Blackbird singing in the dead of night,
Take these broken wings and learn to fly
All your life, you were only waiting for this moment to arise
Blackbird singing in the dead of night,
Take these sunken eyes and learn to see
All your life, you were only waiting for this moment to be free
Blackbird fly, blackbird fly, into the light of the dark black night
Sebagian teman-teman mungkin tahu lirik tersebut.
Ya, itu adalah lagu yang sangat indah dari The Beatles, judulnya
“Blackbird”. Para penggemar The Beatles tentu sangat paham sejarah lagu
tersebut. Lagu itu diciptakan oleh Paul McCartney dan muncul di White
Album (1968). Apa yang diceritakan oleh Paul di lagu itu bukanlah soal
“burung” sebagaimana judul lagunya, tetapi sebenarnya adalah tentang
“wanita”. Ya, lagu ini bercerita tentang para wanita, terutama kulit
hitam, yang menghadapi diskriminasi sosial pada tahun-tahun tersebut.
Paul memang memiliki gaya yang berbeda dari
John Lennon dalam menulis lirik. John cenderung menyampaikan maksudnya
secara gamblang, sementara Paul lebih tersirat. Ya, seperti lirik lagu
“Hey Jude”, ada kalimat take a sad song and make it better. Paul berusaha menyampaikan gagasannya dengan cara yang puitis. Di lagu ini, misalnya, ada lirik take these broken wings and learn to fly.
Paul berusaha menyemangati para wanita kulit hitam untuk terus berusaha
mengembangkan dirinya dalam keadaan yang sulit bagi mereka (diibaratkan
sebagai broken wings dan pada bagian lainnya sunken eyes).
Bahkan, Paul menambah pula dengan lirik blackbird fly into the light of the dark black night.
Wow, terbang menuju cahaya di gelapnya malam? Ini tentunya tantangan
yang luar biasa dan hampir mustahil. Tapi begitulah Paul. Dia ingin
melihat sisi positif dari situasi yang sangat negatif.
Kepekaan terhadap kondisi sosial tidak hanya
dimiliki oleh Paul, tetapi juga personil The Beatles yang lain. George
Harrison, personil The Beatles yang paling saya gemari, juga kerap kali
menulis lagu yang bertemakan kritik sosial. Salah satunya adalah lagu Piggies yang juga terdapat dalam White Album.
Have you seen the little piggies crawling in the dirt
And for all the little piggies life is getting worse
Always having dirt to play around in
Have you seen the bigger piggies in their starch white shirt
You will find the bigger piggies stirring up the dirt
Always have clean shirt to play around in
In their styes, with all their backing, they don’t care what goes on around
In their lifes there’s something lacking, what they need is damn good whacking
Everywhere there’s lots of piggies, living piggy lives
You can see them out for dinner with their piggy wifes
Clutching forks and knives to eat the bacon
Lirik dan komposisi musik lagu ini sungguh jenius.
Menurut saya, ini salah satu lagu kritik sosial terbaik yang pernah ada.
Lagu Piggies pada
dasarnya bercerita tentang semakin banyaknya koruptor, yang
dipersonifikasi dengan hewan babi. Pilihan hewan yang menggambarkan
koruptor ini sangat unik dan jenius. Jika kita seringkali menggambarkan
koruptor sebagai tikus, maka George menggunakan babi yang menurut saya
lebih tepat. Tikus dan babi sama-sama memakan segala hal, namun tikus
melakukannya hanya jika terpaksa, sementara babi melakukan itu kapanpun
dia ingin.
Dikotomi koruptor kecil dan besar itu kemudian
dilebur George saat memasuki bait terakhir. Bagi George, di manapun para
koruptor itu sejatinya sama saja. Mereka dan keluarganya hidup dalam
kesenangan. Hal yang paling menarik adalah baris terakhir lagu tersebut (clutching forks and knives to eat the bacon). Ya, para babi (koruptor) itu memakan dagingnya sendiri. Inilah kritik paling tajam dari lagu Piggies.
Babi memakan daging babi itu bisa berarti banyak hal. Itu bisa berarti
mereka sebenarnya sedang menggerogoti dirinya sendiri saat menikmati
hasil korupsi. Itu juga bisa berarti mereka mengorbankan darah dagingnya
(anak-anaknya) dengan memakan hasil korupsi. Pernyataan ini dapat pula
berarti mereka sebenarnya memakan kelompok dan/atau bangsanya sendiri.
Apapun arti dari kalimat tersebut, semua mengarah pada tamparan besar
untuk para koruptor. Piggies sendiri bisa berarti koruptor di sektor swasta, politisi, ataupun pemerintahan.
Selain Piggies, George juga menciptakan lagu-lagu seperti Taxman dan I Me Mine
yang juga bertemakan kritik sosial. Bila Paul selalu berusaha
menciptakan lagu yang melodius dan John pada kegamblangan lirik, George
adalah beatle yang berada di tengah-tengah. Dia berusaha menyampaikan kritik tajam dengan komposisi nada yang juga menarik.
Saya tidak perlu menjelaskan soal John Lennon,
karena tentu banyak pembaca yang telah mengetahui bagaimana kritisnya
John terhadap persoalan-persoalan sosial ketika bersama The Beatles dan
terutama setelah berkarir solo. Ringo Starr mungkin beatle yang tidak pernah menulis lagu seperti ini, tapi memang tidak terlalu banyak lagu The Beatles yang ditulisnya.
Kepekaan sosial seperti para personil The
Beatles adalah hal yang patut dicontoh. Di manapun kita, apapun profesi
yang kita geluti, kepekaan sosial kita harus terus diasah. Kepekaan
sosial akan memerdekakan diri kita dan orang-orang di sekitar kita dari
kedzaliman. Jika kita semakin apatis terhadap situasi sosial hanya
karena sudah lelah dengan hasilnya yang tidak juga membaik, maka kita
turut berkontribusi dalam memperburuk situasi tersebut. Jika demikian,
sebenarnya kitalah yang merusak sayap-sayap burung hitam. Atau mungkin
pembaca mau memilih: menjadi babi kecil, babi besar, atau daging babi
yang dimakan para babi lain?
Semoga tempaan selama ramadhan membuat kita
lebih peka terhadap situasi sosial di sekitar kita. Sehubungan masih
dalam suasana Idul Fitri, saya memohon maaf lahir dan batin, terutama untuk para babi yang tersinggung dengan tulisan ini.
(Pamulang, 19 Agustus 2012) sebagaimana diposkan pula pada Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar