Selamat pagi. Melanjutkan tulisan sebelumnya perihal Manajemen Pegawai Tidak Tetap Pemerintah di Australia, pada kesempatan ini saya ingin berbagi satu lagi tulisan yang saya susun sekadar untuk memberikan wawasan dan sudut pandang lain dalam manajemen SDM aparatur. Utamanya adalaha dalam hal manajemen Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Istilah ini baru lahir pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Mungkin diantara pembaca banyak yang belum mengetahui apa itu JPT dan bagaimana JPT dilihat dari praktik lazim administrasi publik di negara lain. Untuk memberikan wawasan tersebutlah saya memutuskan untuk mempublikasikan tulisan ini di blog.
Tulisan ini terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama adalah gambaran umum manajemen Senior Executive Service (SES) di Australia, yang merupakan refleksi praktik JPT di Australia. Bagian kedua adalah pelajaran yang dapat dipetik dalam manajemen SES untuk diterapkan pada manajemen JPT di Indonesia.
Secara prinsip, semua yang tertulis di sini adalah tulisan saya. Namun demikian, dalam prosesnya, saya sangat didukung oleh Dr. Wahyu Sutiyono (University of Canberra), terutama dalam memberikan framework pada bagian kedua dari tulisan ini, yaitu tentang pelajaran yang dapat diambil dari Australia untuk manajemen JPT di Indonesia. Apabila ada kesalahan dalam peristilahan atau penafsiran undang-undang di Australia, semua adalah tanggung jawab saya sebagai penulis. Mengingat ini adalah draft telaah staf dari saya, maka saya sekaligus ini sampaikan permohonan maaf kepada pembaca apabila tulisan kali ini amat sangat panjang dan melelahkan. Saya memutuskan untuk mempublikasikan keseluruhan draft telaah staf ini karena berbeda dengan PPPK yang mungkin sebagian bentuknya telah dikenal di Indonesia, JPT merupakan konsep yang benar-benar baru. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Selamat membaca.
Pendahuluan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dibentuk dalam rangka membangun aparatur sipil
negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi
politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran
sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Undang-undang ini disusun
dalam semangat perbaikan menyeluruh atas sistem manajemen sumber daya manusia
aparatur (SDM aparatur) dalam dinamika dan kompleksitas nasional dan global
yang semakin tinggi.
Salah satu bentuk perubahan penting yang
lahir dari UU ASN adalah lahirnya istilah Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT).
Meskipun secara sederhana JPT menjadi pengganti dari peristilahan eselon I dan
II, namun dengan adanya tuntutan tersendiri dalam kompetensi pemangku JPT serta
serangkaian aturan khusus bagi JPT, maka sejatinya JPT lebih dari sekadar
perubahan semantik atas eselon I dan II. Dalam disiplin ilmu manajemen sektor
publik, praktik seperti itu bukanlah hal baru. Praktik ini dikenal dengan
istilah senior executive atau senior civil service dan telah
diterapkan di sejumlah negara maju sebagai salah satu pengungkit reformasi
administrasi.
Oleh karena itu, dalam membangun sistem
JPT, Indonesia juga dapat belajar dari pengalaman negara-negara maju tersebut.
Salah satu negara yang telah menerapkan sistem senior executive adalah Australia. Berangkat dari pengalaman
Australia dan kajian literatur lainnya terkait senior executive, telaah staf ini disusun untuk mendukung penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Jabatan Pimpinan Tinggi sebagai masukan untuk dapat dipertimbangkan.
Dokumen ini tersusun atas dua bagian utama, yaitu “Gambaran Umum Manajemen
Senior Executive Service di Australia” dan “Tinjauan dan Masukan atas Manajemen
Senior Executive Service untuk Kebijakan Manajemen Jabatan Pimpinan Tinggi di
Indonesia”. Diharapkan dengan adanya masukan ini dapat membantu tim penyusun
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jabatan Pimpinan Tinggi dalam mencapai
sasaran kerjanya.
Gambaran Umum Manajemen Senior Executive Service di Australia
Senior executive service (SES) merupakan
bagian tidak terpisahkan dari sistem kepegawaian pemerintah Australia yang
tercantum dalam Public Service Act 1999. Seperti halnya Jabatan Pimpinan Tinggi
di Indonesia, SES Australia memiliki fungsi meningkatkan kapasitas kepemimpinan
Australian Public Service Employee (APSE) yang dapat mendukung sistem manajemen
APSE yang efektif dan kohesif. Terdapat tiga level SES dalam APS, yaitu SES
level 1, SES level 2, dan yang paling tinggi adalah SES level 3. Jabatan SES
paling tinggi (SES 3) berada langsung di bawah jabatan Secretary of Department
di masing-masing kementerian.[1]
Setiap SES harus mampu menunjukkan
kemampuannya pada level tertinggi di salah satu atau lebih dari dimensi keahlian
berikut:
- Keahlian khusus/profesional;
- Pemberi masukan strategis atas kebijakan;
- Kepemimpinan program atau penyediaan pelayanan publik tertentu;
- Penguasaan peraturan perundang-undangan
Selain itu, SES juga harus dapat mendorong
koordinasi dalam dan lintas instansi, termasuk mendukung capaian program yang
bersifat lintas instansi, dan menunjukkan kapasitas pribadinya sebagai teladan
dalam penerapan nilai-nilai APSE, prinsip hubungan industrial APSE, dan kode
perilaku APSE.
Hingga Juni 2013, Australia memiliki 2.813 SES dengan rincian 2.079 SES 1, 598 SES 2, dan 136 SES 3. Dengan jumlah ini, maka jumlah SES mencapai sekitar 1,7% dari total APSE. Dari jumlah total tersebut, 2.736 adalah pegawai tetap (ongoing APSE) dan 77 orang adalah pegawai tidak tetap (non-ongoing APSE; baca tulisan sebelumnya). Rincian jumlah ini dapat dilihat pada tautan ini.
Sistem manajemen SDM aparatur Australia
seperti halnya Indonesia menganut kombinasi position-based
dan career-based. Manifestasi position-based dalam hal manajemen SES
adalah penetapan sebuah jabatan sebagai SES dilakukan melalui pengukuran beban
kerja dari jabatan tersebut. Terdapat beberapa indikator pengukuran beban
kerja, dari kepemimpinan, cakupan urusan, manajemen pemangku kepentingan,
kondisi lingkungan kerja, dan kebutuhan independensi dan pembuatan keputusan.
Masing-masing indikator berangkat dari empat dimensi keahlian SES sebagaimana
disebut di atas. Dari sanalah dapat ditentukan apakah sebuah jabatan layak
disebut sebagai jabatan SES atau tidak, termasuk pada level SES apa jabatan
tersebut berada. Beban kerja ini akan dievaluasi setiap beberapa tahun,
sehingga sebuah jabatan yang tidak memenuhi ketentuan sebagai SES dapat
diturunkan klasifikasinya menjadi level di bawahnya (executive service).
Kerangka Dasar Kepemimpinan SES
Dalam manajemen SES, sejak tahun 1999
Australia mengembangkan Senior Executive Leadership Capability Framework
(SELCF), yaitu kriteria yang digunakan untuk menilai kepemimpinan setiap
pejabat SES. SELCF merupakan instrumen dasar yang digunakan dalam rangka
merekrut calon pejabat SES, merencanakan pendidikan dan pelatihan, penilaian
kinerja, perencanaan jangka pendek-panjang atas jabatan SES di instansinya, dan
untuk pengembangan organisasi secara umum. Kerangkanya adalah sebagaimana
gambar 1. Terdapat 5 dimensi kapabilitas, yaitu pemikiran strategis, pencapaian
hasil, pembangunan hubungan kerja yang produktif, keteladanan dan integritas,
dan komunikasi. Masing-masing dimensi tersebut memiliki sejumlah indikator. Ini
adalah kerangka dasar yang berlaku nasional, namun setiap instansi dapat
menambahkan dimensi/indikator sebagai tambahan apabila dibutuhkan.
Gambar 1. Senior Executive Leadership Capability
Framework
Menindaklanjuti SELCF, pada tahun 2003 APSC
mengembangkan Integrated Leadership System (ILS), yaitu kerangka manajemen
kepemimpinan yang menyeluruh yang menghubungkan antara SELCF untuk pejabat SES
dan APS Employees non-SES. Hal ini terkait dengan peran APSC dalam pengelolaan
SES. Pada prinsipnya, semakin tinggi kelas jabatan, semakin besar peran APSC
dalam pengembangan kapasitas jabatan tersebut, sebagaimana diilustrasikan
gambar 2.
Gambar
2. Capability Development Partnerships
ILS menggambarkan karakteristik
kepemimpinan yang dibutuhkan pada setiap jenjang APSE dari APS, Executive,
hingga SES. Karakteristik ini dapat digunakan oleh APSE untuk mengetahui
kapabilitas kepemimpinan apa yang dibutuhkannya untuk menduduki jabatannya atau
jabatan yang lebih tinggi untuk diraihnya. Selain itu juga dapat digunakan oleh
Bagian SDM di masing-masing instansi untuk melakukan manajemen SDM aparaturnya
secara komprehensif, terutama dalam menyiapkan pegawai menjadi SES. Dengan kata
lain, ILS didesain untuk memastikan keselarasan vertikal antara jabatan SES
dengan jabatan di tingkat yang lebih rendah dan antartingkatan dalam jabatan
SES. Lebih lanjut, ILS juga digunakan sebagai alat dalam penilaian kinerja APSE
(selain kontrak kinerja masing-masing jabatan).
Dikembangkan dari SELCF, desain ILS
memastikan kompetensi teknis, manajerial, dan kepemimpinan APSE terbangun jalin
berkelindan. Pada dasarnya, setiap tingkatan pegawai APSE dari APS 1-6,
Executive Level 1-2, hingga SES 1-3 semuanya memiliki kebutuhan kompetensi
teknis, manajerial, dan kepemimpinan dengan luasan dan kedalaman masing-masing.
Umumnya, semakin tinggi tingkat jabatan, semakin luas dan dalam kebutuhan atas
kompetensi manajerial dan kepemimpinannya. ILS menggunakan dimensi-dimensi
dalam SELCF untuk diturunkan menjadi kompetensi teknis, manajerial, dan
kepemimpinan yang sebagian contohnya dapat dilihat pada tabel 1 hingga 3.
Khusus untuk komponen kompetensi manajerial, APSC mengaitkan kompetensi yang
dibutuhkan dengan jenis manajemen yang relevan. Hal ini bertujuan memberikan
panduan agar peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan
manajemen yang terkait dengan kompetensi tersebut.
Tabel 1.
Contoh Dimensi dan Indikator SELCF serta Komponen
Kompetensi Teknisnya
Kapabilitas
|
Komponen Kompetensi
Teknis
|
Shapes Strategic Thinking
|
|
Harnesses
information and opportunities
|
Kemampuan
mengidentifikasi informasi relevan, mengidentifikasi kelemahan informasi, dan
mengenali peluang
|
Shows
judgment, intelligence, and common sense
|
Kemampuan
menganalisis dan mengevaluasi informasi untuk membuat simpulan
|
Achieves Results
|
|
Marshals
professional expertise
|
Kemampuan
membagi keahlian individu kepada organisasi dan mendorong rekan kerja untuk
memanfaatkan pengetahuan yang dibagi bersama
|
Tabel 2.
Contoh Dimensi dan Indikator SELCF serta Komponen
Kompetensi Manajerialnya
Kapabilitas
|
Komponen Kompetensi Manajerial
|
Shapes Strategic Thinking
|
|
Shows
judgment, intelligence, and common sense
|
Kemampuan
menganalisis dan mensarikan isu utama dengan objektif dan kritis, serta
kemampuan menyampaikan argumen secara logis dan menyusun simpulan.
Terkait erat dengan manajemen risiko
|
Achieves Results
|
|
Builds
organisational capability and responsiveness
|
Kemampuan
mengevaluasi kinerja kegiatan yang sedang dilakukan dan mengidentifikasi
faktor kunci keberhasilan. Kemampuan merespon perubahan ekspektasi secara
fleksibel.
Terkait erat dengan manajemen proyek dan manajemen
risiko
|
Marshals
professional expertise
|
Kemampuan
mengurus kontrak secara tertib hukum. Aktif dalam memastikan adanya masukan
profesional dalam proses kebijakan dan kegiatan.
Terkait erat dengan manajemen pengetahuan dan talent
management
|
Steers and
implements change and deals with uncertainty
|
Kemampuan
mengadopsi pendekatan yang terencana dengan baik untuk manajemen setiap
kegiatan yang dapat bekerja dengan efektif dalam lingkungan yang berubah dan
tidak pasti.
Terkait erat dengan manajemen proyek, manajemen
risiko, dan manajemen sumber daya
|
Ensures
closure and delivers on intended results
|
Kemampuan
memonitor perkembangan kegiatan dan mengidentifikasi risiko yang berpotensi
memengaruhi outcome kegiatan. Kemampuan memodifikasi rencana apabila
dibutuhkan.
Terkait erat dengan manajemen proyek, manajemen
risiko, dan manajemen sumber daya
|
Communicates with Influence
|
|
Negotiates
persuasively
|
Kemampuan
melakukan pendekatan negosiasi dengan pemahaman yang utuh atas isu utama.
Kemampuan menyampaikan argumen yang meyakinkan dan berimbang.
Terkait erat dengan manajemen negosiasi dan
manajemen hubungan
|
Communicates
clearly
|
Kemampuan
menyampaikan pesan dengan meyakinkan, jelas, ringkas, dan dalam tata bahasa
yang baik.
Terkait erat dengan manajemen pemangku kepentingan
dan manajemen hubungan
|
Tabel 3.
Contoh Dimensi dan Indikator SELCF serta Komponen
Kompetensi Kepemimpinannya
Kapabilitas
|
Komponen Kompetensi Kepemimpinan
|
Shapes Strategic Thinking
|
|
Inspires a
sense of purpose and direction
|
Kemampuan
menunjukkan dan mengembangkan visi dan arah strategis unit organisasi
|
Focuses
strategically
|
Kemampuan
memahami peran instansi dalam negara dan masyarakat, termasuk keseluruhan
agenda pemerintah
|
Achieves Results
|
|
Ensures
closure & delivers on intended results
|
Kegigihan
untuk mencapai hasil dan kemampuan mendorong rekan kerja untuk melakukan hal
yang sama
|
Cultivates
Productive Working Relationships
|
|
Values
individual differences and diversity
|
Kemampuan
mengelola manfaat yang dapat diperoleh dari keragaman dalam organisasi dan
perbedaan pandangan
|
Guides,
mentors and develops people
|
Kemampuan
menawarkan dukungan kepada rekan kerja dalam tekanan pekerjaan yang tinggi
dan keterlibatan dalam aktivitas yang dapat meningkatkan moral pegawai
|
Lebih lanjut, sebagaimana digambarkan
sebelumnya, jabatan SES dibangun sebagai penghubung antara jabatan di tingkat
pelaksana dan pengawas (APS 1-6 dan EL 1-2) dengan keputusan-keputusan politik
yang diambil pejabat negara dan ekspektasi masyarakat dalam demokrasi. Oleh
karenanya, SES tidak berdiri dalam ruang hampa, tetapi harus didesain dengan
utuh, yang menunjukkan kesinambungan dan keselarasan masing-masing kelompok
terkait. Dalam hal manajemen, maka desain kompetensi SES dibangun dengan
memerhatikan kompetensi yang dibutuhkan oleh level terdekat di bawahnya, yaitu
Executive Level 1 dan 2. ILS dibangun dengan kerangka berpikir tersebut dan
menunjukkan perbandingan jalur pengembangan SELCF pada masing-masing dimensi
SELCF dan masing-masing tingkat jabatan. Contoh perbandingannya terlihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Contoh Perbandingan Tingkat Pengembangan
SELCF untuk Dimensi Shapes Strategic Thinking Indikator Inspires a Sense of
Purpose and Direction
Penjabaran mendetail atas kompetensi yang
perlu dimiliki oleh setiap pejabat SES dan tingkat di bawahnya (EL) memberikan
gambaran perbandingan kompleksitas lingkungan yang dihadapi oleh SES. Dalam
kasus Australia, terdapat empat spektrum yang menunjukkan level kompleksitas
jabatan dari EL hingga SES. Keempat spektrum tersebut adalah future focus, breadth of contact, breadth
of impact, dan breadth of
responsibility. Ilustrasi level kompleksitas tersebut dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Level Kompleksitas Jabatan EL dan SES
Dari spektrum tersebut, tergambarkan adanya
transisi kompetensi yang dibutuhkan oleh EL ketika akan menjadi SES. Transisi
ini secara mendetail dapat dilihat pula pada Tabel 5 berikut. Panah yang
berwarna lebih tebal menunjukkan adanya kompetensi baru dari dimensi/indikator
tersebut yang diharapkan pada masing-masing tingkat jabatan.
Tabel 5. Transisi Kritis Kompetensi EL dan SES
Rekrutmen dan Seleksi SES
Seperti halnya APSE lainnya, terdapat tiga jenis SES berdasarkan jenis hubungan ketenagakerjaannya yang dikenal dalam manajemen SES di Australia:
- Ongoing SES (berasal dari ongoing APSE)
- Non-ongoing SES dengan masa kerja hingga 5 tahun; atau
- Non-ongoing SES dengan penugasan tertentu (ad hoc)
Akan tetapi, pada umumnya mekanisme yang digunakan adalah yang pertama, yaitu ongoing APSE melamar dan menduduki jabatan SES. Apabila dibutuhkan adanya masa percobaan bagi kandidat SES dari luar APS, maka masa percobaan itu harus diadakan sebelum yang bersangkutan diangkat sebagai SES. Jika pimpinan instansi mengangkat yang bersangkutan dalam kategori ke-2 dengan durasi kontrak kurang dari 5 tahun, maka kontrak tersebut dapat diperpanjang namun dengan total durasi maksimal 5 tahun (contoh: kontrak pertama 3 tahun, kontrak kedua 2 tahun). Pada awal kontrak, instansi sudah harus merumuskan kompensasi yang harus diberikan apabila pegawai yang bersangkutan diberhentikan di tengah kontrak.
Dalam hal rekrutmen SES, setiap instansi
wajib mengumumkan jabatan SES yang lowong di buletin APS (atau pada situs
www.apsjobs.gov.au) dan secara luas kepada masyarakat, misalnya melalui situs
rekrutmen swasta. Informasi soal lowongan tersebut harus dipublikasikan dalam
kurun waktu maksimal 12 bulan sebelum jabatan tersebut diisi secara definitif.
Informasi soal lowongan jabatan untuk diisi harus mencantumkan batas waktu
pengiriman lamaran, setidaknya 7 hari sebelum batas waktu tersebut. Namun
demikian, pada umumnya lowongan diumumkan selama 14 hari hingga 4 pekan. Lowongan
ini harus bersifat terbuka kepada seluruh masyarakat termasuk non APSE. Akan
tetapi, mengingat proses audit menyeluruh (National Audit Commission) yang sedang dilakukan Australia sejak
Oktober 2013 di bawah Perdana Menteri Tony Abbott, terdapat aturan sementara (interim arrangement) yang mengatur bahwa
prioritas pengisian jabatan SES adalah untuk ongoing APSE. Apabila dibutuhkan,
instansi dapat mengajukan kepada Komisioner APSC untuk membuka lowongan
tersebut secara luas kepada masyarakat. Interim
arrangement ini akan dicabut setelah audit selesai dilakukan.[2]
Setiap rekrutmen SES, instansi menilai para
pelamar berdasarkan dimensi dan indikator dalam SELCF. Instansi dapat
menambahkan satu dimensi apabila
dibutuhkan. Jika instansi ingin menambahkan dua atau lebih dimensi penilaian,
maka harus meminta persetujuan dari APSC. Dalam hal penyeleksian, instansi dapat
menggunakan jasa lembaga rekrutmen swasta dengan persetujuan APSC. Lembaga
rekrutmen swasta ini harus memahami peraturan perundang-undangan di bidang SDM
aparatur dan melaksanakan rekrutmen sesuai dengan ketentuan yang ada.
Komisioner APSC berperan dalam proses
rekrutmen SES, baik langsung maupun tidak langsung. Setiap rekrutmen SES,
Komisioner APSC menugaskan satu orang untuk merepresentasikan dirinya (karena
hanya ada satu Komisioner APSC) sebagai anggota penuh komite pengarah seleksi
pejabat SES. Satu orang tersebut kemudian berperan menyatakan apakah proses
seleksi berjalan sesuai peraturan perundang-undangan atau tidak. Selanjutnya,
Komisioner APSC akan mengesahkan pernyataan tersebut dan instansi dapat secara
resmi melantik peserta yang lolos seleksi. Satu orang representasi Komisioner
APSC itu adalah SES tingkat 2 atau 3 dan harus berasal dari luar instansi yang
melakukan rekrutmen. Instansi yang melakukan rekrutmen dapat mengusulkan nama
representasi Komisioner APSC kepada Komisioner APSC, namun persetujuannya
tergantung pada Komisioner APSC. Khusus untuk SES tingkat 3, instansi tidak
dapat mengajukan nama representasi Komisioner APSC mengingat Komisioner APSC
sendiri yang harus ikut dalam tim seleksi. Akan tetapi, apabila Komisioner APSC
berhalangan, maka dia dapat menugaskan orang lain sebagai representasinya
(harus setingkat SES 3 atau Secretary of Department). Dalam tim seleksi,
representasi Komisioner APSC tidak ikut dalam memberikan penilaian atas
individu peserta seleksi, tetapi memberikan penilaian atas proses seleksi itu
sendiri.
Secara total, komite pengarah seleksi
beranggotakan minimal 3 orang yang merupakan pejabat selevel atau di atas level
jabatan yang akan diisi. Dalam praktiknya, untuk menghindari konflik
kepentingan, apabila ada anggota komite pengarah seleksi yang memiliki hubungan
profesional langsung atau kekerabatan dengan peserta seleksi, maka komite
pengarah dapat memutuskan agar anggota komite seleksi yang bersangkutan tidak
ikut dalam penilaian peserta seleksi yang dimaksud.
Metode penilaian yang digunakan dalam
seleksi merupakan kewenangan masing-masing instansi selama mengacu pada SELCF.
Minimal, seleksi diadakan dengan tahapan penilaian aplikasi yang dilanjutkan
dengan wawancara dan penelusuran rekam jejak. Tapi, instansi dapat pula
menggunakan assessment centre, form aplikasi yang didesain khusus, atau
instrumen lainnya. Apabila dalam prosesnya tidak terdapat pelamar yang memadai
untuk mengisi jabatan, maka representasi Komisioner APSC dalam tim seleksi
dapat meminta diadakannya pengumuman ulang. Apabila instansi menolak
melakukannya, maka representasi Komisioner APSC dapat melaporkan kepada
Komisioner APSC. Instansi tidak akan dapat melantik pejabat SES tanpa adanya
persetujuan dari Komisioner APSC.
Dalam keadaan mendesak, instansi dapat
menugaskan APSE yang belum mencapai tingkat SES untuk menduduki jabatan SES
yang kosong. Pengisian ini bersifat sementara, yaitu antara 1 hingga 3 bulan.
Remunerasi SES
Remunerasi untuk SES diatur dalam APS
Executive Remuneration Management Policy (ERMP). Pada prinsipnya, setiap instansi
dapat memberikan tunjangan kepada SES sebagai komponen remunerasinya. Kebijakan
ERMP ini disusun untuk mengatur agar pemberian insentif tambahan oleh instansi
kepada pejabat SES-nya tidak berlebihan. Patokan yang digunakan adalah insentif
yang diperoleh oleh Secretary, karena insentif Secretary sudah ditentukan oleh
APSC. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan tidak terjadi kesenjangan yang
terlalu besar antarinstansi sehingga transfer pegawai antarinstansi masih
mungkin dilakukan tanpa perbedaan kesejahteraan yang terlalu signifikan.
Mirip dengan praktik di Indonesia, setiap
instansi mengajukan kelas jabatan dan nilai tunjangan kepada instansi pusat
(dalam hal ini APSC) yang didasarkan pada faktor jabatan dan kondisi pasar
(pasar riil dan pasar tenaga kerja-red). Komisioner APSC yang kemudian
berwenang memutuskan apakah usulan tersebut dapat diterima atau tidak, terutama
pada kasus di mana instansi mengajukan nilai yang berada di atas ambang batas
perkiraan yang diberikan oleh APSC. Setiap pengajuan instansi harus memperoleh
jawaban dari APSC paling lama 5 hari kerja setelah diterima oleh APSC. Jawaban
tersebut dapat berupa persetujuan, penolakan, atau permohonan informasi lebih
lanjut.
Secara detail, total usaha kesejahteraan
yang diterima oleh setiap SES terdiri dari komponen sebagai berikut.
- Gaji
- Lump sum
- Benefits; yaitu manfaat non-tunai yang diterima oleh pejabat SES (misal: mobil dinas yang dapat dibeli oleh pejabat yang bersangkutan dan biaya parkirnya)
- Bonus; yaitu tunjangan kinerja dan tunjangan lain. Nilai yang tertera pada kontrak setiap SES adalah nilai maksimal yang dapat diperolehnya.
- Superannuation; kontribusi pemerintah pada biaya pensiun pejabat SES.
- Fasilitas pendukung; segala fasilitas yang mendukung pelaksanaan pekerjaan seperti komunikasi, peranti elektronik, atau keanggotaan premium maskapai penerbangan.
- Biaya relokasi; yaitu biaya yang dibutuhkan apabila seorang SES pindah domisili dari suatu tempat ke tempat lain karena alasan dinas.
Yang diperhitungkan dalam nilai total
remunerasi adalah nomor 1 s.d. 5. Formula umum yang digunakan oleh Australia
dalam menentukan total remunerasi ini adalah 65% dari nilai terendah dari
remunerasi untuk seorang Secretary. Sebagaimana dikatakan di atas, instansi
dapat mengajukan nilai yang lebih tinggi dari itu, namun harus memperoleh
persetujuan dari APSC.
Terminasi SES
Dalam hal seorang pejabat SES gagal
memenuhi kontraknya, maka dia akan ditawarkan dua opsi: bertahan sebagai APSE
dengan jabatan pada kelas yang lebih rendah atau diberhentikan. APSC memiliki
unit yang mendata pejabat dalam kategori ini, termasuk curriculum vitae mereka.
Nantinya, instansi dapat melakukan penilaian atas CV tersebut. Apabila mereka
berminat, maka mereka dapat merekrut para mantan SES tersebut di instansinya.
Instansi yang akan memberhentikan seorang SES wajib menginformasikan kepada
Komisioner APSC sebelumnya, sehingga APSC dapat segera memasukkan dan mengelola
datanya.
Instansi, dengan persetujuan Komisioner
APSC, dapat memberhentikan seorang SES dengan pesangon yang tinggi apabila SES
yang bersangkutan menyetujui pensiun dini dalam jangka waktu yang ditawarkan
oleh instansi. Hal ini dapat dilakukan apabila terjadi rasionalisasi jumlah SES
di instansi tersebut.
Tinjauan dan Masukan atas Manajemen Senior Executive Service untuk Kebijakan Manajemen Jabatan Pimpinan Tinggi di Indonesia
Kebijakan SES di Australia bukan kebijakan
yang dibangun dalam semalam. Kebijakan ini bukan pula sebuah produk yang
sempurna. Iterasi dan reiterasi terus dilakukan atas kebijakan ini dari waktu
ke waktu dengan memerhatikan kebutuhan politik, sosial, dan ekonomi negara pada
setiap masa. Bahkan, istilah SES sendiri baru lahir secara resmi di Australia
pada tahun 1984 sebagai respon atas tekanan ekonomi yang dialami Australia
sepanjang dekade 1970-an hingga awal 1980an. Australia, seperti halnya banyak
negara maju lain yang memiliki sistem SES, saling belajar untuk menyempurnakan
kebijakan ini sehingga dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan dalam
penyusunannya. Melalui pembelajaran berkelanjutan itulah sistem SES mampu
menjadi penanda modernisasi sistem manajemen SDM aparatur dengan position-based system dari career-based system yang masih tetap
diberlakukan Australia pada jabatan-jabatan di bawah SES.
Bagi Indonesia yang baru memperkenalkan
istilah Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) dalam Undang-undang tentang Aparatur
Sipil Negara (UU ASN), sistem yang telah berjalan seperempat abad di Australia
tentu tidak dapat diikuti dalam semalam. Desain institusional dan kebutuhan
politik yang berbeda juga menjadikan sistem SES Australia tidak dapat diadopsi
sepenuhnya oleh Indonesia. Sebagai contoh, Indonesia tidak memisahkan antara
Secretary of Departement yang semi-politis dengan PNS pada umumnya. Kewenangan
kepala instansi sebagai penanggung jawab penuh manajemen SDM aparatur juga
bukan diduduki oleh sekretaris instansi tetapi oleh pimpinan tertinggi instansi
(menteri/kepala lembaga/kepala daerah). Perbedaan-perbedaan ini (dan perbedaan
lainnya) tentu patut menjadi catatan dalam proses pembelajaran Indonesia atas
pengalaman Australia.
Bagaimanapun, keberadaan praktik yang sudah
bertahan berpuluh tahun di banyak negara maju tentu menunjukkan kebijakan
tersebut sebagai kebijakan yang mendukung kemajuan negara-negara tersebut. Oleh
karenanya, Indonesia memiliki keuntungan karena dapat memanfaatkan peluang
untuk belajar dari pengalaman panjang tersebut untuk membangun sistem yang baru
diperkenalkan ini. Dalam bab ini, penulis menyampaikan beberapa catatan yang
kiranya layak menjadi perhatian dalam penyusunan kebijakan terkait manajemen
JPT. Catatan ini mungkin belum mencakup seluruh aspek yang diamanatkan oleh UU
ASN dalam Pasal 19, namun diharapkan dari catatan ini dapat memberikan wacana
dalam membangun sistem manajemen JPT yang utuh sesuai semangat reformasi yang
dibawa oleh UU ASN.
Kerangka Pikir Sistem Manajemen Jabatan Pimpinan Tinggi
Mendefinisikan kompetensi pemangku JPT
adalah langkah pertama yang perlu dilakukan dalam pembangunan sistem manajemen
JPT. Dari pendefinisian inilah dapat terlihat struktur bangunan JPT yang
nantinya akan dikembangkan menjadi bangunan sepenuhnya, terintegrasi dengan
seluruh sistem manajemen ASN. UU ASN telah memberikan titik awal tersebut dalam
Pasal 19 ayat (2). Disebutkan bahwa JPT berfungsi memimpin dan memotivasi
pegawai ASN pada instansi pemerintah melalui:
1. Kepeloporan dalam bidang:
a.
Keahlian profesional;
b.
Analisis dan rekomendasi
kebijakan;
c.
Kepemimpinan manajemen;
2. Pengembangan kerja sama dengan
instansi lain; dan
3. Keteladanan dalam mengamalkan
nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN.
Dari desain tersebut, perumus kebijakan
dapat membangun profil JPT yang terintegrasi dengan jabatan-jabatan lain yang
berhubungan langsung dengannya (jabatan administrator atau fungsional keahlian
tingkat madya dan utama). Bangunan yang kokoh antara JPT dengan kinerja
organisasi juga dapat dimulai dari struktur JPT yang dibangun dengan kesamaan
persepsi antarperumus kebijakan JPT. Dalam literatur manajemen sumber daya
manusia, hal ini disebut sebagai vertical
integration (integrasi vertikal), yaitu
keselarasan antara setiap fungsi manajemen sumber daya manusia dengan strategi
organisasi secara keseluruhan. Sementara itu, dalam manajemen JPT sendiri dapat
disusun manajemen komprehensif yang meliputi fungsi seleksi/rekrutmen,
pendidikan dan pelatihan, pengembangan karir, remunerasi, dan manajemen kinerja
(termasuk pemberhentian). Dalam literatur manajemen sumber daya manusia, keselarasan
antarfungsi manajemen sumber daya manusia disebut sebagai horizontal integration. Mengingat policy paper ini berfokus pada manajemen JPT, maka horizontal integration (integrasi
horizontal) yang dimaksud juga berfokus pada manajemen JPT. Selain integrasi
horizontal dan vertikal, kesinambungan juga harus terbangun antara strategi
organisasi dengan kebijakan nasional. Kesinambungan tersebut tidak berhenti
kepada JPT semata, tapi hingga ke tingkat unit kerja dan jabatan di bawah JPT.
Apabila dilihat dari sisi sebaliknya, maka ini seperti sungai-sungai kecil (cascade) yang menerima aliran dari hulu
(upstream) bernama harapan
masyarakat. Ilustrasi kerangka pikir ini sebagaimana terlihat pada Gambar 4.
Kerangka pikir inilah yang akan digunakan dalam pembangunan setiap dan seluruh
aspek manajemen JPT.
Gambar 4. Ilustrasi Vertical Integration dan
Horizontal Integration Manajemen JPT
Dalam rangka menjamin integrasi vertikal
dan kesinambungan antara JPT dengan kebijakan nasional dan kebutuhan
masyarakat, maka dapat dikembangkan instrumen untuk mengecek keselarasan
antaraktor dalam pembangunan nasional. Instrumen ini dapat digunakan oleh
setiap instansi untuk merumuskan ekspektasi kepada para JPT-nya, yang pada
akhirnya dapat dikembangkan untuk merumuskan model penilaian kinerja. Contoh
instrumennya adalah sebagai berikut.
Tabel 6. Contoh Instrumen Pengecekan Kesinambungan dan
Integrasi Vertikal JPT dengan Ekspektasi Nasional
Tahapan dan Aktor Penetapan
Ekspektasi
|
Ekspektasi masyarakat
|
Ekspektasi parlemen
|
Ekspektasi kepala
pemerintahan
|
Ekspektasi instansi
|
Ekspektasi untuk JPT
|
|
Dokumen Pendukung
|
Pra (untuk legitimasi)
|
Contoh: Dokumen musrenbang atau rapat pemangku
kepentingan oleh masing-masing instansi
|
Contoh: prolegnas dan RAPBN
|
Contoh: RPJMN, RKP
|
Contoh: Renstra, Renja
|
Contoh: Dokumen PK
|
Pasca (monitoring dan
evaluasi)
|
Contoh: Dokumen rakernas evaluasi kerja pemerintah
|
Contoh: Dokumen pelaksanaan fungsi pengawasan DPR
|
Contoh:
Laporan evaluasi capaian RPJMN dan RKP
|
Contoh: LAKIP
|
Contoh: LAKIP unit kerja, laporan individu JPT
|
|
Rincian ekspektasi/ sasaran
|
Contoh: Kemudahan ekspor produk industri X
|
Contoh: Alokasi anggaran untuk insentif ekspor
industri X
|
Contoh: PP tentang tata niaga industri X
|
Contoh: RPP tata niaga industri X, Permen insentif
ekspor industri X
|
Contoh: R-Permen insentif ekspor industri X
|
|
Tindak lanjut
|
Contoh: diartikulasi oleh parlemen untuk dilanjutkan
|
Contoh: telah diagregasi dalam anggaran nasional
|
Contoh: menjadi atributif dalam PP
|
Contoh: disusun RPP dan Permen terkait
|
Contoh: disusun R-Permen terkait
|
Kegunaan instrumen di atas bagi instansi
adalah sebagai berikut.
- Menelusuri jejak masukan dan ekspektasi beragam aktor terkait dalam pembangunan nasional, terutama yang berhubungan erat dengan instansi;
- Memastikan keselarasan masukan dan ekspektasi beragam aktor dengan program kerja instansi hingga ke masing-masing individu JPT;
- Menjadi salah satu dasar pembentukan instrumen penilaian kinerja JPT selain kapabilitas kepemimpinan[3];
- Bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat terutama yang berkaitan dengan artikulasi dan agregasi kepentingan mereka kepada instansi;
Kesinambungan arus dalam kerangka manajemen
strategis tidak hanya dilakukan antara instansi dengan nasional, tetapi juga
antartingkat dalam instansi. Oleh karenanya, perlu dipastikan bahwa instansi
juga terus melakukan penyelarasan target kinerja hingga ke tingkat unit kerja
di bawah unit yang menjadi tanggung jawab JPT. Selain itu, penyelarasan ke
bawah juga terkait dengan perbandingan kompetensi yang dibutuhkan oleh pejabat
di bawah JPT dengan masing-masing tingkat JPT. Ini menjadi penting karena dapat
memandu pejabat yang setingkat di bawah JPT untuk mengukur kapabilitasnya agar
dapat menduduki posisi JPT. Selain itu, bagi para pemangku JPT juga berguna
sebagai alat ukur kinerjanya sebagai JPT. Bagi instansi, hal ini juga penting
untuk mempersiapkan pengembangan SDM bagi pejabat di tingkat non-JPT sehingga
siap menduduki JPT. Ilustrasi kesinambungan internal dalam hal kompetensi ini
dapat dilihat pada tabel 7 berikut.
Tabel 7. Contoh Kesinambungan Internal Kompetensi JPT
dengan Non-JPT
Kriteria
|
Administrator/
JF Keahlian Madya
|
JF
Keahlian Utama
|
JPT
Pratama
|
JPT
Madya
|
JPT
Utama
|
Kepeloporan dalam keahlian
profesional
|
|||||
Sub-krit. 1
|
Kompet. A
|
Kompet. A
|
Kompet. AA
|
Kompet. AAA
|
Kompet. AAA
|
Sub-krit. 2
|
Kompet. B
|
Kompet. BB
|
Kompet. BB
|
Kompet. BBB
|
Kompet. BBBB
|
Kepeloporan dalam analisis
dan rekomendasi kebijakan
|
|||||
Sub-krit. 1
|
Kompet. C
|
Kompet. C
|
Kompet. CC
|
Kompet. CC
|
Kompet. CCC
|
Sub-krit. 2
|
Kompet. D
|
Kompet. D
|
Kompet. DD
|
Kompet. DD
|
Kompet. DD
|
Kepeloporan dalam
kepemimpinan manajemen
|
|||||
Sub-krit. 1
|
Kompet. E
|
Kompet. EE
|
Kompet. EEE
|
Kompet. EEE
|
Kompet. EEE
|
Sub-krit. 2
|
Kompet. F
|
Kompet. F
|
Kompet. F
|
Kompet. FF
|
Kompet. FFF
|
Pengembangan kerja sama
dengan instansi lain
|
|||||
Sub-krit. 1
|
Kompet. G
|
Kompet. GG
|
Kompet. GG
|
Kompet. GG
|
Kompet. GGG
|
Sub-krit. 2
|
Kompet. H
|
Kompet. H
|
Kompet. HH
|
Kompet. HH
|
Kompet. HH
|
Keteladanan dalam
mengamalkan nilai-nilai ASN
|
|||||
Nilai dasar 1 dst.
|
|||||
Kode etik 1 dst.
|
|||||
Kode perilaku 1 dst.
|
Sub-kriteria pada tabel di atas dapat
ditentukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara sebagai bagian dari kewenangan
atributifnya (apabila dituangkan dalam Perpres tentang KASN) atau secara langsung
dimuat dalam PP tentang JPT. Dari contoh di atas juga dapat dilihat bahwa
terdapat perbedaan profil kompetensi pada masing-masing tingkat. Inilah yang
dapat menjadi panduan bagi individu maupun organisasi dalam hal pengembangan
SDM untuk dan selama menjadi JPT.
Rekrutmen dan Seleksi JPT
Rekrutmen JPT telah diatur dengan cukup
lengkap pada UU ASN Pasal 108 s.d. 111. Namun demikian, tinjauan atas sistem
yang diberlakukan Australia dan negara lain dapat tetap dilakukan. Setidaknya terdapat dua aspek utama yang dapat
dijadikan pelajaran dalam pengembangan sistem manajemen JPT.
Pertama, pelibatan Komisi Aparatur Sipil
Negara (KASN) dalam proses rekrutmen dan seleksi JPT. Meskipun peran ini tidak
disebutkan secara eksplisit dalam UU ASN, akan tetapi pelibatan KASN dapat
dilakukan sebagai manifestasi kewenangan KASN sebagaimana tertuang dalam Pasal
32 ayat (1) dan koordinasi seleksi calon pemangku JPT sebagaimana diatur Pasal
110 ayat (2). Bentuk pelibatan yang dapat dilakukan adalah mekanisme penunjukan
unsur eksternal dari panitia seleksi calon pemangku JPT di setiap instansi.
Meskipun seluruh panitia seleksi dipilih dan diangkat oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian (PPK) masing-masing instansi (Pasal 110 ayat 4), namun dapat diatur
agar salah satu unsur eksternal (jika unsur eksternal lebih dari satu orang)
berperan sebagai representasi KASN dan perlu memperoleh persetujuan KASN.
Nantinya, orang tersebut akan menjalankan fungsi yang serupa dengan
representasi Komisioner APSC di Australia, yaitu hanya memberikan penilaian
pada proses seleksi dan bukan pada individu peserta seleksi. Apabila instansi
memutuskan unsur eksternal lebih dari satu orang, maka unsur eksternal di luar
representasi KASN akan ikut serta dalam penilaian individu peserta seleksi. Hal
ini dianggap penting untuk menjamin sifat manajemen JPT yang nasional, berbasis
posisi, menjadi teladan bagi seluruh PNS, dan menjamin unified personnel system dalam manajemen SDM aparatur.
Kedua, setiap JPT sebaiknya diangkat dalam
kontrak kerja khusus yang memuat hak dan kewajibannya selama memangku jabatan
tersebut. Hal ini dilakukan oleh Australia untuk setiap JPT, baik yang berasal
dari PNS maupun dari luar PNS, sebagaimana dapat dilihat pada lampiran policy paper ini. Penulis beranggapan
bahwa sebaiknya masa kontrak JPT pada setiap
jabatan dijamin minimal selama 2 (dua) tahun atau maksimal 4 (empat) tahun
dengan peninjauan atas kinerja dilakukan setiap semester atau setiap tahun.
Keberadaan kontrak ini akan mengurangi potensi politisasi JPT oleh kepala
instansi.
Namun demikian, sistem kontrak ini juga
harus menjamin agar pemangku JPT yang berkinerja baik dan telah menyelesaikan
masa kontraknya dapat tetap menduduki JPT-nya atau dialihkan pada JPT lain yang
setingkat. Ini adalah potensi politisasi lainnya dari JPT. Oleh sebab itu,
pendataan dan pembinaan JPT harus dilakukan secara rutin oleh KASN. Perlu
diatur agar KASN dapat membantu pemangku JPT yang habis masa kontraknya untuk
dipindahkan ke JPT lain di instansi yang sama atau lainnya, namun tetap melalui
mekanisme seleksi. Apabila memang tidak terdapat posisi yang dapat diduduki
oleh JPT tersebut, maka JPT yang bersangkutan dapat dialihkan ke jabatan
fungsional yang sesuai dengan keahliannya.
Pendidikan dan Pelatihan serta Pengembangan Karir JPT
Dalam hal diklat dan pengembangan JPT,
Indonesia dapat meniru prinsip yang berlaku di Australia sebagaimana
diilustrasikan pada Gambar 2. Artinya, dalam hal kewenangan, peran instansi
semakin mengecil dan peran instansi pusat terkait (LAN, BKN, dan KASN) semakin
tinggi. Oleh karenanya, kedua lembaga tersebut harus mampu menyiapkan
infrastruktur dan fasilitas pendukung yang dibutuhkan untuk menjamin
kapabilitas seluruh pemangku JPT terjaga dan sesuai dengan yang diharapkan
dalam Pasal 19 ayat (2).
- Pendidikan, pelatihan, dan pengembangan ini dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain:
- Pertukaran sementara (2-4 bulan) antarjabatan JPT untuk memberikan pengalaman mengepalai unit pelayanan yang berkaitan langsung dengan masyarakat;
- Pertukaran sementara (2-4 bulan) antarjabatan JPT untuk memberikan pengalaman mengepalai unit pembuatan kebijakan;
- Pertukaran sementara (2-4 bulan) antarjabatan JPT di tingkat pusat dan daerah;
- Pertukaran sementara (2-4 bulan) antara JPT dengan pimpinan entitas bisnis (BUMN atau swasta);
- Penugasan JPT untuk membantu langsung lembaga swadaya masyarakat di lingkungannya;
- Penugasan untuk melakukan kerja sukarelawan di NGO internasional;
- Pelatihan berupa kursus singkat atau executive education; dan
- Penugasan belajar dalam atau luar negeri.
Sebagian besar dari metode-metode ini
sebenarnya telah dikenal sebelum adanya UU ASN. Sementara itu, sebagian lagi
dapat dilakukan sebagai manifestasi dari Pasal 70 ayat (5) dan (6). Patut
dipertimbangkan bagi pembuat kebijakan pelaksana tentang JPT untuk menegaskan
metode-metode diklat dan pengembangan yang dikembangkan untuk JPT untuk
memberikan pemahaman bagi para pemangku JPT untuk mengikuti program tersebut.
Metode-metode ini dalam tingkat yang berbeda juga dapat dikembangkan oleh instansi
masing-masing untuk para pejabat di tingkat terdekat dengan JPT (administrator
atau JF keahlian utama/madya) dalam rangka membekali mereka untuk menduduki
JPT.
Selain itu, dapat pula dikembangkan
pengaturan agar setiap JPT dalam rangka meningkatkan koordinasi intra dan
interinstansi harus berperan dalam manajemen pengetahuan intra dan
interinstansi. Sebagai contoh, bagi JPT pratama diwajibkan menyampaikan
perkembangan pelaksanaan kegiatannya kepada lintas unit kerja dalam instansinya
secara bergantian setiap dua pekan atau setiap bulan dalam forum diskusi
internal instansi. Forum ini dihadiri oleh para pegawai antartingkatan dan
antarunit kerja dalam instansi. Sementara itu, para pemangku JPT madya dan
utama melakukan hal serupa dalam forum diskusi lintasinstansi yang difasilitasi
oleh LAN atau KASN. Dari diskusi tersebut para JPT mencatat dan menindaklanjuti
masukan-masukan yang diberikan oleh peserta diskusi. Selain itu, diskusi juga
menjadi wadah bagi pegawai di tingkat yang lebih rendah untuk mempelajari dan
meneladani pengetahuan dan pengalaman para pemangku JPT.
Penutup
Policy
paper ini disusun untuk mendukung penyusunan
rancangan peraturan pemerintah tentang Jabatan Pimpinan Tinggi. Sebagai
masukan, dokumen ini tidaklah bersifat instruksional, namun semata-mata menjadi
bahan pertimbangan dalam penyusunan oleh tim. Dokumen ini juga bukan
satu-satunya sumber masukan, karena penulis menyadari kedalaman pemaparannya
tidak memadai untuk melakukan hal tersebut. Diharapkan dengan adanya masukan
ini dapat membantu memberikan wacana dan pengayaan materi kepada tim penyusun
RPP tentang JPT sehingga dapat menghasilkan RPP yang sesuai dengan harapan
masyarakat, penyusun UU ASN, dan SDM aparatur negara Indonesia yang pada
akhirnya mampu mendukung terwujudnya birokrasi Indonesia yang bersih, kompeten,
dan melayani.
Referensi
Australian Public Service Commissioner’s Directions 2013
Integrated Leadership System (Australian Public Service Commission)
Public Service Act 1999 Amendment (Commonwealth of Australia)
Public Service Regulations 1999 Amendment (Commonwealth of
Australia)
Senior Executive Leadership Capability Framework (Australian Public
Service Commission)
[1] Secretary of Department adalah APSE yang diangkat langsung oleh
Gubernur Jenderal atas usul Perdana Menteri dengan durasi kontrak 5 tahun.
Netralitas APSE pada umumnya dijaga dengan tidak digantinya Secretary of
Department di tengah jalan oleh pemerintah berkuasa meskipun durasi sebuah
pemerintahan adalah 3 tahun. Sebagai contoh, selama pemerintahan Partai Buruh
sejak 2007 hingga 2013, tidak satupun Secretary dicopot di tengah jabatannya
meskipun sebagian dari mereka diangkat pada masa Partai Liberal berkuasa
sebelum 2007. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus hal tersebut terjadi
misalnya pada pemerintahan Tony Abbott ini tiga orang Secretary dicopot dari
jabatannya meskipun kontraknya belum selesai. Secretary of Department adalah
kepala kantor di setiap kementerian dan memegang kuasa penuh dalam pengelolaan
aparatur di instansinya. Seorang menteri tidak dapat mengintervensi manajemen
SDM di kementeriannya sesuka hati, terutama pada level SES, karena manajemen
SES dilakukan oleh Australian Public Service Commission (APSC).
[2] Interim arrangement
diberlakukan mengingat kebijakan utama Tony Abbott adalah memangkas birokrasi.
Mengingat tingginya jumlah pegawai pemerintah yang diberhentikan di berbagai
instansi, termasuk pembubaran sejumlah lembaga, maka pengisian jabatan dalam
instansi pemerintah diutamakan bagi pegawai tetap. Hal ini diberlakukan hingga
postur birokrasi yang diinginkan pemerintahan Liberal Demokrat tercapai.
[3] Mengingat ekspektasi
dasar dari setiap JPT telah tertuang dalam Pasal 19 ayat (2) UU ASN, maka
penilaian kinerja seorang JPT tidak hanya diukur dari capaian target kinerja
output/outcome-nya semata, tetapi juga dari kapabilitas kepemimpinannya
sebagaimana tertera dalam Pasal 19 ayat (2). Penjelasan tentang hal ini
terdapat pada bagian selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar