Hari ini rombongan mahasiswa baru POGO (Policy and
Governance) Crawford School dikasih kesempatan untuk ikutan kegiatan di Parliament
House, yaitu CHASS (Council for the Humanities, Arts and Social Sciences)
National Forum 2013. CHASS adalah organisasi nirlaba yang bidang aktivitasnya
mencakup penelitian, advokasi, dan dukungan input untuk penyusunan kebijakan
terkait humanities, art and social
sciences. Anggotanya terdiri dari universitas dan pakar dari CSO di bidang
tersebut di Australia. Topik National Forum tahun 2013 ini adalah Civility in Australia. Ada 4 subtopik
yang dibicarakan, yaitu Civility and
Democracy, Civility and the Arts, The Borders of Civility, dan Soft Power-Public Diplomacy. Sayangnya,
karena ada kelas Economics di jam 2:30, tadi rombongan kami Cuma sempat
mengikuti 2 subtopik pertama.
Di subtopik pertama, mereka menghadirkan empat narasumber,
yaitu anggota parlemen Australia Andrew Leigh, aktivis dari The New DemocracyFoundation Iain Walker, feminis Jeannie Rea dari National Tertiary EducationUnion, dan peneliti senior dari Lowy Institute for International Policy Alex
Oliver. Para narasumber menurut saya menyajikan informasi-informasi yang
menarik. Tidak sepenuhnya baru, tapi cukup inspiratif.
Sayangnya, pembicara ketiga terlihat agak out of topic (atau mungkin saya yang
kurang mampu mencerna) karena dia lebih banyak bicara soal feminisme. Padahal,
topik utama kegiatan adalah soal civility.
Dalam laman utamanya, Institute for Civility in Government menjabarkan civility sebagai pengekspresian suatu identitas,
kebutuhan, dan keyakinan tanpa merendahkan martabat orang lain. Pembicara
ketiga meletakkan sudut pandang feminis pada topik ini karena didorong oleh skandal seks yang dilakukan oleh tentara Australia beberapa hari lalu.
Akan tetapi, karena topiknya adalah civility
in democracy, saya jadi agak sulit menemukan korelasinya.
Andrew Leigh menyampaikan data bahwa ketidakpercayaan
masyarakat pada sistem politik, terutama parlemen dan kepartaian, sudah terjadi
sejak lama. Sejak tahun 1960-an, mayoritas orang dewasa Australia sudah
menganggap bahwa politisi tidak dapat dipercaya. Tiga dekade kemudian,
dikatakan bahwa hanya 31% penduduk dewasa Australia yang percaya pada parlemen.
Hal ini, menurut Leigh, karena para anggota parlemen tampak seperti orang-orang
yang tidak civilised. Uniknya, Leigh
juga menggambarkan bahwa saat ini kecenderungan di parlemen Australia justru
menunjukkan tingkat civility yang
meningkat sementara masyarakat justru sebaliknya.
Kecenderungan ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi
yang memungkinkan manusia berkomunikasi tanpa bertatap muka lewat bermacam
media. Pada awalnya hanya telepon, tetapi kini bisa melalui sms, e-mail, blog
maupun jejaring sosial seperti facebook,
twitter, tumblr, dan lain-lain. Dalam era tersebut, seorang figur publik
harus siap untuk menerima berbagai macam masukan dari masyarakat, termasuk
makian. Kecenderungan orang untuk memaki melalui internet semakin besar karena
mereka tidak bertatap muka dengan sang figur publik.
Situasi yang serupa sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Tokoh
publik yang termasuk penghuni twitland, seperti @tifsembiring,
@dennyindrayana, atau @marzukialie_MA mungkin paling sering menerima cacian dan
makian dari para follower-nya. Contoh
paling mudah tentu akun @SBYudhoyono yang semakin hari semakin banjir dengan
kata-kata kasar dan melecehkan. Padahal, pemilik akun-akun tersebut mungkin
ingin menjadikan akunnya sebagai media komunikasi kepada stakeholders eksternal mereka. Akan tetapi, jika setiap saat harus
menghabiskan waktu merespons setiap makian tentu juga akan menjadikan hasil
kerja mereka tidak efektif.
Bagaimanapun, menurut pembicara selanjutnya (Iain Walker),
pada era demokrasi langsung, masyarakat cenderung bertindak secara emosional
saat memilih dan perlahan beralih rasional saat pilihannya menduduki kekuasaan.
Dia membandingkan dengan konsumen yang akan membeli mobil. Pada awalnya, si
konsumen terkesima dengan merk tertentu. Akan tetapi, setelah dibeli dan
merasakan sendiri mobil tersebut, dia akan mulai memikirkan bahwa mobil
tersebut tidak sebaik yang dikira, entah karena boros bahan bakar, mudah rusak,
atau performa kemudinya tidak memuaskan. Pada titik tersebut, si konsumen akan
mulai mengkritik mobilnya sendiri dan mungkin meninggalkannya (menjualnya).
Sebenarnya pendapat Walker sedikit mengusik pemikiran saya.
Apakah pemilih di Australia bertindak seperti itu? Jika kasusnya adalah
Indonesia dengan kecenderungan pemilih rasional masih rendah, saya masih dapat
memakluminya. Apabila demikian, maka mungkin demokrasi memang memunculkan wajah
yang sama di manapun.
Alex Oliver sebenarnya memaparkan sejumlah data menarik dari
hasil penelitiannya, namun sepertinya panitia mengalami miskoordinasi sehingga
paparannya tidak dapat ditayangkan. Dia telah melakukan penelitian yang
membandingkan Australia dengan beberapa negara berkembang demokratis, yaitu
India, Indonesia, dan Fiji. Ternyata, dalam hasil penelitiannya, persepsi
masyarakat Australia terhadap demokrasi lebih rendah dibandingkan masyarakat di
tiga negara lain. Hal ini, menurut Oliver, disebabkan oleh minimnya pendidikan
kewarganegaraan bagi generasi muda dan kecenderungan perilaku negatif tokoh
politik di ranah publik. Hal menarik yang disampaikan Oliver adalah masyarakat
Australia cenderung minim memanfaatkan internet sebagai media diskusi publik
terkait isu-isu politik. Hal ini berbeda dengan kecenderungan di Amerika
Serikat atau bahkan Indonesia.
Well, sebenarnya terlepas dari CHASS National Forum, dari
pengalaman hari ini (mengobrol dengan Namgay dari Bhutan, mengobrol dengan Bill
mantan staf ahli anggota parlemen Victoria, dan membaca buku yang baru dipinjam
dari perpustakaan), ada beberapa ide yang muncul di kepala saya untuk menulis
blog selanjutnya. Mudah-mudahan dapat segera saya posting.
Warrumbul Lodge, 20
Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar