Harian Kompas dan Media Indonesia hari ini (21/9/2012)
memuat artikel hasil wawancara dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam
Negeri (Sekjen Kemendagri) tentang Rancangan Undang-undang Aparatur Sipil
Negara (RUU ASN). Dikatakan bahwa RUU ASN melecehkan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
karena pola karir PNS ditentukan oleh non-PNS. Selain itu pembentukan Jabatan
Eksekutif Senior (JES) disebut sebagai terlalu bombastis. Pada intinya, beliau
menolak keberadaan RUU ASN.
RUU ASN memang menjadi buah bibir akademisi, pemerhati, dan
pelaksana administrasi negara selama setahun terakhir. RUU ini menjadi
pembicaraan hangat karena sejumlah rencana perubahan yang akan terjadi dengan
perubahan sistem kepegawaian (civil
service system) di Indonesia. Detail perubahan yang terdapat dalam RUU ASN
akan saya tuliskan dalam artikel selanjutnya, namun pada prinsipnya, perubahan
mendasar dalam RUU ASN mencakup tiga hal: pembagian ASN, pembinaan ASN, dan
sistem karir ASN.
Dalam RUU ASN, aparatur sipil negara terbagi atas PNS dan
pegawai tidak tetap pemerintah (PTT). Pembagian ini menjadi penting karena PTT
merupakan fenomena yang tidak dapat terhindarkan. PTT akan mengakomodasi
kebutuhan atas tenaga tidak tetap untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang
diperlukan dalam organisasi, namun tidak harus dilakukan oleh pegawai berstatus
PNS. Pengaturan tentang ini akan menjadikan sistem kepegawaian lebih modern dan
dinamis terhadap kebutuhan organisasi.
RUU ASN juga mengatur tentang pembinaan ASN yang dilakukan
oleh beberapa instansi, yaitu Kementerian PAN dan RB, Badan Kepegawaian Negara
(BKN), dan Lembaga Administrasi Negara (LAN). Selama ini, pembagian peran
antara ketiga instansi tidak jelas dan tumpang-tindih, sehingga menyulitkan
instansi lain di pusat dan daerah dalam melaksanakan pengelolaan PNS. Selain
itu, akan dibentuk pula Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Komisi ini akan
berperan mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan pembinaan profesi ASN
dan melaksanakan seleksi calon pemangku JES. JES sendiri adalah konsep baru,
yaitu para pejabat tinggi di instansi (kementerian/lembaga/pemda) yang memiliki
peran strategis dalam memastikan tercapainya tujuan instansi dan tujuan
nasional. Mengingat strategisnya peran JES, maka penempatan seorang pejabat
dalam posisi JES harus diawasi oleh masyarakat. KASN melaksanakan peran ini,
karena keanggotaan KASN akan terdiri dari perwakilan pemerintah, akademisi,
organisasi ASN, dan profesional sektor swasta.
Penolakan Sekjen Kemendagri terhadap KASN memiliki alasan
bahwa kita memiliki terlalu banyak organisasi. Saya setuju dengan pernyataan
itu, tapi menjadikan itu sebagai alasan menolak KASN adalah penyederhanaan
berlebihan atas masalah. Dalam sebuah negara, birokrat adalah pelayan (agent) dari rakyat (principal). Ketika rakyat menyerahkan kedaulatannya kepada
pemerintah untuk menjalankan negara, rakyat selayaknya tetap memiliki akses
untuk mengontrol pemerintah. Kontrol yang paling baik adalah melalui Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih langsung oleh rakyat. Akan tetapi, untuk
sejumlah isu yang sangat strategis, dibutuhkan suatu mekanisme kontrol langsung
dalam suatu organisasi yang berbentuk semi-pemerintah (quasi-government organisation). Mengingat masalah birokrasi adalah
masalah besar bagi Indonesia (dengan selalu didengungkan Presiden di berbagai
kesempatan), maka sudah selayaknya rakyat diberi akses terlibat langsung dalam
pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan birokrasi.
Terkait sistem karir PNS dalam RUU ASN yang juga dikeluhkan
Sekjen Kemendagri, perlu diketahui bahwa RUU ASN memperkenalkan sistem pengisian
jabatan lintas-instansi berbasis lamaran. Artinya, apabila terdapat jabatan
kosong di suatu pemerintah daerah, maka seorang PNS dari pemerintah daerah lain
atau dari instansi pusat dapat mengajukan lamaran untuk mengisi jabatan
tersebut (tentunya dengan memperhatikan kelayakan secara kompetensi dan
administratif dari PNS tersebut). Hal ini sesungguhnya adalah penguatan dari
sistem unified personnel system yang
dianut oleh Indonesia.
PBB pada tahun 1940-an memperkenalkan tiga sistem utama
pengelolaan kepegawaian negara, yaitu separated
personnel system (SPS), integrated
personnel system (IPS), dan unified
personnel system (UPS). Dalam SPS, setiap instansi diberikan kebebasan
mengatur dan mengurus sistem kepegawaiannya, sehingga terdapat fleksibilitas
tinggi. Namun demikian, sistem ini kurang tepat diterapkan di negara kesatuan
dengan luas wilayah besar seperti Indonesia, karena akan melahirkan kesenjangan
antara daerah satu dengan daerah lain. Sementara itu, IPS berada pada kutub
yang berbeda dengan SPS, yaitu seluruh pengaturan dan pengurusan kepegawaian
negara tersentralisasi di pemerintah pusat. UPS berada di tengah kedua kutub
tersebut, yaitu dengan pengaturan umum sistem kepegawaian diletakkan di
pemerintah pusat, sedangkan pengurusan sehari-hari dilakukan oleh masing-masing
instansi. Indonesia menganut sistem ini untuk menjamin kelangsungan negara
kesatuan.
Dalam RUU ASN juga dimungkinkan dijabatnya posisi JES oleh
pihak non-PNS apabila kompetensi yang dibutuhkan untuk jabatan tersebut tidak
dimiliki oleh PNS. Tentunya akan ada sejumlah pengaturan untuk ini, agar tidak
dimanfaatkan untuk kepentingan politis. Penghindaran atas kepentingan politis
juga diatur dalam RUU ASN, yaitu dengan meletakkan posisi Pejabat Pembina
Kepegawaian (PPK) kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris
Daerah. Saat ini, PPK di setiap instansi dijabat oleh pejabat tertinggi di
instansi tersebut, yaitu Menteri untuk Kementerian, Gubernur untuk Provinsi,
Walikota untuk Kota, dan Bupati untuk Kabupaten. Dengan sistem yang berlangsung
sekarang, politisasi birokrasi sangat mungkin terjadi, karena PPK adalah
pemegang kuasa tertinggi atas pengurusan kepegawaian di instansi. Seringnya
terjadi mutasi Kepala Dinas dan penempatan Kepala Dinas tanpa memerhatikan
latar belakang kompetensi pejabat yang bersangkutan, salah satunya diakibatkan
sistem ini.
Terhadap semua dasar tersebut, maka sesungguhnya tidak ada
alasan untuk menolak RUU ASN. Bahwa RUU ASN adalah sebuah perubahan besar, saya
setuju. Tapi, seperti dikatakan Senge dalam bukunya Necessary Revolution, jika kita sudah menemukan pengungkit yang
tepat dalam melakukan perubahan besar ke arah yang lebih baik, maka revolusi tersebut
adalah revolusi yang dibutuhkan.
Di Sisi Patung Pemuda,
21 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar