Kamis, 05 November 2015

Kontekstualisasi Revolusi Mental sebagai Upaya Pencarian Makna “Profesional” bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara

Oleh: Mohammad Averrouce dan Muhamad Imam Alfie Syarien

Pendahuluan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) adalah salah satu tonggak sejarah reformasi birokrasi Indonesia (Setiawan: 2014). Terbitnya UU ini menunjukkan keseriusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam melakukan perubahan fundamental sistem manajemen sumber daya manusia aparatur sebagai mesin pemerintahan. Selain memperkenalkan sistem jabatan pimpinan tinggi (JPT), pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), Komisi Aparatur Sipil Negara, dan sejumlah perubahan dalam pengembangan pegawai ASN, UU 5/2014 juga menandai perubahan fokus manajemen pegawai ASN. Pada rezim perundang-undangan sebelumnya (UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian), pembinaan pegawai negeri sipil (PNS) berfokus kepatuhan PNS, baik kepada peraturan perundang-undangan maupun kepada pemerintah. Di UU tersebut, kata ”taat” dan turunannya disebut satu kali pada bagian pertimbangan, enam kali pada batang tubuh, dan lima belas kali pada bagian penjelasan. Sementara itu, UU ASN memiliki fokus yang berbeda. Meskipun kata ”taat” yang dilekatkan kepada pegawai ASN masih disebutkan hingga tiga kali di batang tubuh, tetapi tampak bahwa fokus UU ini adalah pada profesionalitas pegawai ASN. Kata ”profesional” termasuk derivatifnya disebutkan setidaknya empat belas kali, baik di bagian pertimbangan, batang tubuh, maupun penjelasan. Kata ini tidak ditemukan sebelumnya dalam UU 8/1974, meskipun disebutkan hingga sembilan kali pada UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU Nomor 8 Tahun 1974.

Pergeseran fokus dari kepatuhan menjadi profesional[itas] adalah perubahan yang fundamental. Pada masa Orde Baru, di mana PNS adalah salah satu elemen penting penjaga hegemoni pemerintah, pendekatan kepatuhan merupakan prasyarat stabilitas pemerintahan. Dalam situasi saat itu, kondisi ini kemudian melahirkan patronase berlebihan yang berujung pada kentalnya feodalisme dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam birokrasi (Blunt et al.: 2012). Gelombang besar reformasi sejak 1998 telah memecah hegemoni tersebut, sebagaimana terlihat dari upaya perubahan melalui terbitnya UU 43/1999.  Akan tetapi, institusi birokrasi Orde Baru yang telah dibangun lebih dari 20 tahun bukanlah sesuatu yang mudah untuk digantikan. Nilai-nilai yang terdapat dalam institusi tersebut telah menjadi bagian dari sistem budaya aparatur Indonesia. Untuk mengubah nilai-nilai tersebut, pergantian pucuk pimpinan (presiden), seperti yang dilakukan pada 1998 dan pemilihan-pemilihan presiden sesudahnya, bisa jadi tidak cukup.  Dalam sebuah sistem, elemen-elemen yang membentuknya bersifat saling berkaitan satu sama lain. Diperlukan perubahan dalam hubungan antarelemen untuk mengubah perilaku sistem (Meadows: 2009). Perubahan tersebut melibatkan perubahan pada model mental dari sistem tersebut. Kondisi yang sama terjadi pada perubahan orientasi kepatuhan kepada profesionalitas dalam manajemen pegawai ASN.

Istilah ”revolusi mental” mulai digaungkan oleh Joko Widodo dalam sebuah artikel di media cetak nasional pada dasarnya sejalan dengan prinsip perubahan dalam pemikiran sistem (systems thinking). Pada artikel tersebut, Widodo menyampaikan bahwa reformasi yang dilakukan sejak tumbangnya rezim Orde Baru masih sebatas perombakan kelembagaan [inkremental-red] dan belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (Widodo: 2014).  Ini sejalan dengan, misalnya, Meadows (2009) yang mengatakan bahwa paradigma adalah sumber dari segala elemen yang membentuk suatu sistem, sehingga perubahan sistem yang sesungguhnya baru dapat terjadi apabila terjadi perubahan paradigma.

Ketiadaan kata ”profesional” pada UU 8/1974 sebetulnya mungkin juga disebabkan oleh belum populernya kata tersebut di masyarakat ataupun pemerintahan pada masa itu. Namun demikian, munculnya kata tersebut hingga berkali-kali dalam UU 43/1999 dan terutama UU ASN menimbulkan pertanyaan tersendiri: apakah yang dimaksud profesional/profesionalitas? Apakah pegawai ASN mungkin untuk menjadi profesional? Jika ya, bagaimana upaya yang perlu dilakukan untuk mengembangkan profesionalitas dalam korps ASN, dan apakah peran gagasan revolusi mental dalam upaya tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan sejumlah pertanyaan derivatif lainnya, menjadi fokus artikel ini. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis menggunakan perspektif historical institutionalism dan rational choice yang dikombinasikan dan dilakukan dengan metode kajian literatur (literature study. Artikel ini diorganisasi dengan kerangka pemikiran profesionalitas dan aparatur sipil negara sebagai pemicu diskusi. Selanjutnya, diskusi utama artikel adalah masalah dan strategi dalam membangun profesionalitas ASN.

Sumber gambar: vantheyologi.wordpress.com

Profesionalitas dan pegawai ASN
Profesionalitas sangat erat kaitannya dengan standard hasil kerja suatu profesi (Kanes: 2010). Seseorang disebut sebagai profesional apabila berhasil mencapai hasil kerja sesuai dengan standard yang berlaku pada profesinya. Secara kebahasaan, kata ”profesional” yang telah diserap ke dalam Bahasa Indonesia memiliki arti 1) bersangkutan dengan profesi; 2) memerlukan keahlian khusus untuk menjalankannya; dan/atau 3) ada pembayaran untuk melakukannya (KBBI: 2015). Kata ini merupakan derivatif dari kata ”profesi” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ’bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu’. Artinya, untuk dapat dikatakan memiliki profesionalitas atau bertindak secara profesional, diperlukan prasyarat antara lain pekerjaan yang dilakukan adalah sebuah profesi dan ada standard hasil luaran dari pekerjaan tersebut.

UU ASN secara tegas menyatakan bahwa ASN adalah sebuah profesi (Pasal 1 angka 1). Dengan adanya UU ASN, kini seorang pegawai ASN harus memenuhi prinsip, nilai dasar, dan kode etik ASN, layaknya profesi lainnya seperti dokter, insinyur sipil, dan advokat. Keberadaan prinsip, nilai dasar, dan kode etik inilah yang menjadikan orientasi pada profesionalitas dalam UU ASN menjadi lebih berdasar dibandingkan upaya sebelumnya lewat UU 43/1999.  Terkait dengan hasil kerja, secara teknis setiap jabatan dalam ASN memiliki sasaran kerja yang harus dicapai. Namun demikian, secara filosofis, aparatur negara sebagai abdi masyarakat dan entitas dari birokrasi dalam setiap peran dan tugasnya harus mampu memberi solusi dan kontribusi dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat guna menyelesaikan berbagai permasalahan di dalam masyarakat. Solusi perbaikan pelayanan tidak dapat dilakukan dengan tampilan kekuatan otoritas dan kewenangan (show of force) yang berlebihan. Aparatur negara sebagai sebuah  kekuatan yang terkendali dan terukur serta bebas dari kepentingan diharapkan menampilkan kinerjanya dalam pelayanan kepada masyarakat. Inilah esensi pokok keberadaan aparatur negara dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peningkatan kinerja sebagai wujud profesionalitas memiliki posisi yang sangat strategis terhadap keberhasilan tujuan bernegara dan pembangunan nasional. Tidak ada pelaksanaan perubahan yang tidak melibatkan birokrasi sesuai peran dan tugasnya dari pusat sampai pelosok negeri, dari ujung negeri Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

Mengingat filosofi dan sifatnya sebagaimana tergambarkan di atas, maka profesionalitas bagi seorang pegawai ASN tidak bisa hanya diartikan sebagai berkeahlian (expertise), tetapi juga harus beretika (ethical). Seorang menjadi berkeahlian karena telah memiliki pengalaman (experience) dan menerima pengetahuan dari sistem pendidikan dan pelatihan (education and training). Sementara itu, menurut Koven (2015), etika bagi aparatur negara adalah mendukung misi pemerintahan yang memiliki legitimasi sejauh misi tersebut sesuai dengan nilai-nilai kebenaran. Pegawai yang beretika dapat memilih opsi bersuara (voice) lewat mekanisme internal/eksternal atau meninggalkan posisinya (exit) apabila pegawai tersebut menemukan bahwa misi yang dijalankan pemerintah telah mencederai nilai-nilai kebenaran. Elemen expert dan ethical seperti ini menjadikan profesionalitas sebagai  karakter yang dinamis, dapat berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat (sebagai sasaran dari expertise) dan arah serta perilaku kebijakan pemerintah (sebagai landasan untuk bersifat ethical).

Pegawai ASN yang profesional memiliki legalitas dalam menjalankan profesinya, karena pegawai tersebut diangkat secara formal berdasarkan pertimbangan keahliannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Adanya aspek legalitas tersebut memberikan legitimasi hukum bagi pegawai ASN yang menjadikannya profesi yang dihormati di masyarakat. Akan tetapi, legitimasi hukum tersebut tidaklah cukup, karena tujuan pemerintahan pada akhirnya adalah memperoleh kepercayaan publik (public trust). Inilah yang menjadi sumber legitimasi sosial dari profesionalitas pegawai ASN. Seorang pegawai ASN yang menduduki jabatan tertentu karena diangkat dengan keputusan resmi an sich namun tidak benar-benar menggunakan keahliannya untuk bekerja demi perbaikan bangsa tidak dapat dikatakan sebagai profesional. Untuk dapat dikatakan memiliki profesionalitas, pegawai ASN harus berusaha memperoleh legitimasi sosial berupa kepercayaan publik.

Revolusi Mental dan pembangunan profesionalitas pegawai ASN

Karakter expert dan ethical dalam profesionalitas bukanlah karakter yang dapat dibentuk dengan mudah, terutama untuk pegawai ASN yang telah terbiasa dengan institusi yang terbangun sejak masa Orde Baru, yaitu pendekatan kepatuhan dan penyimpangan-penyimpangan sistem merit yang dianggap lazim. Dalam pendekatan historical institutionalism, sejarah dan institusional memainkan peran utama dalam menentukan nilai-nilai yang dipegang oleh individu dan kelompok (Pollitt & Bouckaert: 2009). Akibatnya, ketergantungan pada sejarah (path dependency) menjadi jamak terjadi pada banyak upaya reformasi, termasuk pada upaya membangun profesionalitas pegawai ASN. Path dependency menjadikan perubahan besar justru cenderung bersifat parsial pada praktiknya karena dibenturkan pada institusi yang telah ada dan pada akhirnya mengalah pada institusi tersebut.

Meskipun demikian, sejarah dan institusional sejatinya adalah konstruksi sosial yang diciptakan secara kolektif oleh aktor-aktor yang dominan. Meskipun banyak dikritik akibat simplifikasi berlebihan dalam asumsinya, teori rational choice dapat memberikan kontribusi besar dalam diskusi ini. Berpijak dari ilmu ekonomi, teori ini mengasumsikan bahwa setiap manusia pada dasarnya berusaha memuaskan kebutuhannya (utility maximiser). Bagi birokrat, utility maximiser dimanifestasikan dengan perilaku membesarkan anggaran organisasi (budget maximiser) sebagaimana dinyatakan oleh Niskanen (1971) atau dengan perilaku meningkatkan posisi strategis organisasi dalam arena kekuasaan (bureau-shaping) sebagaimana dinyatakan oleh Dunleavy (1991). Sifat utility maximiser ini juga yang menjadikan birokrat cenderung enggan untuk mendorong legitimasi sosial dari profesionalitasnya dan hanya mementingkan legitimasi hukum dari jabatan yang diembannya. Artinya, untuk melakukan perubahan paradigma, dibutuhkan pendekatan kepada dua lapisan pembentuk sistem, yaitu institusional (atau goals dan rules dalam kerangka pemikiran sistem) dan aktor.

Dalam perubahan di tingkat institusional, diperlukan identifikasi nilai-nilai yang perlu dipertahankan (continue), dikikis (stop), dan dibentuk ulang (start). Nilai-nilai yang perlu dipertahankan dalam sistem manajemen SDM aparatur antara lain jiwa korsa (esprit de corps) dan profesionalisasi jabatan fungsional tertentu. Dipertahankannya nilai-nilai ini bukan berarti nilai tersebut tidak perlu diubah sama sekali, tetapi nilai-nilai tersebut masih relevan untuk dikembangkan pada masa ini. Sementara itu, terdapat cukup banyak nilai yang perlu dikikis. Pertama adalah primordialisme sebagai gejala serpihan-serpihan sosial yang berpotensi terjadinya diskriminasi dalam pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu perlu ada proses de-primordialisasi. Kedua adalah feodalisme, yaitu suatu pelapisan sosial secara vertikal berdasarkan kriteria subjektif (ekonomi-sosial-budaya) yang berpotensi terjadinya ketidaksetaraan dalam penyediaan pelayanan publik. Maka, perlu ada proses de-feodalisasi. Ketiga adalah sakralisme suatu kecenderungan mengagungkan simbol-simbol dan figur-figur yang dikultuskan dimana kecenderungan ini dapat berpotensi berkembangnya sikap apriori dalam memberikan prioritas dalam pelayanan. Oleh karena itu perlu adanya langkah-langkah de-sakralisasi. Keempat, politisasi birokrasi untuk kepentingan individu atau kelompok pejabat politik mengakibatkan birokrat tidak objektif dalam memberikan masukan kebijakan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan de-politisasi. Kelima, kecenderungan birokrasi yang berbelit-belit yang telah terjadi bahkan sejak era Orde Lama (lihat misalnya Dick: 2014) perlu dikurangi lewat proses de-birokratisasi. Terakhir, karakter expert dan ethical dalam profesionalitas membutuhkan independensi setiap pejabat dalam skala tertentu, sehingga hierarki dan sentralisasi yang berlebihan justru akan menghambat birokrat menjadi profesional. Oleh sebab itu, dibutuhkan desentralisasi kewenangan. Proses-proses deprimordialisasi, defeodalisasi, desakralisasi, depolitisasi, debirokratisasi, dan desentralisasi tersebut secara tidak langsung juga menghasilkan sistem nilai baru, yaitu universalitas, egalitarian, impersonal, netralitas, imparsial, dan akuntabilitas. Selain nilai-nilai tersebut, inovasi merupakan nilai baru yang harus ditanamkan dalam kerangka institusional birokrasi.

Pada tingkat aktor, meskipun asumsi bahwa birokrat adalah budget maximiser atau bureau-shaper tidak selalu tepat, setiap orang akan tetap bereaksi pada insentif (people respond to incentives). Jika suatu aktivitas memiliki insentif positif yang dinilai berharga, maka aktivitas tersebut akan cenderung dilakukan oleh banyak orang. Sebaliknya, jika suatu aktivitas memiliki disinsentif yang lebih besar, maka orang cenderung enggan untuk melakukannya. Insentif-disinsentif bersifat relatif. Insentif yang dinilai tinggi oleh seseorang bisa jadi tidak menarik bagi orang lain. Namun demikian, bagi birokrat secara umum, ganjaran berupa remunerasi, kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan, dan/atau promosi jabatan cenderung merupakan insentif yang dapat memotivasi. Oleh sebab itu, upaya mendorong profesionalitas pada tingkat aktor harus disertai dengan pembangunan sistem insentif yang dilekatkan pada pemenuhan karakter profesional (expert dan ethical).

Konsep revolusi mental yang kini telah dikenal luas dapat menjadi pengungkit untuk perubahan paradigma pegawai ASN menuju profesionalitas yang sejati. Konsep ini harus dikontekstualkan melalui perubahan yang menyasar aspek institusional dan aktor dalam birokrasi. Dengan kata lain, revolusi mental bagi pegawai ASN berarti pembentukan institusi manajemen ASN yang bersifat universal, egaliter, impersonal, netral, imparsial, dan akuntabel. Universalitas secara prinsip telah dijamin dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU ASN. Akan tetapi, nilai ini perlu lebih dibumikan di tingkat instansi dengan standard pelayanan publik dan prosedur standard operasi (SOP) yang menjamin pelayanan setara kepada semua pengguna layanan. Nilai egalitarian dapat dibangun dengan pembinaan pegawai yang berprinsip rotasi rutin (tour of duty) setidaknya di instansinya atau bahkan antarinstansi, sehingga sedapat mungkin setiap pegawai memiliki pengetahuan dan pengalaman menduduki jabatan di lingkungan yang berbeda. Dengan demikian, esprit de corps yang sebelumnya telah ada dapat lebih diperluas, tidak hanya terbatas pada lingkup unit kerja atau instansi tetapi juga pada lingkup ASN secara nasional. Impersonalitas dapat dikembangkan dengan penggunaan instrumen yang mengurangi subjektivitas dalam hubungan profesional, misalnya dengan sistem penilaian kinerja multi-penilai (180° atau 360° evaluation) atau sistem kerja lintas unit kerja (joined-up government). Sementara itu, nilai netralitas secara prinsip telah dikembangkan lewat implementasi UU ASN terutama terkait seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Model joined-up government yang dikembangkan untuk membangun impersonalitas juga dapat dikembangkan untuk menanamkan nilai imparsial dalam pelaksanaan pekerjaan, karena model ini menjamin suatu persoalan dipecahkan secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang terkait. Selain model ini, imparsialitas juga dapat dibangun dengan mengembangkan metode coaching dan diskusi semiformal antarpegawai yang dilakukan secara rutin. Berdasarkan pengalaman penulis di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, model diskusi semiformal seperti ini dapat membantu mengenali permasalahan yang dihadapi dan menemukan pelbagai perspektif dalam pemecahan masalah tersebut. Terakhir, nilai akuntabilitas pada dasarnya telah mengemuka sejak tahun 2000 dengan diperkenalkannya Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Internalisasi nilai akuntabilitas dapat lebih diperkuat dengan penerapan dan pembelajaran terus-menerus terkait manajemen kinerja di masing-masing instansi.

Kontekstualisasi revolusi mental yang diejawantahkan dalam instrumen-instrumen yang digagas di atas belum sempurna apabila aktor-aktor terkait tidak merasa memiliki (no sense of ownership) kerangka institusional tersebut. Rasa memiliki akan membangun komitmen dan loyalitas seseorang terhadap institusi. Untuk membangunnya, diperlukan sistem insentif yang mampu memotivasi individu untuk mempelajari dan mengikuti institusi tersebut. Dengan demikian, perlu ada sistem yang menjamin pemberian insentif bagi pegawai ASN yang memiliki nilai-nilai universalitas, egalitarian, impersonal, netralitas, imparsial, dan akuntabilitas dan disinsentif bagi mereka yang berlaku sebaliknya. Dengan kata lain, nilai-nilai tersebut tidak boleh sekadar menjadi slogan, namun harus dapat terukur hingga tingkat perilaku. Tidak hanya untuk penilaian, kontekstualisasi nilai-nilai tadi juga dapat membantu setiap pegawai untuk introspeksi dirinya.

Upaya-upaya yang disebutkan di atas tidak mudah untuk dijalankan. Jangankan di tingkat nasional, pada tingkat instansional pun menjalankan pendekatan ini akan mendatangkan tantangan, utamanya adalah path dependency baik berupa resistensi pegawai, perlawanan dari pejabat politik, hingga desakan masyarakat yang menginginkan perubahan terjadi dalam waktu singkat sehingga birokrasi cenderung kehilangan fokus dalam melakukan perbaikan berkelanjutan. Akan tetapi, profesionalisasi ASN sebenarnya menemukan momentumnya. Merujuk Kingdon (2013), sebuah isu akan optimum menjadi kebijakan apabila mendapatkan momentumnya dari sisi masalah (problem stream), kebijakan (policy stream), dan politik (political stream). Dalam isu profesionalitas ASN, liputan media yang luas soal dwelling time di pelabuhan, lambatnya penanganan kabut asap, atau dugaan ketidaknetralan birokrat dalam menyambut pemilihan kepala daerah serentak merupakan problem stream yang cukup kuat. Sementara itu, policy stream menopang isu ini dengan terbitnya Peraturan Menteri PANRB Nomor 11 Tahun 2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019 yang pada intinya mendorong profesionalitas birokrasi. Political stream untuk isu profesionalitas ASN berasal dari konsep revolusi mental yang terus disuarakan pemerintah. Dengan memanfaatkan momentum three streams ini, isu profesionalitas ASN dapat menjadi kebijakan yang konkret untuk kemudian menghasilkan perubahan paradigma.

Penutup

Profesionalitas dapat dikatakan sebagai konsep yang paling mengemuka dalam rezim manajemen ASN saat ini. Tulisan ini memberikan justifikasi bahwa profesionalitas pegawai ASN bukanlah sekadar jargon, melainkan dapat termanifestasi dalam sikap dan perilaku pegawi ASN. Profesionalitas bagi pegawai ASN tidak sekadar keahlian dalam melakukan pekerjaan sesuai standard (expertise), tetapi juga perilaku yang beretika (ethical). Hal ini disebabkan pegawai ASN tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.

Gagasan revolusi mental yang dilontarkan oleh Joko Widodo dalam masa pencalonan presiden 2014-2019 merupakan konsep yang sejalan dengan perubahan paradigmatis yang dibutuhkan untuk membangun profesionalitas ASN. Perubahan paradigmatis dibutuhkan karena institusi ASN sebelumnya masih jauh dari profesional, sementara nilai-nilai yang telah berkembang sebagiannya justru bertentangan dengan profesionalitas. Oleh sebab itu, dibutuhkan deprimordialisasi, defeodalisasi, desakralisasi, depolitisasi, debirokratisasi, dan desentralisasi dalam birokrasi. Proses-proses ini membutuhkan kontekstualisasi revolusi mental lewat pendekatan institusional dan aktor. Kontekstualisasi revolusi mental untuk profesionalisasi ASN menjadi instrumen yang tepat karena menemukan momentumnya saat ini baik dari sisi masalah, kebijakan, maupun politik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memberikan evaluasi awal atas gagasan-gagasan kontekstualisasi revolusi mental yang dimunculkan dalam tulisan ini.

*tulisan ini pada awalnya adalah tulisan yang saya susun bersama Averrouce untuk dipublikasikan di Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara, tapi karena batal diterbitkan maka saya tampilkan di sini untuk berbagi pandangan dengan para pembaca setia.

Referensi
Blunt, Peter, Mark Turner, & Henrik Lindroth 2012, ”Patronage’s progress in post-Soeharto Indonesia”, Public Administration and Development, vol. 32, pp. 64-81.

Dick, Howard 2014, ”Ekonomi Indonesia pada tahun 1950-an: kurs beraneka, jaringan bisnis serta hubungan Pusat-Daerah”, dalam Van Bemmelen, Sita & Remco Raben (eds), Antara daerah dan negara: Indonesia tahun 1950-an, Jakarta, KITLV, NIOD dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, pp. 37-63.

Dunleavy, Patrick 1990, Democracy, bureaucracy and public choice: economic explanations in political science, Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi daring, http://kbbi.web.id/profesional, dilihat pada 17 September 2015.

Kingdon, John W. 2013, Agendas, alternatives, and public policies: Update edition, New York

Kanes, Clive 2010, ”Challenging professionalism”, dalam Kanes, Clive (ed.), Elaborating professionalism: studies in practice and theory, London: Springer.

KBBI lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Koven, Steven G. 2015, Public sector ethics, Boca Raton: CRC Press.

Meadows, Donella H. 2009, Thinking in systems, London: Earthscan.

Niskanen, William A., Jr. 1971, Bureaucracy and representative government, Chicago: Aldine-Atherton.

Pollitt, Christopher & Geert Bouckaert 2009, Continuity and change in public policy and management, Cheltenham: Edward Elgar.

Setiawan, Sigit 2014, ”Tinjauan reformasi birokrasi: evolusi model birokrasi dalam perspektif ekonomi dan perkembangan reformasi birokrasi di Indonesia”, Warta Fiskal, no. 1.


Widodo, Joko 2014, ”Revolusi mental”, Harian Kompas, edisi 10 Mei 2014.

Tidak ada komentar: