Kamis, 22 Desember 2011

Memahami Reformasi Administrasi (dalam Perspektif Makro) Secara Utuh

Reformasi administrasi pada saat ini menjadi jalan yang harus ditempuh oleh pemerintah di seluruh dunia, tanpa kecuali. Tidak ada pembedaan ekonomi (developed-developing-underdevelop) dalam meAlakukan reformasi administrasi karena pada dasarnya dengan mereformasi administrasi, pemerintah sedang mengembalikan jalurnya untuk menciptakan rakyat yang sejahtera, sebuah tujuan yang dimiliki oleh seluruh negara di dunia.

Di Indonesia, reformasi administrasi seringkali disebut sebagai reformasi birokrasi. Saya tidak akan memperdebatkan hal ini lagi karena apapun namanya, selama nilai-nilai yang terkandung di dalamnya selaras, tidak menjadi masalah berarti bagi saya. Reformasi birokrasi ala Indonesia dijalankan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan untuk periode sekarang didukung dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan-RB) Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Kedua peraturan ini memberikan arah, koridor, sekaligus langkah dalam melakukan reformasi birokrasi.

Telah saya katakan dalam tulisan sebelumnya bahwa reformasi administrasi seperti dikatakan Caiden adalah artificial inducement of administrative transformation, against resistance (Leemans: 1976). Dalam definisi ini, Caiden menekankan kata “artificial” sebagai proses yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan direncanakan, karena pada dasarnya setiap organisasi melakukan perubahan bahkan dalam pelaksanaan kerja sehari-hari. Reformasi dilakukan karena adanya malfungsi dalam perubahan yang terjadi sehari-hari tersebut. Oleh karenanya, diperlukan perubahan yang direncanakan dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang ada secara komprehensif. Atas definisi ini, maka keberadaan Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi yang telah diterbitkan memiliki semangat yang relevan.

Reformasi administrasi di Indonesia yang saat ini dilakukan secara inititative-obligation (kewajiban yang dilakukan atas inisiatif) juga memiliki semangat yang tepat dalam rangka perubahan, karena reformasi sebagaimana disampaikan pada pembuka tulisan ini adalah kewajiban. Namun, perubahan sebagai proses dan hasil dari reformasi akan dapat bertahan lama (sustainable) apabila dilakukan atas inisiatif dari para pelakunya. Kementerian/Lembaga (K/L) yang akan melakukan reformasi birokrasi diminta untuk menyampaikan dokumen usulan dan peta jalan (road map) reformasinya.

Bagaimanapun juga, masih terdapat kesalahan dalam menginterpretasikan nilai dan semangat ini dalam ranah implementasi. Tulisan ini bertujuan memberikan gambaran tentang reformasi administrasi secara utuh, terutama dari perspektif makro. Diharapkan dengan tulisan ini kesalahan-kesalahan dalam menginterpretasikan nilai dan semangat tersebut dapat berkurang.

Tidak dapat dimungkiri bahwa gelombang reformasi administrasi masuk ke Indonesia sebagai dampak dari globalisasi. Ketiadaan hambatan dalam perpindahan orang, barang, dan gagasan menjadikan nilai-nilai yang hidup pada suatu kelompok (baca: bangsa) dapat masuk dan bereplikasi pada kelompok lain, meskipun nilai-nilai tersebut tidak selalu compatible dengan sistem nilai kelompok lain itu. Hal ini terjadi baik pada nilai-nilai di level terendah (individu) maupun nilai-nilai di level tertinggi (organisasi negara). Pada akhirnya, kedewasaan penerima dan kontrol sosial dari penguasalah yang akan menentukan apakah nilai-nilai baru tersebut akan diterima apa adanya, dimodifikasi, atau justru ditolak.

Penolakan atas nilai-nilai baru ini dilakukan dengan justifikasi bahwa nilai-nilai tersebut merupakan bentuk neo-imperialisme dan neo-kolonialisme. Mantan Presiden Tanzania, Julius K. Nyerere pada UN Conference on Governance in Africa pada tahun 1998, misalnya, pernah menyatakan bahwa konsep “good governance” adalah sebuah bentuk imperialisme dan kolonialisme. Nyerere melihatnya sebagai konsep yang dipaksakan oleh pemerintah dan perusahaan besar di negara-negara maju kepada negara-negara berkembang dan terbelakang. Penyebutan “good” pada good governance secara tidak langsung menyatakan bahwa nilai-nilai governance yang ada di Afrika yang tidak sama dengan prinsip tersebut sebagai “bad”, dan oleh karenanya negara-negara Afrika harus melakukan pengurangan peran pemerintah dalam kehidupan masyarakat, privatisasi usaha milik negara, dan memberi ruang seluas-luasnya untuk masuknya para kapitalis asing (Farazmand: 2004). Pernyataan ini ternyata memberi dampak yang luas, yaitu terkikisnya penggunaan istilah good governance pada forum-forum ilmiah dan digantikan dengan governance saja yang memiliki nilai-nilai yang secara universal dapat diterima sebagai nilai yang seharusnya dipegang oleh pemerintah di semua negara.

Seperti juga konsep good governance, konsep “administrative reform” dapat dilihat sebagai nilai yang ditanamkan negara-negara maju ke negara-negara berkembang sebagai bentuk imperialisme atau  sebagai nilai-nilai yang secara universal memang dapat diterima sebagai nilai yang baik. Semua itu bergantung pada bagaimana pemerintah sebagai pengguna nilai  memaknai nilai tersebut.

Hingga saat ini, pemerintah di negara-negara berkembang dapat menerima reformasi administrasi sebagai nilai yang baik dan belum ditemukan penolakan yang berarti atas konsep tersebut. Hal ini disebabkan antara lain oleh
1)    Tekanan ekonomi dan finansial yang dihadapi oleh negara-negara berkembang memaksa mereka untuk meninjau kembali sistem dalam birokrasinya dalam rangka menciptakan birokrasi yang efisien;
2)    Tekanan dari masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik yang lebih baik, yang oleh karenanya membuat pemerintah harus memikirkan jalan untuk menemukan sistem yang paling efektif dalam memberikan pelayanan yang berkualitas; dan
3)    Kesadaran akan pentingnya peran teknologi informasi dan komunikasi dalam membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional sektor publik (Tjiptoherijanto dan Meilasari-Sugiana: 2011).

Pada akhirnya, reformasi administrasi di negara manapun ditujukan untuk mengurangi kemerosotan kepercayaan publik pada pemerintah (trust deficit). Pentingnya public trust dalam pemerintahan kiranya sama dengan pentingnya kepercayaan pelanggan pada perusahaan swasta. Bahkan, pemerintahan sebaik Hong Kong pun melakukan reformasi administrasinya dengan berangkat dari isu public trust ini (Cheung: 2011). Prestasi pemerintah Hong Kong yang baik mendorong mereka untuk berpikir “if it’s not broken, why fix it?”, yang merupakan hal yang sangat wajar. Akan tetapi, ketika didapati bahwa tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah sangat rendah hingga di bawah 28 persen, pemerintah Hong Kong semakin mempercepat upaya reformasi administrasinya.

Dalam mewujudkan tujuan akhir tersebut, reformasi administrasi tidak bisa hanya diartikan sebagai upaya formal belaka. Jon Quah (sebagaimana dikutip Tjiptoherijanto dan Meilasari-Sugiana: 2011) mendefinisikan reformasi administrasi sebagai upaya yang disengaja untuk mengubah 1) struktur dan prosedur dalam birokrasi; dan 2) perilaku pejabat birokrasi dalam mewujudkan efektivitas dan efisiensi organisasi. Dalam kaitannya dengan kedua hal ini, maka reformasi birokrasi tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembuatan peraturan, pedoman, dan dokumen-dokumen lainnya tanpa upaya yang konkret dalam mengubah perilaku pelaku birokrasi.

Hal ini sejalan dengan diskusi Saya yang berkembang dengan Eko Prasojo, bahwa reformasi pada praktiknya harus dilakukan pada dua sisi, yaitu manufacturing quality dan service quality. Sisi pertama merujuk pada perubahan-perubahan yang dilakukan secara menyeluruh pada birokrasi pemerintah, termasuk pada aspek tata hubungannya dengan aktor lain. Perubahan ini adalah fundamen dari reformasi itu sendiri. Akan tetapi, tanpa perubahan pada sisi service quality, sulit diharapkan reformasi akan berjalan sesuai dengan harapan. Perubahan pada sisi service quality adalah perubahan yang hasilnya dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Dalam praktik reformasi birokrasi di Indonesia, perubahan semacam ini dikenal dengan istilah quick wins.

Keberadaan quick wins dalam reformasi merupakan instrumen untuk sesegera mungkin merebut hati masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Denhardt dan Denhardt (2003) bahwa dalam kondisi ketidakpastian dan persaingan, kemampuan untuk memenangi hati masyarakat (to win public’s heart) menjadi penting. Dengan memenangi hati masyarakat, organisasi yang melakukan reformasi akan menerima dukungan dari luar atas apa yang dilakukannya. Dukungan ini akan menjadi motivasi untuk melanjutkan perubahan yang dilakukan. Selain itu, dengan adanya perhatian (pengawasan) dari masyarakat, kegagalan/keberhasilan perubahan akan lebih mudah disikapi dengan baik. Dalam hal ini, kontrol dari media juga menjadi elemen yang penting, terlebih apabila reformasi dilakukan di negara yang memiliki kebebasan pers. Dengan demikian, aparat pun akan semakin mengendalikan perilakunya karena sadar bahwa dirinya selalu diawasi oleh pihak lain.

Dalam rangka membangun relasi dengan masyarakat itulah, reformasi administrasi juga seharusnya menyentuh aspek pembangunan governance. Meskipun governance menjadi istilah yang sangat sulit dipahami, karena kerancuan akan definisinya yang memuat baik segi prosedural maupun substansial (Rothstein: 2010), akan tetapi secara umum dipahami bahwa governance adalah pengelolaan kekuasaan dalam suatu wilayah (negara/provinsi/kota) yang melibatkan distribusi peran antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha. Terkait dengan ini, maka pembangunan governance berarti memperkuat peran masyarakat dan pelaku usaha dalam pengelolaan kekuasaan. Ini tidak selalu harus diartikan sebagai penyerahan sebagian (kecil atau besar) kekuasaan dari pemerintah kepada masyarakat dan pelaku usaha, tetapi lebih kepada pengaturan peran yang adil dalam tatanan yang demokratis.

Upaya memperkuat peran masyarakat (termasuk di dalamnya adalah organisasi masyarakat dan media massa) dapat dilakukan dengan memberikan internalisasi nilai-nilai demokrasi dan reformasi administrasi, misalnya dengan pendidikan kepada jurnalis untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisis organisasi dan perubahan. Persoalan yang banyak dihadapi negara demokrasi baru di dunia adalah keberadaan pers yang tidak dikelola dengan baik, sehingga pers tidak dapat dijadikan sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan tetapi justru seakan-akan menjadi musuh. Hal ini terjadi karena ketakutan pemerintah dituduh sebagai anti-demokrasi apabila menjalin hubungan dekat dengan pers.

Secara praktis, dengan reformasi administrasi diharapkan tercipta seamless government (pemerintahan yang mulus), yaitu pemerintahan dengan proses bisnis yang tertata dengan baik dan memudahkan masyarakat dalam mengaksesnya. Terkait dengan ini, tidak mengherankan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pemerintahan menjadi sebuah arus utama (mainstream) dalam reformasi administrasi. Pemerintah, dengan memanfaatkan TIK, dapat menyederhanakan proses bisnis yang kompleks, yang pada akhirnya bermanfaat tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi pemerintah sendiri. Pemanfaatan TIK dengan optimal (bukan sekadar maksimal) akan menciptakan sistem yang memudahkan konektivitas beragam fungsi dalam pemerintahan. Akan tetapi, persoalan dalam TIK tidak semata-mata persoalan hardware dan software saja seperti yang banyak dikhawatirkan pemerintah. Lebih dari itu, budaya kerja yang menyadari pentingnya TIK merupakan aspek yang krusial.

Dalam perkembangannya saat ini, reformasi birokrasi di Indonesia menjadi asosiatif dengan pemberian tunjangan kinerja. Pada dasarnya, pemberian tunjangan kinerja dikaitkan dengan pelaksanaan reformasi administrasi adalah hal yang wajar. Terdapat dua alasan untuk ini. Pertama, dalam reformasi administrasi, pegawai dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Untuk itu, mereka layak diberikan penghargaan lebih. Kedua, tunjangan yang dikaitkan dengan kinerja menjadi poin krusial dalam mengatasi persoalan dalam remunerasi pegawai. Selama ini, remunerasi pegawai negeri sipil di Indonesia didominasi beragam honor, yang secara logis tidak layak diberikan dengan adanya gaji pokok. Tentu tidak wajar jika untuk setiap kegiatan terdapat honor yang diterima pegawai setiap bulannya, sementara melaksanakan kegiatan tersebut adalah bagian dari pekerjaan pegawai. Bukankah untuk itu mereka sudah diberikan gaji pokok? Jika dikatakan gaji pokoknya rendah, maka solusinya tentu dengan menaikkan gaji pokok, bukan memberikan beragam honor. Pemberian tunjangan kinerja adalah upaya untuk menertibkan ini. Bagaimanapun, perkembangan yang ada di Indonesia masih belum dapat dikatakan ideal. Instansi yang telah memberikan tunjangan kinerja sebagian besarnya baru dapat mengalokasikan tunjangan tersebut dengan meniadakan honor. Ini berarti hanya mengalihkan bentuk pendapatan pegawai saja, dari honor menjadi tunjangan. Ke depan, seharusnya instansi dapat memberikan tunjangan kinerja sebagai hasil dari efisiensi anggaran pada proses bisnisnya. Ini akan menunjukkan bahwa reformasi birokrasi menghasilkan efisiensi yang nyata.

Permasalahan seputar reformasi administrasi memang tidak berhenti pada persoalan-persoalan yang saya sampaikan dalam tulisan ini. Diperlukan pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh untuk dapat melaksanakan reformasi administrasi yang sebenar-benarnya. Akan tetapi, diharapkan dengan membaca tulisan ini, pembaca memahami pentingnya reformasi administrasi dalam tataran makro pemerintahan. Sementara itu, untuk tataran mikro, saya akan hadirkan melalui tulisan lainnya beberapa waktu mendatang.

Kaki Patung Pemuda, 22 Desember 2011

2 komentar:

Sarie mengatakan...

Dear Alfie..
mana yang seharusnya...renumerasi dulu baru melakukan reformasi birokrasi atao melakukan reformasi birokrasi dulu baru renumerasi..??

Unknown mengatakan...

thanks Sari (ini sari yang mana ya?)... pertama, mungkin perlu diluruskan soal peristilahannya. remunerasi (bukan renumerasi) adalah keseluruhan pendapatan yang diterima oleh pegawai, termasuk di dalamnya gaji, tunjangan, dan bentuk kesejahteraan lainnya. Dengan atau tanpa RB, setiap pegawai di manapun pasti menerima remunerasi. Sementara itu, mungkin yang berkaitan langsung dengan RB di Indonesia adalah istilah tunjangan kinerja. Yang terjadi saat ini adalah instansi yang mengusulkan reformasi birokrasi diberikan tunjangan kinerja, lalu mengimplementasikan reformasi birokrasinya, dievaluasi oleh Tim Quality Assurance (TQA) dan Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional (UPRBN), trus dievaluasi juga tunjangan kinerjanya (bisa naik/turun) berdasarkan evaluasi TQA dan UPRBN itu.

Kalau Sari nanya mana yang harusnya dilakukan lebih dulu, gue nggak bisa jawab. Di Indonesia, permasalahan yang sangat besar itu adalah terkait dengan kesejahteraan pegawai. Struktur kesejahteraan (bukan nilai, tapi struktur) di Indonesia itu aneh, karena seakan-akan gaji (pokok) dibayarkan tanpa ada keharusan seorang pegawai untuk bekerja. Keharusan untuk bekerja baru terlihat dari honor-honor yang diterima pegawai atas keikutsertaannya dalam proyek ini-itu. Memang pada akhirnya nilai total remunerasi (take home pay) yang diterima si pegawai relatif tinggi, tetapi balik lagi, terus dia digaji buat apaan?

Nah, pemberian tunjangan kinerja itu pada dasarnya satu langkah untuk menuju perbaikan struktur kesejahteraan pegawai. Nantinya, tunjangan kinerja akan menjadi semacam variable revenue pegawai sebagai konsekuensi kinerjanya, sementara gaji pokok adalah fixed revenue. Di Korea Selatan, struktur remunerasinya juga sudah disederhanakan seperti itu, jadi hanya ada gaji pokok (berbasis lama kerja), tunjangan kinerja (berbasis jabatan dan kinerja), dan tunjangan kesejahteraan (asuransi dll).

Dikaitkannya tunjangan kinerja dengan RB menurut gue sih sebuah ide yang sangat menarik ya. Soalnya di satu sisi pemberian tunjangan kinerja adalah upaya perbaikan struktur penggajian (perlu dicatat bahwa instansi yang telah menerima tunjangan kinerja tidak diperkenankan memberikan honor-honor proyek lagi), sementara di sisi lain RB adalah upaya perbaikan organisasi secara keseluruhan. Artinya dengan mempertautkan keduanya, diharapkan kebaikan dari kedua upaya itu dapat diperoleh bersamaan.

Hanya saja, persoalan saat ini adalah belum adanya mekanisme evaluasi yang benar-benar ketat diberlakukan kepada instansi yang telah menerima tunjangan kinerja. Selain itu, saat ini terdapat kecenderungan penurunan nilai tunjangan kinerja (patokannya Kemenkeu adalah 100%, sementara sebagian besar saat ini hanya 40% dari Kemenkeu). Kombinasi dua hal ini membuat sejumlah instansi yang belum menerima tunjangan kinerja mengalami demotivasi. Untuk itulah gue mengajak semua teman-teman untuk menjadi pengawas reformasi birokrasi di Indonesia yang setia mendorong perbaikan terus-menerus dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Saat ini memang perbaikan utama yang perlu didorong adalah pada penguatan pengawasan atas pelaksanaan reformasi birokrasi dan evaluasi pemberian tunjangan kinerja, karena kecenderungan yang ada baru menaikkan nilai tunjangan kinerja dan belum ada menurunkan nilainya akibat rendahnya kinerja organisasi.