Sabtu, 18 Juni 2011

Reformasi (Jangan) Setengah Hati: Sebuah Pemikiran tentang Anomali Sosial, Gender, dan Reformasi Administrasi

Belakangan ini saya semakin malas membaca berita di koran atau menonton di televisi. Terlalu banyak alasan untuk itu, dari monotonnya pilihan berita, rendahnya kualitas pelaporan, hingga keanehan subjek dalam berita yang membuat miris hati. Monotonnya pilihan berita sebenarnya dapat dipahami karena media massa di manapun adalah entitas bisnis yang tentunya mengejar market share, sehingga apapun yang sedang populer di masyarakat akan menjadi sajian utama media. Hanya saja, terkadang penyajian tersebut terlalu intensif sehingga justru membuat muak. Teman-teman yang belajar ilmu ekonomi dasar tentu mengenal Hukum Gossen I, yang menjelaskan bagaimana utilisasi marjinal sebuah produk akan berkurang dan mengarah negatif pada suatu titik jenuh tertentu. Mungkin itulah yang saya rasakan.

Sementara itu, rendahnya kualitas pelaporan seringkali terlihat dari tidak fokusnya reportase atas suatu berita, bahkan cenderung melebar. Pers di Indonesia masih cenderung melihat pada gejala, bukan sumber masalah. Memang benar bahwa salah satu peran pers adalah menyampaikan situasi yang muncul di tengah masyarakat. Kata “muncul” menandakan sesuatu yang terlihat, dan ini adalah gejala. Akan tetapi, jika melihat pada fungsinya sebagai pengawas eksternal, pers selayaknya dapat menggali lebih dalam sebuah masalah, bukan justru berkutat pada gejala atau sekadar mengail resonansi dari gejala tersebut.

Kedua alasan awal tadi sebenarnya sudah saya rasakan sejak lama. Sementara, perihal keanehan subjek berita inilah yang belakangan ini saya rasakan mengemuka. Apa yang saya sebut keanehan adalah munculnya salah kaprah dalam menyikapi media dan semakin mengapungnya anomali sosial.

Salah kaprah dalam menyikapi media saya lihat dalam beberapa kasus. Lihat saja bagaimana masyarakat begitu percaya diri meladeni pertanyaan wartawan televisi namun tidak memahami substansi dari apa yang mereka sampaikan. Contoh lainnya adalah tanggapnya para politisi dan pejabat eksekutif atas efek media, namun tidak berpikir panjang sebelum menyampaikan pendapat di depan pers. Sementara yang saya sebut sebagai anomali sosial terkait dengan sikap masyarakat yang menjadi subjek berita.

Anomali sosial ini terlihat misalnya dari kasus pembocoran kasus Ujian Nasional di sebuah sekolah dasar di Jawa Timur. Bagaimana seorang Ibu yang melaporkan cerita anaknya bahwa terjadi kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di sekolahnya ternyata berujung pada keterkejutan, keresahan, dan kemarahan masyarakat. Sampai pada titik ini, sebenarnya semua wajar. Yang menjadi aneh adalah keresahan dan kemarahan masyarakat ditujukan pada objek si pelapor kecurangan. Sungguh ini yang tidak dapat saya terima dengan akal saya yang, entahlah, sehat atau tidak.

Apa yang terjadi pada Siami, si pelapor kecurangan, menurut saya berhubungan erat dengan apa yang terjadi jika seorang birokrat melaporkan kecurangan yang terjadi di instansinya. Apa yang kira-kira akan terjadi? Ya, saya yakin di kepala sebagian besar dari kita akan muncul bayangan bahwa birokrat tersebut akan dijauhi dari pergaulan kantornya, tidak diberikan pekerjaan dan jabatan (non-job), dan karirnya akan terhambat, jika tidak ingin dibilang mati.

Kedua ilustrasi tersebut kiranya dapat dijelaskan jika kita menggunakan perspektif gender. Saya pernah menyampaikan hal ini dalam tulisan saya sebelumnya di media yang berbeda. Gender adalah sebuah konstruksi sosial yang terpisah dari konsep yang selama ini dianggap melekat dengannya, yaitu sex atau jenis kelamin. Sex adalah sesuatu yang bersifat kodrati (nature) sementara gender adalah buatan (nurture).

Pada sex, jelas terlihat perbedaan antara kategorinya, yaitu laki-laki (male/man) dan perempuan (female/woman). Perbedaan tersebut, misalnya, terletak pada karakteristik perempuan yang mengalami menstruasi, dapat hamil dan melahirkan. Karakteristik tersebut tidak terdapat pada laki-laki. Oleh karenanya kita mudah untuk membedakan keduanya. Dalam konteks sex tersebut juga kita dapat menjustifikasi bahwa tidak ada yang lebih unggul diantara kedua kategori. Laki-laki memang tidak dapat hamil, namun untuk hamil perempuan membutuhkan keberadaan laki-laki (atau dengan perkembangan teknologi cukup dengan “produk” dari laki-laki yaitu sperma). Hal ini terjadi di semua kelompok di semua tempat dan semua waktu.

Berbeda dengan sex, kategori yang terdapat pada konsep gender, yaitu maskulin dan feminin, sulit untuk dipahami karena membutuhkan pemahaman atas konteks sosial dari pembentuk gender. Ini adalah konsekuensi dari gender yang merupakan bentukan/konstruksi sosial. Akan tetapi secara umum maskulin diidentikkan dengan karakteristik kehausan atas karier, keuangan, dan kekuasaan, sementara feminin diidentikkan dengan karakteristik penyebaran kasih sayang, pemeliharaan, dan kelembutan. Sampai titik ini, sekali lagi terlihat bahwa diantara kedua kategori tersebut sebenarnya tidak ada yang lebih unggul satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, karena merupakan produk dari konstruksi sosial, maka seringkali ditemui terdapat perbedaan cara pandang dan sikap atas kedua kategori gender tersebut.

Jika perbedaannya sudah jelas, mengapa kemudian laki-laki (male/man) seringkali disamakan dengan maskulin dan perempuan (female/woman) seringkali disamakan dengan feminin?

Terdapat beberapa versi jawaban untuk ini. Namun secara sederhana saya katakan saja bahwa secara alami, hormon-hormon yang dimiliki tubuh laki-laki cenderung mendorong dirinya untuk memiliki karakteristik maskulin, sementara hormon-hormon dalam tubuh perempuan cenderung mendorong dirinya untuk memiliki karakteristik feminin. Akan tetapi, sekali lagi, karena gender adalah produk sosial, maka kecenderungan-kecenderungan ini tidak selalu sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Pada masyarakat yang hidup di desa, jauh dari ingar-bingar perekonomian dan politik, gender feminin relatif dianggap lebih unggul dibandingkan gender maskulin. Sebaliknya, pada masyarakat perkotaan dengan kehidupan yang diwarnai tekanan ekonomi dan politik, maka gender maskulin dianggap lebih unggul dibandingkan gender feminin. Pada masyarakat seperti ini, maka tidak peduli laki-laki ataupun perempuan akan didorong untuk memiliki karakteristik gender tertentu yang dianggap lebih unggul.

Padahal, untuk menjadi pribadi yang paripurna, seseorang membutuhkan keseimbangan pada karakteristik gendernya. Anomali yang terjadi di masyarakat kita belakangan ini menunjukkan persepsi masyarakat bahwa gender maskulin lebih unggul dibanding gender feminin, sehingga (tidak peduli laki-laki atau perempuan) semua orang berorientasi pada kesuksesan karier, kekayaan, dan kekuasaan. Sebenarnya orientasi ini tidak dapat disalahkan, namun tanpa adanya jiwa yang penuh kasih sayang, memelihara nilai-nilai kebaikan, dan lembut dalam keseharian, maka yang akan tercipta hanya insan-insan yang picik.

Reformasi Administrasi dan Gender

Reformasi administrasi, yang secara formal kini dijalankan pemerintah dengan nama reformasi birokrasi, juga tidak luput dari pemikiran gender ini. Untuk memahami mengapa reformasi berjalan cepat di suatu instansi tetapi lambat di instansi lain setidaknya dapat dijelaskan secara sederhana dengan perspektif gender. Jika pelaksana reformasi masih dipenuhi pikiran untuk memperoleh kekayaan, kesuksesan karir, dan kekuasaan, maka hampir dapat dipastikan reformasi yang dijalankannya adalah reformasi setengah hati, atau bahkan reformasi tanpa hati. Mengapa? Karena pikiran-pikiran tentang kekayaan, kesuksesan karir, dan kekuasaan tersebut adalah berasal dari kepala, sesuatu yang menjadi karakteristik dari gender maskulin. Sementara jika pelaksana reformasi mampu menghayati apa yang menjadi perannya dengan terus memelihara nilai-nilai kebaikan, kasih sayang dan kemanfaatan untuk semua, serta kelembutan dalam bertindak, tentu apa yang dilakukannya tidak sekadar timbul dari kepala, tetapi lahir dari hati. Inilah peran dari gender feminin.

Jika kita kaitkan ini dengan Teori U dari Otto Scharmer, maka secara kasar dapat dikatakan bahwa gender maskulin relatif melihat dan menganalisis situasi (open mind), sementara gender feminin melakukan penghayatan hingga ke nilai dalam hatinya (open heart). Ini bukan formulasi yang pasti, namun jika seseorang mampu menguasai kedua hal tersebut, maka seseorang itu tinggal mencoba mendalami sebuah masalah (open will) untuk dapat melahirkan gagasan-gagasan yang tulus, tanpa dibumbui oleh keinginan pribadi.

Sebagai sebuah orientasi, nilai-nilai dalam gender maskulin layak dikedepankan karena memang relatif terukur. Namun sebagai perencanaan dan proses, maka reformasi birokrasi sendiri tidak boleh melepaskan nilai-nilai kebaikan yang menjadi ciri dari gender feminin. Bahkan, manajemen perubahan membutuhkan pelaku perubahan yang memahami cara untuk mengayomi rekan-rekan, atasan, maupun bawahannya untuk melakukan perubahan. Pendekatan yang semata-mata bertujuan pada kesuksesan karir, kekayaan, dan kekuasaan tentu tidak akan membuka ruang bagi rekan-rekan, atasan, maupun bawahan tersebut untuk turut serta membangun dan mengembangkan ide dan kerjanya dalam rangka perubahan. Ini karena sang pelaku perubahan akan kemudian menganggap rekan-rekan, atasan, maupun bawahannya itu sebagai pesaing. Tanpa hal ini, maka manajemen perubahan yang merupakan elemen utama dari reformasi akan menjadi macan kertas belaka.

Epilog

Saya sendiri tidak munafik. Di sini saya jujur menyampaikan bahwa pada saat saya ujian akhir nasional di jenjang sekolah dasar dulu, kecurangan yang terjadi di Jawa Timur juga terjadi di sekolah saya. Pada saat itu, bukan murid yang membuat bocoran jawaban, tetapi guru. Saat diedarkan, pengawas yang merupakan guru dari sekolah lain hanya membiarkan. Saya menduga hal tersebut juga terjadi pada pada sekolah-sekolah lain. Saya sendiri saat itu tidak menggunakan bocoran jawaban yang diberikan, kecuali secara jujur saya akui pada mata pelajaran Matematika yang untuk beberapa soal saya gunakan. Saya memang lemah pada mata pelajaran seperti itu bahkan hingga saat ini.

Ini tentunya bukan kesalahan guru semata. Guru tentu salah karena mereka gagal mengajarkan pentingnya mempertahankan nilai-nilai kebaikan dalam memperoleh prestasi. Guru juga salah karena mereka takut dicap gagal sebagai pendidik jika muridnya tidak lulus ujian nasional. Akan tetapi, pemerintah juga gagal dalam menciptakan sistem evaluasi pendidikan dan sistem pendidikan yang tidak semata-mata diukur dengan ukuran-ukuran maskulin tetapi juga memperhatikan ukuran-ukuran feminin.

Hal yang sangat saya sayangkan adalah bahwa para aktivis gender (atau yang disebut sebagai feminis) justru berkutat pada persoalan pembukaan akses pada perempuan dalam bidang politik, perekonomian, dan/atau sosial. Padahal dengan gerakan tersebut mereka justru tidak sedang memperjuangkan gender feminin, tetapi maskulin. Jika pada waktunya semua orang beranggapan bahwa gender maskulin lebih unggul daripada gender feminin, maka bersiaplah untuk terbiasa melihat kecurangan, kemunafikan, dan ketidakpedulian yang dilakukan untuk mencapai kesuksesan karir, kekayaan, dan kekuasaan.

Pamulang, 18 Juni 2011

Tidak ada komentar: