Senin, 10 Desember 2012

Penilaian Prestasi Kerja PNS dalam Kerangka Manajemen Kinerja


Pada akhir tahun lalu, telah terbit PP Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS. PP ini akan menggantikan instrumen DP3 yang sudah berjalan puluhan tahun. Saya yakin tidak ada yang tidak pernah mengkritik DP3 karena memang instrumen ini memiliki sangat banyak kelemahan. Akan tetapi, apakah PP 46/2011 mampu menjadi instrumen yang lebih baik?

Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara mekanisme dalam PP 46/2011 dengan DP3. Mengapa demikian? Karena keduanya sama-sama menilai aspek kinerja dan perilaku. Bedanya, dalam PP 46/2011, aspek kinerja (atau prestasi kerja) dijabarkan dengan sangat mendetail dan berbasis jabatan, sementara dalam aturan tentang DP3, aspek tersebut hingga detik ini belum dirinci, hanya menjadi salah satu komponen penilaian saja. Dari sisi metode penilaian pun demikian. PP 46/2011 tidak menawarkan sesuatu yang baru karena penilaian tetap hanya dilakukan oleh atasan langsung dan diteruskan ke atasan dari atasan langsung. Padahal, dalam praktik yang lazim berlaku di sektor privat dan banyak negara maju di dunia, mekanisme penilaian telah mengarah ke penilaian 180° atau bahkan 360° (penilaian oleh diri sendiri, atasan langsung, rekan kerja, dan bawahan). Dengan demikian, secara sederhana sebenarnya PP ini tidak menawarkan perubahan yang signifikan dalam hal evaluasi kinerja PNS. Bagaimanapun, upaya penjabaran ukuran prestasi kerja patut diapresiasi. Ini merupakan pintu masuk lanjutan dalam hal manajemen kinerja sektor publik.

Pembangunan manajemen kinerja di sektor publik telah dimulai dengan kewajiban instansi publik menyusun indikator kinerja utama (IKU) dari tingkat organisasi hingga tingkat unit organisasi terendah. Meskipun saat ini sebagian besar instansi baru dapat menyusun IKU hingga unit eselon II, namun banyak pula instansi yang sudah menurunkan IKU hingga unit eselon III dan IV. Hanya saja, tanpa penjabaran lebih lanjut (cascading) hingga tingkat individu, koherensi dalam organisasi belum dapat diraih.

Organisasi adalah sekumpulan orang yang membentuk suatu kelembagaan (aturan) dengan pembagian kerja untuk mencapai suatu tujuan bersama. Artinya, elemen-elemen dalam organisasi harus bergerak menuju tercapainya tujuan tersebut. Dalam kaitan inilah dibutuhkan manajemen kinerja, karena kata “kinerja” sendiri mengarah pada tujuan dari dibentuknya organisasi tersebut. Seperti halnya praktik manajemen pada bidang lainnya (misalnya manajemen SDM, manajemen keuangan, manajemen operasi), manajemen kinerja juga memerlukan perencanaan, pengarahan dalam pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut. Bahkan, objek dari manajemen kinerja bisa jadi lebih luas daripada manajemen lainnya dalam organisasi, karena manajemen SDM, keuangan, operasi, dan lain-lain pada prinsipnya juga dilakukan untuk mencapai kinerja organisasi.

Mulai diterapkannya PP 46/2011 yang mengukur kinerja individu pada tahun 2014 seharusnya menjadi momentum yang baik untuk melakukan perbaikan secara menyeluruh dalam sistem manajemen kinerja di Indonesia. Ya, karena ini berarti kita akan masuk secara utuh pada aspek perencanaan dan evaluasi kinerja, dari tingkat organisasi hingga tingkat individu. Upaya ini tentu harus didukung dan dijalankan sepenuh hati.

Oleh karena itulah, fungsi-fungsi lain dalam manajemen kinerja juga tidak boleh dilupakan. Manajemen kinerja tidak hanya soal perencanaan (penetapan ukuran) dan penilaian kinerja. Manajemen kinerja juga harus mencakup fungsi pengarahan dalam pelaksanaan dan fungsi tindak lanjut atas hasil penilaian. Pengarahan akan menjaga ketercapaian ukuran yang sudah ditetapkan, sementara tindak lanjut akan menjaga motivasi para pegawai untuk mencapai prestasi yang lebih baik.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada tanda-tanda bahwa kita akan benar-benar membangun manajemen kinerja yang komprehensif seperti ini. Salah satu alasan adalah lemahnya kepemimpinan dari pimpinan unit organisasi dan pimpinan organisasi dalam melakukan pengarahan atas pencapaian tujuan. Alasan lainnya adalah tidak adanya penghargaan yang memadai sebagai tindak lanjut dari prestasi yang diperoleh pegawai.

Penghargaan memang tidak harus selalu berupa uang. Bahkan organisasi publik di Amerika Serikat pun mengalami kesulitan dalam memberikan bonus berupa uang kepada pegawai yang berprestasi (Liff: 2009). Akan tetapi, justru dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan kreativitas para manajer publik untuk membangun mekanisme pemberian penghargaan yang legal dan layak.
Dalam salah satu artikel yang saya baca di Kompasiana, seorang penulis mengkritik PNS yang memperoleh mileage dari perjalanan dinasnya dengan Garuda Indonesia. Menurut penulis tersebut, mileage tersebut tidak selayaknya diterima oleh PNS bersangkutan karena perjalanan yang dilakukannya bukanlah dibiayai oleh pegawai yang bersangkutan, tetapi oleh negara. Akibat akumulasi mileage itu, sang PNS dapat memperoleh bonus, biasanya berupa penerbangan ke rute dalam/luar negeri. Bonus ini dinikmati oleh sang PNS, bukan negara selaku pihak yang membayarkan perjalanannya.

Menurut saya pendapat ini sangat menarik. Dari kasus ini sebenarnya dapat dikembangkan suatu kemitraan strategis sebagai inovasi pemerintahan antara instansi pemerintah dengan Garuda Indonesia. Penelitian Deloitte Research (2009) menyatakan bahwa sumber inovasi yang semakin kuat dewasa ini adalah mitra stratetis (partner) dan jaringan (network).

Inovasi yang dapat dilakukan adalah dengan mengalihkan poin/mileage yang diperoleh dari perjalanan dinas pegawai suatu instansi kepada instansi tersebut. Pegawai yang melakukan perjalanan dinas tidak akan memperoleh poin/mileage, karena poinnya sudah langsung dialihkan ke instansinya. Akan tetapi, sebagai mitra dari Garuda Indonesia, peserta perjalanan dinas dari instansi tersebut dapat memperoleh keuntungan berupa ruang tunggu eksekutif (executive lounge) dan kapasitas bagasi lebih besar (excess baggage). Adapun poin/mileage yang diperoleh instansi akan diakumulasikan hingga akhir tahun, sehingga jumlahnya tentu jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dapat dikumpulkan orang-perorang. Dengan jumlah tersebut, instansi dapat memberikan bonus berupa perjalanan libur awal tahun untuk pegawai yang memiliki kinerja baik.

Ide ini menurut saya sangat mungkin dilakukan. Dalam suatu instansi, pastilah ada pegawai yang sering melakukan perjalanan dinas dan ada pegawai yang jarang sekali melakukan perjalanan dinas. Dengan poin yang dimiliki oleh instansi, pegawai yang berkinerja baik, yang mungkin saja orang yang jarang melakukan perjalanan dinas, dapat berkesempatan menikmati bonus yang diberikan oleh maskapai penerbangan. Selain itu, dari sisi etika, pemberian poin kepada pegawai yang dapat menjadi keuntungan pribadinya mungkin dapat pula digolongkan sebagai gratifikasi. Tentu hal ini dapat dihindari apabila poin diberikan kepada instansi, bukan individu.

Beberapa hari lalu, seorang pejabat eselon II menyampaikan kepada saya bahwa ide ini bagus, tetapi sebenarnya poin/mileage penerbangan adalah salah satu insentif agar pegawai mau melakukan perjalanan dinas. Saya jawab, “Lho, bukannya pegawai sudah menerima uang harian dan uang transport bandara? Masa kurang?”. Sang pejabat hanya bilang “Memang lebih, tapi nggak seberapa”. Saya lalu berkata, “Nilai yang nggak seberapa itu bahkan nggak dinikmati oleh mereka yang bekerja hanya di kantor. Lagipula, apakah perjalanan dinas 3 hari benar-benar berarti bekerja penuh di luar kota selama 3 hari? Bukankah bisa saja berangkat Senin siang dari rumah langsung ke bandara dan pulang Rabu pagi dari Bandara langsung ke rumah? Artinya kan tidak berkantor pada hari Senin dan Rabu itu, tapi toh tetap dibayar uang harian perjalanan dinas”. Sang pejabat pun tidak dapat banyak berkata lagi. Ya, karena pada prinsipnya ide ini dapat diterapkan dan akan terasa adil bagi pegawai yang jarang melakukan perjalanan dinas, tidak seperti sang pejabat tadi.

Ide lainnya adalah penggunaan kartu kredit instansi. Soal ini, kita benar-benar tertinggal. Banyak perusahaan sudah memiliki kartu kredit instansi, tapi praktik ini tidak pernah dilakukan di instansi publik. Padahal, teman-teman PNS di Australia dan banyak negara lain juga sudah menganut mekanisme ini. Mengapa harus kartu kredit instansi? Karena kalau menggunakan kartu kredit individu seperti yang berjalan selama ini, seorang penanggung jawab keuangan harus menanggung utang kepada vendor kartu kredit dengan uang pribadinya. Sebaliknya, jika ada bonus, yang menikmati adalah individunya. Padahal, seluruh transaksi tersebut adalah dibayarkan dengan uang negara. Dengan kartu kredit instansi, sang pengelola keuangan tidak akan terbebani utang negara dan bonus yang diberikan vendor kartu kredit dapat dimanfaatkan oleh instansi untuk memberikan insentif kepada pegawai dengan kinerja tinggi.

Mengapa saya tekankan pada upaya tindak lanjut berupa penghargaan? Kita sudah banyak memiliki instrumen sanksi dalam peraturan perundang-undangan, terlepas dari tegas atau tidaknya sanksi tersebut diberikan dalam praktiknya. Akan tetapi, minim sekali aturan soal penghargaan yang dapat diterima pegawai dengan kinerja baik. Paling-paling hanya pertimbangan dalam kenaikan pangkat atau promosi jabatan. Apakah peristiwa itu terjadi setiap tahun? Tentu tidak. Bisa jadi hanya 4 tahun sekali. Padahal, seseorang dituntut berkinerja baik setiap harinya. Oleh karena itu, tindak lanjut berupa penghargaan atas kinerja merupakan fungsi yang amat penting dalam manajemen kinerja. Tanpa membangun seluruh fungsi secara komprehensif, manajemen kinerja yang ada saat ini hanya akan berguna sebagai ajang sok-sokan bahwa kita sudah mengenal manajemen kinerja. Seperti biasa, sekadar membangun istana pasir.

Di sudut Bundaran Senayan, 10 Desember 2012

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya setuju banget fie, apalagi soal kartu kredit instansi, sistem keuangan kantor kacau banget masa mau kerja pegawai disuruh bayar dulu bukannya dikasi bayaran dulu... kalo soal perjadin mendingan semuanya dibeliin kantor dulu, jadi emang masuknya ke gff nya si instansi.

Awe mengatakan...

Kalo di tingkat Kementerian nyusun Permen prestasi kerja pasti mengacu PP 46/2011. Pernah ada ide supaya diterapkan mekanisme penilaian 360°, atau paling tidak 180° namun PP46/2011 tdk memberi ruang untuk itu, termasuk soal reward sebagaimana dicontohkan di atas. Begitulah perkara klasik pemerintah. rigiditas vs inovasi.
Kalo mau diubah aja pd tingkat PerUU di tingkat atasnya..
Dan gw setuju bahwa bahwa inovasi sangat dibutuhkan dalam sektor publik, karena sektor publik memiliki regulasi yang ketat. Untuk itu kreativitas para manajer publik sangat dibutuhkan.

Unknown mengatakan...

Mbak Linda:
Yup. Sudah saatnya beralih. Entah kenapa pembuat kebijakan nasionalnya nggak pernah kepikiran.

awe:
Ada rigiditas yang benar-benar by law, dan ada rigiditas by mindset. Sebelum PP 46/2011 ada (alias masih DP3), Kota Yogyakarta juga udah bikin Perwal soal penilaian prestasi kerja dengan metode 180° (atasan, rekan kerja, bawahan). Malah, itu jadi leverage utama perubahan di Kota Yogyakarta era Herry Zudianto. Sri Mulyani di Kemenkeu juga melakukan hal yang serupa kan? Di kedua instansi tersebut, DP3 tetap diisi sebagai syarat administratif, tapi untuk pengambilan kebijakan soal peningkatan kapasitas, penghargaan, dan pengembangan pegawai (mutasi, promosi), mereka pakai sistem yang dikembangkan sendiri itu.
Waktu bahas kerja sama dengan Singapura, perwakilan dari LAN sana juga bilang gitu. Mereka nggak terlalu ribet soal administrasi kepegawaian, karena pengukuran kinerja dan tindak lanjutnya dijalankan dengan tegas. Kalau berprestasi diganjar penghargaan, kalau nggak juga diganjar sanksi.