Aspek yang paling nyata dan sederhana dalam
hidup ternyata menjadi hal yang seringkali terlewat dari penalaran kita.
Mungkin pembaca masih ingat pada masa sekolah dasar pernah menerima pengetahuan
tentang sifat dasar air yang selalu berubah bentuk. Diletakkan di gelas, dia
akan berbentuk gelas. Dituang ke vas bunga, dia berubah bentuk menjadi vas
bunga. Air, dengan keencerannya, memang akan berusaha menyesuaikan diri dengan
wadahnya. Disadari atau tidak, manusia pun demikian. Perilaku dan tindakan yang
diambil oleh manusia akan disesuaikan dengan konteks tempat atau lokasi atau
ruang di mana dia berada atau di mana kepentingannya berada. Pemerintah yang
terdiri dari sekumpulan manusia juga tidak terlepas dari sifat ini. Itulah yang
menjadi ide dasar dari Christopher Pollitt dalam bukunya “New Perspectives on
Public Services: Place and Technology” (2012).
Ilmuwan Inggris ini, yang di banyak negara
sangat populer berkat karya fenomenalnya bersama Geert Bouckaert “Public
Management Reform”, menulis buku di atas sebagai kelanjutan atas dua karya
sebelumnya, yaitu Time, Policy, Management: Governing with the Past (2008) dan
Continuity and Change in Public Policy and Management (2011, ditulis bersama
Bouckaert), yang berbicara mengenai aspek waktu. Jika pada kedua karya tersebut
Pollitt menyatakan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah dipengaruhi
oleh apa yang terjadi pada masa lalu dan saat ini serta dapat memengaruhi
kebijakan yang akan diambil pada masa depan, maka dalam buku terbaru ini
Pollitt menjelaskan aspek ruang/tempat/lokasi yang memang seringkali, jika
tidak dapat dibilang selalu, menjadi aspek yang tidak terpisahkan dari waktu.
Keduanya sama pentingnya, namun Pollitt mengatakan bahwa aspek ruang mungkin
dianggap memudar signifikansinya seiring dengan perkembangan teknologi yang
memungkinkan ruang/lokasi/tempat tidak lagi terlihat secara kasat mata. Padahal,
perkembangan teknologi hanya memindahkan ruang/lokasi/tempat tersebut ke
ruang/lokasi/tempat lainnya yang mungkin lebih kecil atau justru lebih besar
dari sebelum adanya perkembangan teknologi. Jika dalam kedua buku sebelumnya
Pollitt lebih banyak menempatkan pemerintah dan kebijakan sebagai variabel
dependen dari waktu, maka dalam aspek ruang/lokasi/tempat, Pollitt meyakini
bahwa pemerintah dapat menjadi penentu dari ruang/lokasi/tempat dari beragam
aktivitas masyarakat, tentu dengan segala problematika pada arena kekuasaan.
Pentingnya aspek ruang/lokasi/tempat dibuka
secara lugas oleh Pollitt dengan kutipan dari Michael Mann (1993) “the state contains two dualities: it is
place and persons and center and territory”. Kutipan yang berasal dari buku
monumental “The Sources of Power” itu kiranya cukup menjelaskan pentingnya
aspek ruang/lokasi/tempat dalam pemerintahan. Sebuah negara baru akan diakui
sebagai negara apabila memiliki wilayah yang jelas. Pemerintahan sebuah negara
juga biasanya terbagi dalam yurisdiksi yang lebih kecil yang dikenal sebagai
pemerintah daerah. Yurisdiksi ini bukan hanya menentukan batas kekuasaan
masing-masing pemerintah daerah, melainkan juga memengaruhi pola aktivitas
penduduknya terkait dengan pelayanan publik, aktivitas ekonomi, dan kebutuhan
tersier. Pilihan seorang penduduk untuk menyekolahkan anaknya akan dipengaruhi
oleh tempat tinggalnya atau sebaliknya. Pilihan mereka untuk bergerak dengan
kendaraan pribadi atau kendaraan umum juga akan ditentukan salah satunya oleh
faktor tempat tinggal dan tempat aktivitas ekonomi mereka. Kecepatan respons
pemerintah atas suatu krisis (bencana alam, kebakaran, atau wabah penyakit)
juga ditentukan oleh ketepatan penempatan unit-unit yang terkait dengan
manajemen krisis tersebut. Pola-pola aktivitas ini saling berimpitan dan
bertumpuk dengan banyak aktivitas lainnya yang mengakibatkan tingginya
kepentingan atas suatu ruang/lokasi/tempat.
Perubahan ruang/lokasi/tempat dapat terjadi
dari satu lokasi geografis tertentu ke lokasi geografis lainnya atau dari
lokasi geografis nyata ke ruang virtual (dunia maya). Perubahan-perubahan ini
memengaruhi penerima pelayanan publik, penyedia pelayanan publik, aktivitas
pemerintahan, personel pemerintahan, aspek finansial dari penyelenggaraan
pemerintahan, dan aturan-aturan atau kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya ada di
birokrasi.
Dalam fungsinya sebagai penentu
ruang/lokasi/tempat, pemerintah memiliki beberapa wahana yang dapat
digunakannya. Pollitt menyebutkan delapan diantaranya, sebagaimana tergambar
pada ilustrasi berikut.
Delapan saluran inilah yang menurut Pollitt
menentukan rupa administrasi publik di seluruh dunia. Dalam praktiknya,
pemerintah seringkali menggunakan beberapa saluran sekaligus, sehingga
kedelapan saluran ini tidak berdiri sendiri-sendiri.
Dalam bab-bab selanjutnya, Pollitt menyampaikan beberapa contoh bagaimana pemerintah di beberapa negara menjalankan perannya sebagai penentu ruang/lokasi/tempat dan dinamika yang muncul sebelum, saat, dan pasca penentuan ruang/lokasi/tempat tersebut. Kasus-kasus yang disajikan antara lain dalam hal penciptaan lokasi khusus untuk ibukota negara, rumah sakit, pelayanan kependudukan, dan pelayanan polisi.
Dalam bab-bab selanjutnya, Pollitt menyampaikan beberapa contoh bagaimana pemerintah di beberapa negara menjalankan perannya sebagai penentu ruang/lokasi/tempat dan dinamika yang muncul sebelum, saat, dan pasca penentuan ruang/lokasi/tempat tersebut. Kasus-kasus yang disajikan antara lain dalam hal penciptaan lokasi khusus untuk ibukota negara, rumah sakit, pelayanan kependudukan, dan pelayanan polisi.
Dalam hal penentuan suatu lokasi sebagai
ibukota negara, misalnya, Pollitt mencontohkan bagaimana Australia dan Brasil
harus melalui sejumlah tahapan diskusi yang tidak mudah hingga akhirnya
memutuskan membangun lokasi khusus sebagai ibukota negara. Dinamika politik di
Australia antara negara bagian New South Wales dan Victoria menjadi bumbu di
awal penentuan Canberra sebagai ibukota negara. Setelah kebijakan diambil,
peran negara sebagai penentu ruang/lokasi/tempat terus diuji karena Canberra
tidak juga berkembang akibat resesi besar pada 1930-an dan pasca Perang Dunia
II. Demikian pula Brasilia yang ternyata tidak berkembang sesuai dengan rencana
karena mengalami ledakan populasi dan pertumbuhan daerah kumuh di luar daerah
utama ibukota pemerintahan. Bahkan, setelah permasalahan tersebut selesai,
pemerintah juga dihadapkan pada masalah keadilan dalam perlakuan kepada
daerah-daerah lainnya, karena Canberra dan Brasilia menerima perhatian lebih
dari pemerintah dibandingkan daerah lain di Australia dan Brasil.
Saluran-saluran yang dinyatakan oleh Pollitt
menjadi kajian yang dapat diperdebatkan di banyak negara, karena peran
pemerintah di satu negara tentu berbeda dengan peran pemerintah di negara
lainnya. Akan tetapi, perdebatan tersebut mungkin hanya persoalan derajat
kekuasaan pemerintah dalam menjalankan kedelapan saluran yang dijabarkan
Pollitt. Bagaimanapun, isu penentuan ruang/lokasi/tempat merupakan isu yang
selalu sensitif di belahan dunia manapun.
Pollitt dalam buku ini menyediakan petunjuk
bagi pemerintah di manapun bahwa penyelenggaraan pemerintahan tidak akan pernah
lepas dari aspek ruang/lokasi/tempat dan pemerintah tidak dapat melepaskan
secara total kendali atas kedelapan saluran yang dimilikinya sebagai penentu ruang/lokasi/tempat.
Proposisi ini berlaku tidak hanya untuk persoalan pencari suaka memasuki
wilayah suatu negara, relokasi pedagang kaki lima ke dalam bangunan pasar,
pemindahan ibukota negara, modernisasi pelayanan publik dengan teknologi
informasi dan komunikasi, atau pemekaran daerah kabupaten/kota/provinsi saja,
tetapi juga untuk semua permasalahan dalam pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar