Jumat, 16 Agustus 2013

Quo Vadis Reformasi Birokrasi?

Media-media mainstream di Indonesia belakangan dipenuhi berita soal buruknya pemerintahan kita. Kasus korupsi menjangkiti pejabat dari tingkat menteri hingga pelaksana. Pelayanan publik yang berkualitas rendah terjadi dari lembaga pemasyarakatan hingga perpajakan. Tumpang tindih urusan terjadi diantara lembaga-lembaga tingkat pusat maupun antara lembaga di tingkat pusat dan tingkat daerah. Hal ini tampak kontras dengan jargon yang belakangan ini dikedepankan oleh penyelenggara negara: reformasi birokrasi.

Berbagai persoalan tersebut memang tidak dapat dilepaskan dari sistem administrasi publik yang berjalan di Indonesia. Dalam kaitan tersebut, reformasi birokrasi memang menjadi salah satu solusi yang paling mungkin memberikan penyelesaian tuntas dibandingkan dengan opsi-opsi lainnya. Akan tetapi, jika masalah tetap muncul silih berganti dan bahkan terlihat semakin membesar, apakah ini berarti reformasi birokrasi telah gagal?

Meskipun beberapa pengamat di Indonesia sudah menyatakan demikian, saya belum dapat menyetujuinya karena dalam praktiknya reformasi birokrasi memang belum sepenuhnya berjalan. Sejumlah upaya untuk melakukan perubahan dalam kerangka reformasi birokrasi masih menghadapi tantangan dari dalam birokrasi sendiri, misalnya terkait dengan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara, penyederhanaan organisasi yang tumpang-tindih fungsinya dengan organisasi lain, perbaikan kerangka hukum pengawasan internal pemerintah, hingga modernisasi proses bisnis dalam rangka pengelolaan sumber daya pemerintahan. Sebagian dari contoh-contoh tersebut memang kini telah mulai menemukan titik terang, tapi masih banyak sekali yang bergerak merangkak jika tidak dapat dikatakan stagnan.

Untuk memahami (dan selanjutnya menghakimi) reformasi birokrasi Indonesia, kiranya kita perlu memahami apa saja langkah yang sudah dilakukan pemerintah secara nasional. Dari pemahaman tersebut, dapat dianalisis letak kekurangan yang perlu segera ditambal untuk memperbaikinya, sehingga langkah-langkah selanjutnya dapat benar-benar mengantarkan kepada pemerintahan Indonesia yang dicita-citakan.

Reformasi dalam Praktik

Meskipun praktik pemerintahan yang dapat dikategorikan reform sudah diterapkan sejak belasan tahun silam (terutama di pemerintah daerah pada masa UU 22/1999 dan beberapa lembaga di tingkat pusat seperti Kementerian Keuangan), kerangka hukum nasional tentang reformasi birokrasi baru diatur pada tahun 2008, itupun “hanya” melalui Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Kebijakan inilah yang mempopulerkan istilah “remunerasi”, sebuah istilah salah kaprah yang kemudian dikoreksi menjadi “tunjangan kinerja”.

Menyadari bahwa reformasi birokrasi bukan pekerjaan satu malam, pemerintah kemudian menerbitkan rencana jangka panjang untuk reformasi birokrasi melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 (selanjutnya disebut Grand Design RB), yang ditautkan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Sebagai penjabarannya, diterbitkanlah Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPANRB) Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 (selanjutnya disebut Road Map RB) yang ditautkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.

Grand Design dan Road Map RB menjadikan reformasi birokrasi sebagai sebuah program nasional, bukan instansional seperti yang dilakukan sebelum 2008. Program ini dijabarkan ke dalam tiga level implementasi, yaitu level makro, level meso, dan level mikro. Level makro adalah level penyusunan, koordinasi, dan evaluasi kebijakan nasional terkait sektor-sektor reformasi birokrasi. Level meso adalah level penyusunan, koordinasi, dan evaluasi kebijakan nasional terkait manajemen reformasi birokrasi. Level mikro adalah pelaksanaan kebijakan nasional terkait sektor maupun manajemen reformasi birokrasi di tingkat instansi. Sektor-sektor reformasi birokrasi dijabarkan dalam delapan area perubahan, yaitu organisasi, tatalaksana, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, peraturan perundang-undangan, dan pola pikir dan budaya kerja aparatur.

Dalam kerangka reformasi birokrasi nasional, setiap instansi di tingkat pusat maupun daerah harus menyusun Road Map RB-nya masing-masing. Road Map RB instansi ini menjadi panduan dan komitmen bagi instansi dalam melaksanakan reformasi birokrasi. Road Map RB instansi akan menggambarkan bagaimana instansi akan melakukan reformasi birokrasi dengan berangkat dari pedoman-pedoman yang ada di tingkat nasional. Instansi yang sudah menyusun dan sudah melaksanakan reformasi birokrasi akan dievaluasi dan diberikan tunjangan kinerja.

Evaluasi yang saat ini berlaku dan dilakukan terkait reformasi birokrasi adalah Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), yang diatur dalam PermenPANRB Nomor 1 Tahun 2012. Instrumen ini mengadaptasi instrumen yang dikembangkan oleh European Institute of Public Administration (EIPA) yang dinamakan Common Assessment Framework (CAF). Dalam PMPRB, instansi melakukan penilaian mandiri (self-evaluation) atas organisasinya. Hasil penilaian kemudian diverifikasi oleh Tim Reformasi Birokrasi Nasional (TRBN) untuk dapat memperoleh nilai akhir. Hasil penilaian akhir ini kemudian dapat dikorelasikan dengan persentase tunjangan kinerja yang diperoleh instansi.

Tinjauan atas Praktik Reformasi Birokrasi Nasional

Gambaran di atas tentu belum cukup lengkap untuk memperlihatkan potret lengkap reformasi birokrasi di Indonesia. Mungkin jika pembaca ingin tahu lebih jauh, dapat membaca tulisan saya di Modul Diklat Khusus Reformasi Birokrasi yang diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN). Tinjauan singkat berikut kiranya dapat menambah gambaran tersebut, sekaligus menggambarkan kekurangan-kekurangan dari praktik reformasi birokrasi nasional yang berjalan selama ini.

Saya menangkap empat kekurangan utama reformasi birokrasi di Indonesia. Pertama, reformasi birokrasi tidak dibangun di atas kerangka manajemen kinerja. Hal ini juga berkaitan dengan skema insentif dan sanksi yang menjadi masalah selanjutnya. Ketiga, partisipasi publik sangat minim dalam pelbagai tahap reformasi birokrasi. Keempat, komitmen politik atas reformasi birokrasi tidak sepenuhnya nyata.

Manajemen Kinerja
Reformasi birokrasi belum sepenuhnya dibangun di atas kerangka manajemen kinerja karena kebijakan tersebut tidak memiliki tujuan dan program yang spesifik. Apabila mengacu pada sasaran yang ada pada Grand Design dan Road Map RB, maka muncul dua kemungkinan: reformasi birokrasi didesain untuk gagal atau memang kebijakan ini tidak memiliki arah yang jelas. Indeks Persepsi Korupsi (CPI), peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business rank), dan indeks efektivitas pemerintahan (government effectiveness index) bukanlah alat ukur yang valid dan andal untuk keberhasilan reformasi birokrasi. Pertama, alat-alat ukur ini seringkali mengalami perubahan metode pengumpulan data. CPI, misalnya, dalam laman resmi Transparency International dikatakan bahwa versi terbaru 2012 tidak dapat diperbandingkan dengan pengukuran tahun-tahun sebelumnya. Kedua, beberapa dari alat ukur ini tidak dapat dikatakan berkorelasi langsung dengan reformasi birokrasi, terutama government effectiveness.

Selain terkait sasaran, reformasi birokrasi juga belum menunjukkan praktik manajemen kinerja yang baik karena tidak adanya program yang spesifik. Delapan area perubahan yang diperkenalkan oleh Grand Design RB dalam praktiknya menjadi sebuah cetakan yang tertulis seragam di semua kementerian/lembaga. Semua instansi kemudian cenderung melakukan program dan kegiatan yang sama dan dalam waktu yang cenderung bersamaan. Reformasi birokrasi mungkin solusi yang menarik, namun tetap harus memiliki fokus yang jelas, karena terkadang antara satu tujuan dengan tujuan yang lain membutuhkan trade off (Pollitt & Bouckaert 2011).

Keberadaan satu atau beberapa program utama dapat menjadi pengungkit (leverage) dari perubahan besar lainnya. Dengan delapan program yang sama besarnya, reformasi birokrasi menjadi terlalu berat untuk dijalankan. Pada akhirnya, seperti yang jamak terjadi pada praktik manajemen kinerja, instansi cenderung menurunkan targetnya menjadi yang paling mungkin dicapai. Dalam kondisi demikian, tidak akan ada yang spesial dari reformasi birokrasi (Brunsson 2009). Program yang menjadi pengungkit ini juga harus dapat diukur dengan mudah oleh pemangku kepentingan utamanya. Bahkan, sebisa mungkin ada proyek dari program ini yang dapat dirasakan dalam waktu singkat. Inilah yang disebut sebagai quick wins. Istilah ini sudah digunakan dalam kebijakan reformasi birokrasi nasional, tetapi bagaimana praktik dan hasilnya menjadi pertanyaan besar. Pemerintah melalui Tim Reformasi Birokrasi Nasional selayaknya menyempurnakan quick wins dan menjadikannya pengungkit perubahan baik di tingkat instansi maupun tingkat nasional. Dengan demikian, pendekatan yang digunakan adalah deduktif dan induktif sekaligus. Artinya, pemerintah memberi pertimbangan dan keputusan atas usulan quick wins instansi (bisa diterima, ditolak, atau disempurnakan), membina, memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan quick wins, serta menjadikan pembelajaran dari quick wins yang berhasil untuk dapat direplikasi pada aktivitas yang sejenis di organisasi lain.

Skema Insentif dan Sanksi
Masalah kedua yang berkaitan erat dengan masalah pertama di atas adalah sistem insentif dan sanksi terkait reformasi birokrasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini ada tunjangan kinerja yang diberikan kepada kementerian/lembaga terkait reformasi birokrasi. Namun, berapa dan bagaimana tunjangan kinerja tersebut diberikan dan diterapkan tentu banyak dilewatkan oleh pembaca yang bukan PNS.

Secara ide, tunjangan kinerja diberikan kepada instansi dalam kaitan dengan reformasi birokrasi yang dijalankan oleh instansi. Akan tetapi, ide ini tidak selalu sejalan dengan praktiknya. Sumber dana untuk tunjangan kinerja sebagian besar adalah dari pengalihan atau optimalisasi dana lain dalam anggaran instansi itu sendiri dan sedikit tambahan dari anggaran yang khusus disediakan negara untuk tunjangan kinerja. Oleh karena itu, sejatinya tunjangan kinerja tidak terlalu memberatkan anggaran negara karena diputar dari uang yang memang dianggarkan kepada instansi masing-masing. Dalam konteks ini, maka kementerian/lembaga yang anggarannya tidak dapat dioptimalisasi akan kesulitan memperoleh tunjangan kinerja yang tinggi. Dari sisi ini saja, sudah terlihat adanya ketidakharmonisan antara ide dan praktik pemberian tunjangan kinerja.

Selain itu, nama tunjangan kinerja juga tidak sepenuhnya sesuai, karena penerima tunjangan ini di banyak instansi sebenarnya hanya perlu memenuhi tingkat kehadiran di kantor secara fisik. Apabila seorang pegawai terpaksa bekerja dari rumah karena ada kondisi tertentu (sakit atau keperluan khusus), maka tunjangan yang diterimanya tidak akan lebih besar dari pegawai sejenis yang hadir setiap hari di kantor tanpa mengerjakan apapun. Tunjangan demikian tentu lebih tepat disebut tunjangan presensi dibandingkan tunjangan kinerja.

Dalam hal nilai tunjangan yang diberikan, ide yang berkembang (dan idealnya) adalah disesuaikan dengan kinerja reformasi birokrasi dari masing-masing instansi. Praktiknya? Nilai yang menjadi patokan adalah nilai tunjangan kinerja di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (diasumsikan 100%). Dengan demikian, terdapat dua konsekuensi. Pertama, tidak akan ada kinerja yang di atas 100%. Kedua, tidak akan ada yang memperoleh tunjangan kinerja lebih tinggi dari Ditjen Pajak. Dari sini, kembali terlihat bahwa ide tunjangan kinerja tidak sejalan dengan praktiknya.

Besaran tunjangan kinerja juga belakangan tidak lagi menarik bagi PNS. Selain karena hal di atas, juga karena pemerintah menyamaratakan besaran tunjangan kinerja K/L tanpa ada pertimbangan khusus. Sebagai contoh, organisasi A dan B yang memiliki perbedaan karakteristik akan memiliki tunjangan kinerja yang sama besar apabila memiliki nilai reformasi birokrasi yang selevel. Padahal, mungkin untuk memperoleh nilai reformasi birokrasi tersebut di organisasi B akan menjadi pekerjaan yang jauh lebih sulit dibandingkan dengan di organisasi A. Dalam kondisi demikian, pegawai di organisasi B tentu tidak akan termotivasi untuk menjalankan reformasi birokrasi.

Apa yang dapat digunakan sebagai dasar pembeda? Dari perbincangan dengan sejumlah teman, mereka berargumen bahwa instansi yang menghasilkan penerimaan negara seharusnya menerima tunjangan kinerja lebih besar dibandingkan yang tidak menghasilkan. Benarkah logika demikian? Jika cara berpikir tersebut yang digunakan, maka itu menganalogikan pemerintah sebagai perusahaan. Padahal, setiap instansi memiliki kekuasaan tersendiri yang apabila disalahgunakan dapat saja menghasilkan uang yang besar. Sehingga, pertimbangan tersebut menjadi sangat naif. Apakah polisi tidak lebih berat tugasnya dibandingkan petugas pajak? Apakah dampak yang ditimbulkan oleh guru yang korupsi (misalnya menerima suap dengan memberi nilai tinggi pada siswa) lebih rendah daripada dampak yang ditimbulkan pengawas tambang yang korupsi?

Pemerintah dapat membuat faktor pembeda (koefisien) kepada masing-masing instansi dengan dasar yang sama dengan reformasi birokrasi, yaitu RPJMN. Apabila pemerintah memiliki lima atau sepuluh prioritas utama pembangunan, maka instansi pada lima atau sepuluh prioritas utama tersebut akan memiliki nilai koefisien yang lebih tinggi. Ini karena mereka harus mengejar perbaikan kelembagaan dan prioritas utama tersebut. Potensi kongkalikong antara instansi lain dengan kementerian/lembaga yang menangani urusan perencanaan pembangunan nasional memang dapat terjadi. Akan tetapi, ini dapat diminimasi dengan mengubah pola dan pendekatan perencanaan pembangunan nasional dengan lebih melibatkan masyarakat bukan hanya sebagai peserta musyawarah perencanaan pembangunan, tetapi dengan mengikutsertakan masyarakat dalam keseluruhan proses perencanaan pembangunan. Menggunakan evidence-based policy dan kerangka berpikir sistem juga menjadi metode perencanaan pembangunan yang perlu dikembangkan, karena akan mempermudah dalam menentukan titik intervensi pemerintah.


Dengan demikian, besaran tunjangan kinerja organisasi ditentukan oleh koefisien karakteristik organisasi (besaran organisasi), nilai evaluasi reformasi birokrasi, dan nilai prioritas pembangunan. Koefisien karakteristik organisasi akan ditentukan oleh jumlah pegawai dan unit kerja. Nilai reformasi birokrasi menurut saya menjadi koefisien yang baru akan dapat diubah setiap 2 atau 3 tahun. Sementara itu, nilai prioritas pembangunan dilihat dari prioritas pada pembangunan jangka menengah dan prioritas pada agenda tahunan. Pendekatan ini kiranya akan lebih adil bagi instansi yang ada.



Selanjutnya, tunjangan kinerja harus dibangun secara berjenjang, yaitu dari tingkat organisasi, unit kerja, hingga individu. Semuanya terhubung dan masing-masing memiliki koefisien tersendiri. Prinsipnya, semua berbasis pada strategi di tingkat nasional, instansional, dan kontribusi individu. Sistem remunerasi juga perlu dilengkapi dengan insentif lanjutan seperti yang diberlakukan di sejumlah perusahaan, yaitu memberi bonus sebesar satu bulan gaji apabila target kinerja individu atau unit kerja tercapai dengan sangat memuaskan. Mekanisme evaluasi kinerja harus dibangun dengan sangat tegas untuk menghindari main mata antaraktor. Terkait evaluasi kinerja individu dapat rekan-rekan baca pada artikel saya sebelumnya, namun demikian, perlu dilengkapi juga dengan mekanisme sanksi. Singapura dapat memiliki pegawai negeri yang berkualitas tidak hanya karena mereka diberi remunerasi yang tinggi, tetapi juga karena sistem evaluasi kinerjanya diterapkan dengan tegas.

Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat adalah salah satu masalah besar dalam reformasi birokrasi Indonesia. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa reformasi sistem administrasi dilakukan dalam rangka memulihkan kepercayaan publik (public trust) terhadap kemampuan pemerintah menjalankan kekuasaannya (governability). Dengan demikian, seharusnya publik turut dilibatkan dalam penentuan strategi dan rencana aksi reformasi birokrasi, pengawasan atas implementasi, dan evaluasi eksternal atas hasil-hasil reformasi birokrasi. Akan tetapi, hal ini terlihat belum berjalan terlalu baik. Pada tingkat makro, beberapa perbaikan mulai terlihat dalam hal pelibatan publik, misalnya dengan mengundang dan meminta pendapat dari praktisi civil society (akademisi, pegiat LSM, dan pers) dalam rangka penyusunan kebijakan nasional seperti Undang-undang tentang Pelayanan Publik dan RUU tentang Aparatur Sipil Negara. Akan tetapi, hal yang sama belum terlihat pada level meso dan mikro dari reformasi birokrasi. Padahal, dalam Road Map RB disebutkan dengan jelas bahwa program pada level meso meliputi kampanye publik dan manajemen pengetahuan. Keduanya perlu melibatkan masyarakat untuk dapat berjalan efektif, tetapi hingga kini hal tersebut belum terlihat.

Indonesia dengan sekitar 240 juta penduduk yang lebih dari 90 persen telah bebas dari buta huruf dan 25 persen penduduk memiliki partisipasi pendidikan hingga level perguruan tinggi tentu memiliki modal yang sangat besar dalam mengembangkan civil society. Sayangnya, hingga saat ini peran publik dalam reformasi birokrasi baru didominasi oleh para konsultan, baik yang berasal dari perguruan tinggi maupun perusahaan konsultan swasta. Tanpa maksud menegasikan kapabilitas para konsultan, pemerintah selayaknya memberikan kesempatan yang lebih besar kepada LSM, pusat penelitian dan investigasi media, atau perkumpulan-perkumpulan berbasis agama/budaya. Lebih dari 350 LSM yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri tentu merupakan modal besar.


Apabila masyarakat terlibat dalam sebagian besar proses reformasi birokrasi, maka akan lebih banyak pihak yang dapat mengingatkan apabila implementasi atau hasil dari reformasi birokrasi tidak berjalan sesuai rencana. Pada kondisi saat ini, ketika masyarakat tidak terlibat dalam perencanaan reformasi birokrasi nasional, tentu wajar ketika mereka mengkritik reformasi birokrasi gagal. Di sisi lain, wajar pula jika pelaksana reformasi birokrasi mengatakan bahwa semua masih on the track. Ini karena kedua pihak tidak memberi penilaian atas objek yang sama. Sekalipun melihat pada objek yang sama, dengan sudut pandang yang berbeda, penilaian akan menjadi berbeda. Oleh sebab itu, birokrasi tidak boleh menutup diri dari masyarakat. Orang yang baru pertama kali melihat gajah dari mobil di kebun binatang tentu beda dengan orang yang setiap hari melihat gajah dari bawah perutnya tanpa pernah melihat keseluruhan tubuh gajah.

Komitmen Pemimpin
Saya selalu berusaha menghindari penggunaan komitmen pemimpin sebagai masalah dalam ketidakberhasilan suatu program. Menunggu pemimpin yang memiliki komitmen adalah penantian yang tidak tentu ujungnya. Bahkan jika kita suatu saat menjadi pemimpin, siapa yang dapat menjamin kita akan memiliki “komitmen” yang sama dengan apa yang kita perjuangkan sebelumnya. Akan tetapi, untuk momentum ini, kiranya penting untuk menyebutkan komitmen pemimpin sebagai elemen penting dalam reformasi birokrasi.

Mengubah sistem administrasi publik yang sudah berjalan puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun jika dilihat dari jejaknya, bukanlah persoalan mudah. Resistensi atas perubahan tersebut datang bukan hanya dari mereka yang sudah nyaman dengan posisi tinggi dalam birokrasi, melainkan juga dari pejabat politik yang ingin mempolitisasi birokrasi dan pejabat-pejabat menengah dan bawah dari birokrasi yang khawatir kariernya terhambat dengan adanya perubahan pada sistem administrasi publik. Belum lagi jika kita memasukkan adanya kepentingan dari pihak asing yang ingin mempertahankan sejumlah praktik dalam birokrasi Indonesia. Sikap tidak acuh masyarakat terhadap sistem pemerintahan (dan hanya peduli pada diterimanya pelayanan publik) juga semakin menambah rumit persoalan, karena ini berarti penggiat reformasi birokrasi akan berjalan dalam ruang yang sangat sempit.

Untuk melakukan satu jenis perubahan saja prosesnya bisa sangat rumit dan keras. Waktu yang dibutuhkan bisa sampai bertahun-tahun, karena jejaring birokrasi dalam satu instansi maupun antarinstansi dapat menciptakan delay yang sistemik dalam proses penyusunan kebijakan. Ditambah dengan masih belum relevannya latar belakang anggota legislatif dengan komisi yang diampunya, maka birokrasi dengan bermodal pengalaman akan relatif mudah menyetir kebijakan legislatif.

Dalam kondisi demikian, memang tepat jika banyak pihak menyatakan bahwa kunci keberhasilan reformasi birokrasi adalah pada komitmen dari pimpinan tertinggi birokrasi, yaitu kepala pemerintahan. Kisah-kisah perubahan besar dalam sistem administrasi di berbagai negara tidak diwakili oleh kementerian tertentu atau pemerintah daerah tertentu, tetapi oleh kepala pemerintahan langsung. Nama Ronald Reagan, Margaret Thatcher, atau Bob Hawke diingat karena mereka melakukan perubahan besar dalam sistem pemerintahan yang masih terwariskan sebagian hingga pemerintahan saat ini. Tentu, jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin mewariskan sesuatu kepada pemerintahan selanjutnya, pondasi untuk birokrasi yang sehat dapat menjadi suatu pilihan yang sangat mungkin.

Dalam pidato nota keuangan yang disampaikan hari ini (masih berlangsung saat tulisan ini dibuat), Yudhoyono sudah menyatakan bahwa kita harus mulai berpikir soal bagaimana kondisi Indonesia pada 2045 atau saat berusia seratus tahun. Meskipun Yudhoyono terus memasukkan persoalan reformasi birokrasi dalam pidatonya seperti yang juga dilakukan pada beberapa tahun terakhir, tapi tindak lanjut dari arahan tersebut belum terlalu nyata. Padahal, arah kebijakan yang disampaikan presiden dapat menjadi titik tolak penyelenggaraan pemerintahan setiap tahun.

Epilog

Potongan-potongan masalah di atas memang belum dapat sepenuhnya menggambarkan kondisi reformasi birokrasi. Namun demikian, apabila kita rangkaikan potongan-potongan tersebut, kiranya kita dapat membentuk suatu kerangka yang baik untuk implementasi reformasi birokrasi di masa mendatang. Akan sangat menarik apabila pidato kenegaraan dapat dilakukan pada awal tahun, seperti halnya State of the Union di Amerika Serikat. Dengan demikian, apa yang disampaikan presiden dapat dijadikan dasar untuk menentukan prioritas pembangunan pada tahun berjalan yang dapat digunakan sebagai penentu koefisien. Tentu dalam mempersiapkan pidato kenegaraan tersebut presiden dapat membuka ruang diskusi publik untuk menghindari kolusi antarinstansi. Apabila selanjutnya praktik manajemen kinerja, lengkap dengan skema penghargaan dan sanksi, dilakukan dengan konsisten dan melibatkan peran serta masyarakat, maka  kiranya program-program apapun yang dijadikan prioritas reformasi di tingkat nasional ataupun instansional akan dapat berjalan dengan lebih efektif.


Indonesia akan memasuki usia 68 tahun. Banyak negara lain yang seumuran dengan Indonesia memiliki kondisi yang jauh lebih buruk, meskipun banyak pula yang menunjukkan prestasi luar biasa. Birokrasi yang dicita-citakan berkelas dunia pada 2025 kiranya tetap harus diupayakan melalui reformasi birokrasi. Reformasi ini bukan sebuah upaya yang mudah, karena kita harus melakukan perubahan (change) dan pada saat bersamaan juga menjaga kesinambungan (continuity) hasil positif. Dengan change and continuity yang nyata dan bonus demografi pada tahun 2030-an, maka Indonesia akan dapat mengoptimalkan segala sumber daya yang dimiliki. Ini bukan hanya menjadi impian dan tugas orang-orang dalam birokrasi, melainkan semua orang di Indonesia apapun profesi yang diemban. Rim ni tahi do gogona, rantosna do tajomna.


Di ujung Barry Drive, ACT

Tidak ada komentar: