Kamis, 20 Juni 2013

Catatan dari CHASS National Forum 2013



Hari ini rombongan mahasiswa baru POGO (Policy and Governance) Crawford School dikasih kesempatan untuk ikutan kegiatan di Parliament House, yaitu CHASS (Council for the Humanities, Arts and Social Sciences) National Forum 2013. CHASS adalah organisasi nirlaba yang bidang aktivitasnya mencakup penelitian, advokasi, dan dukungan input untuk penyusunan kebijakan terkait humanities, art and social sciences. Anggotanya terdiri dari universitas dan pakar dari CSO di bidang tersebut di Australia. Topik National Forum tahun 2013 ini adalah Civility in Australia. Ada 4 subtopik yang dibicarakan, yaitu Civility and Democracy, Civility and the Arts, The Borders of Civility, dan Soft Power-Public Diplomacy. Sayangnya, karena ada kelas Economics di jam 2:30, tadi rombongan kami Cuma sempat mengikuti 2 subtopik pertama.

Di subtopik pertama, mereka menghadirkan empat narasumber, yaitu anggota parlemen Australia Andrew Leigh, aktivis dari The New DemocracyFoundation Iain Walker, feminis Jeannie Rea dari National Tertiary EducationUnion, dan peneliti senior dari Lowy Institute for International Policy Alex Oliver. Para narasumber menurut saya menyajikan informasi-informasi yang menarik. Tidak sepenuhnya baru, tapi cukup inspiratif.

Sayangnya, pembicara ketiga terlihat agak out of topic (atau mungkin saya yang kurang mampu mencerna) karena dia lebih banyak bicara soal feminisme. Padahal, topik utama kegiatan adalah soal civility. Dalam laman utamanya, Institute for Civility in Government menjabarkan civility sebagai pengekspresian suatu identitas, kebutuhan, dan keyakinan tanpa merendahkan martabat orang lain. Pembicara ketiga meletakkan sudut pandang feminis pada topik ini karena didorong oleh skandal seks yang dilakukan oleh tentara Australia beberapa hari lalu. Akan tetapi, karena topiknya adalah civility in democracy, saya jadi agak sulit menemukan korelasinya.

Andrew Leigh menyampaikan data bahwa ketidakpercayaan masyarakat pada sistem politik, terutama parlemen dan kepartaian, sudah terjadi sejak lama. Sejak tahun 1960-an, mayoritas orang dewasa Australia sudah menganggap bahwa politisi tidak dapat dipercaya. Tiga dekade kemudian, dikatakan bahwa hanya 31% penduduk dewasa Australia yang percaya pada parlemen. Hal ini, menurut Leigh, karena para anggota parlemen tampak seperti orang-orang yang tidak civilised. Uniknya, Leigh juga menggambarkan bahwa saat ini kecenderungan di parlemen Australia justru menunjukkan tingkat civility yang meningkat sementara masyarakat justru sebaliknya.

Kecenderungan ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan manusia berkomunikasi tanpa bertatap muka lewat bermacam media. Pada awalnya hanya telepon, tetapi kini bisa melalui sms, e-mail, blog maupun jejaring sosial seperti facebook, twitter, tumblr, dan lain-lain. Dalam era tersebut, seorang figur publik harus siap untuk menerima berbagai macam masukan dari masyarakat, termasuk makian. Kecenderungan orang untuk memaki melalui internet semakin besar karena mereka tidak bertatap muka dengan sang figur publik.

Situasi yang serupa sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Tokoh publik yang termasuk penghuni twitland, seperti @tifsembiring, @dennyindrayana, atau @marzukialie_MA mungkin paling sering menerima cacian dan makian dari para follower-nya. Contoh paling mudah tentu akun @SBYudhoyono yang semakin hari semakin banjir dengan kata-kata kasar dan melecehkan. Padahal, pemilik akun-akun tersebut mungkin ingin menjadikan akunnya sebagai media komunikasi kepada stakeholders eksternal mereka. Akan tetapi, jika setiap saat harus menghabiskan waktu merespons setiap makian tentu juga akan menjadikan hasil kerja mereka tidak efektif.

Bagaimanapun, menurut pembicara selanjutnya (Iain Walker), pada era demokrasi langsung, masyarakat cenderung bertindak secara emosional saat memilih dan perlahan beralih rasional saat pilihannya menduduki kekuasaan. Dia membandingkan dengan konsumen yang akan membeli mobil. Pada awalnya, si konsumen terkesima dengan merk tertentu. Akan tetapi, setelah dibeli dan merasakan sendiri mobil tersebut, dia akan mulai memikirkan bahwa mobil tersebut tidak sebaik yang dikira, entah karena boros bahan bakar, mudah rusak, atau performa kemudinya tidak memuaskan. Pada titik tersebut, si konsumen akan mulai mengkritik mobilnya sendiri dan mungkin meninggalkannya (menjualnya).

Sebenarnya pendapat Walker sedikit mengusik pemikiran saya. Apakah pemilih di Australia bertindak seperti itu? Jika kasusnya adalah Indonesia dengan kecenderungan pemilih rasional masih rendah, saya masih dapat memakluminya. Apabila demikian, maka mungkin demokrasi memang memunculkan wajah yang sama di manapun.

Alex Oliver sebenarnya memaparkan sejumlah data menarik dari hasil penelitiannya, namun sepertinya panitia mengalami miskoordinasi sehingga paparannya tidak dapat ditayangkan. Dia telah melakukan penelitian yang membandingkan Australia dengan beberapa negara berkembang demokratis, yaitu India, Indonesia, dan Fiji. Ternyata, dalam hasil penelitiannya, persepsi masyarakat Australia terhadap demokrasi lebih rendah dibandingkan masyarakat di tiga negara lain. Hal ini, menurut Oliver, disebabkan oleh minimnya pendidikan kewarganegaraan bagi generasi muda dan kecenderungan perilaku negatif tokoh politik di ranah publik. Hal menarik yang disampaikan Oliver adalah masyarakat Australia cenderung minim memanfaatkan internet sebagai media diskusi publik terkait isu-isu politik. Hal ini berbeda dengan kecenderungan di Amerika Serikat atau bahkan Indonesia.

Well, sebenarnya terlepas dari CHASS National Forum, dari pengalaman hari ini (mengobrol dengan Namgay dari Bhutan, mengobrol dengan Bill mantan staf ahli anggota parlemen Victoria, dan membaca buku yang baru dipinjam dari perpustakaan), ada beberapa ide yang muncul di kepala saya untuk menulis blog selanjutnya. Mudah-mudahan dapat segera saya posting.

Warrumbul Lodge, 20 Juni 2013

Tidak ada komentar: