Sabtu, 15 Maret 2014

Manajemen Senior Executive Service di Australia dan Masukan untuk Manajemen Jabatan Pimpinan Tinggi

Selamat pagi. Melanjutkan tulisan sebelumnya perihal Manajemen Pegawai Tidak Tetap Pemerintah di Australia, pada kesempatan ini saya ingin berbagi satu lagi tulisan yang saya susun sekadar untuk memberikan wawasan dan sudut pandang lain dalam manajemen SDM aparatur. Utamanya adalaha dalam hal manajemen Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Istilah ini baru lahir pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Mungkin diantara pembaca banyak yang belum mengetahui apa itu JPT dan bagaimana JPT dilihat dari praktik lazim administrasi publik di negara lain. Untuk memberikan wawasan tersebutlah saya memutuskan untuk mempublikasikan tulisan ini di blog.

Tulisan ini terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama adalah gambaran umum manajemen Senior Executive Service (SES) di Australia, yang merupakan refleksi praktik JPT di Australia. Bagian kedua adalah pelajaran yang dapat dipetik dalam manajemen SES untuk diterapkan pada manajemen JPT di Indonesia.

Secara prinsip, semua yang tertulis di sini adalah tulisan saya. Namun demikian, dalam prosesnya, saya sangat didukung oleh Dr. Wahyu Sutiyono (University of Canberra), terutama dalam memberikan framework pada bagian kedua dari tulisan ini, yaitu tentang pelajaran yang dapat diambil dari Australia untuk manajemen JPT di Indonesia. Apabila ada kesalahan dalam peristilahan atau penafsiran undang-undang di Australia, semua adalah tanggung jawab saya sebagai penulis. Mengingat ini adalah draft telaah staf dari saya, maka saya sekaligus ini sampaikan permohonan maaf kepada pembaca apabila tulisan kali ini amat sangat panjang dan melelahkan. Saya memutuskan untuk mempublikasikan keseluruhan draft telaah staf ini karena berbeda dengan PPPK yang mungkin sebagian bentuknya telah dikenal di Indonesia, JPT merupakan konsep yang benar-benar baru. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Selamat membaca. 

Pendahuluan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dibentuk dalam rangka membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Undang-undang ini disusun dalam semangat perbaikan menyeluruh atas sistem manajemen sumber daya manusia aparatur (SDM aparatur) dalam dinamika dan kompleksitas nasional dan global yang semakin tinggi.

Salah satu bentuk perubahan penting yang lahir dari UU ASN adalah lahirnya istilah Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Meskipun secara sederhana JPT menjadi pengganti dari peristilahan eselon I dan II, namun dengan adanya tuntutan tersendiri dalam kompetensi pemangku JPT serta serangkaian aturan khusus bagi JPT, maka sejatinya JPT lebih dari sekadar perubahan semantik atas eselon I dan II. Dalam disiplin ilmu manajemen sektor publik, praktik seperti itu bukanlah hal baru. Praktik ini dikenal dengan istilah senior executive atau senior civil service dan telah diterapkan di sejumlah negara maju sebagai salah satu pengungkit reformasi administrasi.

Oleh karena itu, dalam membangun sistem JPT, Indonesia juga dapat belajar dari pengalaman negara-negara maju tersebut. Salah satu negara yang telah menerapkan sistem senior executive adalah Australia. Berangkat dari pengalaman Australia dan kajian literatur lainnya terkait senior executive, telaah staf ini disusun untuk mendukung penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jabatan Pimpinan Tinggi sebagai masukan untuk dapat dipertimbangkan. Dokumen ini tersusun atas dua bagian utama, yaitu “Gambaran Umum Manajemen Senior Executive Service di Australia” dan “Tinjauan dan Masukan atas Manajemen Senior Executive Service untuk Kebijakan Manajemen Jabatan Pimpinan Tinggi di Indonesia”. Diharapkan dengan adanya masukan ini dapat membantu tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jabatan Pimpinan Tinggi dalam mencapai sasaran kerjanya.

Gambaran Umum Manajemen Senior Executive Service di Australia


Senior executive service (SES) merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem kepegawaian pemerintah Australia yang tercantum dalam Public Service Act 1999. Seperti halnya Jabatan Pimpinan Tinggi di Indonesia, SES Australia memiliki fungsi meningkatkan kapasitas kepemimpinan Australian Public Service Employee (APSE) yang dapat mendukung sistem manajemen APSE yang efektif dan kohesif. Terdapat tiga level SES dalam APS, yaitu SES level 1, SES level 2, dan yang paling tinggi adalah SES level 3. Jabatan SES paling tinggi (SES 3) berada langsung di bawah jabatan Secretary of Department di masing-masing kementerian.[1]

Setiap SES harus mampu menunjukkan kemampuannya pada level tertinggi di salah satu atau lebih dari dimensi keahlian berikut:
  1. Keahlian khusus/profesional;
  2. Pemberi masukan strategis atas kebijakan;
  3. Kepemimpinan program atau penyediaan pelayanan publik tertentu;
  4. Penguasaan peraturan perundang-undangan


Selain itu, SES juga harus dapat mendorong koordinasi dalam dan lintas instansi, termasuk mendukung capaian program yang bersifat lintas instansi, dan menunjukkan kapasitas pribadinya sebagai teladan dalam penerapan nilai-nilai APSE, prinsip hubungan industrial APSE, dan kode perilaku APSE.

Hingga Juni 2013, Australia memiliki 2.813 SES dengan rincian 2.079 SES 1, 598 SES 2, dan 136 SES 3. Dengan jumlah ini, maka jumlah SES mencapai sekitar 1,7% dari total APSE. Dari jumlah total tersebut, 2.736 adalah pegawai tetap (ongoing APSE) dan 77 orang adalah pegawai tidak tetap (non-ongoing APSE; baca tulisan sebelumnya). Rincian jumlah ini dapat dilihat pada tautan ini.

Sistem manajemen SDM aparatur Australia seperti halnya Indonesia menganut kombinasi position-based dan career-based. Manifestasi position-based dalam hal manajemen SES adalah penetapan sebuah jabatan sebagai SES dilakukan melalui pengukuran beban kerja dari jabatan tersebut. Terdapat beberapa indikator pengukuran beban kerja, dari kepemimpinan, cakupan urusan, manajemen pemangku kepentingan, kondisi lingkungan kerja, dan kebutuhan independensi dan pembuatan keputusan. Masing-masing indikator berangkat dari empat dimensi keahlian SES sebagaimana disebut di atas. Dari sanalah dapat ditentukan apakah sebuah jabatan layak disebut sebagai jabatan SES atau tidak, termasuk pada level SES apa jabatan tersebut berada. Beban kerja ini akan dievaluasi setiap beberapa tahun, sehingga sebuah jabatan yang tidak memenuhi ketentuan sebagai SES dapat diturunkan klasifikasinya menjadi level di bawahnya (executive service).

Kerangka Dasar Kepemimpinan SES


Dalam manajemen SES, sejak tahun 1999 Australia mengembangkan Senior Executive Leadership Capability Framework (SELCF), yaitu kriteria yang digunakan untuk menilai kepemimpinan setiap pejabat SES. SELCF merupakan instrumen dasar yang digunakan dalam rangka merekrut calon pejabat SES, merencanakan pendidikan dan pelatihan, penilaian kinerja, perencanaan jangka pendek-panjang atas jabatan SES di instansinya, dan untuk pengembangan organisasi secara umum. Kerangkanya adalah sebagaimana gambar 1. Terdapat 5 dimensi kapabilitas, yaitu pemikiran strategis, pencapaian hasil, pembangunan hubungan kerja yang produktif, keteladanan dan integritas, dan komunikasi. Masing-masing dimensi tersebut memiliki sejumlah indikator. Ini adalah kerangka dasar yang berlaku nasional, namun setiap instansi dapat menambahkan dimensi/indikator sebagai tambahan apabila dibutuhkan.


Gambar 1. Senior Executive Leadership Capability Framework

Menindaklanjuti SELCF, pada tahun 2003 APSC mengembangkan Integrated Leadership System (ILS), yaitu kerangka manajemen kepemimpinan yang menyeluruh yang menghubungkan antara SELCF untuk pejabat SES dan APS Employees non-SES. Hal ini terkait dengan peran APSC dalam pengelolaan SES. Pada prinsipnya, semakin tinggi kelas jabatan, semakin besar peran APSC dalam pengembangan kapasitas jabatan tersebut, sebagaimana diilustrasikan gambar 2.




Gambar 2. Capability Development Partnerships

ILS menggambarkan karakteristik kepemimpinan yang dibutuhkan pada setiap jenjang APSE dari APS, Executive, hingga SES. Karakteristik ini dapat digunakan oleh APSE untuk mengetahui kapabilitas kepemimpinan apa yang dibutuhkannya untuk menduduki jabatannya atau jabatan yang lebih tinggi untuk diraihnya. Selain itu juga dapat digunakan oleh Bagian SDM di masing-masing instansi untuk melakukan manajemen SDM aparaturnya secara komprehensif, terutama dalam menyiapkan pegawai menjadi SES. Dengan kata lain, ILS didesain untuk memastikan keselarasan vertikal antara jabatan SES dengan jabatan di tingkat yang lebih rendah dan antartingkatan dalam jabatan SES. Lebih lanjut, ILS juga digunakan sebagai alat dalam penilaian kinerja APSE (selain kontrak kinerja masing-masing jabatan).

Dikembangkan dari SELCF, desain ILS memastikan kompetensi teknis, manajerial, dan kepemimpinan APSE terbangun jalin berkelindan. Pada dasarnya, setiap tingkatan pegawai APSE dari APS 1-6, Executive Level 1-2, hingga SES 1-3 semuanya memiliki kebutuhan kompetensi teknis, manajerial, dan kepemimpinan dengan luasan dan kedalaman masing-masing. Umumnya, semakin tinggi tingkat jabatan, semakin luas dan dalam kebutuhan atas kompetensi manajerial dan kepemimpinannya. ILS menggunakan dimensi-dimensi dalam SELCF untuk diturunkan menjadi kompetensi teknis, manajerial, dan kepemimpinan yang sebagian contohnya dapat dilihat pada tabel 1 hingga 3. Khusus untuk komponen kompetensi manajerial, APSC mengaitkan kompetensi yang dibutuhkan dengan jenis manajemen yang relevan. Hal ini bertujuan memberikan panduan agar peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan manajemen yang terkait dengan kompetensi tersebut.
Tabel 1.
Contoh Dimensi dan Indikator SELCF serta Komponen Kompetensi Teknisnya
Kapabilitas
Komponen Kompetensi Teknis
Shapes Strategic Thinking

Harnesses information and opportunities
Kemampuan mengidentifikasi informasi relevan, mengidentifikasi kelemahan informasi, dan mengenali peluang
Shows judgment, intelligence, and common sense
Kemampuan menganalisis dan mengevaluasi informasi untuk membuat simpulan
Achieves Results

Marshals professional expertise
Kemampuan membagi keahlian individu kepada organisasi dan mendorong rekan kerja untuk memanfaatkan pengetahuan yang dibagi bersama

Tabel 2.
Contoh Dimensi dan Indikator SELCF serta Komponen Kompetensi Manajerialnya
Kapabilitas
Komponen Kompetensi Manajerial
Shapes Strategic Thinking

Shows judgment, intelligence, and common sense
Kemampuan menganalisis dan mensarikan isu utama dengan objektif dan kritis, serta kemampuan menyampaikan argumen secara logis dan menyusun simpulan.
Terkait erat dengan manajemen risiko
Achieves Results

Builds organisational capability and responsiveness
Kemampuan mengevaluasi kinerja kegiatan yang sedang dilakukan dan mengidentifikasi faktor kunci keberhasilan. Kemampuan merespon perubahan ekspektasi secara fleksibel.
Terkait erat dengan manajemen proyek dan manajemen risiko
Marshals professional expertise
Kemampuan mengurus kontrak secara tertib hukum. Aktif dalam memastikan adanya masukan profesional dalam proses kebijakan dan kegiatan.
Terkait erat dengan manajemen pengetahuan dan talent management
Steers and implements change and deals with uncertainty
Kemampuan mengadopsi pendekatan yang terencana dengan baik untuk manajemen setiap kegiatan yang dapat bekerja dengan efektif dalam lingkungan yang berubah dan tidak pasti.
Terkait erat dengan manajemen proyek, manajemen risiko, dan manajemen sumber daya
Ensures closure and delivers on intended results
Kemampuan memonitor perkembangan kegiatan dan mengidentifikasi risiko yang berpotensi memengaruhi outcome kegiatan. Kemampuan memodifikasi rencana apabila dibutuhkan.
Terkait erat dengan manajemen proyek, manajemen risiko, dan manajemen sumber daya
Communicates with Influence

Negotiates persuasively
Kemampuan melakukan pendekatan negosiasi dengan pemahaman yang utuh atas isu utama. Kemampuan menyampaikan argumen yang meyakinkan dan berimbang.
Terkait erat dengan manajemen negosiasi dan manajemen hubungan
Communicates clearly
Kemampuan menyampaikan pesan dengan meyakinkan, jelas, ringkas, dan dalam tata bahasa yang baik.
Terkait erat dengan manajemen pemangku kepentingan dan manajemen hubungan

Tabel 3.
Contoh Dimensi dan Indikator SELCF serta Komponen Kompetensi Kepemimpinannya
Kapabilitas
Komponen Kompetensi Kepemimpinan
Shapes Strategic Thinking

Inspires a sense of purpose and direction
Kemampuan menunjukkan dan mengembangkan visi dan arah strategis unit organisasi
Focuses strategically
Kemampuan memahami peran instansi dalam negara dan masyarakat, termasuk keseluruhan agenda pemerintah
Achieves Results

Ensures closure & delivers on intended results
Kegigihan untuk mencapai hasil dan kemampuan mendorong rekan kerja untuk melakukan hal yang sama
Cultivates Productive Working Relationships

Values individual differences and diversity
Kemampuan mengelola manfaat yang dapat diperoleh dari keragaman dalam organisasi dan perbedaan pandangan
Guides, mentors and develops people
Kemampuan menawarkan dukungan kepada rekan kerja dalam tekanan pekerjaan yang tinggi dan keterlibatan dalam aktivitas yang dapat meningkatkan moral pegawai

Lebih lanjut, sebagaimana digambarkan sebelumnya, jabatan SES dibangun sebagai penghubung antara jabatan di tingkat pelaksana dan pengawas (APS 1-6 dan EL 1-2) dengan keputusan-keputusan politik yang diambil pejabat negara dan ekspektasi masyarakat dalam demokrasi. Oleh karenanya, SES tidak berdiri dalam ruang hampa, tetapi harus didesain dengan utuh, yang menunjukkan kesinambungan dan keselarasan masing-masing kelompok terkait. Dalam hal manajemen, maka desain kompetensi SES dibangun dengan memerhatikan kompetensi yang dibutuhkan oleh level terdekat di bawahnya, yaitu Executive Level 1 dan 2. ILS dibangun dengan kerangka berpikir tersebut dan menunjukkan perbandingan jalur pengembangan SELCF pada masing-masing dimensi SELCF dan masing-masing tingkat jabatan. Contoh perbandingannya terlihat pada Tabel 4.


Tabel 4. Contoh Perbandingan Tingkat Pengembangan SELCF untuk Dimensi Shapes Strategic Thinking Indikator Inspires a Sense of Purpose and Direction


Penjabaran mendetail atas kompetensi yang perlu dimiliki oleh setiap pejabat SES dan tingkat di bawahnya (EL) memberikan gambaran perbandingan kompleksitas lingkungan yang dihadapi oleh SES. Dalam kasus Australia, terdapat empat spektrum yang menunjukkan level kompleksitas jabatan dari EL hingga SES. Keempat spektrum tersebut adalah future focus, breadth of contact, breadth of impact, dan breadth of responsibility. Ilustrasi level kompleksitas tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.


Gambar 3. Level Kompleksitas Jabatan EL dan SES


Dari spektrum tersebut, tergambarkan adanya transisi kompetensi yang dibutuhkan oleh EL ketika akan menjadi SES. Transisi ini secara mendetail dapat dilihat pula pada Tabel 5 berikut. Panah yang berwarna lebih tebal menunjukkan adanya kompetensi baru dari dimensi/indikator tersebut yang diharapkan pada masing-masing tingkat jabatan.

Tabel 5. Transisi Kritis Kompetensi EL dan SES

 Rekrutmen dan Seleksi SES

Seperti halnya APSE lainnya, terdapat tiga jenis SES berdasarkan jenis hubungan ketenagakerjaannya yang dikenal dalam manajemen SES di Australia:
  1. Ongoing SES (berasal dari ongoing APSE)
  2. Non-ongoing SES dengan masa kerja hingga 5 tahun; atau
  3. Non-ongoing SES dengan penugasan tertentu (ad hoc)


Akan tetapi, pada umumnya mekanisme yang digunakan adalah yang pertama, yaitu ongoing APSE melamar dan menduduki jabatan SES. Apabila dibutuhkan adanya masa percobaan bagi kandidat SES dari luar APS, maka masa percobaan itu harus diadakan sebelum yang bersangkutan diangkat sebagai SES. Jika pimpinan instansi mengangkat yang bersangkutan dalam kategori ke-2 dengan durasi kontrak kurang dari 5 tahun, maka kontrak tersebut dapat diperpanjang namun dengan total durasi maksimal 5 tahun (contoh: kontrak pertama 3 tahun, kontrak kedua 2 tahun). Pada awal kontrak, instansi sudah harus merumuskan kompensasi yang harus diberikan apabila pegawai yang bersangkutan diberhentikan di tengah kontrak.

Dalam hal rekrutmen SES, setiap instansi wajib mengumumkan jabatan SES yang lowong di buletin APS (atau pada situs www.apsjobs.gov.au) dan secara luas kepada masyarakat, misalnya melalui situs rekrutmen swasta. Informasi soal lowongan tersebut harus dipublikasikan dalam kurun waktu maksimal 12 bulan sebelum jabatan tersebut diisi secara definitif. Informasi soal lowongan jabatan untuk diisi harus mencantumkan batas waktu pengiriman lamaran, setidaknya 7 hari sebelum batas waktu tersebut. Namun demikian, pada umumnya lowongan diumumkan selama 14 hari hingga 4 pekan. Lowongan ini harus bersifat terbuka kepada seluruh masyarakat termasuk non APSE. Akan tetapi, mengingat proses audit menyeluruh (National Audit Commission) yang sedang dilakukan Australia sejak Oktober 2013 di bawah Perdana Menteri Tony Abbott, terdapat aturan sementara (interim arrangement) yang mengatur bahwa prioritas pengisian jabatan SES adalah untuk ongoing APSE. Apabila dibutuhkan, instansi dapat mengajukan kepada Komisioner APSC untuk membuka lowongan tersebut secara luas kepada masyarakat. Interim arrangement ini akan dicabut setelah audit selesai dilakukan.[2]

Setiap rekrutmen SES, instansi menilai para pelamar berdasarkan dimensi dan indikator dalam SELCF. Instansi dapat menambahkan satu dimensi apabila dibutuhkan. Jika instansi ingin menambahkan dua atau lebih dimensi penilaian, maka harus meminta persetujuan dari APSC. Dalam hal penyeleksian, instansi dapat menggunakan jasa lembaga rekrutmen swasta dengan persetujuan APSC. Lembaga rekrutmen swasta ini harus memahami peraturan perundang-undangan di bidang SDM aparatur dan melaksanakan rekrutmen sesuai dengan ketentuan yang ada.

Komisioner APSC berperan dalam proses rekrutmen SES, baik langsung maupun tidak langsung. Setiap rekrutmen SES, Komisioner APSC menugaskan satu orang untuk merepresentasikan dirinya (karena hanya ada satu Komisioner APSC) sebagai anggota penuh komite pengarah seleksi pejabat SES. Satu orang tersebut kemudian berperan menyatakan apakah proses seleksi berjalan sesuai peraturan perundang-undangan atau tidak. Selanjutnya, Komisioner APSC akan mengesahkan pernyataan tersebut dan instansi dapat secara resmi melantik peserta yang lolos seleksi. Satu orang representasi Komisioner APSC itu adalah SES tingkat 2 atau 3 dan harus berasal dari luar instansi yang melakukan rekrutmen. Instansi yang melakukan rekrutmen dapat mengusulkan nama representasi Komisioner APSC kepada Komisioner APSC, namun persetujuannya tergantung pada Komisioner APSC. Khusus untuk SES tingkat 3, instansi tidak dapat mengajukan nama representasi Komisioner APSC mengingat Komisioner APSC sendiri yang harus ikut dalam tim seleksi. Akan tetapi, apabila Komisioner APSC berhalangan, maka dia dapat menugaskan orang lain sebagai representasinya (harus setingkat SES 3 atau Secretary of Department). Dalam tim seleksi, representasi Komisioner APSC tidak ikut dalam memberikan penilaian atas individu peserta seleksi, tetapi memberikan penilaian atas proses seleksi itu sendiri.

Secara total, komite pengarah seleksi beranggotakan minimal 3 orang yang merupakan pejabat selevel atau di atas level jabatan yang akan diisi. Dalam praktiknya, untuk menghindari konflik kepentingan, apabila ada anggota komite pengarah seleksi yang memiliki hubungan profesional langsung atau kekerabatan dengan peserta seleksi, maka komite pengarah dapat memutuskan agar anggota komite seleksi yang bersangkutan tidak ikut dalam penilaian peserta seleksi yang dimaksud.

Metode penilaian yang digunakan dalam seleksi merupakan kewenangan masing-masing instansi selama mengacu pada SELCF. Minimal, seleksi diadakan dengan tahapan penilaian aplikasi yang dilanjutkan dengan wawancara dan penelusuran rekam jejak. Tapi, instansi dapat pula menggunakan assessment centre, form aplikasi yang didesain khusus, atau instrumen lainnya. Apabila dalam prosesnya tidak terdapat pelamar yang memadai untuk mengisi jabatan, maka representasi Komisioner APSC dalam tim seleksi dapat meminta diadakannya pengumuman ulang. Apabila instansi menolak melakukannya, maka representasi Komisioner APSC dapat melaporkan kepada Komisioner APSC. Instansi tidak akan dapat melantik pejabat SES tanpa adanya persetujuan dari Komisioner APSC.

Dalam keadaan mendesak, instansi dapat menugaskan APSE yang belum mencapai tingkat SES untuk menduduki jabatan SES yang kosong. Pengisian ini bersifat sementara, yaitu antara 1 hingga 3 bulan.

Remunerasi SES

Remunerasi untuk SES diatur dalam APS Executive Remuneration Management Policy (ERMP). Pada prinsipnya, setiap instansi dapat memberikan tunjangan kepada SES sebagai komponen remunerasinya. Kebijakan ERMP ini disusun untuk mengatur agar pemberian insentif tambahan oleh instansi kepada pejabat SES-nya tidak berlebihan. Patokan yang digunakan adalah insentif yang diperoleh oleh Secretary, karena insentif Secretary sudah ditentukan oleh APSC. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan tidak terjadi kesenjangan yang terlalu besar antarinstansi sehingga transfer pegawai antarinstansi masih mungkin dilakukan tanpa perbedaan kesejahteraan yang terlalu signifikan.

Mirip dengan praktik di Indonesia, setiap instansi mengajukan kelas jabatan dan nilai tunjangan kepada instansi pusat (dalam hal ini APSC) yang didasarkan pada faktor jabatan dan kondisi pasar (pasar riil dan pasar tenaga kerja-red). Komisioner APSC yang kemudian berwenang memutuskan apakah usulan tersebut dapat diterima atau tidak, terutama pada kasus di mana instansi mengajukan nilai yang berada di atas ambang batas perkiraan yang diberikan oleh APSC. Setiap pengajuan instansi harus memperoleh jawaban dari APSC paling lama 5 hari kerja setelah diterima oleh APSC. Jawaban tersebut dapat berupa persetujuan, penolakan, atau permohonan informasi lebih lanjut.

Secara detail, total usaha kesejahteraan yang diterima oleh setiap SES terdiri dari komponen sebagai berikut.
  1. Gaji
  2. Lump sum
  3. Benefits; yaitu manfaat non-tunai yang diterima oleh pejabat SES (misal: mobil dinas yang dapat dibeli oleh pejabat yang bersangkutan dan biaya parkirnya)
  4. Bonus; yaitu tunjangan kinerja dan tunjangan lain. Nilai yang tertera pada kontrak setiap SES adalah nilai maksimal yang dapat diperolehnya.
  5. Superannuation; kontribusi pemerintah pada biaya pensiun pejabat SES.
  6. Fasilitas pendukung; segala fasilitas yang mendukung pelaksanaan pekerjaan seperti komunikasi, peranti elektronik, atau keanggotaan premium maskapai penerbangan.
  7. Biaya relokasi; yaitu biaya yang dibutuhkan apabila seorang SES pindah domisili dari suatu tempat ke tempat lain karena alasan dinas.


Yang diperhitungkan dalam nilai total remunerasi adalah nomor 1 s.d. 5. Formula umum yang digunakan oleh Australia dalam menentukan total remunerasi ini adalah 65% dari nilai terendah dari remunerasi untuk seorang Secretary. Sebagaimana dikatakan di atas, instansi dapat mengajukan nilai yang lebih tinggi dari itu, namun harus memperoleh persetujuan dari APSC.

Terminasi SES

Dalam hal seorang pejabat SES gagal memenuhi kontraknya, maka dia akan ditawarkan dua opsi: bertahan sebagai APSE dengan jabatan pada kelas yang lebih rendah atau diberhentikan. APSC memiliki unit yang mendata pejabat dalam kategori ini, termasuk curriculum vitae mereka. Nantinya, instansi dapat melakukan penilaian atas CV tersebut. Apabila mereka berminat, maka mereka dapat merekrut para mantan SES tersebut di instansinya. Instansi yang akan memberhentikan seorang SES wajib menginformasikan kepada Komisioner APSC sebelumnya, sehingga APSC dapat segera memasukkan dan mengelola datanya.

Instansi, dengan persetujuan Komisioner APSC, dapat memberhentikan seorang SES dengan pesangon yang tinggi apabila SES yang bersangkutan menyetujui pensiun dini dalam jangka waktu yang ditawarkan oleh instansi. Hal ini dapat dilakukan apabila terjadi rasionalisasi jumlah SES di instansi tersebut.

Tinjauan dan Masukan atas Manajemen Senior Executive Service untuk Kebijakan Manajemen Jabatan Pimpinan Tinggi di Indonesia


Kebijakan SES di Australia bukan kebijakan yang dibangun dalam semalam. Kebijakan ini bukan pula sebuah produk yang sempurna. Iterasi dan reiterasi terus dilakukan atas kebijakan ini dari waktu ke waktu dengan memerhatikan kebutuhan politik, sosial, dan ekonomi negara pada setiap masa. Bahkan, istilah SES sendiri baru lahir secara resmi di Australia pada tahun 1984 sebagai respon atas tekanan ekonomi yang dialami Australia sepanjang dekade 1970-an hingga awal 1980an. Australia, seperti halnya banyak negara maju lain yang memiliki sistem SES, saling belajar untuk menyempurnakan kebijakan ini sehingga dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan dalam penyusunannya. Melalui pembelajaran berkelanjutan itulah sistem SES mampu menjadi penanda modernisasi sistem manajemen SDM aparatur dengan position-based system dari career-based system yang masih tetap diberlakukan Australia pada jabatan-jabatan di bawah SES.

Bagi Indonesia yang baru memperkenalkan istilah Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) dalam Undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), sistem yang telah berjalan seperempat abad di Australia tentu tidak dapat diikuti dalam semalam. Desain institusional dan kebutuhan politik yang berbeda juga menjadikan sistem SES Australia tidak dapat diadopsi sepenuhnya oleh Indonesia. Sebagai contoh, Indonesia tidak memisahkan antara Secretary of Departement yang semi-politis dengan PNS pada umumnya. Kewenangan kepala instansi sebagai penanggung jawab penuh manajemen SDM aparatur juga bukan diduduki oleh sekretaris instansi tetapi oleh pimpinan tertinggi instansi (menteri/kepala lembaga/kepala daerah). Perbedaan-perbedaan ini (dan perbedaan lainnya) tentu patut menjadi catatan dalam proses pembelajaran Indonesia atas pengalaman Australia.

Bagaimanapun, keberadaan praktik yang sudah bertahan berpuluh tahun di banyak negara maju tentu menunjukkan kebijakan tersebut sebagai kebijakan yang mendukung kemajuan negara-negara tersebut. Oleh karenanya, Indonesia memiliki keuntungan karena dapat memanfaatkan peluang untuk belajar dari pengalaman panjang tersebut untuk membangun sistem yang baru diperkenalkan ini. Dalam bab ini, penulis menyampaikan beberapa catatan yang kiranya layak menjadi perhatian dalam penyusunan kebijakan terkait manajemen JPT. Catatan ini mungkin belum mencakup seluruh aspek yang diamanatkan oleh UU ASN dalam Pasal 19, namun diharapkan dari catatan ini dapat memberikan wacana dalam membangun sistem manajemen JPT yang utuh sesuai semangat reformasi yang dibawa oleh UU ASN.

Kerangka Pikir Sistem Manajemen Jabatan Pimpinan Tinggi

Mendefinisikan kompetensi pemangku JPT adalah langkah pertama yang perlu dilakukan dalam pembangunan sistem manajemen JPT. Dari pendefinisian inilah dapat terlihat struktur bangunan JPT yang nantinya akan dikembangkan menjadi bangunan sepenuhnya, terintegrasi dengan seluruh sistem manajemen ASN. UU ASN telah memberikan titik awal tersebut dalam Pasal 19 ayat (2). Disebutkan bahwa JPT berfungsi memimpin dan memotivasi pegawai ASN pada instansi pemerintah melalui:
1. Kepeloporan dalam bidang:
a.      Keahlian profesional;
b.      Analisis dan rekomendasi kebijakan;
c.       Kepemimpinan manajemen;
      2. Pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan
      3. Keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN.

Dari desain tersebut, perumus kebijakan dapat membangun profil JPT yang terintegrasi dengan jabatan-jabatan lain yang berhubungan langsung dengannya (jabatan administrator atau fungsional keahlian tingkat madya dan utama). Bangunan yang kokoh antara JPT dengan kinerja organisasi juga dapat dimulai dari struktur JPT yang dibangun dengan kesamaan persepsi antarperumus kebijakan JPT. Dalam literatur manajemen sumber daya manusia, hal ini disebut sebagai vertical integration (integrasi vertikal), yaitu keselarasan antara setiap fungsi manajemen sumber daya manusia dengan strategi organisasi secara keseluruhan. Sementara itu, dalam manajemen JPT sendiri dapat disusun manajemen komprehensif yang meliputi fungsi seleksi/rekrutmen, pendidikan dan pelatihan, pengembangan karir, remunerasi, dan manajemen kinerja (termasuk pemberhentian). Dalam literatur manajemen sumber daya manusia, keselarasan antarfungsi manajemen sumber daya manusia disebut sebagai horizontal integration. Mengingat policy paper ini berfokus pada manajemen JPT, maka horizontal integration (integrasi horizontal) yang dimaksud juga berfokus pada manajemen JPT. Selain integrasi horizontal dan vertikal, kesinambungan juga harus terbangun antara strategi organisasi dengan kebijakan nasional. Kesinambungan tersebut tidak berhenti kepada JPT semata, tapi hingga ke tingkat unit kerja dan jabatan di bawah JPT. Apabila dilihat dari sisi sebaliknya, maka ini seperti sungai-sungai kecil (cascade) yang menerima aliran dari hulu (upstream) bernama harapan masyarakat. Ilustrasi kerangka pikir ini sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Kerangka pikir inilah yang akan digunakan dalam pembangunan setiap dan seluruh aspek manajemen JPT.


Gambar 4. Ilustrasi Vertical Integration dan Horizontal Integration Manajemen JPT

Dalam rangka menjamin integrasi vertikal dan kesinambungan antara JPT dengan kebijakan nasional dan kebutuhan masyarakat, maka dapat dikembangkan instrumen untuk mengecek keselarasan antaraktor dalam pembangunan nasional. Instrumen ini dapat digunakan oleh setiap instansi untuk merumuskan ekspektasi kepada para JPT-nya, yang pada akhirnya dapat dikembangkan untuk merumuskan model penilaian kinerja. Contoh instrumennya adalah sebagai berikut.

Tabel 6. Contoh Instrumen Pengecekan Kesinambungan dan Integrasi Vertikal JPT dengan Ekspektasi Nasional
Tahapan dan Aktor Penetapan Ekspektasi
Ekspektasi masyarakat
Ekspektasi parlemen
Ekspektasi kepala pemerintahan
Ekspektasi instansi
Ekspektasi untuk JPT
Dokumen Pendukung
Pra (untuk legitimasi)
Contoh: Dokumen musrenbang atau rapat pemangku kepentingan oleh masing-masing instansi
Contoh: prolegnas dan RAPBN
Contoh: RPJMN, RKP
Contoh: Renstra, Renja
Contoh: Dokumen PK
Pasca (monitoring dan evaluasi)
Contoh: Dokumen rakernas evaluasi kerja pemerintah
Contoh: Dokumen pelaksanaan fungsi pengawasan DPR
Contoh:  Laporan evaluasi capaian RPJMN dan RKP
Contoh: LAKIP
Contoh: LAKIP unit kerja, laporan individu JPT
Rincian ekspektasi/ sasaran
Contoh: Kemudahan ekspor produk industri X
Contoh: Alokasi anggaran untuk insentif ekspor industri X
Contoh: PP tentang tata niaga industri X
Contoh: RPP tata niaga industri X, Permen insentif ekspor industri X
Contoh: R-Permen insentif ekspor industri X
Tindak lanjut
Contoh: diartikulasi oleh parlemen untuk dilanjutkan
Contoh: telah diagregasi dalam anggaran nasional
Contoh: menjadi atributif dalam PP
Contoh: disusun RPP dan Permen terkait
Contoh: disusun R-Permen terkait

Kegunaan instrumen di atas bagi instansi adalah sebagai berikut.
  1. Menelusuri jejak masukan dan ekspektasi beragam aktor terkait dalam pembangunan nasional, terutama yang berhubungan erat dengan instansi;
  2. Memastikan keselarasan masukan dan ekspektasi beragam aktor dengan program kerja instansi hingga ke masing-masing individu JPT;
  3. Menjadi salah satu dasar pembentukan instrumen penilaian kinerja JPT selain kapabilitas kepemimpinan[3];
  4. Bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat terutama yang berkaitan dengan artikulasi dan agregasi kepentingan mereka kepada instansi;



Kesinambungan arus dalam kerangka manajemen strategis tidak hanya dilakukan antara instansi dengan nasional, tetapi juga antartingkat dalam instansi. Oleh karenanya, perlu dipastikan bahwa instansi juga terus melakukan penyelarasan target kinerja hingga ke tingkat unit kerja di bawah unit yang menjadi tanggung jawab JPT. Selain itu, penyelarasan ke bawah juga terkait dengan perbandingan kompetensi yang dibutuhkan oleh pejabat di bawah JPT dengan masing-masing tingkat JPT. Ini menjadi penting karena dapat memandu pejabat yang setingkat di bawah JPT untuk mengukur kapabilitasnya agar dapat menduduki posisi JPT. Selain itu, bagi para pemangku JPT juga berguna sebagai alat ukur kinerjanya sebagai JPT. Bagi instansi, hal ini juga penting untuk mempersiapkan pengembangan SDM bagi pejabat di tingkat non-JPT sehingga siap menduduki JPT. Ilustrasi kesinambungan internal dalam hal kompetensi ini dapat dilihat pada tabel 7 berikut.

Tabel 7. Contoh Kesinambungan Internal Kompetensi JPT dengan Non-JPT
Kriteria
Administrator/ JF Keahlian Madya
JF Keahlian Utama
JPT Pratama
JPT Madya
JPT Utama
Kepeloporan dalam keahlian profesional
Sub-krit. 1
Kompet. A
Kompet. A
Kompet. AA
Kompet. AAA
Kompet. AAA
Sub-krit. 2
Kompet. B
Kompet. BB
Kompet. BB
Kompet. BBB
Kompet. BBBB
Kepeloporan dalam analisis dan rekomendasi kebijakan
Sub-krit. 1
Kompet. C
Kompet. C
Kompet. CC
Kompet. CC
Kompet. CCC
Sub-krit. 2
Kompet. D
Kompet. D
Kompet. DD
Kompet. DD
Kompet. DD
Kepeloporan dalam kepemimpinan manajemen
Sub-krit. 1
Kompet. E
Kompet. EE
Kompet. EEE
Kompet. EEE
Kompet. EEE
Sub-krit. 2
Kompet. F
Kompet. F
Kompet. F
Kompet. FF
Kompet. FFF
Pengembangan kerja sama dengan instansi lain
Sub-krit. 1
Kompet. G
Kompet. GG
Kompet. GG
Kompet. GG
Kompet. GGG
Sub-krit. 2
Kompet. H
Kompet. H
Kompet. HH
Kompet. HH
Kompet. HH
Keteladanan dalam mengamalkan nilai-nilai ASN
Nilai dasar 1 dst.





Kode etik 1 dst.





Kode perilaku 1 dst.






Sub-kriteria pada tabel di atas dapat ditentukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara sebagai bagian dari kewenangan atributifnya (apabila dituangkan dalam Perpres tentang KASN) atau secara langsung dimuat dalam PP tentang JPT. Dari contoh di atas juga dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan profil kompetensi pada masing-masing tingkat. Inilah yang dapat menjadi panduan bagi individu maupun organisasi dalam hal pengembangan SDM untuk dan selama menjadi JPT.

Rekrutmen dan Seleksi JPT

Rekrutmen JPT telah diatur dengan cukup lengkap pada UU ASN Pasal 108 s.d. 111. Namun demikian, tinjauan atas sistem yang diberlakukan Australia dan negara lain dapat tetap dilakukan.  Setidaknya terdapat dua aspek utama yang dapat dijadikan pelajaran dalam pengembangan sistem manajemen JPT.

Pertama, pelibatan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam proses rekrutmen dan seleksi JPT. Meskipun peran ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU ASN, akan tetapi pelibatan KASN dapat dilakukan sebagai manifestasi kewenangan KASN sebagaimana tertuang dalam Pasal 32 ayat (1) dan koordinasi seleksi calon pemangku JPT sebagaimana diatur Pasal 110 ayat (2). Bentuk pelibatan yang dapat dilakukan adalah mekanisme penunjukan unsur eksternal dari panitia seleksi calon pemangku JPT di setiap instansi. Meskipun seluruh panitia seleksi dipilih dan diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) masing-masing instansi (Pasal 110 ayat 4), namun dapat diatur agar salah satu unsur eksternal (jika unsur eksternal lebih dari satu orang) berperan sebagai representasi KASN dan perlu memperoleh persetujuan KASN. Nantinya, orang tersebut akan menjalankan fungsi yang serupa dengan representasi Komisioner APSC di Australia, yaitu hanya memberikan penilaian pada proses seleksi dan bukan pada individu peserta seleksi. Apabila instansi memutuskan unsur eksternal lebih dari satu orang, maka unsur eksternal di luar representasi KASN akan ikut serta dalam penilaian individu peserta seleksi. Hal ini dianggap penting untuk menjamin sifat manajemen JPT yang nasional, berbasis posisi, menjadi teladan bagi seluruh PNS, dan menjamin unified personnel system dalam manajemen SDM aparatur.

Kedua, setiap JPT sebaiknya diangkat dalam kontrak kerja khusus yang memuat hak dan kewajibannya selama memangku jabatan tersebut. Hal ini dilakukan oleh Australia untuk setiap JPT, baik yang berasal dari PNS maupun dari luar PNS, sebagaimana dapat dilihat pada lampiran policy paper ini. Penulis beranggapan bahwa sebaiknya masa kontrak JPT pada setiap jabatan dijamin minimal selama 2 (dua) tahun atau maksimal 4 (empat) tahun dengan peninjauan atas kinerja dilakukan setiap semester atau setiap tahun. Keberadaan kontrak ini akan mengurangi potensi politisasi JPT oleh kepala instansi.

Namun demikian, sistem kontrak ini juga harus menjamin agar pemangku JPT yang berkinerja baik dan telah menyelesaikan masa kontraknya dapat tetap menduduki JPT-nya atau dialihkan pada JPT lain yang setingkat. Ini adalah potensi politisasi lainnya dari JPT. Oleh sebab itu, pendataan dan pembinaan JPT harus dilakukan secara rutin oleh KASN. Perlu diatur agar KASN dapat membantu pemangku JPT yang habis masa kontraknya untuk dipindahkan ke JPT lain di instansi yang sama atau lainnya, namun tetap melalui mekanisme seleksi. Apabila memang tidak terdapat posisi yang dapat diduduki oleh JPT tersebut, maka JPT yang bersangkutan dapat dialihkan ke jabatan fungsional yang sesuai dengan keahliannya.

Pendidikan dan Pelatihan serta Pengembangan Karir JPT

Dalam hal diklat dan pengembangan JPT, Indonesia dapat meniru prinsip yang berlaku di Australia sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2. Artinya, dalam hal kewenangan, peran instansi semakin mengecil dan peran instansi pusat terkait (LAN, BKN, dan KASN) semakin tinggi. Oleh karenanya, kedua lembaga tersebut harus mampu menyiapkan infrastruktur dan fasilitas pendukung yang dibutuhkan untuk menjamin kapabilitas seluruh pemangku JPT terjaga dan sesuai dengan yang diharapkan dalam Pasal 19 ayat (2).

  1. Pendidikan, pelatihan, dan pengembangan ini dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain:
  2. Pertukaran sementara (2-4 bulan) antarjabatan JPT untuk memberikan pengalaman mengepalai unit pelayanan yang berkaitan langsung dengan masyarakat;
  3. Pertukaran sementara (2-4 bulan) antarjabatan JPT untuk memberikan pengalaman mengepalai unit pembuatan kebijakan;
  4. Pertukaran sementara (2-4 bulan) antarjabatan JPT di tingkat pusat dan daerah;
  5. Pertukaran sementara (2-4 bulan) antara JPT dengan pimpinan entitas bisnis (BUMN atau swasta);
  6. Penugasan JPT untuk membantu langsung lembaga swadaya masyarakat di lingkungannya;
  7. Penugasan untuk melakukan kerja sukarelawan di NGO internasional;
  8. Pelatihan berupa kursus singkat atau executive education; dan
  9. Penugasan belajar dalam atau luar negeri.


Sebagian besar dari metode-metode ini sebenarnya telah dikenal sebelum adanya UU ASN. Sementara itu, sebagian lagi dapat dilakukan sebagai manifestasi dari Pasal 70 ayat (5) dan (6). Patut dipertimbangkan bagi pembuat kebijakan pelaksana tentang JPT untuk menegaskan metode-metode diklat dan pengembangan yang dikembangkan untuk JPT untuk memberikan pemahaman bagi para pemangku JPT untuk mengikuti program tersebut. Metode-metode ini dalam tingkat yang berbeda juga dapat dikembangkan oleh instansi masing-masing untuk para pejabat di tingkat terdekat dengan JPT (administrator atau JF keahlian utama/madya) dalam rangka membekali mereka untuk menduduki JPT.

Selain itu, dapat pula dikembangkan pengaturan agar setiap JPT dalam rangka meningkatkan koordinasi intra dan interinstansi harus berperan dalam manajemen pengetahuan intra dan interinstansi. Sebagai contoh, bagi JPT pratama diwajibkan menyampaikan perkembangan pelaksanaan kegiatannya kepada lintas unit kerja dalam instansinya secara bergantian setiap dua pekan atau setiap bulan dalam forum diskusi internal instansi. Forum ini dihadiri oleh para pegawai antartingkatan dan antarunit kerja dalam instansi. Sementara itu, para pemangku JPT madya dan utama melakukan hal serupa dalam forum diskusi lintasinstansi yang difasilitasi oleh LAN atau KASN. Dari diskusi tersebut para JPT mencatat dan menindaklanjuti masukan-masukan yang diberikan oleh peserta diskusi. Selain itu, diskusi juga menjadi wadah bagi pegawai di tingkat yang lebih rendah untuk mempelajari dan meneladani pengetahuan dan pengalaman para pemangku JPT.

Penutup

Policy paper ini disusun untuk mendukung penyusunan rancangan peraturan pemerintah tentang Jabatan Pimpinan Tinggi. Sebagai masukan, dokumen ini tidaklah bersifat instruksional, namun semata-mata menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan oleh tim. Dokumen ini juga bukan satu-satunya sumber masukan, karena penulis menyadari kedalaman pemaparannya tidak memadai untuk melakukan hal tersebut. Diharapkan dengan adanya masukan ini dapat membantu memberikan wacana dan pengayaan materi kepada tim penyusun RPP tentang JPT sehingga dapat menghasilkan RPP yang sesuai dengan harapan masyarakat, penyusun UU ASN, dan SDM aparatur negara Indonesia yang pada akhirnya mampu mendukung terwujudnya birokrasi Indonesia yang bersih, kompeten, dan melayani.

Referensi

Australian Public Service Commissioner’s Directions 2013
Integrated Leadership System (Australian Public Service Commission)
Public Service Act 1999 Amendment (Commonwealth of Australia)
Public Service Regulations 1999 Amendment (Commonwealth of Australia)
Senior Executive Leadership Capability Framework (Australian Public Service Commission)






[1] Secretary of Department adalah APSE yang diangkat langsung oleh Gubernur Jenderal atas usul Perdana Menteri dengan durasi kontrak 5 tahun. Netralitas APSE pada umumnya dijaga dengan tidak digantinya Secretary of Department di tengah jalan oleh pemerintah berkuasa meskipun durasi sebuah pemerintahan adalah 3 tahun. Sebagai contoh, selama pemerintahan Partai Buruh sejak 2007 hingga 2013, tidak satupun Secretary dicopot di tengah jabatannya meskipun sebagian dari mereka diangkat pada masa Partai Liberal berkuasa sebelum 2007. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus hal tersebut terjadi misalnya pada pemerintahan Tony Abbott ini tiga orang Secretary dicopot dari jabatannya meskipun kontraknya belum selesai. Secretary of Department adalah kepala kantor di setiap kementerian dan memegang kuasa penuh dalam pengelolaan aparatur di instansinya. Seorang menteri tidak dapat mengintervensi manajemen SDM di kementeriannya sesuka hati, terutama pada level SES, karena manajemen SES dilakukan oleh Australian Public Service Commission (APSC).
[2] Interim arrangement diberlakukan mengingat kebijakan utama Tony Abbott adalah memangkas birokrasi. Mengingat tingginya jumlah pegawai pemerintah yang diberhentikan di berbagai instansi, termasuk pembubaran sejumlah lembaga, maka pengisian jabatan dalam instansi pemerintah diutamakan bagi pegawai tetap. Hal ini diberlakukan hingga postur birokrasi yang diinginkan pemerintahan Liberal Demokrat tercapai.
[3] Mengingat ekspektasi dasar dari setiap JPT telah tertuang dalam Pasal 19 ayat (2) UU ASN, maka penilaian kinerja seorang JPT tidak hanya diukur dari capaian target kinerja output/outcome-nya semata, tetapi juga dari kapabilitas kepemimpinannya sebagaimana tertera dalam Pasal 19 ayat (2). Penjelasan tentang hal ini terdapat pada bagian selanjutnya.

Tidak ada komentar: