Kemarin saya menulis di status Facebook
saya sejumlah catatan setelah saya membaca penuh Manifesto Gerindra. Kebetulan
malam ini saya melihat dokumen visi-misi pasangan calon presiden/wakil presidenJoko Widodo-Jusuf Kalla, sehingga sewajarnya saya juga menelaah dokumen ini,
dengan segala keterbatasan saya.
Pada bagian identifikasi problem utama
bangsa (hal. 1), disebutkan 3 problem utama bangsa, yaitu ancaman merosotnya
kewibawaan negara, melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional, dan merebaknya
intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Pada intinya pasangan ini ingin
menyampaikan bahwa persoalan besar kita adalah pada bagaimana kita bereaksi
dengan dinamika pergaulan global. Ada kalimat yang sangat cantik pada
penjabaran masalah ke-3 "...bangsa ini berada di tengah pertarungan dua
arus kebudayaan. Di satu sisi... dihadapkan pada kebudayaan yang didorong oleh
kekuatan pasar yang menempatkan manusia sebagai komoditas semata. Di sisi lain,
muncul kebudayaan yang menekankan penguatan identitas primordial di tengah
derasnya arus globalisasi". Ini merepresentasikan apa yang dalam ilmu
manajemen dikenal sebagai glokalisasi. Tekanan pada negara-bangsa terjadi dari
dua arah, dari luar (globalisasi yang
diwakili oleh kekuatan kapitalisme) dan dalam (lokalisasi yang diwakili oleh
sentimen primordialisme). Pada bangsa yang majemuk seperti Indonesia, yang
bukan seperti bangsa dalam definisi Ernest Renan, dua tekanan ini sangat bisa
berakibat fatal. Pengagendaan masalah ini sangat penting terutama dalam konteks
menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN dan yang lebih luas lagi.
Visi pasangan ini adalah "Terwujudnya
Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan semangat
gotong-royong". Visi ini berangkat dari Trisakti-nya Soekarno yang
disampaikan dalam pidato yang berjudul Tahun Vivere Periculoso (Tavip). Saya
harus angkat topi karena pasangan ini dan timnya berhasil menyarikan semangat
Trisakti yang sempat melenceng beberapa waktu belakangan. Sempat dikatakan di
media oleh beberapa politisi bahwa Indonesia harus berdaulat dan mandiri, yang
kemudian diartikan sebagai merebut semua aset yang telah dikuasai asing dan
menutup keran impor. Di dokumen ini, Trisakti diluruskan kembali bahwa
berdaulat dan mandiri itu bukan berarti hidup dalam isolasi dari pergaulan
internasional. Berdaulat dan mandiri adalah menjadi bangsa yang berdaulat dan
mandiri seperti juga mengakui kedaulatan dan kemandirian bangsa lain.
Secara format, dokumen ini sudah selaras
dengan format perencanaan pembangunan yang sudah ada saat ini (RPJPN dan
RPJMN), artinya tidak butuh upaya lanjutan yang keras untuk aligning agenda
pasangan Jokowi-JK dengan RPJPN yang sudah ada. Terdapat 9 agenda prioritas
yang disebutkan oleh pasangan ini, mereka namakan "Nawa Cita", yang akan saya
kaji satu-persatu dengan segala kekurangan saya.
Agenda prioritas pertama adalah
"menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga negara". Pada bagian ini, antara
lain disebutkan bahwa pasangan ini akan memajukan kerja sama Selatan-Selatan.
Pengagendaan ini menjadi penting mengingat pada pertengahan tahun ini
direncanakan BRICS Development Bank akan lahir dan menjadi alternatif pendanaan
pembangunan di luar IMF dan World Bank. Secara historis, bank pembangunan ini
lahir dari keresahan negara berkembang atas conditionalities
yang ditetapkan oleh kedua Bretton Wood
institutions tersebut. Selain itu, pasangan ini juga akan meningkatkan
anggaran pertahanan menjadi 1,5 persen dari GDP dalam lima tahun. Estimasi
terakhir GDP 2013 dari tradingeconomics.com yang mengambil data dari World Bank
adalah US$ 878,043 miliar atau sekitar Rp 9.658.473.000.000.000 (9 ribuan
triliun) dengan kurs Rp 11.000 per US$. Kalau anggaran pertahanan diasosiasikan
sama dengan anggaran Kementerian Pertahanan, maka tahun 2014 ini nilainya
adalah Rp 86,4 triliun atau baru 0,9 persennya. Saat ini pun, Kementerian
Pertahanan sudah menjadi kementerian dengan anggaran terbesar. Sangat menarik
karena pasangan ini menyampaikan bahwa fokusnya adalah menjadikan TNI sebagai
kekuatan maritim regional yang disegani (hal. 14). Ini berarti pasangan ini menyadari
bahwa selama ini di laut kita tidak jaya. Catatan menarik lain adalah akan
direstrukturisasinya Polri menjadi kementerian negara.
Agenda prioritas ke-2 adalah “membangun
tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya”. Ini
jadi bagian favorit saya, karena agenda reformasi birokrasi disebutkan secara
jelas. Dikatakan bahwa pasangan ini akan melakukan restrukturisasi kelembagaan
(hal 18). Ini merupakan agenda yang sangat penting karena saat ini postur
pemerintah pusat sangat tidak ideal. Hanya saja, ada satu yang menarik di bagian
ini, yaitu akan disusunnya undang-undang kontrak layanan publik. Saya kurang
paham apa yang dimaksud di sini, karena pada dasarnya nilai citizen charter sudah terwakili dalam UU
25/2009 tentang Pelayanan Publik. Mungkin pasangan ini belum menengok bae-bae
(ala JK) seluruh peraturan perundang-undangan yang ada. Satu hal yang saya
cari-cari di bagian ini tapi tidak ketemu adalah peningkatan kesejahteraan
aparatur. Hehehe. Entah terlupa atau memang dianggap embedded dalam peningkatan kompetensi dan kualitas layanan.
Maksudnya, kalau kompetensi dan kualitas layanan sudah meningkat, maka
selayaknya kesejahteraan pun akan ditingkatkan. Bagaimanapun, pernyataan tegas
bahwa pasangan ini akan secara konsisten menjalankan UU Aparatur Sipil Negara
(hal. 20) seharusnya juga bermakna peningkatan kesejahteraan. Semoga. Hehe.
Agenda prioritas selanjutnya adalah “membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat Daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan”. Sangat menarik karena judul agenda ini dalam
kerangka negara kesatuan, tapi dimulai dengan akan diberlakukannya
desentralisasi asimetris. Sejak dulu saya ingin Indonesia bisa membanggakan
sistem pemerintahan daerahnya sendiri, lepas dari ala Napoleon yang selama ini
berlaku. Akan tetapi, akan menarik untuk melihat bagaimana desentralisasi
asimetris bisa berjalan dalam negara kesatuan seperti Indonesia. Selama ini
juga kita sebenarnya sudah asimetris dengan Jakarta, Aceh, dan Papua memiliki
perbedaan kewenangan dibandingkan daerah lain. Tapi tentu pasangan ini punya
ide sendiri soal apa yang dimaksud asimetris.
Poin menarik pada agenda ini adalah
pernyataan “pengaturan kembali sistem distribusi keuangan nasional sehingga
proses pembangunan tidak semata-mata mengikuti logika struktur pemerintahan
tetapi melihat kondisi dan kebutuhan daerah yang asimetris”. Saya menangkap ini
pesan yang luar biasa karena ini akan mengerem syahwat membentuk daerah
pemekaran. Seperti banyak dilaporkan dalam penelitian, termasuk penelitian yang
saya lakukan bersama tim Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI pada tahun 2008-2009,
banyak daerah pemekaran yang lahir dari motivasi para elite birokrasi untuk
memperoleh anggaran sendiri dan membentuk jabatan-jabatan birokrasinya. Ini
karena formula Dana Alokasi Umum (DAU) memang mengikuti pula jumlah pegawai
pemda yang bersangkutan. Hasilnya kita lihat sekarang, banyak daerah pemekaran
yang belum berhasil menyejahterakan penduduknya.
Agenda ke-4 adalah “reformasi sistem dan
penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya”. Pada agenda
ini disebutkan prioritas sektor-sektor yang akan “dibersihkan” dari korupsi.
Saya mengapresiasi masuknya korupsi di sektor lingkungan hidup. Sayangnya sektor
perpajakan dan bea cukai tidak masuk di sini dan baru masuk pada bagian program
(hal. 24).
Agenda ke-5 adalah “meningkatkan kualitas
hidup manusia Indonesia” melalui adaptasi program-program yang selama ini sudah
dikerjakan Jokowi di Solo dan Jakarta. Ya, seperti bisa diduga, nama yang
diusung adalah “Indonesia sehat” dan “Indonesia pintar” layaknya Jakarta sehat
dan Jakarta pintar. Program kampung deret yang merupakan inisiatif Jokowi juga
akan menjadi program nasional. Saya tidak punya catatan untuk agenda ini karena
bidang ini terbukti menjadi salah satu keunggulan Jokowi. Sayangnya, tidak
disinggung sesuatu apapun tentang BPJS di sini, padahal dalam banyak kesempatan
saya selalu yakin bahwa Jokowi adalah orang yang tepat untuk menyempurnakan
SJSN lewat BPJS. Sektor ini pun rawan korupsi, sehingga layak mendapat
perhatian khusus oleh siapapun capresnya.
Agenda ke-6 “meningkatkan produktivitas
rakyat dan daya saing di pasar internasional” sangat mengejutkan saya. Awalnya
saya kira ini akan berisi agenda seputar pendidikan dan pelatihan semata, ternyata
sangat konkret dan logis. Fokus agenda ini adalah pada infrastruktur, termasuk
pembangunan infrastruktur jalan baru 2.000 kilometer dan perbaikan jalan,
pembangunan masing-masing 10 bandara, pelabuhan, dan kawasan industri baru, dan
5.000 pasar tradisional. Selain itu juga lewat modernisasi sektor keuangan
terutama untuk usaha kecil dan menengah, serta fokus pada ristek yang berbeda
dengan manifesto Gerindra yang saya kritisi di status Facebook kemarin, pada
agenda ini memuat soal anggaran, kapasitas, dan paten. Agenda ini bersih dari
catatan saya.
Selanjutnya adalah “mewujdkan kemandirian
ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”. Agenda
ini cukup menarik karena banyak program yang bersifat rehabilitatif atas
kebijakan yang selama ini dianggap belum tepat, semisal perbaikan irigasi,
pendirian bank petani dan UMKM, pergudangan dan fasilitas pascapanen. Seperti
seringkali disampaikan Jokowi, fokus pembangunan selama ini adalah pada proses
produksi, tetapi pra dan pascaproduksi belum optimal digarap. Sayangnya, target
tax ratio yang disasar di agenda ini
hanya sampai 16 persen. Saat ini tax
ratio kita sekitar 13%, baru setengahnya dari negara liberal seperti AS
yang sekitar 27 persen, apalagi kalau dibandingkan dengan negara-negara sosial
demokratis seperti Denmark (49 persen), Swedia (45,8 persen), atau Finlandia
(43,6 persen). Jika Indonesia ingin seperti dicita-citakan (yaitu negara
sebagai penyedia kebutuhan masyarakat), maka peningkatan tax ratio menjadi penting. Jokowi, sebagaimana pernah disampaikan
oleh Sholahudin Wahid, pernah mengatakan bahwa Ditjen Pajak harus dipisah dari
Kementerian Keuangan agar mampu membentuk sistem mandiri dan berkembang pesat
layaknya instansi perpajakan di negara-negara maju. Ini merupakan kebijakan
yang penting dan berimplikasi besar.
Agenda ke-8 adalah “revolusi karakter
bangsa”, yang dilakukan lewat penataan kurikulum. Entah kenapa saya selalu
merasa tua setiap mendengar perubahan kurikulum (atau penataan atau apalah
namanya). Ini harus jadi catatan besar karena kurikulum 2013 sebenarnya bisa
saja diintegrasikan dengan keinginan pasangan ini mengedepankan aspek
kewarganegaraan. Akan tetapi, untuk aspek lain dalam agenda ini saya sepakati,
seperti program UU Wajib Belajar 12 tahun tanpa dipungut biaya, redistribusi
beban pengajaran, peningkatan kesejahteraan guru di daerah terpencil, peninjauan
ulang sistem UAN, dan fokus pada “techno-ideology”.
Agenda ke-9 adalah “memperteguh kebhinekaan
dan memperkuat restorasi sosial Indonesia”. Ah, ini pasti dari Surya Paloh. Hehehe.
Sayangnya terlalu banyak yang normatif di agenda yang ini. Satu hal yang
membuat mata saya terbelalak adalah pernyataan “mendorong kebijakan yang
menetapkan penugasan PNS di seluruh Indonesia, seperti halnya TNI selama ini”.
Mateng deh. Hahaha. Tapi inilah konsekuensi dari unified personnel system yang kita anut selama ini. Kalau memang
Jokowi mau menegakkan ini, maka persoalan redistribusi PNS setidaknya memiliki
harapan untuk terselesaikan. Tentunya harus secara bijak dengan
mempertimbangkan ketimpangan kesejahteraan PNS bersangkutan.
Dalam rincian program yang termuat sejak
halaman 12 ke belakang, ada beberapa yang menarik hati saya, seperti:
- Mendorong reformasi IMF dan World Bank (hal. 13
- Memperkuat matra pertahanan laut pada TNI (hal. 14)
- Menjadikan Polri sebagai kementerian (hal. 15)
- Mewajibkan instansi pemerintah membuat laporan kinerja dan membuka aksesnya pada publik (hal. 17)
- Penataan struktur ketatanegaraan (hal. 18) à dengan sangat cantik disebutkan bahwa kita tidak memiliki tuntutan ideologi yang jelas dalam memandu kerja lembaga negara. Saya apresiasi hal ini.
- Gubernur sebagai pengendali sumber daya nasional yang didistribusikan masing-masing sektor ke daerah (hal. 19)
- Penataan ulang struktur DAU (hal. 19)
- Pengaturan ulang kedudukan dan peran desa, kelurahan, dan kecamatan dalam UU Pemerintahan Daerah (hal. 20)
- National Single Identity Number (hal. 20)
- Prioritasi 20 RUU dalam prolegnas (hal. 24)
- RUU Perampasan Aset (hal. 24)
- Mengembangkan alternatif pemidanaan untuk mengatasi overcapacity di lapas (hal. 28)
- Penetapan payung hukum yang lebih kuat dan berkesinambungan bagi agenda reformasi birokrasi (hal. 28) à hahaha, mantap lah posisi Kemenpan nanti ;)
- Revisi UU migas (hal. 31)
- Perlindungan buruh lewat berbagai RUU terkait ketenagakerjaan (hal. 33)
- Merancang ulang lembaga pemungutan pajak berikut peningkatan kuantitas dan kualitas aparatur perpajakan (hal. 34)
- Insentif bagi lembaga dan pemda yang penyerapannya tinggi dan kebocorannya sedikit (hal. 34)
Secara umum, saya pikir ini adalah dokumen
politik yang sangat baik karena dilengkapi dengan sasaran yang terukur. Tentu
saja banyak catatan di sana-sini, termasuk yang bukan keahlian saya untuk
mengomentarinya, dan itu menjadi tugas kita bersama untuk mengkritisi. Akan
tetapi, bagi saya dokumen ini cukup memberikan harapan atas perubahan. Semoga
pasangan ini memiliki komitmen untuk melaksanakan apa yang mereka janjikan di
dokumen ini saat terpilih nantinya.
Daley Road, 21 May 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar