Reformasi administrasi pada saat ini menjadi jalan yang
harus ditempuh oleh pemerintah di seluruh dunia, tanpa kecuali. Tidak ada
pembedaan ekonomi (developed-developing-underdevelop)
dalam meAlakukan reformasi administrasi karena pada dasarnya dengan mereformasi
administrasi, pemerintah sedang mengembalikan jalurnya untuk menciptakan rakyat
yang sejahtera, sebuah tujuan yang dimiliki oleh seluruh negara di dunia.
Di Indonesia, reformasi administrasi seringkali disebut
sebagai reformasi birokrasi. Saya tidak akan memperdebatkan hal ini lagi karena
apapun namanya, selama nilai-nilai yang terkandung di dalamnya selaras, tidak
menjadi masalah berarti bagi saya. Reformasi birokrasi ala Indonesia dijalankan
dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan untuk periode sekarang didukung dengan
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Permenpan-RB) Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi
2010-2014. Kedua peraturan ini memberikan arah, koridor, sekaligus langkah
dalam melakukan reformasi birokrasi.
Telah saya katakan dalam tulisan sebelumnya bahwa reformasi
administrasi seperti dikatakan Caiden adalah artificial inducement of administrative transformation, against
resistance (Leemans: 1976). Dalam definisi ini, Caiden menekankan kata
“artificial” sebagai proses yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan
direncanakan, karena pada dasarnya setiap organisasi melakukan perubahan bahkan
dalam pelaksanaan kerja sehari-hari. Reformasi dilakukan karena adanya
malfungsi dalam perubahan yang terjadi sehari-hari tersebut. Oleh karenanya,
diperlukan perubahan yang direncanakan dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang
ada secara komprehensif. Atas definisi ini, maka keberadaan Grand Design dan
Road Map Reformasi Birokrasi yang telah diterbitkan memiliki semangat yang
relevan.
Reformasi administrasi di Indonesia yang saat ini dilakukan
secara inititative-obligation
(kewajiban yang dilakukan atas inisiatif) juga memiliki semangat yang tepat
dalam rangka perubahan, karena reformasi sebagaimana disampaikan pada pembuka
tulisan ini adalah kewajiban. Namun, perubahan sebagai proses dan hasil dari
reformasi akan dapat bertahan lama (sustainable)
apabila dilakukan atas inisiatif dari para pelakunya. Kementerian/Lembaga (K/L)
yang akan melakukan reformasi birokrasi diminta untuk menyampaikan dokumen
usulan dan peta jalan (road map)
reformasinya.
Bagaimanapun juga, masih terdapat kesalahan dalam
menginterpretasikan nilai dan semangat ini dalam ranah implementasi. Tulisan
ini bertujuan memberikan gambaran tentang reformasi administrasi secara utuh, terutama dari perspektif makro. Diharapkan dengan tulisan ini
kesalahan-kesalahan dalam menginterpretasikan nilai dan semangat tersebut dapat
berkurang.
Tidak dapat dimungkiri bahwa gelombang reformasi
administrasi masuk ke Indonesia sebagai dampak dari globalisasi. Ketiadaan
hambatan dalam perpindahan orang, barang, dan gagasan menjadikan nilai-nilai
yang hidup pada suatu kelompok (baca:
bangsa) dapat masuk dan bereplikasi pada kelompok lain, meskipun nilai-nilai
tersebut tidak selalu compatible
dengan sistem nilai kelompok lain itu. Hal ini terjadi baik pada nilai-nilai di
level terendah (individu) maupun nilai-nilai di level tertinggi (organisasi
negara). Pada akhirnya, kedewasaan penerima dan kontrol sosial dari penguasalah
yang akan menentukan apakah nilai-nilai baru tersebut akan diterima apa adanya,
dimodifikasi, atau justru ditolak.
Penolakan atas nilai-nilai baru ini dilakukan dengan
justifikasi bahwa nilai-nilai tersebut merupakan bentuk neo-imperialisme dan
neo-kolonialisme. Mantan Presiden Tanzania, Julius K. Nyerere pada UN
Conference on Governance in Africa pada tahun 1998, misalnya, pernah menyatakan
bahwa konsep “good governance” adalah
sebuah bentuk imperialisme dan kolonialisme. Nyerere melihatnya sebagai konsep
yang dipaksakan oleh pemerintah dan perusahaan besar di negara-negara maju
kepada negara-negara berkembang dan terbelakang. Penyebutan “good” pada good governance secara tidak langsung menyatakan bahwa nilai-nilai governance yang ada di Afrika yang tidak
sama dengan prinsip tersebut sebagai “bad”,
dan oleh karenanya negara-negara Afrika harus melakukan pengurangan peran
pemerintah dalam kehidupan masyarakat, privatisasi usaha milik negara, dan
memberi ruang seluas-luasnya untuk masuknya para kapitalis asing (Farazmand:
2004). Pernyataan ini ternyata memberi dampak yang luas, yaitu terkikisnya
penggunaan istilah good governance
pada forum-forum ilmiah dan digantikan dengan governance saja yang memiliki nilai-nilai yang secara universal
dapat diterima sebagai nilai yang seharusnya dipegang oleh pemerintah di semua
negara.
Seperti juga konsep good
governance, konsep “administrative
reform” dapat dilihat sebagai nilai yang ditanamkan negara-negara maju ke
negara-negara berkembang sebagai bentuk imperialisme atau sebagai nilai-nilai yang secara universal
memang dapat diterima sebagai nilai yang baik. Semua itu bergantung pada
bagaimana pemerintah sebagai pengguna nilai
memaknai nilai tersebut.
Hingga saat ini, pemerintah di negara-negara berkembang
dapat menerima reformasi administrasi sebagai nilai yang baik dan belum
ditemukan penolakan yang berarti atas konsep tersebut. Hal ini disebabkan
antara lain oleh
1)
Tekanan ekonomi dan finansial yang dihadapi oleh
negara-negara berkembang memaksa mereka untuk meninjau kembali sistem dalam
birokrasinya dalam rangka menciptakan birokrasi yang efisien;
2)
Tekanan dari masyarakat untuk memperoleh
pelayanan publik yang lebih baik, yang oleh karenanya membuat pemerintah harus
memikirkan jalan untuk menemukan sistem yang paling efektif dalam memberikan
pelayanan yang berkualitas; dan
3)
Kesadaran akan pentingnya peran teknologi
informasi dan komunikasi dalam membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas
operasional sektor publik (Tjiptoherijanto dan Meilasari-Sugiana: 2011).
Pada akhirnya, reformasi administrasi di negara manapun
ditujukan untuk mengurangi kemerosotan kepercayaan publik pada pemerintah (trust deficit). Pentingnya public trust dalam pemerintahan kiranya
sama dengan pentingnya kepercayaan pelanggan pada perusahaan swasta. Bahkan,
pemerintahan sebaik Hong Kong pun melakukan reformasi administrasinya dengan
berangkat dari isu public trust ini
(Cheung: 2011). Prestasi pemerintah Hong Kong yang baik mendorong mereka untuk
berpikir “if it’s not broken, why fix it?”,
yang merupakan hal yang sangat wajar. Akan tetapi, ketika didapati bahwa
tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah sangat rendah hingga di bawah 28
persen, pemerintah Hong Kong semakin mempercepat upaya reformasi
administrasinya.
Dalam mewujudkan tujuan akhir tersebut, reformasi
administrasi tidak bisa hanya diartikan sebagai upaya formal belaka. Jon Quah
(sebagaimana dikutip Tjiptoherijanto dan Meilasari-Sugiana: 2011)
mendefinisikan reformasi administrasi sebagai upaya yang disengaja untuk
mengubah 1) struktur dan prosedur dalam birokrasi; dan 2) perilaku pejabat
birokrasi dalam mewujudkan efektivitas dan efisiensi organisasi. Dalam
kaitannya dengan kedua hal ini, maka reformasi birokrasi tidak bisa dilakukan
semata-mata melalui pembuatan peraturan, pedoman, dan dokumen-dokumen lainnya
tanpa upaya yang konkret dalam mengubah perilaku pelaku birokrasi.
Hal ini sejalan dengan diskusi Saya yang berkembang dengan
Eko Prasojo, bahwa reformasi pada praktiknya harus dilakukan pada dua sisi,
yaitu manufacturing quality dan service quality. Sisi pertama merujuk
pada perubahan-perubahan yang dilakukan secara menyeluruh pada birokrasi
pemerintah, termasuk pada aspek tata hubungannya dengan aktor lain. Perubahan
ini adalah fundamen dari reformasi itu sendiri. Akan tetapi, tanpa perubahan
pada sisi service quality, sulit
diharapkan reformasi akan berjalan sesuai dengan harapan. Perubahan pada sisi service quality adalah perubahan yang
hasilnya dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Dalam praktik
reformasi birokrasi di Indonesia, perubahan semacam ini dikenal dengan istilah quick wins.
Keberadaan quick wins
dalam reformasi merupakan instrumen untuk sesegera mungkin merebut hati
masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Denhardt dan Denhardt (2003) bahwa dalam
kondisi ketidakpastian dan persaingan, kemampuan untuk memenangi hati
masyarakat (to win public’s heart)
menjadi penting. Dengan memenangi hati masyarakat, organisasi yang melakukan
reformasi akan menerima dukungan dari luar atas apa yang dilakukannya. Dukungan
ini akan menjadi motivasi untuk melanjutkan perubahan yang dilakukan. Selain
itu, dengan adanya perhatian (pengawasan) dari masyarakat,
kegagalan/keberhasilan perubahan akan lebih mudah disikapi dengan baik. Dalam
hal ini, kontrol dari media juga menjadi elemen yang penting, terlebih apabila
reformasi dilakukan di negara yang memiliki kebebasan pers. Dengan demikian,
aparat pun akan semakin mengendalikan perilakunya karena sadar bahwa dirinya
selalu diawasi oleh pihak lain.
Dalam rangka membangun relasi dengan masyarakat itulah, reformasi
administrasi juga seharusnya menyentuh aspek pembangunan governance. Meskipun governance
menjadi istilah yang sangat sulit dipahami, karena kerancuan akan definisinya
yang memuat baik segi prosedural maupun substansial (Rothstein: 2010), akan tetapi
secara umum dipahami bahwa governance
adalah pengelolaan kekuasaan dalam suatu wilayah (negara/provinsi/kota) yang
melibatkan distribusi peran antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha.
Terkait dengan ini, maka pembangunan governance
berarti memperkuat peran masyarakat dan pelaku usaha dalam pengelolaan
kekuasaan. Ini tidak selalu harus diartikan sebagai penyerahan sebagian (kecil
atau besar) kekuasaan dari pemerintah kepada masyarakat dan pelaku usaha,
tetapi lebih kepada pengaturan peran yang adil dalam tatanan yang demokratis.
Upaya memperkuat peran masyarakat (termasuk di dalamnya
adalah organisasi masyarakat dan media massa) dapat dilakukan dengan memberikan
internalisasi nilai-nilai demokrasi dan reformasi administrasi, misalnya dengan
pendidikan kepada jurnalis untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
menganalisis organisasi dan perubahan. Persoalan yang banyak dihadapi negara
demokrasi baru di dunia adalah keberadaan pers yang tidak dikelola dengan baik,
sehingga pers tidak dapat dijadikan sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan
tetapi justru seakan-akan menjadi musuh. Hal ini terjadi karena ketakutan
pemerintah dituduh sebagai anti-demokrasi apabila menjalin hubungan dekat
dengan pers.
Secara praktis, dengan reformasi administrasi diharapkan
tercipta seamless government
(pemerintahan yang mulus), yaitu pemerintahan dengan proses bisnis yang tertata
dengan baik dan memudahkan masyarakat dalam mengaksesnya. Terkait dengan ini,
tidak mengherankan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
dalam pemerintahan menjadi sebuah arus utama (mainstream) dalam reformasi administrasi. Pemerintah, dengan
memanfaatkan TIK, dapat menyederhanakan proses bisnis yang kompleks, yang pada
akhirnya bermanfaat tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi pemerintah
sendiri. Pemanfaatan TIK dengan optimal (bukan sekadar maksimal) akan
menciptakan sistem yang memudahkan konektivitas beragam fungsi dalam
pemerintahan. Akan tetapi, persoalan dalam TIK tidak semata-mata persoalan hardware dan software saja seperti yang banyak dikhawatirkan pemerintah. Lebih
dari itu, budaya kerja yang menyadari pentingnya TIK merupakan aspek yang
krusial.
Dalam perkembangannya saat ini, reformasi birokrasi di
Indonesia menjadi asosiatif dengan pemberian tunjangan kinerja. Pada dasarnya,
pemberian tunjangan kinerja dikaitkan dengan pelaksanaan reformasi administrasi
adalah hal yang wajar. Terdapat dua alasan untuk ini. Pertama, dalam reformasi
administrasi, pegawai dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang
terjadi. Untuk itu, mereka layak diberikan penghargaan lebih. Kedua, tunjangan
yang dikaitkan dengan kinerja menjadi poin krusial dalam mengatasi persoalan
dalam remunerasi pegawai. Selama ini, remunerasi pegawai negeri sipil di
Indonesia didominasi beragam honor, yang secara logis tidak layak diberikan
dengan adanya gaji pokok. Tentu tidak wajar jika untuk setiap kegiatan terdapat
honor yang diterima pegawai setiap bulannya, sementara melaksanakan kegiatan
tersebut adalah bagian dari pekerjaan pegawai. Bukankah untuk itu mereka sudah
diberikan gaji pokok? Jika dikatakan gaji pokoknya rendah, maka solusinya tentu
dengan menaikkan gaji pokok, bukan memberikan beragam honor. Pemberian
tunjangan kinerja adalah upaya untuk menertibkan ini. Bagaimanapun,
perkembangan yang ada di Indonesia masih belum dapat dikatakan ideal. Instansi
yang telah memberikan tunjangan kinerja sebagian besarnya baru dapat
mengalokasikan tunjangan tersebut dengan meniadakan honor. Ini berarti hanya
mengalihkan bentuk pendapatan pegawai saja, dari honor menjadi tunjangan. Ke
depan, seharusnya instansi dapat memberikan tunjangan kinerja sebagai hasil
dari efisiensi anggaran pada proses bisnisnya. Ini akan menunjukkan bahwa
reformasi birokrasi menghasilkan efisiensi yang nyata.
Permasalahan seputar reformasi administrasi memang tidak
berhenti pada persoalan-persoalan yang saya sampaikan dalam tulisan ini.
Diperlukan pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh untuk dapat
melaksanakan reformasi administrasi yang sebenar-benarnya. Akan tetapi,
diharapkan dengan membaca tulisan ini, pembaca memahami pentingnya reformasi
administrasi dalam tataran makro pemerintahan. Sementara itu, untuk tataran
mikro, saya akan hadirkan melalui tulisan lainnya beberapa waktu mendatang.
Kaki Patung Pemuda, 22
Desember 2011
2 komentar:
Dear Alfie..
mana yang seharusnya...renumerasi dulu baru melakukan reformasi birokrasi atao melakukan reformasi birokrasi dulu baru renumerasi..??
thanks Sari (ini sari yang mana ya?)... pertama, mungkin perlu diluruskan soal peristilahannya. remunerasi (bukan renumerasi) adalah keseluruhan pendapatan yang diterima oleh pegawai, termasuk di dalamnya gaji, tunjangan, dan bentuk kesejahteraan lainnya. Dengan atau tanpa RB, setiap pegawai di manapun pasti menerima remunerasi. Sementara itu, mungkin yang berkaitan langsung dengan RB di Indonesia adalah istilah tunjangan kinerja. Yang terjadi saat ini adalah instansi yang mengusulkan reformasi birokrasi diberikan tunjangan kinerja, lalu mengimplementasikan reformasi birokrasinya, dievaluasi oleh Tim Quality Assurance (TQA) dan Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional (UPRBN), trus dievaluasi juga tunjangan kinerjanya (bisa naik/turun) berdasarkan evaluasi TQA dan UPRBN itu.
Kalau Sari nanya mana yang harusnya dilakukan lebih dulu, gue nggak bisa jawab. Di Indonesia, permasalahan yang sangat besar itu adalah terkait dengan kesejahteraan pegawai. Struktur kesejahteraan (bukan nilai, tapi struktur) di Indonesia itu aneh, karena seakan-akan gaji (pokok) dibayarkan tanpa ada keharusan seorang pegawai untuk bekerja. Keharusan untuk bekerja baru terlihat dari honor-honor yang diterima pegawai atas keikutsertaannya dalam proyek ini-itu. Memang pada akhirnya nilai total remunerasi (take home pay) yang diterima si pegawai relatif tinggi, tetapi balik lagi, terus dia digaji buat apaan?
Nah, pemberian tunjangan kinerja itu pada dasarnya satu langkah untuk menuju perbaikan struktur kesejahteraan pegawai. Nantinya, tunjangan kinerja akan menjadi semacam variable revenue pegawai sebagai konsekuensi kinerjanya, sementara gaji pokok adalah fixed revenue. Di Korea Selatan, struktur remunerasinya juga sudah disederhanakan seperti itu, jadi hanya ada gaji pokok (berbasis lama kerja), tunjangan kinerja (berbasis jabatan dan kinerja), dan tunjangan kesejahteraan (asuransi dll).
Dikaitkannya tunjangan kinerja dengan RB menurut gue sih sebuah ide yang sangat menarik ya. Soalnya di satu sisi pemberian tunjangan kinerja adalah upaya perbaikan struktur penggajian (perlu dicatat bahwa instansi yang telah menerima tunjangan kinerja tidak diperkenankan memberikan honor-honor proyek lagi), sementara di sisi lain RB adalah upaya perbaikan organisasi secara keseluruhan. Artinya dengan mempertautkan keduanya, diharapkan kebaikan dari kedua upaya itu dapat diperoleh bersamaan.
Hanya saja, persoalan saat ini adalah belum adanya mekanisme evaluasi yang benar-benar ketat diberlakukan kepada instansi yang telah menerima tunjangan kinerja. Selain itu, saat ini terdapat kecenderungan penurunan nilai tunjangan kinerja (patokannya Kemenkeu adalah 100%, sementara sebagian besar saat ini hanya 40% dari Kemenkeu). Kombinasi dua hal ini membuat sejumlah instansi yang belum menerima tunjangan kinerja mengalami demotivasi. Untuk itulah gue mengajak semua teman-teman untuk menjadi pengawas reformasi birokrasi di Indonesia yang setia mendorong perbaikan terus-menerus dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Saat ini memang perbaikan utama yang perlu didorong adalah pada penguatan pengawasan atas pelaksanaan reformasi birokrasi dan evaluasi pemberian tunjangan kinerja, karena kecenderungan yang ada baru menaikkan nilai tunjangan kinerja dan belum ada menurunkan nilainya akibat rendahnya kinerja organisasi.
Posting Komentar