Rabu, 21 Mei 2014

Catatan Pribadi atas Visi-Misi Joko Widodo-Jusuf Kalla

Kemarin saya menulis di status Facebook saya sejumlah catatan setelah saya membaca penuh Manifesto Gerindra. Kebetulan malam ini saya melihat dokumen visi-misi pasangan calon presiden/wakil presidenJoko Widodo-Jusuf Kalla, sehingga sewajarnya saya juga menelaah dokumen ini, dengan segala keterbatasan saya.

Pada bagian identifikasi problem utama bangsa (hal. 1), disebutkan 3 problem utama bangsa, yaitu ancaman merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional, dan merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Pada intinya pasangan ini ingin menyampaikan bahwa persoalan besar kita adalah pada bagaimana kita bereaksi dengan dinamika pergaulan global. Ada kalimat yang sangat cantik pada penjabaran masalah ke-3 "...bangsa ini berada di tengah pertarungan dua arus kebudayaan. Di satu sisi... dihadapkan pada kebudayaan yang didorong oleh kekuatan pasar yang menempatkan manusia sebagai komoditas semata. Di sisi lain, muncul kebudayaan yang menekankan penguatan identitas primordial di tengah derasnya arus globalisasi". Ini merepresentasikan apa yang dalam ilmu manajemen dikenal sebagai glokalisasi. Tekanan pada negara-bangsa terjadi dari dua  arah, dari luar (globalisasi yang diwakili oleh kekuatan kapitalisme) dan dalam (lokalisasi yang diwakili oleh sentimen primordialisme). Pada bangsa yang majemuk seperti Indonesia, yang bukan seperti bangsa dalam definisi Ernest Renan, dua tekanan ini sangat bisa berakibat fatal. Pengagendaan masalah ini sangat penting terutama dalam konteks menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN dan yang lebih luas lagi.

Visi pasangan ini adalah "Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan semangat gotong-royong". Visi ini berangkat dari Trisakti-nya Soekarno yang disampaikan dalam pidato yang berjudul Tahun Vivere Periculoso (Tavip). Saya harus angkat topi karena pasangan ini dan timnya berhasil menyarikan semangat Trisakti yang sempat melenceng beberapa waktu belakangan. Sempat dikatakan di media oleh beberapa politisi bahwa Indonesia harus berdaulat dan mandiri, yang kemudian diartikan sebagai merebut semua aset yang telah dikuasai asing dan menutup keran impor. Di dokumen ini, Trisakti diluruskan kembali bahwa berdaulat dan mandiri itu bukan berarti hidup dalam isolasi dari pergaulan internasional. Berdaulat dan mandiri adalah menjadi bangsa yang berdaulat dan mandiri seperti juga mengakui kedaulatan dan kemandirian bangsa lain.

Secara format, dokumen ini sudah selaras dengan format perencanaan pembangunan yang sudah ada saat ini (RPJPN dan RPJMN), artinya tidak butuh upaya lanjutan yang keras untuk aligning agenda pasangan Jokowi-JK dengan RPJPN yang sudah ada. Terdapat 9 agenda prioritas yang disebutkan oleh pasangan ini, mereka namakan "Nawa Cita", yang akan saya kaji satu-persatu dengan segala kekurangan saya.

Agenda prioritas pertama adalah "menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara". Pada bagian ini, antara lain disebutkan bahwa pasangan ini akan memajukan kerja sama Selatan-Selatan. Pengagendaan ini menjadi penting mengingat pada pertengahan tahun ini direncanakan BRICS Development Bank akan lahir dan menjadi alternatif pendanaan pembangunan di luar IMF dan World Bank. Secara historis, bank pembangunan ini lahir dari keresahan negara berkembang atas conditionalities yang ditetapkan oleh kedua Bretton Wood institutions tersebut. Selain itu, pasangan ini juga akan meningkatkan anggaran pertahanan menjadi 1,5 persen dari GDP dalam lima tahun. Estimasi terakhir GDP 2013 dari tradingeconomics.com yang mengambil data dari World Bank adalah US$ 878,043 miliar atau sekitar Rp 9.658.473.000.000.000 (9 ribuan triliun) dengan kurs Rp 11.000 per US$. Kalau anggaran pertahanan diasosiasikan sama dengan anggaran Kementerian Pertahanan, maka tahun 2014 ini nilainya adalah Rp 86,4 triliun atau baru 0,9 persennya. Saat ini pun, Kementerian Pertahanan sudah menjadi kementerian dengan anggaran terbesar. Sangat menarik karena pasangan ini menyampaikan bahwa fokusnya adalah menjadikan TNI sebagai kekuatan maritim regional yang disegani (hal. 14). Ini berarti pasangan ini menyadari bahwa selama ini di laut kita tidak jaya. Catatan menarik lain adalah akan direstrukturisasinya Polri menjadi kementerian negara.

Agenda prioritas ke-2 adalah “membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya”. Ini jadi bagian favorit saya, karena agenda reformasi birokrasi disebutkan secara jelas. Dikatakan bahwa pasangan ini akan melakukan restrukturisasi kelembagaan (hal 18). Ini merupakan agenda yang sangat penting karena saat ini postur pemerintah pusat sangat tidak ideal. Hanya saja, ada satu yang menarik di bagian ini, yaitu akan disusunnya undang-undang kontrak layanan publik. Saya kurang paham apa yang dimaksud di sini, karena pada dasarnya nilai citizen charter sudah terwakili dalam UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Mungkin pasangan ini belum menengok bae-bae (ala JK) seluruh peraturan perundang-undangan yang ada. Satu hal yang saya cari-cari di bagian ini tapi tidak ketemu adalah peningkatan kesejahteraan aparatur. Hehehe. Entah terlupa atau memang dianggap embedded dalam peningkatan kompetensi dan kualitas layanan. Maksudnya, kalau kompetensi dan kualitas layanan sudah meningkat, maka selayaknya kesejahteraan pun akan ditingkatkan. Bagaimanapun, pernyataan tegas bahwa pasangan ini akan secara konsisten menjalankan UU Aparatur Sipil Negara (hal. 20) seharusnya juga bermakna peningkatan kesejahteraan. Semoga. Hehe.

Agenda prioritas selanjutnya adalah “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat Daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Sangat menarik karena judul agenda ini dalam kerangka negara kesatuan, tapi dimulai dengan akan diberlakukannya desentralisasi asimetris. Sejak dulu saya ingin Indonesia bisa membanggakan sistem pemerintahan daerahnya sendiri, lepas dari ala Napoleon yang selama ini berlaku. Akan tetapi, akan menarik untuk melihat bagaimana desentralisasi asimetris bisa berjalan dalam negara kesatuan seperti Indonesia. Selama ini juga kita sebenarnya sudah asimetris dengan Jakarta, Aceh, dan Papua memiliki perbedaan kewenangan dibandingkan daerah lain. Tapi tentu pasangan ini punya ide sendiri soal apa yang dimaksud asimetris.

Poin menarik pada agenda ini adalah pernyataan “pengaturan kembali sistem distribusi keuangan nasional sehingga proses pembangunan tidak semata-mata mengikuti logika struktur pemerintahan tetapi melihat kondisi dan kebutuhan daerah yang asimetris”. Saya menangkap ini pesan yang luar biasa karena ini akan mengerem syahwat membentuk daerah pemekaran. Seperti banyak dilaporkan dalam penelitian, termasuk penelitian yang saya lakukan bersama tim Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI pada tahun 2008-2009, banyak daerah pemekaran yang lahir dari motivasi para elite birokrasi untuk memperoleh anggaran sendiri dan membentuk jabatan-jabatan birokrasinya. Ini karena formula Dana Alokasi Umum (DAU) memang mengikuti pula jumlah pegawai pemda yang bersangkutan. Hasilnya kita lihat sekarang, banyak daerah pemekaran yang belum berhasil menyejahterakan penduduknya.

Agenda ke-4 adalah “reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya”. Pada agenda ini disebutkan prioritas sektor-sektor yang akan “dibersihkan” dari korupsi. Saya mengapresiasi masuknya korupsi di sektor lingkungan hidup. Sayangnya sektor perpajakan dan bea cukai tidak masuk di sini dan baru masuk pada bagian program (hal. 24).

Agenda ke-5 adalah “meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia” melalui adaptasi program-program yang selama ini sudah dikerjakan Jokowi di Solo dan Jakarta. Ya, seperti bisa diduga, nama yang diusung adalah “Indonesia sehat” dan “Indonesia pintar” layaknya Jakarta sehat dan Jakarta pintar. Program kampung deret yang merupakan inisiatif Jokowi juga akan menjadi program nasional. Saya tidak punya catatan untuk agenda ini karena bidang ini terbukti menjadi salah satu keunggulan Jokowi. Sayangnya, tidak disinggung sesuatu apapun tentang BPJS di sini, padahal dalam banyak kesempatan saya selalu yakin bahwa Jokowi adalah orang yang tepat untuk menyempurnakan SJSN lewat BPJS. Sektor ini pun rawan korupsi, sehingga layak mendapat perhatian khusus oleh siapapun capresnya.

Agenda ke-6 “meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional” sangat mengejutkan saya. Awalnya saya kira ini akan berisi agenda seputar pendidikan dan pelatihan semata, ternyata sangat konkret dan logis. Fokus agenda ini adalah pada infrastruktur, termasuk pembangunan infrastruktur jalan baru 2.000 kilometer dan perbaikan jalan, pembangunan masing-masing 10 bandara, pelabuhan, dan kawasan industri baru, dan 5.000 pasar tradisional. Selain itu juga lewat modernisasi sektor keuangan terutama untuk usaha kecil dan menengah, serta fokus pada ristek yang berbeda dengan manifesto Gerindra yang saya kritisi di status Facebook kemarin, pada agenda ini memuat soal anggaran, kapasitas, dan paten. Agenda ini bersih dari catatan saya.

Selanjutnya adalah “mewujdkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”. Agenda ini cukup menarik karena banyak program yang bersifat rehabilitatif atas kebijakan yang selama ini dianggap belum tepat, semisal perbaikan irigasi, pendirian bank petani dan UMKM, pergudangan dan fasilitas pascapanen. Seperti seringkali disampaikan Jokowi, fokus pembangunan selama ini adalah pada proses produksi, tetapi pra dan pascaproduksi belum optimal digarap. Sayangnya, target tax ratio yang disasar di agenda ini hanya sampai 16 persen. Saat ini tax ratio kita sekitar 13%, baru setengahnya dari negara liberal seperti AS yang sekitar 27 persen, apalagi kalau dibandingkan dengan negara-negara sosial demokratis seperti Denmark (49 persen), Swedia (45,8 persen), atau Finlandia (43,6 persen). Jika Indonesia ingin seperti dicita-citakan (yaitu negara sebagai penyedia kebutuhan masyarakat), maka peningkatan tax ratio menjadi penting. Jokowi, sebagaimana pernah disampaikan oleh Sholahudin Wahid, pernah mengatakan bahwa Ditjen Pajak harus dipisah dari Kementerian Keuangan agar mampu membentuk sistem mandiri dan berkembang pesat layaknya instansi perpajakan di negara-negara maju. Ini merupakan kebijakan yang penting dan berimplikasi besar.

Agenda ke-8 adalah “revolusi karakter bangsa”, yang dilakukan lewat penataan kurikulum. Entah kenapa saya selalu merasa tua setiap mendengar perubahan kurikulum (atau penataan atau apalah namanya). Ini harus jadi catatan besar karena kurikulum 2013 sebenarnya bisa saja diintegrasikan dengan keinginan pasangan ini mengedepankan aspek kewarganegaraan. Akan tetapi, untuk aspek lain dalam agenda ini saya sepakati, seperti program UU Wajib Belajar 12 tahun tanpa dipungut biaya, redistribusi beban pengajaran, peningkatan kesejahteraan guru di daerah terpencil, peninjauan ulang sistem UAN, dan fokus pada “techno-ideology”.

Agenda ke-9 adalah “memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia”. Ah, ini pasti dari Surya Paloh. Hehehe. Sayangnya terlalu banyak yang normatif di agenda yang ini. Satu hal yang membuat mata saya terbelalak adalah pernyataan “mendorong kebijakan yang menetapkan penugasan PNS di seluruh Indonesia, seperti halnya TNI selama ini”. Mateng deh. Hahaha. Tapi inilah konsekuensi dari unified personnel system yang kita anut selama ini. Kalau memang Jokowi mau menegakkan ini, maka persoalan redistribusi PNS setidaknya memiliki harapan untuk terselesaikan. Tentunya harus secara bijak dengan mempertimbangkan ketimpangan kesejahteraan PNS bersangkutan.

Dalam rincian program yang termuat sejak halaman 12 ke belakang, ada beberapa yang menarik hati saya, seperti:
  1. Mendorong reformasi IMF dan World Bank (hal. 13
  2. Memperkuat matra pertahanan laut pada TNI (hal. 14)
  3. Menjadikan Polri sebagai kementerian (hal. 15)
  4. Mewajibkan instansi pemerintah membuat laporan kinerja dan membuka aksesnya pada publik (hal. 17)
  5. Penataan struktur ketatanegaraan (hal. 18) à dengan sangat cantik disebutkan bahwa kita tidak memiliki tuntutan ideologi yang jelas dalam memandu kerja lembaga negara. Saya apresiasi hal ini.
  6. Gubernur sebagai pengendali sumber daya nasional yang didistribusikan masing-masing sektor ke daerah (hal. 19)
  7. Penataan ulang struktur DAU (hal. 19)
  8. Pengaturan ulang kedudukan dan peran desa, kelurahan, dan kecamatan dalam UU Pemerintahan Daerah (hal. 20)
  9. National Single Identity Number (hal. 20)
  10. Prioritasi 20 RUU dalam prolegnas (hal. 24)
  11. RUU Perampasan Aset (hal. 24)
  12. Mengembangkan alternatif pemidanaan untuk mengatasi overcapacity di lapas (hal. 28)
  13. Penetapan payung hukum yang lebih kuat dan berkesinambungan bagi agenda reformasi birokrasi (hal. 28) à hahaha, mantap lah posisi Kemenpan nanti ;)
  14. Revisi UU migas (hal. 31)
  15. Perlindungan buruh lewat berbagai RUU terkait ketenagakerjaan (hal. 33)
  16. Merancang ulang lembaga pemungutan pajak berikut peningkatan kuantitas dan kualitas aparatur perpajakan (hal. 34)
  17. Insentif bagi lembaga dan pemda yang penyerapannya tinggi dan kebocorannya sedikit (hal. 34)


Secara umum, saya pikir ini adalah dokumen politik yang sangat baik karena dilengkapi dengan sasaran yang terukur. Tentu saja banyak catatan di sana-sini, termasuk yang bukan keahlian saya untuk mengomentarinya, dan itu menjadi tugas kita bersama untuk mengkritisi. Akan tetapi, bagi saya dokumen ini cukup memberikan harapan atas perubahan. Semoga pasangan ini memiliki komitmen untuk melaksanakan apa yang mereka janjikan di dokumen ini saat terpilih nantinya.


Daley Road, 21 May 2014

Tidak ada komentar: