Kamis, 29 Oktober 2015

UU ASN, Akankah Layu Sebelum Berkembang?

Sepulang dari kantor beberapa hari lalu, saya melihat tanaman-tanaman di halaman belakang rumah tampak kering. Baru saya sadar bahwa tanaman itu sudah tidak pernah saya siram lagi belakangan ini. Padahal dulu saya membelinya dengan penuh semangat karena ingin punya hobi baru. Terbayang di kepala saya indahnya bougenville ini jika sudah tumbuh nanti serta nikmatnya makan kedondong dari pekarangan sendiri. Belum lagi jeruk nipis dan jeruk limau yang tentu akan menambah sedap masakan istri. Antusiasme saya sangat membubung tinggi bahkan saya sampai berpesan kepada asisten rumah tangga kami untuk tidak perlu mengurusi tanaman-tanaman itu karena saya sendiri yang akan menanganinya. Ternyata antusiasme itu tidak berkelanjutan, hingga akhirnya tanaman-tanaman yang cantik itu kini tampak layu sebelum berkembang.

Melihat tanaman yang layu itu, saya jadi teringat dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Masih hangat dalam ingatan betapa para pakar ilmu administrasi sangat mengapresiasi positif terbitnya UU tersebut. Saya sendiri pernah menuliskan itu di blog ini dan di Kompasiana, yang saat itu sempat menjadi headline di sana. Tapi kini, 21 bulan setelahnya, harapan yang pernah saya lambungkan tampaknya perlahan tenggelam. Belum satupun peraturan pemerintah yang diamanatkan UU tersebut diselesaikan oleh pemerintah. Baru satu peraturan presiden yang terbit, yaitu tentang Komisi Aparatur Sipil Negara. Itu pun menurut saya masih belum ideal karena komisi ini tampak seperti bonsai saja setelah terbitnya Perpres tersebut, tidak menunjukkan sebuah entitas yang membawa semangat baru dalam penegakan meritokrasi di Indonesia.

Masih ada tiga bulan lagi bagi pemerintah untuk melaksanakan perintah Pasal 134 UU ASN, yaitu menetapkan seluruh peraturan pelaksanaan dari UU ASN. Akan tetapi, melihat kecenderungan selama ini, saya justru khawatir jika tiga bulan ini tidak dioptimalkan, maka pemerintah akan berpikir bahwa tidak ada lagi kewajiban untuk menyelesaikan peraturan-peraturan itu sama sekali. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, terdapat ketentuan Pasal 60 ayat 7 bahwa peraturan presiden tentang mekanisme dan ketentuan pemberian ganti rugi pelayanan publik harus ditetapkan dalam waktu enam bulan sejak UU disahkan. Kini, enam tahun sudah berlalu dan perpres tersebut belum juga terbit. Jika ditarik lebih jauh, pada UU Nomor 43 Tahun 1999, terdapat ketentuan tentang pembentukan Komisi Kepegawaian Negara, yang juga harus dibentuk selambat-lambatnya dalam dua tahun. Tapi hingga UU tersebut digantikan oleh UU ASN 15 tahun kemudian, Komisi dimaksud (yang kini menjelma sebagai KASN), tidak pernah berdiri.

Menjadi pertanyaan sendiri bagi saya, apakah kata “harus” dalam UU tidak memiliki arti penting bagi pelaksana UU? Mungkinkah karena keharusan itu tidak diiringi oleh ancaman sanksi? Tapi, meskipun tanpa sanksi, pemerintah yang dipimpin oleh presiden tetap harus menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat 2 UUD 1945).  Oleh sebab itu, tidak menjalankan perintah undang-undang sejatinya sudah merupakan pelanggaran atas konstitusi yang perlu diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C UUD 1945). Dengan demikian, ini bukanlah perkara sederhana. Sebetulnya, tanpa harus ada ancaman atau konsekuensi tersebut pun, jika para pemangku kepentingan di republik ini menaruh perhatian pada pembenahan birokrasi, maka penyelesaian peraturan-peraturan pemerintah yang dibutuhkan akan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak mengulur-ulur waktu.

Saat semalam listrik di permukiman saya padam, saya sempat melihat lagi tanaman di halaman belakang dan berpikir “Saya masih bisa menyelamatkan tanaman daun jeruk dan pohon durian ini. Kelihatannya jeruk nipis dan jeruk limaunya pun masih bisa diselamatkan”. Saya hanya perlu lebih sungguh-sungguh untuk merawat tanaman-tanaman itu. Mudah-mudahan kawan-kawan yang mengurus peraturan pelaksana UU ASN pun berpikir demikian.


Tak Jauh dari Istana Negara, 29 Oktober 2015

Tidak ada komentar: