Selasa, 26 Juni 2012

LEGALITAS DAN MORALITAS

Saat ini saya sedang bersama delegasi pemerintah RI yang melakukan kunjungan kerja ke negara tetangga, Australia. Kunjungan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama Indonesia-Australia dalam reformasi birokrasi dan pembelajaran bagi para aktor utama reformasi birokrasi di Indonesia tentang pengalaman Australia melakukan reformasi birokrasi. Mengingat sumber dana untuk kunjungan ini tidak berasal dari APBN, saya pikir tidak ada keharusan bagi saya untuk merahasiakan materi kunjungan. Apalagi sumber dananya justru dari pemerintah Australia yang dalam Freedom of Information Act menyatakan bahwa penggunaan dana pemerintah harus diketahui publik. Akan tetapi saya akan ceritakan secara utuh materi kunjungan itu pada tulisan selanjutnya. Tulisan ini hanya untuk menuangkan hasil obrolan ringan kami saat makan malam ini.

Pemicu obrolan ringan kami adalah pepatah “pohonnya tinggi, buahnya jarang”. Pepatah itu ditujukan kepada jabatan Wakil Menteri yang terkesan tinggi secara tingkatan struktur namun sebenarnya tidak terlalu menguntungkan secara materi (setidaknya itu versi obrolan malam ini). Akan tetapi pernyataan itu menjadi ada benarnya ketika membandingkan wakil menteri dengan pejabat eselon I di kementerian-kementerian besar. Dikatakan bahwa seorang pejabat eselon I di kementerian besar di luar gaji pokok dan tunjangan strukturalnya akan menerima banyak sekali pemasukan lain, mulai dari honorarium tim/proyek, jasa profesi sebagai narasumber, uang saku perjalanan dinas, hingga sumber-sumber lain yang diterima akibat perilaku “rent-seeking”.

Sudah bukan rahasia lagi apabila PNS di Indonesia memang memiliki gaji pokok yang sangat rendah. Seorang sarjana yang baru lulus (fresh graduate), jika menjadi PNS, tentu akan diterima dengan golongan IIIa dengan gaji pokok sekitar Rp 2.067.000. Nilai ini tentu tidak berbeda terlalu jauh dibandingkan fresh graduate yang bekerja di perusahaan swasta dengan gaji pokok sekitar 3,3 juta. Akan tetapi, initial salary dari mereka yang bekerja di swasta ini akan bergerak dengan cepat dalam waktu 1-2 tahun, sementara bagi PNS initial salary ini akan bertahan hingga 3 s.d. 4 tahun masa kerjanya. Bahkan setelah 3-4 tahun itu pun, kenaikannya tidak akan signifikan.

Perkara gaji pokok itulah yang kiranya menyebabkan banyak PNS yang mencari sumber penghasilan lain. Memang di luar gaji pokok, biasanya ada tunjangan-tunjangan yang terkait jabatan dan pribadi, tetapi nilainya pun tidak seberapa. Sebagai contoh, seorang eselon I (sebagai pejabat karir struktural tertinggi) hanya memiliki tunjangan jabatan sekitar 5 juta. Bayangkan bagaimana dengan tingkatan yang lebih rendah. Dengan demikian, gaji pokok ditambah tunjangan-tunjangan ini pun masih sangat rendah. Dengan tanggung jawab yang dimiliki, nilai ini tentu tidak berimbang.

Dari ketidakseimbangan antara tanggung jawab dan kesejahteraan itu, para PNS ini mengakalinya dengan memanfaatkan celah hukum yang ada. Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, seorang PNS diperbolehkan menerima honor apabila tergabung dalam suatu tim yang mengerjakan kegiatan tertentu. Honor ini akan diterima secara bulanan. Apa yang menjadi lucu adalah definisi “kegiatan tertentu” kemudian menjadi sangat luas bahkan termasuk bidang tugas dan fungsi PNS yang bersangkutan. Jika demikian, apa fungsi dari gaji? Bukankah seseorang digaji untuk mengerjakan sejumlah tugas dan fungsi? Kenapa harus diberikan honor tim lagi? Seharusnya, honor tim hanya diberikan apabila kegiatan yang dilaksanakan bukan merupakan bagian dari bidang tugas dan fungsi PNS yang bersangkutan.

Kembali ke obrolan kami, ternyata seorang pejabat eselon I di kementerian besar dapat tergabung dalam lebih dari 140 tim dalam setahun. Nilai honor ini memang bervariasi untuk setiap kegiatan, tergantung peran seseorang dalam kegiatan tersebut dan tergantung pula kepada siapa yang membuat SK tim pelaksana kegiatan. Jika secara rata-rata mereka menerima Rp 500.000 per kegiatan, maka dalam sebulan mereka akan menerima Rp 70 juta dan dalam setahun mencapai Rp 840 juta. Ini tentu jumlah yang cukup fantastis mengingat asumsi awal yang saya berikan tadi, yaitu kegiatan yang dilakukan pada dasarnya adalah bagian dari tugas dan fungsi yang bersangkutan.

Itu baru dari honor tim. Belum lagi dari jasa profesi sebagai narasumber. Seorang eselon I tentu akan sering diminta oleh instansi lain untuk menjadi narasumber atau membuka suatu acara. Kementerian Keuangan telah menetapkan bahwa kepada mereka dapat diberikan honorarium dengan nilai Rp 1.300.000 per jam dipotong pajak, dan dalam sehari hanya dapat diberikan maksimum empat jam menjadi narasumber. Artinya, nilai maksimum honorarium narasumber ini hanya Rp 5.600.000 dipotong pajak.

Akan tetapi, dalam banyak kasus tidak sesederhana itu. Ada dua hal yang patut menjadi perhatian. Pertama, pemberian honor sebagai narasumber ini juga tidak ada batasan yang terlalu jelas kapan seseorang dapat diberikan honor dan kapan tidak. Aturan yang ada hanya membatasi seseorang tidak dapat diberikan honor apabila peserta acara berasal dari satuan kerjanya sendiri. Dalam pendapat saya, apabila seseorang menjadi narasumber terkait dengan jabatannya dan dalam bidang tugas dan fungsinya, maka kegiatan tersebut tidak seharusnya diberikan honorarium. Kedua, dengan kelonggaran yang diberikan peraturan perundang-undangan ini pun, banyak pejabat yang belum puas dengan nilai yang ada, sehingga seringkali mereka diberikan honor narasumber jauh di atas standar biaya yang ditetapkan. Sudah bukan rahasia lagi di dunia birokrasi bahwa seorang eselon I akan dibayar minimal 5 juta rupiah per “naik panggung”, meskipun durasinya mungkin hanya 1 jam. Di pemerintah daerah nilainya bisa 3 s.d. 4 kali lipat dari itu. Dari mana asal uangnya sementara peraturan sudah mengatur ceiling-nya? Wallahua’lam bishawab. Jika dalam seminggu mereka menjadi narasumber 2 kali, maka dalam sebulan mereka akan menjadi narasumber 4 kali atau dalam setahun menjadi 48 kali. Dengan demikian, nilai yang akan diterima adalah Rp 240 juta per tahun.

Uang saku perjalanan dinas mungkin rendah secara nominal, tetapi mungkin tinggi secara frekuensi. Pemberian uang saku ini sebenarnya sangat lumrah karena ini juga banyak diterapkan di sektor privat. Di pemerintahan, nilai uang saku tergantung pada daerah yang dituju dan golongan/kepangkatan yang bersangkutan. Anggaplah seorang eselon I memiliki rata-rata uang saku 300.000 per hari. Jika dalam sepekan melakukan perjalanan dinas 2 hari, maka dalam setahun (2 hari x 4 pekan x 12 bulan), mereka akan menerima Rp 28,8 juta setahun. Nilai ini memang sangat kecil, tetapi sebuah perjalanan dinas tidak boleh dilakukan hanya seorang diri dan biasanya justru bergerombol, maka pengeluaran negara untuk itu dapat berkali-kali lipat. Tentu saja perjalanan dinas dalam batas tertentu dibutuhkan mengingat persoalan pemerintah sangat kompleks, tetapi seringkali ini menjadi sekadar ajang meningkatkan penghasilan yang memang rendah (terutama bagi pejabat tingkat bawah).

Di sejumlah kasus, para pejabat tingkat tinggi juga melakukan penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadinya. Dalam sebulan, nilainya bisa mencapai 5 s.d. 25 juta (tergantung instansinya). Dengan demikian, dalam setahun nilainya mencapai Rp 60 juta s.d. 300 juta. Jika ditotal, maka dalam setahun mereka dapat menerima lebih dari Rp 1,2 miliar. Angka ini bahkan lebih tinggi dari nilai yang diperoleh seorang konsultan senior yang biasanya menerima Rp 60 s.d. 80 juta per bulan atau Rp 720 juta s.d. 960 juta per tahun.

Dari jumlah tersebut, yang dapat dikatakan “legal” adalah honor tim, honor narasumber yang sesuai Standar Biaya Umum (SBU), dan uang saku perjalanan dinas. Akan tetapi, apakah “legal” saja cukup?

Reformasi birokrasi di sejumlah negara (misal: Korea, Singapura, Australia) selalu menyentuh perbaikan di bidang kesejahteraan PNS. Di negara-negara tersebut, mereka meningkatkan standar kesejahteraan PNS sehingga mendekati atau setara dengan pegawai swasta. Ini karena mereka sadar bahwa birokrasi, dalam negara liberal sekalipun, adalah penggerak perekonomian negara. Oleh karenanya, mereka harus diberikan insentif yang lebih baik. Ketiga negara tersebut melakukan perubahan struktur gaji pegawai, sehingga PNS digaji berdasarkan pekerjaan dan evaluasi hasil kerja mereka.

Di negara-negara tersebut, pembangunan nilai dan etika juga mendapat perhatian besar. Orientasi seorang PNS tidak lagi semata-mata mengejar jabatan struktural untuk menjadikannya “ladang uang”, tetapi mengejar karier pada jabatan yang mereka emban, baik itu fungsional maupun struktural. Di sana juga terdapat kelompok pejabat tinggi yang disebut senior executive service (SES). Apabila seseorang sudah masuk dalam kelompok SES ini, maka mereka akan menerima pengembangan karier yang lebih intensif, terlibat dalam diskusi strategis yang lebih masif, dan menerima tanggung jawab yang lebih besar. Tentu saja hal ini diiringi dengan insentif yang tinggi. Akan tetapi, komponen-komponen lain yang mengiringi suatu jabatan SES-lah yang seringkali mendorong mereka untuk terus mengembangkan diri.

Bagi pembaca yang bukan PNS mungkin akan bilang “Ya kalau tahu gaji kecil dan untuk dapat penghasilan lebih harus lewat jalan yang nggak benar, ngapain jadi PNS?”. Tapi saya akan selalu bilang “Jika kita biarkan orang-orang yang tidak benar dan tidak mampu mendobrak tradisi meneruskan kebiasaan ini, sampai kapan negara ini membuang-buang uangnya untuk membiayai hidup mereka?” Birokrasi membutuhkan setidaknya dua hal: (1) suntikan tenaga dan pemikiran baru dari para generasi muda untuk mendobrak tradisi buruk yang ada; dan (2) perhatian dan tekanan dari masyarakat untuk mendorong perbaikan pada struktur kesejahteraan PNS. Persoalan struktur kesejahteraan PNS bukan semata-mata soal jumlah, melainkan sangat kompleks sebagaimana saya sampaikan.

Untuk saat ini kita masih dihadapkan pada pertanyaan “Bagaimana caranya agar para PNS tidak menempuh cara ilegal untuk mendapat tambahan penghasilan?”, tapi belum sampai pada pertanyaan “Bagaimana caranya agar para PNS memperoleh kesejahteraan bukan hanya dengan cara yang legal tetapi juga memenuhi standar moral dan etika?” Keduanya harus segera terjawab, dan ini tidak bisa hanya dilakukan pemerintah, tetapi sangat membutuhkan bantuan masyarakat luas.

Untuk Indonesia yang lebih baik.

Hotel Burbury, Canberra ACT, 26 Juni 2012

2 komentar:

luddina mengatakan...

Izin copas boleh Pak?
Kapan y birokrasi di Indonesia bisa seperti birokrasi di negara2 maju itu? :((

Unknown mengatakan...

Silakan bu, tapi seperti saya tulis di awal, nilai itu adalah hasil obrolan kami, sehingga bukan dari penelitian.

birokrasi kita harusnya bisa seperti negara-negara itu, tapi selama negara ini dikelola dengan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat, saya pikir nggak akan berhasil.