Minggu, 21 Juni 2015

Perbandingan model jabatan senior birokrasi (senior executive service) di Malaysia, Singapura, Australia, dan Indonesia dalam perspektif public service bargains

Setelah lama tidak menulis lagi di blog, akhirnya saya putuskan untuk mengangkat topik ini. Tulisan ini sejatinya berangkat dari tugas akhir saya untuk mata kuliah Comparative Public Sector Management beberapa waktu lalu. Akan tetapi, beberapa bagian telah melalui pengembangan dan peringkasan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan blog ini. Dalam tulisan ini, saya akan membandingkan penerapan sistem jabatan senior birokrasi (selanjutnya senior executive service/SES) di negara-negara tetangga Indonesia, yaitu Malaysia, Singapura, dan Australia. Sistem di Indonesia juga akan saya bahas secara singkat. Pemilihan negara-negara tersebut didasarkan pada kedekatan geografis, yang diasumsikan turut memengaruhi laju dan pola reformasi birokrasi di suatu negara (Painter dan Peters 2010, p. 9).

Isu jabatan SES sendiri merupakan isu yang tidak dapat dipisahkan dari upaya banyak negara dalam melakukan reformasi birokrasi. Pada 2010, lebih dari tiga perempat anggota OECD menyatakan memiliki sistem SES (Lafuente et al.2012, p. 9). SES dalam tulisan ini diterjemahkan sebagai kelompok jabatan di birokrasi yang berada pada tingkat tinggi dan dikelola secara berbeda dibandingkan dengan pegawai pada umumnya, baik dari sisi rekrutmen, hubungan industrial, pengembangan, dan remunerasi (Lafuente et al. 2012, pp. 3-4). Di Amerika Serikat, SES telah ada sejak tahun 1953 lewat laporan dari Hoover Commission yang mengamanatkan SES untuk menjalankan fungsi kajian pendahuluan dan analisis kebijakan, formulasi kebijakan, dan pemberian nasihat kepada pejabat politik (White 1955, p. 239). SES dilihat sebagai jembatan antara pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan, atau, dalam debat klasik administrasi publik, antara politik dan administrasi. Seorang menteri yang baru ditunjuk seringkali tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang bidang tugas instansinya. Mereka juga cenderung memiliki komitmen berganda dengan konstituen dan parlemen, sehingga mereka akan banyak bergantung pada nasihat dari para SES. Tidak jarang pula SES dapat mengakibatkan kejatuhan seorang menteri lewat ketidakmampuan atau keengganan mereka menjalankan kebijakan (Davies 1998, pp. 124-125). Kedudukannya yang tinggi dalam birokrasi, yang pada umumnya berkarakter hierarkis, menjadikan SES memiliki peran sangat besar dalam mendorong perubahan di birokrasi. Tidak belebihan jika Bank Dunia menyebutkan bahwa alasan banyak negara membentuk sistem SES adalah sebagai solusi alternatif dari kegagalan mereka mengubah birokrasi secara komprehensif (Bank Dunia 2012, p. 1).

Dalam artikel ini, perbandingan sistem SES akan dilakukan lewat perspektif public service bargains (PSBs) yang dikembangkan oleh Hood dan Lodge (2006). PSBs pada dasarnya adalah hubungan birokrasi dengan aktor-aktor lain dalam sistem politik, khususnya dengan pejabat politik yang merupakan atasan langsungnya (menteri/kepala daerah). Dalam hubungan tersebut, pada umumnya pejabat politik memiliki berharap memiliki birokrat yang kompeten dan loyal, sementara birokrat berharap mendapat jaminan posisinya di birokrasi tetap aman serta kompensasi lainnya baik yang terukur dengan uang maupun yang tidak (Hood & Lodge 2006, p. 7). PSBs memberikan lensa yang faktual karena berkaitan erat dengan prinsip dasar politik, yaitu siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana. PSBs secara umum meliputi area seperti kompetensi, kompensasi, dan loyalitas birokrat. Saya tidak akan menjabarkan terlalu detail tentang PSBs, karena pembaca dapat langsung membacanya dari buku Hood dan Lodge.

SES di Malaysia
Sistem kepegawaian negeri di Malaysia dipengaruhi oleh budaya, sejarah, dan politik Hindu, Islam, kolonial Inggris,  dan Melayu (Wan Abdullah 2010, p. 155). Namun, sejak terbitnya New Economic Policy pada 1971, pegawai negeri di Malaysia didominasi etnis Melayu, hingga mencapai 91 persen dari total PNS (Yaakob etal. 2011, p. 137). Untuk SES, yang di Malaysia disebut sebagai Jawatan Utama Sektor Awam (JUSA), diatur agar untuk setiap JUSA yang bukan Melayu harus ada enam JUSA yang Melayu, sehingga minimal 85 persen JUSA adalah etnis Melayu (Chin 2011, p. 146). Pada umumnya JUSA direkrut dari kelompok PNS yang disebut Perkhidmatan Tadbir dan Diplomatik (PTD). PTD adalah sistem elitis yang diwariskan oleh pemerintah kolonial Inggris. Untuk menjadi anggota PTD, seseorang harus melalui serangkaian tes. Pertama adalah tes tulis, yang meliputi pengetahuan umum, kemampuan memecahkan masalah, dan essay berbahasa Inggris dan Melayu. Setelah melalui tes ini, kandidat harus mengikuti asesmen kompetensi selama 3 hari. Selanjutnya, mereka juga akan mengikuti pelatihan 10 hari  yang disebut sebagai PTD Unggul sebelum ditempatkan di kementerian. Di kementerian, mereka akan menjalani on the job training selama enam bulan, dilanjutkan dengan kuliah Diploma of Public Administration selama enam bulan. Setelah itu, mereka menduduki jabatannya masing-masing, dan selama itu pula mereka mengikuti serangkaian pelatihan yang dirumuskan dalam PTD Roadmap M41 (Manaf 2011, p. 221). Sejak 1992, Malaysia telah menerapkan manajemen kinerja dan mengaitkan kompensasi dengan capaian kinerja. Berdasarkan kinerja, gaji seorang pegawai pada tahun mendatang (n+1) bisa statis, horizontal, vertikal, atau diagonal. JUSA di Malaysia memiliki masa kerja permanen layaknya PNS pada umumnya, namun dalam banyak kasus, menteri dapat memberhentikan seorang JUSA dari jabatannya (non-job) karena tidak memenuhi ekspektasi kinerja atau, yang sering terjadi, karena JUSA tersebut tidak menunjukkan loyalitas politik kepada UMNO sebagai partai penguasa sepanjang masa di Malaysia. Ini menjadikan seorang JUSA harus setia dan berpihak kepada garis politik UMNO apabila ingin bertahan dalam birokrasi.

SES di Singapura
Layaknya Malaysia, sistem kepegawaian di Singapura juga menerima pengaruh Inggris. Sistem otoritarian yang dikembangkan Lee Kuan Yew di Singapura menjadikan birokrasi menjadi elemen penting dalam pemerintahan Singapura, layaknya poros ABG (ABRI-Birokrasi-Golkar) di Indonesia pada masa Suharto. Administrative Service, sebutan SES di Singapura, dengan demikian adalah sub-kelompok elite dalam kelompok elite di masyarakat Singapura. Administrative Service dikelola oleh Public Service Commission (PSC). Terdapat empat cara bagi seseorang untuk dapat bergabung dalam Administrative Service, yaitu Dual Career Scheme, Management Associates Program, Management Executive Scheme, dan Mid-career Entry Scheme (lebih jelasnya lihat Jones 2009, pp. 78-79). Secara singkat, SES di Singapura bisa direkrut dari dalam birokrasi ataupun dari luar birokrasi. Seorang pejabat Administrative Service dapat ditransfer oleh PSC dari satu instansi ke instansi lain untuk kebutuhan pengembangan kapasitas individu maupun instansi. Kinerja pejabat AS dinilai dan kompensasinya dilekatkan dengan hasil penilaian tersebut. Sebagai negara aristokrasi, tidak heran jika Singapura memberikan penghargaan yang tinggi kepada pejabat Adminsitrative Service yang merupakan orang-orang terpilih, bahkan penghasilan mereka dipatok berdasarkan penghasilan rata-rata pegawai setingkat di sektor swasta (Quah 2010). Akan tetapi, dalam perspektif PSBs, SES di Singapura, seperti halnya di Malaysia, tidak memiliki posisi tawar yang kuat dan sangat mudah dipolitisasi. Pada tahun 2000, Lee Kuan Yew pernah mengatakan bahwa “pemerintahan dipimpin oleh para menteri, bukan PNS. Para menterilah yang membuat kebijakan, bukan PNS” (Jones 2009, p. 75), yang menunjukkan kekuasaan para pejabat politik atas birokrasi. Layaknya UMNO di Malaysia, People’s Action Party (PAP) di Singapura juga adalah partai yang berkuasa sepanjang masa sejak kemerdekaan Singapura, sehingga sulit memisahkan pandangan objektif birokrat dari subjektivitasnya untuk “mencari selamat” dari kebijakan PAP.

SES di Australia
Sistem SES di Australia sudah pernah saya muat dalam artikel sebelumnya. Berikut adalah gambaran singkat sesuai dengan kebutuhan artikel ini. Australia menerapkan model pemerintahan Westminster yang dimodifikasi, seperti juga Malaysia dan Singapura. SES di pemerintah federal Australia telah diterapkan sejak 1984 pada masa Perdana Menteri Bob Hawke. Era tersebut bersamaan dengan gelombang besar manajerialisme di Inggris yang dipimpin oleh Margaret Thatcher dan Amerika Serikat oleh Ronald Reagan. Hawke melakukan sejumlah perubahan besar dalam birokrasi di Australia (Halligan 2004), termasuk dalam hal SES dan manajemen Secretary of Department (Sekjen Kementerian) yang merupakan kepala lembaga. SES, yang terdiri dari tiga kelas, yaitu SES 1-3, dikelola oleh Australian Public Service Commission (APSC), terutama dalam hal rekrutmen dan pengembangan. Rekrutmen SES dapat berasal dari dalam birokrasi ataupun dari luar birokrasi. Rekrutmen dikelola oleh APSC dengan cara control ketat dalam panitia seleksi SES. APSC menempatkan minimal satu orang sebagai representasi APSC (bisa berasal dari APSC maupun orang lain yang ditunjuk merepresentasikan APSC) dan menyetujui/menolak komposisi tim seleksi yang dibentuk oleh masing-masing instansi. Untuk pejabat setingkat SES 3, komisioner APSC akan terlibat langsung dalam tim seleksi atau setidaknya mendelegasikan kepada pejabat paling senior di Departemen lain. Manajemen harian SES dilakukan oleh masing-masing Secretary of Department dan tidak dapat diintervensi oleh pejabat politik (menteri). SES yang berasal dari luar birokrasi dapat menjabat hingga lima tahun. Baik SES dari luar maupun dalam birokrasi dikelola lewat manajemen kinerja dan kompensasi yang dikaitkan dengan hasil penilaian kinerja. Menteri hanya dapat memberhentikan Secretary of Department atas persetujuan Perdana Menteri tetapi tidak dapat mencampuri pengelolaan SES ataupun level lain di bawahnya dalam keadaan apapun. Secretary of Department pada umumnya direkrut dari SES yang berpengalaman panjang. Masa kerja seorang Secretary adalah lima tahun dan dapat diperpanjang kembali.

SES di Indonesia
Di Indonesia, sejatinya sistem SES belum benar-benar terbentuk sempurna. Keberadaannya diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), namun hingga kini belum satupun Peraturan Pemerintah yang diamanatkan UU tersebut terbit. Akan tetapi, berdasarkan UU ASN dan praktik selama ini, dapat dikatakan bahwa SES di Indonesia memiliki karakteristik yang seharusnya unik dari SES di Malaysia, Singapura, dan Australia. Selain karena sistem pemerintahan Indonesia sangat minim menerima pengaruh dari Inggris, Indonesia juga bukan lagi negara semi-otoriter layaknya Malaysia dan Singapura. Berdasarkan UU ASN, SES Indonesia yang disebut dengan Jabatan Pimpinan Tinggi  (JPT) dapat direkrut dari dalam ataupun luar birokrasi. Namun demikian, dibutuhkan persetujuan Presiden untuk jabatan-jabatan apa saja yang dapat diisi oleh non-PNS. Rekrutmen dilakukan melalui panitia seleksi yang dibentuk masing-masing instansi. Keanggotaan panitia seleksi ditelaah oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan komisi tersebut juga memberikan rekomendasi atas panitia seleksi tersebut. Rekomendasi KASN berdasarkan UU ASN bersifat mengikat, namun tidak disebutkan sanksi akibat tidak mengikuti rekomendasi tersebut selain bahwa KASN dapat melaporkan kepada Presiden. Dengan demikian, peran presiden dalam menjamin proses rekrutmen berjalan objektif menjadi vital. Manajemen kinerja juga diterapkan kepada JPT, dengan evaluasi kinerja dilakukan setiap tahun. Apabila ada JPT yang tidak memenuhi kinerja, diberikan kesempatan perbaikan selama enam bulan. Apabila tidak ada perkembangan dan tidak ada upaya perbaikan, maka pejabat tersebut dapat diberhentikan dari JPT-nya dan diturunkan ke jabatan di bawahnya. Seorang JPT menduduki jabatan selama lima tahun dan dapat kembali menduduki jabatan tersebut setelah melalui seleksi ulang. Dengan demikian, secara hubungan industrial, pada dasarnya sistem SES di Indonesia lebih revolusioner dibandingkan negara-negara tetangga. Pejabat politik (menteri/kepala daerah) pun tidak mudah melakukan intervensi di tengah masa jabatan karena terdapat aturan bahwa seorang JPT (dalam capaian kinerja normal) baru dapat diganti setelah setidaknya dua tahun menjabat. Dengan demikian, peluang pejabat politik memperluas ruang tawar-menawarnya dalam kerangka PSBs hanya terjadi pada rekrutmen dan penilaian kinerja.

Perbandingan di atas tentu tidak bersifat tuntas (exhaustive) karena sifat blog ini yang bukan sepenuhnya akademis melainkan juga populer. Akan tetapi, dari penjabaran singkat di atas, terlihat bahwa Indonesia dan Australia memberikan ruang yang relatif besar kepada SES dalam kerangka PSBs, setidaknya dalam tataran legal-formal untuk Indonesia karena hingga kini belum ada peraturan pelaksana dari UU ASN yang dapat menjamin ruang ini tetap cukup besar. Dari peraturan perundang-undangan yang telah ada, yaitu UU ASN, celah setidaknya sudah terlihat dalam hal rekrutmen dan penilaian kinerja SES. Oleh sebab itu, peraturan pemerintah (PP) turunan UU ASN nantinya harus dapat memberikan jaminan checks and balances agar celah-celah tersebut, dan mungkin juga celah lainnya, dapat diminimasi dalam praktiknya. Ini bukan berarti kita harus membebaskan birokrasi dari politik, karena dampak birokrasi yang korup tidak lebih ringan dari politik yang korup. Itulah sebabnya birokrasi harus didorong untuk terus menjadi transparan dan diperluas cakupan akuntabilitasnya dari hanya akuntabilitas manajerial (hierarkis) menjadi akuntabilitas professional (kepada asosiasi profesi), legal (kepada hukum positif), dan demokratis (kepada publik dan parlemen). Dengan kedua prinsip tersebut dan pencegahan intervensi berlebihan politisi terhadap birokrasi, terutama kepada SES, kita dapat berharap bahwa SES mampu mengomandoi perubahan/reformasi dalam birokrasi dan memberikan pendapat yang objektif terhadap gagasan-gagasan pejabat politik berdasarkan pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki.

Bauhinia St, 21 Juni 2015

Daftar referensi:

Chin, J 2011, History and context of public administration in Malaysia, in Berman, EM (ed.), Public Administration in Southeast Asia: Thailand, Philippines, Malaysia, Hong Kong, and Macao, Boca Raton: CRC Press, pp. 141-154.

Davies, MR 1998, Civil servants, managerialism and democracy, International Review of Administrative Sciences, Vol. 64, No. 1, pp. 119-129.

Hood, C & Lodge, M 2006, The politics of public service bargains: rewards, competency, loyalty – and blame, Oxford: Oxford University Press.

Jones, DS 2009, Recent reforms in Singapore’s administrative elite: Responding to the challenges of a rapidly changing economy and society, Asian Journal of Political Science, Vol. 10, No. 2, pp. 70-93.

Lafuente, M, Manning, N & Watkins, J 2012, International experiences with senior executive service cadres, The World Bank Global Expert Team Note, April 2012, viewed on 5 June 2015,

Manaf, NA 2011, Civil service system in Malaysia, in Berman, EM (ed.), Public Administration in Southeast Asia: Thailand, Philippines, Malaysia, Hong Kong, and Macao, Boca Raton: CRC Press, pp. 211-238.

Painter, M & Peters, BG 2010, The analysis and administrative traditions, in Painter, M & Peters, BG (eds), Tradition and public administration, Hampshire: Palgrave MacMillan, pp. 3-18.

Quah, JST 2010, Public administration Singapore style, Bingley: Emerald.

Wan Abdullah, NR 2010, Civil service system and civil service reform in Malaysia, in Kim, PS (ed.), Civil service system and civil service reform in ASEAN member countries and Korea, Seoul: Daeyoung Moonhwasa, pp. 152-184.

White, LD 1955, The senior civil service, Public Administration Review, Vol. 15, No. 4, pp. 237-243.

World Bank 2012, Senior public service: High performing managers of government, viewed on 5 June 2012, .

Yaakob, AF, Salleh, A, Jusoff, K & Hussain, MKA 2011, Malaysian civil service: Problems and challenges, viewed on 5 June 2012, .

2 komentar:

Awe mengatakan...

Mau dong bibliographynya fie, diemailin juga boleh

Unknown mengatakan...

Hi Awe, maaf sebelumnya saya lupa memasukkan daftar referensi dari artikel ini. Sekarang sudah diperbarui, semoga bermanfaat ya.