Oleh: Mohammad Averrouce dan Muhamad Imam Alfie Syarien
Pendahuluan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (UU ASN) adalah salah satu tonggak sejarah reformasi birokrasi
Indonesia (Setiawan: 2014). Terbitnya UU ini menunjukkan keseriusan pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam melakukan perubahan fundamental sistem
manajemen sumber daya manusia aparatur sebagai mesin pemerintahan. Selain
memperkenalkan sistem jabatan pimpinan tinggi (JPT), pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja (PPPK), Komisi Aparatur Sipil Negara, dan sejumlah perubahan
dalam pengembangan pegawai ASN, UU 5/2014 juga menandai perubahan fokus
manajemen pegawai ASN. Pada rezim perundang-undangan sebelumnya (UU Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian), pembinaan pegawai negeri sipil
(PNS) berfokus kepatuhan PNS, baik kepada peraturan perundang-undangan maupun
kepada pemerintah. Di UU tersebut, kata ”taat” dan turunannya disebut satu kali
pada bagian pertimbangan, enam kali pada batang tubuh, dan lima belas kali pada
bagian penjelasan. Sementara itu, UU ASN memiliki fokus yang berbeda. Meskipun
kata ”taat” yang dilekatkan kepada pegawai ASN masih disebutkan hingga tiga
kali di batang tubuh, tetapi tampak bahwa fokus UU ini adalah pada
profesionalitas pegawai ASN. Kata ”profesional” termasuk derivatifnya
disebutkan setidaknya empat belas kali, baik di bagian pertimbangan, batang
tubuh, maupun penjelasan. Kata ini tidak ditemukan sebelumnya dalam UU 8/1974,
meskipun disebutkan hingga sembilan kali pada UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan UU Nomor 8 Tahun 1974.
Pergeseran fokus dari kepatuhan menjadi
profesional[itas] adalah perubahan yang fundamental. Pada masa Orde Baru, di
mana PNS adalah salah satu elemen penting penjaga hegemoni pemerintah,
pendekatan kepatuhan merupakan prasyarat stabilitas pemerintahan. Dalam situasi
saat itu, kondisi ini kemudian melahirkan patronase berlebihan yang berujung
pada kentalnya feodalisme dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam
birokrasi (Blunt et al.: 2012). Gelombang besar reformasi sejak 1998 telah
memecah hegemoni tersebut, sebagaimana terlihat dari upaya perubahan melalui
terbitnya UU 43/1999. Akan tetapi,
institusi birokrasi Orde Baru yang telah dibangun lebih dari 20 tahun bukanlah
sesuatu yang mudah untuk digantikan. Nilai-nilai yang terdapat dalam institusi
tersebut telah menjadi bagian dari sistem budaya aparatur Indonesia. Untuk mengubah
nilai-nilai tersebut, pergantian pucuk pimpinan (presiden), seperti yang
dilakukan pada 1998 dan pemilihan-pemilihan presiden sesudahnya, bisa jadi
tidak cukup. Dalam sebuah sistem,
elemen-elemen yang membentuknya bersifat saling berkaitan satu sama lain.
Diperlukan perubahan dalam hubungan antarelemen untuk mengubah perilaku sistem
(Meadows: 2009). Perubahan tersebut melibatkan perubahan pada model mental dari
sistem tersebut. Kondisi yang sama terjadi pada perubahan orientasi kepatuhan
kepada profesionalitas dalam manajemen pegawai ASN.
Istilah ”revolusi mental” mulai digaungkan oleh
Joko Widodo dalam sebuah artikel di media cetak nasional pada dasarnya sejalan
dengan prinsip perubahan dalam pemikiran sistem (systems thinking). Pada artikel tersebut, Widodo menyampaikan bahwa
reformasi yang dilakukan sejak tumbangnya rezim Orde Baru masih sebatas
perombakan kelembagaan [inkremental-red] dan belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam
rangka pembangunan bangsa (Widodo: 2014).
Ini sejalan dengan, misalnya, Meadows (2009) yang mengatakan bahwa
paradigma adalah sumber dari segala elemen yang membentuk suatu sistem,
sehingga perubahan sistem yang sesungguhnya baru dapat terjadi apabila terjadi
perubahan paradigma.
Ketiadaan kata ”profesional” pada UU 8/1974
sebetulnya mungkin juga disebabkan oleh belum populernya kata tersebut di
masyarakat ataupun pemerintahan pada masa itu. Namun demikian, munculnya kata
tersebut hingga berkali-kali dalam UU 43/1999 dan terutama UU ASN menimbulkan
pertanyaan tersendiri: apakah yang dimaksud profesional/profesionalitas? Apakah
pegawai ASN mungkin untuk menjadi profesional? Jika ya, bagaimana upaya yang
perlu dilakukan untuk mengembangkan profesionalitas dalam korps ASN, dan apakah
peran gagasan revolusi mental dalam upaya tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini,
dan sejumlah pertanyaan derivatif lainnya, menjadi fokus artikel ini. Dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis menggunakan perspektif historical institutionalism dan rational choice yang dikombinasikan dan
dilakukan dengan metode kajian literatur (literature study. Artikel ini diorganisasi dengan kerangka pemikiran
profesionalitas dan aparatur sipil negara sebagai pemicu diskusi. Selanjutnya,
diskusi utama artikel adalah masalah dan strategi dalam membangun
profesionalitas ASN.
Sumber gambar: vantheyologi.wordpress.com
Profesionalitas dan pegawai ASN
Profesionalitas sangat erat kaitannya dengan
standard hasil kerja suatu profesi (Kanes: 2010). Seseorang disebut sebagai
profesional apabila berhasil mencapai hasil kerja sesuai dengan standard yang
berlaku pada profesinya. Secara kebahasaan, kata ”profesional” yang telah
diserap ke dalam Bahasa Indonesia memiliki arti 1) bersangkutan dengan profesi;
2) memerlukan keahlian khusus untuk menjalankannya; dan/atau 3) ada pembayaran
untuk melakukannya (KBBI: 2015). Kata ini merupakan derivatif dari kata
”profesi” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ’bidang
pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu’. Artinya, untuk dapat
dikatakan memiliki profesionalitas atau bertindak secara profesional,
diperlukan prasyarat antara lain pekerjaan yang dilakukan adalah sebuah profesi
dan ada standard hasil luaran dari pekerjaan tersebut.
UU ASN secara tegas menyatakan bahwa ASN adalah
sebuah profesi (Pasal 1 angka 1). Dengan adanya UU ASN, kini seorang pegawai
ASN harus memenuhi prinsip, nilai dasar, dan kode etik ASN, layaknya profesi
lainnya seperti dokter, insinyur sipil, dan advokat. Keberadaan prinsip, nilai
dasar, dan kode etik inilah yang menjadikan orientasi pada profesionalitas
dalam UU ASN menjadi lebih berdasar dibandingkan upaya sebelumnya lewat UU
43/1999. Terkait dengan hasil kerja,
secara teknis setiap jabatan dalam ASN memiliki sasaran kerja yang harus
dicapai. Namun demikian, secara filosofis, aparatur negara sebagai abdi
masyarakat dan entitas dari birokrasi dalam setiap peran dan tugasnya harus mampu memberi solusi dan kontribusi dalam memberikan pelayanan yang
terbaik kepada masyarakat guna menyelesaikan berbagai permasalahan di
dalam masyarakat. Solusi perbaikan pelayanan tidak dapat dilakukan dengan
tampilan kekuatan otoritas dan kewenangan (show of force) yang berlebihan. Aparatur negara sebagai
sebuah kekuatan yang terkendali dan
terukur serta bebas dari kepentingan diharapkan menampilkan kinerjanya dalam pelayanan kepada masyarakat. Inilah esensi
pokok keberadaan aparatur negara dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Peningkatan kinerja sebagai wujud profesionalitas memiliki
posisi yang sangat strategis terhadap keberhasilan tujuan bernegara dan
pembangunan nasional. Tidak ada
pelaksanaan perubahan yang tidak melibatkan birokrasi sesuai peran dan tugasnya
dari pusat sampai pelosok negeri, dari ujung negeri Sabang sampai Merauke, dari Miangas
sampai Pulau Rote.
Mengingat filosofi dan sifatnya sebagaimana
tergambarkan di atas, maka profesionalitas bagi seorang pegawai ASN tidak bisa
hanya diartikan sebagai berkeahlian (expertise),
tetapi juga harus beretika (ethical).
Seorang menjadi berkeahlian karena telah memiliki pengalaman (experience) dan menerima pengetahuan
dari sistem pendidikan dan pelatihan (education
and training). Sementara itu, menurut
Koven (2015), etika bagi aparatur negara adalah mendukung misi pemerintahan
yang memiliki legitimasi sejauh misi tersebut sesuai dengan nilai-nilai
kebenaran. Pegawai yang beretika dapat memilih opsi bersuara (voice) lewat mekanisme
internal/eksternal atau meninggalkan posisinya (exit) apabila pegawai tersebut menemukan bahwa misi yang dijalankan
pemerintah telah mencederai nilai-nilai kebenaran. Elemen expert dan ethical
seperti ini menjadikan profesionalitas sebagai
karakter yang dinamis, dapat berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat
(sebagai sasaran dari expertise) dan
arah serta perilaku kebijakan pemerintah (sebagai landasan untuk bersifat ethical).
Pegawai ASN yang profesional memiliki legalitas
dalam menjalankan profesinya, karena pegawai tersebut diangkat secara formal
berdasarkan pertimbangan keahliannya untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Adanya aspek legalitas tersebut memberikan legitimasi hukum bagi
pegawai ASN yang menjadikannya profesi yang dihormati di masyarakat. Akan
tetapi, legitimasi hukum tersebut tidaklah cukup, karena tujuan pemerintahan
pada akhirnya adalah memperoleh kepercayaan publik (public trust). Inilah yang menjadi sumber legitimasi sosial dari
profesionalitas pegawai ASN. Seorang pegawai ASN yang menduduki jabatan
tertentu karena diangkat dengan keputusan resmi an sich namun tidak benar-benar menggunakan keahliannya untuk
bekerja demi perbaikan bangsa tidak dapat dikatakan sebagai profesional. Untuk
dapat dikatakan memiliki profesionalitas, pegawai ASN harus berusaha memperoleh
legitimasi sosial berupa kepercayaan publik.
Revolusi Mental dan pembangunan
profesionalitas pegawai ASN
Karakter expert
dan ethical dalam profesionalitas
bukanlah karakter yang dapat dibentuk dengan mudah, terutama untuk pegawai ASN
yang telah terbiasa dengan institusi yang terbangun sejak masa Orde Baru, yaitu
pendekatan kepatuhan dan penyimpangan-penyimpangan sistem merit yang dianggap
lazim. Dalam pendekatan historical
institutionalism, sejarah dan institusional memainkan peran utama dalam
menentukan nilai-nilai yang dipegang oleh individu dan kelompok (Pollitt &
Bouckaert: 2009). Akibatnya, ketergantungan pada sejarah (path dependency) menjadi jamak terjadi pada banyak upaya reformasi,
termasuk pada upaya membangun profesionalitas pegawai ASN. Path dependency menjadikan perubahan besar justru cenderung
bersifat parsial pada praktiknya karena dibenturkan pada institusi yang telah
ada dan pada akhirnya mengalah pada institusi tersebut.
Meskipun demikian, sejarah dan institusional
sejatinya adalah konstruksi sosial yang diciptakan secara kolektif oleh
aktor-aktor yang dominan. Meskipun banyak dikritik akibat simplifikasi
berlebihan dalam asumsinya, teori rational
choice dapat memberikan kontribusi besar dalam diskusi ini. Berpijak dari
ilmu ekonomi, teori ini mengasumsikan bahwa setiap manusia pada dasarnya
berusaha memuaskan kebutuhannya (utility
maximiser). Bagi birokrat, utility
maximiser dimanifestasikan dengan perilaku membesarkan anggaran organisasi
(budget maximiser) sebagaimana
dinyatakan oleh Niskanen (1971) atau dengan perilaku meningkatkan posisi
strategis organisasi dalam arena kekuasaan (bureau-shaping)
sebagaimana dinyatakan oleh Dunleavy (1991). Sifat utility maximiser ini juga yang menjadikan birokrat cenderung
enggan untuk mendorong legitimasi sosial dari profesionalitasnya dan hanya
mementingkan legitimasi hukum dari jabatan yang diembannya. Artinya, untuk
melakukan perubahan paradigma, dibutuhkan pendekatan kepada dua lapisan
pembentuk sistem, yaitu institusional (atau goals
dan rules dalam kerangka pemikiran
sistem) dan aktor.
Dalam perubahan di tingkat institusional,
diperlukan identifikasi nilai-nilai yang perlu dipertahankan (continue), dikikis (stop), dan dibentuk ulang (start).
Nilai-nilai yang perlu dipertahankan dalam sistem manajemen SDM aparatur antara
lain jiwa korsa (esprit de corps) dan
profesionalisasi jabatan fungsional tertentu. Dipertahankannya nilai-nilai ini
bukan berarti nilai tersebut tidak perlu diubah sama sekali, tetapi nilai-nilai
tersebut masih relevan untuk dikembangkan pada masa ini. Sementara itu,
terdapat cukup banyak nilai yang perlu dikikis. Pertama adalah primordialisme sebagai gejala serpihan-serpihan
sosial yang berpotensi terjadinya diskriminasi dalam pelayanan kepada
masyarakat. Untuk itu perlu
ada proses de-primordialisasi. Kedua adalah feodalisme, yaitu suatu
pelapisan sosial secara vertikal berdasarkan kriteria subjektif
(ekonomi-sosial-budaya) yang berpotensi terjadinya ketidaksetaraan dalam
penyediaan pelayanan publik. Maka, perlu ada proses de-feodalisasi. Ketiga adalah sakralisme suatu
kecenderungan mengagungkan simbol-simbol dan figur-figur yang dikultuskan
dimana kecenderungan ini dapat berpotensi berkembangnya sikap apriori dalam
memberikan prioritas dalam pelayanan. Oleh karena itu perlu adanya langkah-langkah de-sakralisasi. Keempat, politisasi birokrasi untuk kepentingan
individu atau kelompok pejabat politik mengakibatkan birokrat tidak objektif
dalam memberikan masukan kebijakan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Oleh sebab itu, dibutuhkan de-politisasi. Kelima,
kecenderungan birokrasi yang berbelit-belit yang telah terjadi bahkan sejak era
Orde Lama (lihat misalnya Dick: 2014) perlu dikurangi lewat proses
de-birokratisasi. Terakhir, karakter expert
dan ethical dalam profesionalitas
membutuhkan independensi setiap pejabat dalam skala tertentu, sehingga hierarki
dan sentralisasi yang berlebihan justru akan menghambat birokrat menjadi
profesional. Oleh sebab itu, dibutuhkan desentralisasi kewenangan.
Proses-proses deprimordialisasi, defeodalisasi, desakralisasi, depolitisasi,
debirokratisasi, dan desentralisasi tersebut secara tidak langsung juga
menghasilkan sistem nilai baru, yaitu universalitas, egalitarian, impersonal,
netralitas, imparsial, dan akuntabilitas. Selain nilai-nilai tersebut, inovasi
merupakan nilai baru yang harus ditanamkan dalam kerangka institusional
birokrasi.
Pada tingkat aktor,
meskipun asumsi bahwa birokrat adalah budget
maximiser atau bureau-shaper
tidak selalu tepat, setiap orang akan tetap bereaksi pada insentif (people respond to incentives). Jika
suatu aktivitas memiliki insentif positif yang dinilai berharga, maka aktivitas
tersebut akan cenderung dilakukan oleh banyak orang. Sebaliknya, jika suatu
aktivitas memiliki disinsentif yang lebih besar, maka orang cenderung enggan
untuk melakukannya. Insentif-disinsentif bersifat relatif. Insentif yang
dinilai tinggi oleh seseorang bisa jadi tidak menarik bagi orang lain. Namun demikian,
bagi birokrat secara umum, ganjaran berupa remunerasi, kesempatan mengikuti
pendidikan dan pelatihan, dan/atau promosi jabatan cenderung merupakan insentif
yang dapat memotivasi. Oleh sebab itu, upaya mendorong profesionalitas pada
tingkat aktor harus disertai dengan pembangunan sistem insentif yang dilekatkan
pada pemenuhan karakter profesional (expert
dan ethical).
Konsep revolusi mental
yang kini telah dikenal luas dapat menjadi pengungkit untuk perubahan paradigma
pegawai ASN menuju profesionalitas yang sejati. Konsep ini harus
dikontekstualkan melalui perubahan yang menyasar aspek institusional dan aktor
dalam birokrasi. Dengan kata lain, revolusi mental bagi pegawai ASN berarti
pembentukan institusi manajemen ASN yang bersifat universal, egaliter,
impersonal, netral, imparsial, dan akuntabel. Universalitas secara prinsip
telah dijamin dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU ASN.
Akan tetapi, nilai ini perlu lebih dibumikan di tingkat instansi dengan
standard pelayanan publik dan prosedur standard operasi (SOP) yang menjamin
pelayanan setara kepada semua pengguna layanan. Nilai egalitarian dapat
dibangun dengan pembinaan pegawai yang berprinsip rotasi rutin (tour of duty) setidaknya di instansinya
atau bahkan antarinstansi, sehingga sedapat mungkin setiap pegawai memiliki
pengetahuan dan pengalaman menduduki jabatan di lingkungan yang berbeda. Dengan
demikian, esprit de corps yang
sebelumnya telah ada dapat lebih diperluas, tidak hanya terbatas pada lingkup
unit kerja atau instansi tetapi juga pada lingkup ASN secara nasional.
Impersonalitas dapat dikembangkan dengan penggunaan instrumen yang mengurangi
subjektivitas dalam hubungan profesional, misalnya dengan sistem penilaian
kinerja multi-penilai (180° atau 360° evaluation) atau sistem kerja lintas unit kerja (joined-up government). Sementara itu,
nilai netralitas secara prinsip telah dikembangkan lewat implementasi UU ASN
terutama terkait seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Model joined-up government yang dikembangkan
untuk membangun impersonalitas juga dapat dikembangkan untuk menanamkan nilai
imparsial dalam pelaksanaan pekerjaan, karena model ini menjamin suatu
persoalan dipecahkan secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang terkait. Selain
model ini, imparsialitas juga dapat dibangun dengan mengembangkan metode coaching dan diskusi semiformal
antarpegawai yang dilakukan secara rutin. Berdasarkan pengalaman penulis di
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, model
diskusi semiformal seperti ini dapat membantu mengenali permasalahan yang
dihadapi dan menemukan pelbagai perspektif dalam pemecahan masalah tersebut.
Terakhir, nilai akuntabilitas pada dasarnya telah mengemuka sejak tahun 2000
dengan diperkenalkannya Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(SAKIP). Internalisasi nilai akuntabilitas dapat lebih diperkuat dengan
penerapan dan pembelajaran terus-menerus terkait manajemen kinerja di
masing-masing instansi.
Kontekstualisasi
revolusi mental yang diejawantahkan dalam instrumen-instrumen yang digagas di
atas belum sempurna apabila aktor-aktor terkait tidak merasa memiliki (no sense of ownership) kerangka
institusional tersebut. Rasa memiliki akan membangun komitmen dan loyalitas
seseorang terhadap institusi. Untuk membangunnya, diperlukan sistem insentif
yang mampu memotivasi individu untuk mempelajari dan mengikuti institusi
tersebut. Dengan demikian, perlu ada sistem yang menjamin pemberian insentif
bagi pegawai ASN yang memiliki nilai-nilai universalitas, egalitarian, impersonal,
netralitas, imparsial, dan akuntabilitas dan disinsentif bagi mereka yang
berlaku sebaliknya. Dengan kata lain, nilai-nilai tersebut tidak boleh sekadar
menjadi slogan, namun harus dapat terukur hingga tingkat perilaku. Tidak hanya
untuk penilaian, kontekstualisasi nilai-nilai tadi juga dapat membantu setiap
pegawai untuk introspeksi dirinya.
Upaya-upaya yang
disebutkan di atas tidak mudah untuk dijalankan. Jangankan di tingkat nasional,
pada tingkat instansional pun menjalankan pendekatan ini akan mendatangkan
tantangan, utamanya adalah path
dependency baik berupa resistensi pegawai, perlawanan dari pejabat politik,
hingga desakan masyarakat yang menginginkan perubahan terjadi dalam waktu
singkat sehingga birokrasi cenderung kehilangan fokus dalam melakukan perbaikan
berkelanjutan. Akan tetapi, profesionalisasi ASN sebenarnya menemukan
momentumnya. Merujuk Kingdon (2013), sebuah isu akan optimum menjadi kebijakan
apabila mendapatkan momentumnya dari sisi masalah (problem stream), kebijakan (policy
stream), dan politik (political
stream). Dalam isu profesionalitas ASN, liputan media yang luas soal dwelling time di pelabuhan, lambatnya
penanganan kabut asap, atau dugaan ketidaknetralan birokrat dalam menyambut
pemilihan kepala daerah serentak merupakan problem
stream yang cukup kuat. Sementara itu, policy
stream menopang isu ini dengan terbitnya Peraturan Menteri PANRB Nomor 11
Tahun 2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019 yang pada intinya
mendorong profesionalitas birokrasi. Political
stream untuk isu profesionalitas ASN berasal dari konsep revolusi mental
yang terus disuarakan pemerintah. Dengan memanfaatkan momentum three streams ini, isu profesionalitas
ASN dapat menjadi kebijakan yang konkret untuk kemudian menghasilkan perubahan
paradigma.
Penutup
Profesionalitas dapat
dikatakan sebagai konsep yang paling mengemuka dalam rezim manajemen ASN saat
ini. Tulisan ini memberikan justifikasi bahwa profesionalitas pegawai ASN
bukanlah sekadar jargon, melainkan dapat termanifestasi dalam sikap dan
perilaku pegawi ASN. Profesionalitas bagi pegawai ASN tidak sekadar keahlian
dalam melakukan pekerjaan sesuai standard (expertise),
tetapi juga perilaku yang beretika (ethical).
Hal ini disebabkan pegawai ASN tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri,
tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.
Gagasan revolusi mental
yang dilontarkan oleh Joko Widodo dalam masa pencalonan presiden 2014-2019
merupakan konsep yang sejalan dengan perubahan paradigmatis yang dibutuhkan
untuk membangun profesionalitas ASN. Perubahan paradigmatis dibutuhkan karena
institusi ASN sebelumnya masih jauh dari profesional, sementara nilai-nilai
yang telah berkembang sebagiannya justru bertentangan dengan profesionalitas.
Oleh sebab itu, dibutuhkan deprimordialisasi, defeodalisasi, desakralisasi,
depolitisasi, debirokratisasi, dan desentralisasi dalam birokrasi.
Proses-proses ini membutuhkan kontekstualisasi revolusi mental lewat pendekatan
institusional dan aktor. Kontekstualisasi revolusi mental untuk
profesionalisasi ASN menjadi instrumen yang tepat karena menemukan momentumnya
saat ini baik dari sisi masalah, kebijakan, maupun politik. Dibutuhkan
penelitian lebih lanjut untuk memberikan evaluasi awal atas gagasan-gagasan
kontekstualisasi revolusi mental yang dimunculkan dalam tulisan ini.
*tulisan ini pada awalnya adalah tulisan yang saya susun bersama Averrouce untuk dipublikasikan di Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara, tapi karena batal diterbitkan maka saya tampilkan di sini untuk berbagi pandangan dengan para pembaca setia.
Referensi
Blunt, Peter, Mark
Turner, & Henrik Lindroth 2012, ”Patronage’s progress in post-Soeharto
Indonesia”, Public Administration and
Development, vol. 32, pp. 64-81.
Dick, Howard 2014, ”Ekonomi
Indonesia pada tahun 1950-an: kurs beraneka, jaringan bisnis serta hubungan
Pusat-Daerah”, dalam Van Bemmelen, Sita & Remco Raben (eds), Antara daerah dan negara: Indonesia tahun
1950-an, Jakarta, KITLV, NIOD dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, pp. 37-63.
Dunleavy, Patrick 1990, Democracy, bureaucracy and public choice:
economic explanations in political science, Hertfordshire: Harvester
Wheatsheaf.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia, edisi daring, http://kbbi.web.id/profesional, dilihat pada 17
September 2015.
Kingdon, John W. 2013, Agendas, alternatives, and public policies:
Update edition, New York
Kanes, Clive 2010,
”Challenging professionalism”, dalam Kanes, Clive (ed.), Elaborating professionalism: studies in practice and theory,
London: Springer.
KBBI lihat Kamus Besar
Bahasa Indonesia.
Koven, Steven G. 2015, Public sector ethics, Boca Raton: CRC
Press.
Meadows, Donella H.
2009, Thinking in systems, London:
Earthscan.
Niskanen, William A.,
Jr. 1971, Bureaucracy and representative
government, Chicago: Aldine-Atherton.
Pollitt, Christopher
& Geert Bouckaert 2009, Continuity
and change in public policy and management, Cheltenham: Edward Elgar.
Setiawan, Sigit 2014,
”Tinjauan reformasi birokrasi: evolusi model birokrasi dalam perspektif ekonomi
dan perkembangan reformasi birokrasi di Indonesia”, Warta Fiskal, no. 1.
Widodo, Joko 2014,
”Revolusi mental”, Harian Kompas,
edisi 10 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar