjadi komponen yang penting sebagai balas jasa atas pekerjaan yang dilakukan seorang pegawai. Hal yang sama juga berlaku dalam birokrasi. Pengalaman reformasi administrasi di negara-negara berkembang, sebut saja Kamboja, Thailand, Singapura, Malaysia (baca, misalnya Kim: 2010), selalu diikuti dengan perbaikan kesejahteraan pegawai. Ini merupakan konsekuensi logis dari meningkatnya tuntutan (baik dari atasan maupun masyarakat) akan kinerja yang lebih baik dari pegawai tersebut. Oleh karenanya, reformasi administrasi secara tidak langsung akan membawa dua dampak bagi pegawai, yaitu perbaikan kinerja dan perbaikan kesejahteraan.

Bagaimanapun, seperti halnya sistem lainnya, perubahan pada subsistem birokrasi pada sistem negara tidak boleh berjalan dengan secara asal-asalan. Sebagai contoh, apabila sebuah mobil dipasangi ban baru dengan kualitas yang jauh lebih baik tetapi pemasangannya dengan alur yang terbalik, tentu saja kinerja mobil yang diharapkan membaik justru tidak akan tercapai. Padahal, jika dilihat, ini adalah kesalahan kecil semata. Oleh karena itu, reformasi birokrasi juga harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan meminimalkan kesalahan. Leemans (1976) sudah menyatakan bahwa perubahan besar dapat menemui hambatan baik berupa hambatan statis maupun dinamis. Hambatan statis disebabkan kondisi homeostatis yang dimiliki birokrasi, sementara hambatan dinamis berkaitan dengan tekanan yang tercipta dari perubahan tersebut. Berkaitan dengan hal ini, Killian (2008) menyatakan pentingnya mempertimbangkan unsur budaya organisasi dalam melakukan reformasi administrasi. Organisasi dengan budaya yang berbeda perlu diperlakukan dengan tekanan yang berbeda dalam reformasi administrasi, sehingga tujuan-tujuan reformasi akan benar-benar dirasakan oleh seluruh elemen dalam birokrasi.

Reformasi administrasi bukanlah sebuah pekerjaan yang dapat dilakukan dalam satu malam. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan dampak dari tekanan masyarakat yang semakin besar, dilema loyalitas, dan kesejahteraan yang tidak berimbang dengan tuntutan pekerjaan, maka sesungguhnya reformasi administrasi menjadi kebutuhan dari aparatur negara dan bukan hanya masyarakat. Dengan demikian, kiranya reformasi administrasi perlu dilakukan tanpa toleransi (zero tolerance) untuk dilaksanakan sesegera mungkin. Jika tidak, adalah birokrat sendiri yang akan kerepotan nantinya.

Di Kaki Patung Pemuda, 6 Mei 2011

Tidak ada komentar: