Rabu, 14 Agustus 2013

Pemerintah dan Tempat: Hubungan yang Tidak Sederhana; Sebuah Tinjauan atas Buku “New Perspectives on Public Services: Place and Technology”

Aspek yang paling nyata dan sederhana dalam hidup ternyata menjadi hal yang seringkali terlewat dari penalaran kita. Mungkin pembaca masih ingat pada masa sekolah dasar pernah menerima pengetahuan tentang sifat dasar air yang selalu berubah bentuk. Diletakkan di gelas, dia akan berbentuk gelas. Dituang ke vas bunga, dia berubah bentuk menjadi vas bunga. Air, dengan keencerannya, memang akan berusaha menyesuaikan diri dengan wadahnya. Disadari atau tidak, manusia pun demikian. Perilaku dan tindakan yang diambil oleh manusia akan disesuaikan dengan konteks tempat atau lokasi atau ruang di mana dia berada atau di mana kepentingannya berada. Pemerintah yang terdiri dari sekumpulan manusia juga tidak terlepas dari sifat ini. Itulah yang menjadi ide dasar dari Christopher Pollitt dalam bukunya “New Perspectives on Public Services: Place and Technology” (2012).

Ilmuwan Inggris ini, yang di banyak negara sangat populer berkat karya fenomenalnya bersama Geert Bouckaert “Public Management Reform”, menulis buku di atas sebagai kelanjutan atas dua karya sebelumnya, yaitu Time, Policy, Management: Governing with the Past (2008) dan Continuity and Change in Public Policy and Management (2011, ditulis bersama Bouckaert), yang berbicara mengenai aspek waktu. Jika pada kedua karya tersebut Pollitt menyatakan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada masa lalu dan saat ini serta dapat memengaruhi kebijakan yang akan diambil pada masa depan, maka dalam buku terbaru ini Pollitt menjelaskan aspek ruang/tempat/lokasi yang memang seringkali, jika tidak dapat dibilang selalu, menjadi aspek yang tidak terpisahkan dari waktu. Keduanya sama pentingnya, namun Pollitt mengatakan bahwa aspek ruang mungkin dianggap memudar signifikansinya seiring dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan ruang/lokasi/tempat tidak lagi terlihat secara kasat mata. Padahal, perkembangan teknologi hanya memindahkan ruang/lokasi/tempat tersebut ke ruang/lokasi/tempat lainnya yang mungkin lebih kecil atau justru lebih besar dari sebelum adanya perkembangan teknologi. Jika dalam kedua buku sebelumnya Pollitt lebih banyak menempatkan pemerintah dan kebijakan sebagai variabel dependen dari waktu, maka dalam aspek ruang/lokasi/tempat, Pollitt meyakini bahwa pemerintah dapat menjadi penentu dari ruang/lokasi/tempat dari beragam aktivitas masyarakat, tentu dengan segala problematika pada arena kekuasaan.

Pentingnya aspek ruang/lokasi/tempat dibuka secara lugas oleh Pollitt dengan kutipan dari Michael Mann (1993) “the state contains two dualities: it is place and persons and center and territory”. Kutipan yang berasal dari buku monumental “The Sources of Power” itu kiranya cukup menjelaskan pentingnya aspek ruang/lokasi/tempat dalam pemerintahan. Sebuah negara baru akan diakui sebagai negara apabila memiliki wilayah yang jelas. Pemerintahan sebuah negara juga biasanya terbagi dalam yurisdiksi yang lebih kecil yang dikenal sebagai pemerintah daerah. Yurisdiksi ini bukan hanya menentukan batas kekuasaan masing-masing pemerintah daerah, melainkan juga memengaruhi pola aktivitas penduduknya terkait dengan pelayanan publik, aktivitas ekonomi, dan kebutuhan tersier. Pilihan seorang penduduk untuk menyekolahkan anaknya akan dipengaruhi oleh tempat tinggalnya atau sebaliknya. Pilihan mereka untuk bergerak dengan kendaraan pribadi atau kendaraan umum juga akan ditentukan salah satunya oleh faktor tempat tinggal dan tempat aktivitas ekonomi mereka. Kecepatan respons pemerintah atas suatu krisis (bencana alam, kebakaran, atau wabah penyakit) juga ditentukan oleh ketepatan penempatan unit-unit yang terkait dengan manajemen krisis tersebut. Pola-pola aktivitas ini saling berimpitan dan bertumpuk dengan banyak aktivitas lainnya yang mengakibatkan tingginya kepentingan atas suatu ruang/lokasi/tempat.

Perubahan ruang/lokasi/tempat dapat terjadi dari satu lokasi geografis tertentu ke lokasi geografis lainnya atau dari lokasi geografis nyata ke ruang virtual (dunia maya). Perubahan-perubahan ini memengaruhi penerima pelayanan publik, penyedia pelayanan publik, aktivitas pemerintahan, personel pemerintahan, aspek finansial dari penyelenggaraan pemerintahan, dan aturan-aturan atau kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya ada di birokrasi.

Dalam fungsinya sebagai penentu ruang/lokasi/tempat, pemerintah memiliki beberapa wahana yang dapat digunakannya. Pollitt menyebutkan delapan diantaranya, sebagaimana tergambar pada ilustrasi berikut.

 
Modalities of Government as Placemaker
Delapan saluran inilah yang menurut Pollitt menentukan rupa administrasi publik di seluruh dunia. Dalam praktiknya, pemerintah seringkali menggunakan beberapa saluran sekaligus, sehingga kedelapan saluran ini tidak berdiri sendiri-sendiri.

Dalam bab-bab selanjutnya, Pollitt menyampaikan beberapa contoh bagaimana pemerintah  di beberapa negara menjalankan perannya sebagai penentu ruang/lokasi/tempat dan dinamika yang muncul sebelum, saat, dan pasca penentuan ruang/lokasi/tempat tersebut. Kasus-kasus yang disajikan antara lain dalam hal penciptaan lokasi khusus untuk ibukota negara, rumah sakit, pelayanan kependudukan, dan pelayanan polisi.

Dalam hal penentuan suatu lokasi sebagai ibukota negara, misalnya, Pollitt mencontohkan bagaimana Australia dan Brasil harus melalui sejumlah tahapan diskusi yang tidak mudah hingga akhirnya memutuskan membangun lokasi khusus sebagai ibukota negara. Dinamika politik di Australia antara negara bagian New South Wales dan Victoria menjadi bumbu di awal penentuan Canberra sebagai ibukota negara. Setelah kebijakan diambil, peran negara sebagai penentu ruang/lokasi/tempat terus diuji karena Canberra tidak juga berkembang akibat resesi besar pada 1930-an dan pasca Perang Dunia II. Demikian pula Brasilia yang ternyata tidak berkembang sesuai dengan rencana karena mengalami ledakan populasi dan pertumbuhan daerah kumuh di luar daerah utama ibukota pemerintahan. Bahkan, setelah permasalahan tersebut selesai, pemerintah juga dihadapkan pada masalah keadilan dalam perlakuan kepada daerah-daerah lainnya, karena Canberra dan Brasilia menerima perhatian lebih dari pemerintah dibandingkan daerah lain di Australia dan Brasil.

Saluran-saluran yang dinyatakan oleh Pollitt menjadi kajian yang dapat diperdebatkan di banyak negara, karena peran pemerintah di satu negara tentu berbeda dengan peran pemerintah di negara lainnya. Akan tetapi, perdebatan tersebut mungkin hanya persoalan derajat kekuasaan pemerintah dalam menjalankan kedelapan saluran yang dijabarkan Pollitt. Bagaimanapun, isu penentuan ruang/lokasi/tempat merupakan isu yang selalu sensitif di belahan dunia manapun.


Pollitt dalam buku ini menyediakan petunjuk bagi pemerintah di manapun bahwa penyelenggaraan pemerintahan tidak akan pernah lepas dari aspek ruang/lokasi/tempat dan pemerintah tidak dapat melepaskan secara total kendali atas kedelapan saluran yang dimilikinya sebagai penentu ruang/lokasi/tempat. Proposisi ini berlaku tidak hanya untuk persoalan pencari suaka memasuki wilayah suatu negara, relokasi pedagang kaki lima ke dalam bangunan pasar, pemindahan ibukota negara, modernisasi pelayanan publik dengan teknologi informasi dan komunikasi, atau pemekaran daerah kabupaten/kota/provinsi saja, tetapi juga untuk semua permasalahan dalam pemerintahan. 

Tidak ada komentar: