Sepulang
dari kantor beberapa hari lalu, saya melihat tanaman-tanaman di halaman
belakang rumah tampak kering. Baru saya sadar bahwa tanaman itu sudah tidak
pernah saya siram lagi belakangan ini. Padahal dulu saya membelinya dengan
penuh semangat karena ingin punya hobi baru. Terbayang di kepala saya indahnya
bougenville ini jika sudah tumbuh nanti serta nikmatnya makan kedondong dari
pekarangan sendiri. Belum lagi jeruk nipis dan jeruk limau yang tentu akan
menambah sedap masakan istri. Antusiasme saya sangat membubung tinggi bahkan
saya sampai berpesan kepada asisten rumah tangga kami untuk tidak perlu
mengurusi tanaman-tanaman itu karena saya sendiri yang akan menanganinya.
Ternyata antusiasme itu tidak berkelanjutan, hingga akhirnya tanaman-tanaman
yang cantik itu kini tampak layu sebelum berkembang.
Melihat
tanaman yang layu itu, saya jadi teringat dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Masih hangat dalam ingatan betapa
para pakar ilmu administrasi sangat mengapresiasi positif terbitnya UU
tersebut. Saya sendiri pernah menuliskan itu di blog ini dan di Kompasiana,
yang saat itu sempat menjadi headline di sana. Tapi kini, 21 bulan setelahnya,
harapan yang pernah saya lambungkan tampaknya perlahan tenggelam. Belum satupun
peraturan pemerintah yang diamanatkan UU tersebut diselesaikan oleh pemerintah.
Baru satu peraturan presiden yang terbit, yaitu tentang Komisi Aparatur Sipil
Negara. Itu pun menurut saya masih belum ideal karena komisi ini tampak seperti
bonsai saja setelah terbitnya Perpres tersebut, tidak menunjukkan sebuah
entitas yang membawa semangat baru dalam penegakan meritokrasi di Indonesia.
Masih
ada tiga bulan lagi bagi pemerintah untuk melaksanakan perintah Pasal 134 UU
ASN, yaitu menetapkan seluruh peraturan pelaksanaan dari UU ASN. Akan tetapi,
melihat kecenderungan selama ini, saya justru khawatir jika tiga bulan ini
tidak dioptimalkan, maka pemerintah akan berpikir bahwa tidak ada lagi
kewajiban untuk menyelesaikan peraturan-peraturan itu sama sekali. Kekhawatiran
ini bukan tanpa alasan. Dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
terdapat ketentuan Pasal 60 ayat 7 bahwa peraturan presiden tentang mekanisme
dan ketentuan pemberian ganti rugi pelayanan publik harus ditetapkan dalam
waktu enam bulan sejak UU disahkan. Kini, enam tahun sudah berlalu dan perpres
tersebut belum juga terbit. Jika ditarik lebih jauh, pada UU Nomor 43 Tahun
1999, terdapat ketentuan tentang pembentukan Komisi Kepegawaian Negara, yang
juga harus dibentuk selambat-lambatnya dalam dua tahun. Tapi hingga UU tersebut
digantikan oleh UU ASN 15 tahun kemudian, Komisi dimaksud (yang kini menjelma
sebagai KASN), tidak pernah berdiri.
Menjadi
pertanyaan sendiri bagi saya, apakah kata “harus” dalam UU tidak memiliki arti
penting bagi pelaksana UU? Mungkinkah karena keharusan itu tidak diiringi oleh
ancaman sanksi? Tapi, meskipun tanpa sanksi, pemerintah yang dipimpin oleh
presiden tetap harus menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat 2 UUD 1945).
Oleh sebab itu, tidak menjalankan perintah undang-undang sejatinya sudah
merupakan pelanggaran atas konstitusi yang perlu diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi (Pasal 24C UUD 1945). Dengan demikian, ini bukanlah perkara
sederhana. Sebetulnya, tanpa harus ada ancaman atau konsekuensi tersebut pun,
jika para pemangku kepentingan di republik ini menaruh perhatian pada
pembenahan birokrasi, maka penyelesaian peraturan-peraturan pemerintah yang
dibutuhkan akan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak mengulur-ulur waktu.
Saat
semalam listrik di permukiman saya padam, saya sempat melihat lagi tanaman di
halaman belakang dan berpikir “Saya masih bisa menyelamatkan tanaman daun jeruk
dan pohon durian ini. Kelihatannya jeruk nipis dan jeruk limaunya pun masih
bisa diselamatkan”. Saya hanya perlu lebih sungguh-sungguh untuk merawat
tanaman-tanaman itu. Mudah-mudahan kawan-kawan yang mengurus peraturan
pelaksana UU ASN pun berpikir demikian.
Tak Jauh dari Istana Negara, 29 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar