Pada akhir tahun lalu, telah terbit PP Nomor 46 Tahun 2011
tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS. PP ini akan menggantikan instrumen DP3
yang sudah berjalan puluhan tahun. Saya yakin tidak ada yang tidak pernah
mengkritik DP3 karena memang instrumen ini memiliki sangat banyak kelemahan.
Akan tetapi, apakah PP 46/2011 mampu menjadi instrumen yang lebih baik?
Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara mekanisme dalam PP
46/2011 dengan DP3. Mengapa demikian? Karena keduanya sama-sama menilai aspek
kinerja dan perilaku. Bedanya, dalam PP 46/2011, aspek kinerja (atau prestasi
kerja) dijabarkan dengan sangat mendetail dan berbasis jabatan, sementara dalam
aturan tentang DP3, aspek tersebut hingga detik ini belum dirinci, hanya
menjadi salah satu komponen penilaian saja. Dari sisi metode penilaian pun
demikian. PP 46/2011 tidak menawarkan sesuatu yang baru karena penilaian tetap
hanya dilakukan oleh atasan langsung dan diteruskan ke atasan dari atasan
langsung. Padahal, dalam praktik yang lazim berlaku di sektor privat dan banyak
negara maju di dunia, mekanisme penilaian telah mengarah ke penilaian 180° atau
bahkan 360° (penilaian oleh diri sendiri, atasan langsung, rekan kerja, dan
bawahan). Dengan demikian, secara sederhana sebenarnya PP ini tidak menawarkan
perubahan yang signifikan dalam hal evaluasi kinerja PNS. Bagaimanapun, upaya
penjabaran ukuran prestasi kerja patut diapresiasi. Ini merupakan pintu masuk
lanjutan dalam hal manajemen kinerja sektor publik.
Pembangunan manajemen kinerja di sektor publik telah dimulai
dengan kewajiban instansi publik menyusun indikator kinerja utama (IKU) dari
tingkat organisasi hingga tingkat unit organisasi terendah. Meskipun saat ini
sebagian besar instansi baru dapat menyusun IKU hingga unit eselon II, namun
banyak pula instansi yang sudah menurunkan IKU hingga unit eselon III dan IV. Hanya
saja, tanpa penjabaran lebih lanjut (cascading)
hingga tingkat individu, koherensi dalam organisasi belum dapat diraih.
Organisasi adalah sekumpulan orang yang membentuk suatu
kelembagaan (aturan) dengan pembagian kerja untuk mencapai suatu tujuan
bersama. Artinya, elemen-elemen dalam organisasi harus bergerak menuju
tercapainya tujuan tersebut. Dalam kaitan inilah dibutuhkan manajemen kinerja,
karena kata “kinerja” sendiri mengarah pada tujuan dari dibentuknya organisasi
tersebut. Seperti halnya praktik manajemen pada bidang lainnya (misalnya
manajemen SDM, manajemen keuangan, manajemen operasi), manajemen kinerja juga
memerlukan perencanaan, pengarahan dalam pelaksanaan, evaluasi dan tindak
lanjut. Bahkan, objek dari manajemen kinerja bisa jadi lebih luas daripada
manajemen lainnya dalam organisasi, karena manajemen SDM, keuangan, operasi,
dan lain-lain pada prinsipnya juga dilakukan untuk mencapai kinerja organisasi.
Mulai diterapkannya PP 46/2011 yang mengukur kinerja
individu pada tahun 2014 seharusnya menjadi momentum yang baik untuk melakukan
perbaikan secara menyeluruh dalam sistem manajemen kinerja di Indonesia. Ya,
karena ini berarti kita akan masuk secara utuh pada aspek perencanaan dan evaluasi
kinerja, dari tingkat organisasi hingga tingkat individu. Upaya ini tentu harus
didukung dan dijalankan sepenuh hati.
Oleh karena itulah, fungsi-fungsi lain dalam manajemen
kinerja juga tidak boleh dilupakan. Manajemen kinerja tidak hanya soal
perencanaan (penetapan ukuran) dan penilaian kinerja. Manajemen kinerja juga
harus mencakup fungsi pengarahan dalam pelaksanaan dan fungsi tindak lanjut
atas hasil penilaian. Pengarahan akan menjaga ketercapaian ukuran yang sudah
ditetapkan, sementara tindak lanjut akan menjaga motivasi para pegawai untuk
mencapai prestasi yang lebih baik.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada tanda-tanda bahwa kita
akan benar-benar membangun manajemen kinerja yang komprehensif seperti ini.
Salah satu alasan adalah lemahnya kepemimpinan dari pimpinan unit organisasi
dan pimpinan organisasi dalam melakukan pengarahan atas pencapaian tujuan.
Alasan lainnya adalah tidak adanya penghargaan yang memadai sebagai tindak
lanjut dari prestasi yang diperoleh pegawai.
Penghargaan memang tidak harus selalu berupa uang. Bahkan
organisasi publik di Amerika Serikat pun mengalami kesulitan dalam memberikan
bonus berupa uang kepada pegawai yang berprestasi (Liff: 2009). Akan tetapi,
justru dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan kreativitas para manajer publik
untuk membangun mekanisme pemberian penghargaan yang legal dan layak.
Dalam salah satu artikel yang saya baca di Kompasiana,
seorang penulis mengkritik PNS yang memperoleh mileage dari perjalanan dinasnya
dengan Garuda Indonesia. Menurut penulis tersebut, mileage tersebut tidak
selayaknya diterima oleh PNS bersangkutan karena perjalanan yang dilakukannya
bukanlah dibiayai oleh pegawai yang bersangkutan, tetapi oleh negara. Akibat
akumulasi mileage itu, sang PNS dapat memperoleh bonus, biasanya berupa
penerbangan ke rute dalam/luar negeri. Bonus ini dinikmati oleh sang PNS, bukan
negara selaku pihak yang membayarkan perjalanannya.
Menurut saya pendapat ini sangat menarik. Dari kasus ini
sebenarnya dapat dikembangkan suatu kemitraan strategis sebagai inovasi
pemerintahan antara instansi pemerintah dengan Garuda Indonesia. Penelitian
Deloitte Research (2009) menyatakan bahwa sumber inovasi yang semakin kuat
dewasa ini adalah mitra stratetis (partner) dan jaringan (network).
Inovasi yang dapat dilakukan adalah dengan mengalihkan
poin/mileage yang diperoleh dari perjalanan dinas pegawai suatu instansi kepada
instansi tersebut. Pegawai yang melakukan perjalanan dinas tidak akan
memperoleh poin/mileage, karena poinnya sudah langsung dialihkan ke
instansinya. Akan tetapi, sebagai mitra dari Garuda Indonesia, peserta perjalanan
dinas dari instansi tersebut dapat memperoleh keuntungan berupa ruang tunggu
eksekutif (executive lounge) dan
kapasitas bagasi lebih besar (excess
baggage). Adapun poin/mileage yang diperoleh instansi akan diakumulasikan
hingga akhir tahun, sehingga jumlahnya tentu jauh lebih besar dibandingkan
dengan jumlah yang dapat dikumpulkan orang-perorang. Dengan jumlah tersebut,
instansi dapat memberikan bonus berupa perjalanan libur awal tahun untuk
pegawai yang memiliki kinerja baik.
Ide ini menurut saya sangat mungkin dilakukan. Dalam suatu
instansi, pastilah ada pegawai yang sering melakukan perjalanan dinas dan ada
pegawai yang jarang sekali melakukan perjalanan dinas. Dengan poin yang
dimiliki oleh instansi, pegawai yang berkinerja baik, yang mungkin saja orang
yang jarang melakukan perjalanan dinas, dapat berkesempatan menikmati bonus
yang diberikan oleh maskapai penerbangan. Selain itu, dari sisi etika,
pemberian poin kepada pegawai yang dapat menjadi keuntungan pribadinya mungkin
dapat pula digolongkan sebagai gratifikasi. Tentu hal ini dapat dihindari
apabila poin diberikan kepada instansi, bukan individu.
Beberapa hari lalu, seorang pejabat eselon II menyampaikan
kepada saya bahwa ide ini bagus, tetapi sebenarnya poin/mileage penerbangan
adalah salah satu insentif agar pegawai mau melakukan perjalanan dinas. Saya
jawab, “Lho, bukannya pegawai sudah menerima uang harian dan uang transport
bandara? Masa kurang?”. Sang pejabat hanya bilang “Memang lebih, tapi nggak seberapa”.
Saya lalu berkata, “Nilai yang nggak seberapa itu bahkan nggak dinikmati oleh
mereka yang bekerja hanya di kantor. Lagipula, apakah perjalanan dinas 3 hari
benar-benar berarti bekerja penuh di luar kota selama 3 hari? Bukankah bisa
saja berangkat Senin siang dari rumah langsung ke bandara dan pulang Rabu pagi
dari Bandara langsung ke rumah? Artinya kan tidak berkantor pada hari Senin dan
Rabu itu, tapi toh tetap dibayar uang harian perjalanan dinas”. Sang pejabat
pun tidak dapat banyak berkata lagi. Ya, karena pada prinsipnya ide ini dapat
diterapkan dan akan terasa adil bagi pegawai yang jarang melakukan perjalanan
dinas, tidak seperti sang pejabat tadi.
Ide lainnya adalah penggunaan kartu kredit instansi. Soal
ini, kita benar-benar tertinggal. Banyak perusahaan sudah memiliki kartu kredit
instansi, tapi praktik ini tidak pernah dilakukan di instansi publik. Padahal,
teman-teman PNS di Australia dan banyak negara lain juga sudah menganut
mekanisme ini. Mengapa harus kartu kredit instansi? Karena kalau menggunakan
kartu kredit individu seperti yang berjalan selama ini, seorang penanggung
jawab keuangan harus menanggung utang kepada vendor kartu kredit dengan uang
pribadinya. Sebaliknya, jika ada bonus, yang menikmati adalah individunya.
Padahal, seluruh transaksi tersebut adalah dibayarkan dengan uang negara.
Dengan kartu kredit instansi, sang pengelola keuangan tidak akan terbebani
utang negara dan bonus yang diberikan vendor kartu kredit dapat dimanfaatkan
oleh instansi untuk memberikan insentif kepada pegawai dengan kinerja tinggi.
Mengapa saya tekankan pada upaya tindak lanjut berupa
penghargaan? Kita sudah banyak memiliki instrumen sanksi dalam peraturan
perundang-undangan, terlepas dari tegas atau tidaknya sanksi tersebut diberikan
dalam praktiknya. Akan tetapi, minim sekali aturan soal penghargaan yang dapat
diterima pegawai dengan kinerja baik. Paling-paling hanya pertimbangan dalam
kenaikan pangkat atau promosi jabatan. Apakah peristiwa itu terjadi setiap
tahun? Tentu tidak. Bisa jadi hanya 4 tahun sekali. Padahal, seseorang dituntut
berkinerja baik setiap harinya. Oleh karena itu, tindak lanjut berupa
penghargaan atas kinerja merupakan fungsi yang amat penting dalam manajemen
kinerja. Tanpa membangun seluruh fungsi secara komprehensif, manajemen kinerja
yang ada saat ini hanya akan berguna sebagai ajang sok-sokan bahwa kita sudah
mengenal manajemen kinerja. Seperti biasa, sekadar membangun istana pasir.
Di sudut Bundaran
Senayan, 10 Desember 2012
3 komentar:
Saya setuju banget fie, apalagi soal kartu kredit instansi, sistem keuangan kantor kacau banget masa mau kerja pegawai disuruh bayar dulu bukannya dikasi bayaran dulu... kalo soal perjadin mendingan semuanya dibeliin kantor dulu, jadi emang masuknya ke gff nya si instansi.
Kalo di tingkat Kementerian nyusun Permen prestasi kerja pasti mengacu PP 46/2011. Pernah ada ide supaya diterapkan mekanisme penilaian 360°, atau paling tidak 180° namun PP46/2011 tdk memberi ruang untuk itu, termasuk soal reward sebagaimana dicontohkan di atas. Begitulah perkara klasik pemerintah. rigiditas vs inovasi.
Kalo mau diubah aja pd tingkat PerUU di tingkat atasnya..
Dan gw setuju bahwa bahwa inovasi sangat dibutuhkan dalam sektor publik, karena sektor publik memiliki regulasi yang ketat. Untuk itu kreativitas para manajer publik sangat dibutuhkan.
Mbak Linda:
Yup. Sudah saatnya beralih. Entah kenapa pembuat kebijakan nasionalnya nggak pernah kepikiran.
awe:
Ada rigiditas yang benar-benar by law, dan ada rigiditas by mindset. Sebelum PP 46/2011 ada (alias masih DP3), Kota Yogyakarta juga udah bikin Perwal soal penilaian prestasi kerja dengan metode 180° (atasan, rekan kerja, bawahan). Malah, itu jadi leverage utama perubahan di Kota Yogyakarta era Herry Zudianto. Sri Mulyani di Kemenkeu juga melakukan hal yang serupa kan? Di kedua instansi tersebut, DP3 tetap diisi sebagai syarat administratif, tapi untuk pengambilan kebijakan soal peningkatan kapasitas, penghargaan, dan pengembangan pegawai (mutasi, promosi), mereka pakai sistem yang dikembangkan sendiri itu.
Waktu bahas kerja sama dengan Singapura, perwakilan dari LAN sana juga bilang gitu. Mereka nggak terlalu ribet soal administrasi kepegawaian, karena pengukuran kinerja dan tindak lanjutnya dijalankan dengan tegas. Kalau berprestasi diganjar penghargaan, kalau nggak juga diganjar sanksi.
Posting Komentar