Media-media mainstream di Indonesia belakangan dipenuhi berita soal buruknya
pemerintahan kita. Kasus korupsi menjangkiti pejabat dari tingkat menteri
hingga pelaksana. Pelayanan publik yang berkualitas rendah terjadi dari lembaga
pemasyarakatan hingga perpajakan. Tumpang tindih urusan terjadi diantara
lembaga-lembaga tingkat pusat maupun antara lembaga di tingkat pusat dan
tingkat daerah. Hal ini tampak kontras dengan jargon yang belakangan ini
dikedepankan oleh penyelenggara negara: reformasi birokrasi.
Berbagai persoalan tersebut memang tidak
dapat dilepaskan dari sistem administrasi publik yang berjalan di Indonesia.
Dalam kaitan tersebut, reformasi birokrasi memang menjadi salah satu solusi
yang paling mungkin memberikan penyelesaian tuntas dibandingkan dengan
opsi-opsi lainnya. Akan tetapi, jika masalah tetap muncul silih berganti dan
bahkan terlihat semakin membesar, apakah ini berarti reformasi birokrasi telah
gagal?
Meskipun beberapa pengamat di Indonesia
sudah menyatakan demikian, saya belum dapat menyetujuinya karena dalam
praktiknya reformasi birokrasi memang belum sepenuhnya berjalan. Sejumlah upaya
untuk melakukan perubahan dalam kerangka reformasi birokrasi masih menghadapi
tantangan dari dalam birokrasi sendiri, misalnya terkait dengan penyusunan
Rancangan Undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara, penyederhanaan
organisasi yang tumpang-tindih fungsinya dengan organisasi lain, perbaikan
kerangka hukum pengawasan internal pemerintah, hingga modernisasi proses bisnis
dalam rangka pengelolaan sumber daya pemerintahan. Sebagian dari contoh-contoh
tersebut memang kini telah mulai menemukan titik terang, tapi masih banyak
sekali yang bergerak merangkak jika tidak dapat dikatakan stagnan.
Untuk memahami (dan selanjutnya menghakimi)
reformasi birokrasi Indonesia, kiranya kita perlu memahami apa saja langkah
yang sudah dilakukan pemerintah secara nasional. Dari pemahaman tersebut, dapat
dianalisis letak kekurangan yang perlu segera ditambal untuk memperbaikinya,
sehingga langkah-langkah selanjutnya dapat benar-benar mengantarkan kepada
pemerintahan Indonesia yang dicita-citakan.
Reformasi
dalam Praktik
Meskipun praktik pemerintahan yang dapat
dikategorikan reform sudah diterapkan
sejak belasan tahun silam (terutama di pemerintah daerah pada masa UU 22/1999
dan beberapa lembaga di tingkat pusat seperti Kementerian Keuangan), kerangka
hukum nasional tentang reformasi birokrasi baru diatur pada tahun 2008, itupun
“hanya” melalui Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 15
Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Kebijakan inilah yang
mempopulerkan istilah “remunerasi”, sebuah istilah salah kaprah yang kemudian
dikoreksi menjadi “tunjangan kinerja”.
Menyadari bahwa reformasi birokrasi bukan
pekerjaan satu malam, pemerintah kemudian menerbitkan rencana jangka panjang
untuk reformasi birokrasi melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010
tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 (selanjutnya disebut Grand
Design RB), yang ditautkan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) 2005-2025. Sebagai penjabarannya, diterbitkanlah Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPANRB)
Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 (selanjutnya
disebut Road Map RB) yang ditautkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014.
Grand Design dan Road Map RB menjadikan
reformasi birokrasi sebagai sebuah program nasional, bukan instansional seperti
yang dilakukan sebelum 2008. Program ini dijabarkan ke dalam tiga level
implementasi, yaitu level makro, level meso, dan level mikro. Level makro
adalah level penyusunan, koordinasi, dan evaluasi kebijakan nasional terkait sektor-sektor reformasi birokrasi. Level
meso adalah level penyusunan, koordinasi, dan evaluasi kebijakan nasional
terkait manajemen reformasi
birokrasi. Level mikro adalah pelaksanaan kebijakan nasional terkait sektor
maupun manajemen reformasi birokrasi di
tingkat instansi. Sektor-sektor reformasi birokrasi dijabarkan dalam
delapan area perubahan, yaitu organisasi, tatalaksana, sumber daya manusia
aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, peraturan
perundang-undangan, dan pola pikir dan budaya kerja aparatur.
Dalam kerangka reformasi birokrasi
nasional, setiap instansi di tingkat pusat maupun daerah harus menyusun Road
Map RB-nya masing-masing. Road Map RB instansi ini menjadi panduan dan komitmen
bagi instansi dalam melaksanakan reformasi birokrasi. Road Map RB instansi akan
menggambarkan bagaimana instansi akan melakukan reformasi birokrasi dengan
berangkat dari pedoman-pedoman yang ada di tingkat nasional. Instansi yang
sudah menyusun dan sudah melaksanakan reformasi birokrasi akan dievaluasi dan
diberikan tunjangan kinerja.
Evaluasi yang saat ini berlaku dan
dilakukan terkait reformasi birokrasi adalah Penilaian Mandiri Pelaksanaan
Reformasi Birokrasi (PMPRB), yang diatur dalam PermenPANRB Nomor 1 Tahun 2012.
Instrumen ini mengadaptasi instrumen yang dikembangkan oleh European Institute
of Public Administration (EIPA) yang dinamakan Common Assessment Framework (CAF). Dalam PMPRB, instansi melakukan
penilaian mandiri (self-evaluation)
atas organisasinya. Hasil penilaian kemudian diverifikasi oleh Tim Reformasi
Birokrasi Nasional (TRBN) untuk dapat memperoleh nilai akhir. Hasil penilaian
akhir ini kemudian dapat dikorelasikan dengan persentase tunjangan kinerja yang
diperoleh instansi.
Tinjauan
atas Praktik Reformasi Birokrasi Nasional
Gambaran di atas tentu belum cukup lengkap
untuk memperlihatkan potret lengkap reformasi birokrasi di Indonesia. Mungkin
jika pembaca ingin tahu lebih jauh, dapat membaca tulisan saya di Modul Diklat
Khusus Reformasi Birokrasi yang diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara
(LAN). Tinjauan singkat berikut kiranya dapat menambah gambaran tersebut,
sekaligus menggambarkan kekurangan-kekurangan dari praktik reformasi birokrasi
nasional yang berjalan selama ini.
Saya menangkap empat kekurangan utama
reformasi birokrasi di Indonesia. Pertama, reformasi birokrasi tidak dibangun
di atas kerangka manajemen kinerja. Hal ini juga berkaitan dengan skema
insentif dan sanksi yang menjadi masalah selanjutnya. Ketiga, partisipasi
publik sangat minim dalam pelbagai tahap reformasi birokrasi. Keempat, komitmen
politik atas reformasi birokrasi tidak sepenuhnya nyata.
Manajemen
Kinerja
Reformasi birokrasi belum sepenuhnya
dibangun di atas kerangka manajemen kinerja karena kebijakan tersebut tidak
memiliki tujuan dan program yang spesifik. Apabila mengacu pada sasaran yang
ada pada Grand Design dan Road Map RB, maka muncul dua kemungkinan: reformasi
birokrasi didesain untuk gagal atau memang kebijakan ini tidak memiliki arah
yang jelas. Indeks Persepsi Korupsi (CPI), peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business rank), dan indeks
efektivitas pemerintahan (government
effectiveness index) bukanlah alat ukur yang valid dan andal untuk
keberhasilan reformasi birokrasi. Pertama,
alat-alat ukur ini seringkali mengalami perubahan metode pengumpulan data. CPI,
misalnya, dalam laman resmi Transparency International dikatakan bahwa versi
terbaru 2012 tidak dapat diperbandingkan dengan pengukuran tahun-tahun
sebelumnya. Kedua, beberapa dari alat
ukur ini tidak dapat dikatakan berkorelasi langsung dengan reformasi birokrasi,
terutama government effectiveness.
Selain terkait sasaran, reformasi birokrasi
juga belum menunjukkan praktik manajemen kinerja yang baik karena tidak adanya
program yang spesifik. Delapan area perubahan yang diperkenalkan oleh Grand
Design RB dalam praktiknya menjadi sebuah cetakan yang tertulis seragam di
semua kementerian/lembaga. Semua instansi kemudian cenderung melakukan program
dan kegiatan yang sama dan dalam waktu yang cenderung bersamaan. Reformasi
birokrasi mungkin solusi yang menarik, namun tetap harus memiliki fokus yang
jelas, karena terkadang antara satu tujuan dengan tujuan yang lain membutuhkan trade off (Pollitt & Bouckaert 2011).
Keberadaan satu atau beberapa program utama
dapat menjadi pengungkit (leverage)
dari perubahan besar lainnya. Dengan delapan program yang sama besarnya,
reformasi birokrasi menjadi terlalu berat untuk dijalankan. Pada akhirnya,
seperti yang jamak terjadi pada praktik manajemen kinerja, instansi cenderung
menurunkan targetnya menjadi yang paling mungkin dicapai. Dalam kondisi
demikian, tidak akan ada yang spesial dari reformasi birokrasi (Brunsson 2009).
Program yang menjadi pengungkit ini juga harus dapat diukur dengan mudah oleh
pemangku kepentingan utamanya. Bahkan, sebisa mungkin ada proyek dari program
ini yang dapat dirasakan dalam waktu singkat. Inilah yang disebut sebagai quick wins. Istilah ini sudah digunakan
dalam kebijakan reformasi birokrasi nasional, tetapi bagaimana praktik dan
hasilnya menjadi pertanyaan besar. Pemerintah melalui Tim Reformasi Birokrasi
Nasional selayaknya menyempurnakan quick
wins dan menjadikannya pengungkit perubahan baik di tingkat instansi maupun
tingkat nasional. Dengan demikian, pendekatan yang digunakan adalah deduktif
dan induktif sekaligus. Artinya, pemerintah memberi pertimbangan dan keputusan
atas usulan quick wins instansi (bisa
diterima, ditolak, atau disempurnakan), membina, memonitor dan mengevaluasi
pelaksanaan quick wins, serta
menjadikan pembelajaran dari quick wins
yang berhasil untuk dapat direplikasi pada aktivitas yang sejenis di organisasi
lain.
Skema
Insentif dan Sanksi
Masalah kedua yang berkaitan erat dengan
masalah pertama di atas adalah sistem insentif dan sanksi terkait reformasi
birokrasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini ada tunjangan kinerja yang
diberikan kepada kementerian/lembaga terkait reformasi birokrasi. Namun, berapa
dan bagaimana tunjangan kinerja tersebut diberikan dan diterapkan tentu banyak
dilewatkan oleh pembaca yang bukan PNS.
Secara ide, tunjangan kinerja diberikan
kepada instansi dalam kaitan dengan reformasi birokrasi yang dijalankan oleh
instansi. Akan tetapi, ide ini tidak selalu sejalan dengan praktiknya. Sumber
dana untuk tunjangan kinerja sebagian besar adalah dari pengalihan atau
optimalisasi dana lain dalam anggaran instansi itu sendiri dan sedikit tambahan
dari anggaran yang khusus disediakan negara untuk tunjangan kinerja. Oleh
karena itu, sejatinya tunjangan kinerja tidak terlalu memberatkan anggaran
negara karena diputar dari uang yang memang dianggarkan kepada instansi
masing-masing. Dalam konteks ini, maka kementerian/lembaga yang anggarannya
tidak dapat dioptimalisasi akan kesulitan memperoleh tunjangan kinerja yang
tinggi. Dari sisi ini saja, sudah terlihat adanya ketidakharmonisan antara ide
dan praktik pemberian tunjangan kinerja.
Selain itu, nama tunjangan kinerja juga
tidak sepenuhnya sesuai, karena penerima tunjangan ini di banyak instansi
sebenarnya hanya perlu memenuhi tingkat kehadiran di kantor secara fisik.
Apabila seorang pegawai terpaksa bekerja dari rumah karena ada kondisi tertentu
(sakit atau keperluan khusus), maka tunjangan yang diterimanya tidak akan lebih
besar dari pegawai sejenis yang hadir setiap hari di kantor tanpa mengerjakan
apapun. Tunjangan demikian tentu lebih tepat disebut tunjangan presensi
dibandingkan tunjangan kinerja.
Dalam hal nilai tunjangan yang diberikan,
ide yang berkembang (dan idealnya) adalah disesuaikan dengan kinerja reformasi
birokrasi dari masing-masing instansi. Praktiknya? Nilai yang menjadi patokan
adalah nilai tunjangan kinerja di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan (diasumsikan 100%). Dengan demikian, terdapat dua konsekuensi.
Pertama, tidak akan ada kinerja yang di atas 100%. Kedua, tidak akan ada yang
memperoleh tunjangan kinerja lebih tinggi dari Ditjen Pajak. Dari sini, kembali
terlihat bahwa ide tunjangan kinerja tidak sejalan dengan praktiknya.
Besaran tunjangan kinerja juga belakangan
tidak lagi menarik bagi PNS. Selain karena hal di atas, juga karena pemerintah
menyamaratakan besaran tunjangan kinerja K/L tanpa ada pertimbangan khusus.
Sebagai contoh, organisasi A dan B yang memiliki perbedaan karakteristik akan
memiliki tunjangan kinerja yang sama besar apabila memiliki nilai reformasi
birokrasi yang selevel. Padahal, mungkin untuk memperoleh nilai reformasi
birokrasi tersebut di organisasi B akan menjadi pekerjaan yang jauh lebih sulit
dibandingkan dengan di organisasi A. Dalam kondisi demikian, pegawai di
organisasi B tentu tidak akan termotivasi untuk menjalankan reformasi
birokrasi.
Apa yang dapat digunakan sebagai dasar
pembeda? Dari perbincangan dengan sejumlah teman, mereka berargumen bahwa
instansi yang menghasilkan penerimaan negara seharusnya menerima tunjangan
kinerja lebih besar dibandingkan yang tidak menghasilkan. Benarkah logika
demikian? Jika cara berpikir tersebut yang digunakan, maka itu menganalogikan
pemerintah sebagai perusahaan. Padahal, setiap instansi memiliki kekuasaan
tersendiri yang apabila disalahgunakan dapat saja menghasilkan uang yang besar.
Sehingga, pertimbangan tersebut menjadi sangat naif. Apakah polisi tidak lebih
berat tugasnya dibandingkan petugas pajak? Apakah dampak yang ditimbulkan oleh
guru yang korupsi (misalnya menerima suap dengan memberi nilai tinggi pada
siswa) lebih rendah daripada dampak yang ditimbulkan pengawas tambang yang
korupsi?
Pemerintah dapat membuat faktor pembeda
(koefisien) kepada masing-masing instansi dengan dasar yang sama dengan
reformasi birokrasi, yaitu RPJMN. Apabila pemerintah memiliki lima atau sepuluh
prioritas utama pembangunan, maka instansi pada lima atau sepuluh prioritas
utama tersebut akan memiliki nilai koefisien yang lebih tinggi. Ini karena
mereka harus mengejar perbaikan kelembagaan dan prioritas utama tersebut.
Potensi kongkalikong antara instansi lain dengan kementerian/lembaga yang
menangani urusan perencanaan pembangunan nasional memang dapat terjadi. Akan
tetapi, ini dapat diminimasi dengan mengubah pola dan pendekatan perencanaan
pembangunan nasional dengan lebih melibatkan masyarakat bukan hanya sebagai
peserta musyawarah perencanaan pembangunan, tetapi dengan mengikutsertakan
masyarakat dalam keseluruhan proses perencanaan pembangunan. Menggunakan evidence-based policy dan kerangka
berpikir sistem juga menjadi metode perencanaan pembangunan yang perlu
dikembangkan, karena akan mempermudah dalam menentukan titik intervensi
pemerintah.
Dengan demikian, besaran tunjangan kinerja
organisasi ditentukan oleh koefisien karakteristik organisasi (besaran
organisasi), nilai evaluasi reformasi birokrasi, dan nilai prioritas
pembangunan. Koefisien karakteristik organisasi akan ditentukan oleh jumlah
pegawai dan unit kerja. Nilai reformasi birokrasi menurut saya menjadi
koefisien yang baru akan dapat diubah setiap 2 atau 3 tahun. Sementara itu,
nilai prioritas pembangunan dilihat dari prioritas pada pembangunan jangka
menengah dan prioritas pada agenda tahunan. Pendekatan ini kiranya akan lebih
adil bagi instansi yang ada.
Selanjutnya, tunjangan kinerja harus
dibangun secara berjenjang, yaitu dari tingkat organisasi, unit kerja, hingga
individu. Semuanya terhubung dan masing-masing memiliki koefisien tersendiri. Prinsipnya,
semua berbasis pada strategi di tingkat nasional, instansional, dan kontribusi
individu. Sistem remunerasi juga perlu dilengkapi dengan insentif lanjutan
seperti yang diberlakukan di sejumlah perusahaan, yaitu memberi bonus sebesar
satu bulan gaji apabila target kinerja individu atau unit kerja tercapai dengan
sangat memuaskan. Mekanisme evaluasi kinerja harus dibangun dengan sangat tegas
untuk menghindari main mata antaraktor. Terkait evaluasi kinerja individu dapat
rekan-rekan baca pada artikel saya sebelumnya, namun demikian, perlu dilengkapi
juga dengan mekanisme sanksi. Singapura dapat memiliki pegawai negeri yang
berkualitas tidak hanya karena mereka diberi remunerasi yang tinggi, tetapi
juga karena sistem evaluasi kinerjanya diterapkan dengan tegas.
Partisipasi
Masyarakat
Partisipasi masyarakat adalah salah satu
masalah besar dalam reformasi birokrasi Indonesia. Pengalaman di banyak negara
menunjukkan bahwa reformasi sistem administrasi dilakukan dalam rangka
memulihkan kepercayaan publik (public
trust) terhadap kemampuan pemerintah menjalankan kekuasaannya (governability). Dengan demikian,
seharusnya publik turut dilibatkan dalam penentuan strategi dan rencana aksi
reformasi birokrasi, pengawasan atas implementasi, dan evaluasi eksternal atas
hasil-hasil reformasi birokrasi. Akan tetapi, hal ini terlihat belum berjalan
terlalu baik. Pada tingkat makro, beberapa perbaikan mulai terlihat dalam hal
pelibatan publik, misalnya dengan mengundang dan meminta pendapat dari praktisi
civil society (akademisi, pegiat LSM,
dan pers) dalam rangka penyusunan kebijakan nasional seperti Undang-undang
tentang Pelayanan Publik dan RUU tentang Aparatur Sipil Negara. Akan tetapi,
hal yang sama belum terlihat pada level meso dan mikro dari reformasi
birokrasi. Padahal, dalam Road Map RB disebutkan dengan jelas bahwa program
pada level meso meliputi kampanye publik dan manajemen pengetahuan. Keduanya perlu
melibatkan masyarakat untuk dapat berjalan efektif, tetapi hingga kini hal
tersebut belum terlihat.
Indonesia dengan sekitar 240 juta penduduk
yang lebih dari 90 persen telah bebas dari buta huruf dan 25 persen penduduk memiliki
partisipasi pendidikan hingga level perguruan tinggi tentu memiliki modal yang
sangat besar dalam mengembangkan civil
society. Sayangnya, hingga saat ini peran publik dalam reformasi birokrasi
baru didominasi oleh para konsultan, baik yang berasal dari perguruan tinggi
maupun perusahaan konsultan swasta. Tanpa maksud menegasikan kapabilitas para
konsultan, pemerintah selayaknya memberikan kesempatan yang lebih besar kepada
LSM, pusat penelitian dan investigasi media, atau perkumpulan-perkumpulan
berbasis agama/budaya. Lebih dari 350 LSM yang terdaftar di Kementerian Dalam
Negeri tentu merupakan modal besar.
Apabila masyarakat terlibat dalam sebagian
besar proses reformasi birokrasi, maka akan lebih banyak pihak yang dapat
mengingatkan apabila implementasi atau hasil dari reformasi birokrasi tidak
berjalan sesuai rencana. Pada kondisi saat ini, ketika masyarakat tidak
terlibat dalam perencanaan reformasi birokrasi nasional, tentu wajar ketika
mereka mengkritik reformasi birokrasi gagal. Di sisi lain, wajar pula jika
pelaksana reformasi birokrasi mengatakan bahwa semua masih on the track. Ini karena kedua pihak tidak memberi penilaian atas
objek yang sama. Sekalipun melihat pada objek yang sama, dengan sudut pandang
yang berbeda, penilaian akan menjadi berbeda. Oleh sebab itu, birokrasi tidak
boleh menutup diri dari masyarakat. Orang yang baru pertama kali melihat gajah
dari mobil di kebun binatang tentu beda dengan orang yang setiap hari melihat
gajah dari bawah perutnya tanpa pernah melihat keseluruhan tubuh gajah.
Komitmen
Pemimpin
Saya selalu berusaha menghindari penggunaan
komitmen pemimpin sebagai masalah dalam ketidakberhasilan suatu program.
Menunggu pemimpin yang memiliki komitmen adalah penantian yang tidak tentu
ujungnya. Bahkan jika kita suatu saat menjadi pemimpin, siapa yang dapat
menjamin kita akan memiliki “komitmen” yang sama dengan apa yang kita
perjuangkan sebelumnya. Akan tetapi, untuk momentum ini, kiranya penting untuk
menyebutkan komitmen pemimpin sebagai elemen penting dalam reformasi birokrasi.
Mengubah sistem administrasi publik yang
sudah berjalan puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun jika dilihat dari jejaknya,
bukanlah persoalan mudah. Resistensi atas perubahan tersebut datang bukan hanya
dari mereka yang sudah nyaman dengan posisi tinggi dalam birokrasi, melainkan
juga dari pejabat politik yang ingin mempolitisasi birokrasi dan
pejabat-pejabat menengah dan bawah dari birokrasi yang khawatir kariernya
terhambat dengan adanya perubahan pada sistem administrasi publik. Belum lagi
jika kita memasukkan adanya kepentingan dari pihak asing yang ingin
mempertahankan sejumlah praktik dalam birokrasi Indonesia. Sikap tidak acuh
masyarakat terhadap sistem pemerintahan (dan hanya peduli pada diterimanya
pelayanan publik) juga semakin menambah rumit persoalan, karena ini berarti
penggiat reformasi birokrasi akan berjalan dalam ruang yang sangat sempit.
Untuk melakukan satu jenis perubahan saja
prosesnya bisa sangat rumit dan keras. Waktu yang dibutuhkan bisa sampai
bertahun-tahun, karena jejaring birokrasi dalam satu instansi maupun
antarinstansi dapat menciptakan delay
yang sistemik dalam proses penyusunan kebijakan. Ditambah dengan masih belum
relevannya latar belakang anggota legislatif dengan komisi yang diampunya, maka
birokrasi dengan bermodal pengalaman akan relatif mudah menyetir kebijakan
legislatif.
Dalam kondisi demikian, memang tepat jika
banyak pihak menyatakan bahwa kunci keberhasilan reformasi birokrasi adalah
pada komitmen dari pimpinan tertinggi birokrasi, yaitu kepala pemerintahan.
Kisah-kisah perubahan besar dalam sistem administrasi di berbagai negara tidak
diwakili oleh kementerian tertentu atau pemerintah daerah tertentu, tetapi oleh
kepala pemerintahan langsung. Nama Ronald Reagan, Margaret Thatcher, atau Bob
Hawke diingat karena mereka melakukan perubahan besar dalam sistem pemerintahan
yang masih terwariskan sebagian hingga pemerintahan saat ini. Tentu, jika
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin mewariskan sesuatu kepada pemerintahan
selanjutnya, pondasi untuk birokrasi yang sehat dapat menjadi suatu pilihan
yang sangat mungkin.
Dalam pidato nota keuangan yang disampaikan hari ini (masih berlangsung saat tulisan ini dibuat), Yudhoyono
sudah menyatakan bahwa kita harus mulai berpikir soal bagaimana kondisi
Indonesia pada 2045 atau saat berusia seratus tahun. Meskipun Yudhoyono terus memasukkan persoalan reformasi birokrasi dalam pidatonya seperti yang juga dilakukan
pada beberapa tahun terakhir, tapi tindak lanjut dari arahan tersebut belum terlalu nyata. Padahal, arah kebijakan yang disampaikan presiden dapat menjadi titik tolak penyelenggaraan pemerintahan setiap tahun.
Epilog
Potongan-potongan masalah di atas memang
belum dapat sepenuhnya menggambarkan kondisi reformasi birokrasi. Namun
demikian, apabila kita rangkaikan potongan-potongan tersebut, kiranya kita
dapat membentuk suatu kerangka yang baik untuk implementasi reformasi birokrasi
di masa mendatang. Akan sangat menarik apabila pidato kenegaraan dapat
dilakukan pada awal tahun, seperti halnya State of the Union di Amerika
Serikat. Dengan demikian, apa yang disampaikan presiden dapat dijadikan dasar
untuk menentukan prioritas pembangunan pada tahun berjalan yang dapat digunakan
sebagai penentu koefisien. Tentu dalam mempersiapkan pidato kenegaraan tersebut
presiden dapat membuka ruang diskusi publik untuk menghindari kolusi
antarinstansi. Apabila selanjutnya praktik manajemen kinerja, lengkap dengan skema
penghargaan dan sanksi, dilakukan dengan konsisten dan melibatkan peran serta
masyarakat, maka kiranya program-program
apapun yang dijadikan prioritas reformasi di tingkat nasional ataupun
instansional akan dapat berjalan dengan lebih efektif.
Indonesia akan memasuki usia 68 tahun.
Banyak negara lain yang seumuran dengan Indonesia memiliki kondisi yang jauh
lebih buruk, meskipun banyak pula yang menunjukkan prestasi luar biasa.
Birokrasi yang dicita-citakan berkelas dunia pada 2025 kiranya tetap harus
diupayakan melalui reformasi birokrasi. Reformasi ini bukan sebuah upaya yang
mudah, karena kita harus melakukan perubahan (change) dan pada saat bersamaan juga menjaga kesinambungan (continuity) hasil positif. Dengan change and continuity yang nyata dan
bonus demografi pada tahun 2030-an, maka Indonesia akan dapat mengoptimalkan
segala sumber daya yang dimiliki. Ini bukan hanya menjadi impian dan tugas
orang-orang dalam birokrasi, melainkan semua orang di Indonesia apapun profesi
yang diemban. Rim ni tahi do gogona,
rantosna do tajomna.
Di ujung
Barry Drive, ACT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar