Senin, 01 Agustus 2011

Lihatlah Lebih Jauh, dan Lebih Dekat



Belakangan ini, masyarakat Indonesia disajikan tontonan berupa manuver-manuver mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, yang melakukan kontak terbuka dengan media massa dan menyampaikan banyak hal terkait dengan kasus yang menjadikannya buronan Interpol dan hal-hal lain seputar petinggi-petinggi mantan partainya. Nazaruddin muncul dari komunikasi telepon hingga video chat dengan aplikasi Skype. Sebelumnya juga dia dikabarkan menyebarkan pesan melalui BlackBerry Messenger dan blog. Manuver-manuver Nazaruddin ini kemudian memunculkan keterkejutan di masyarakat. Meskipun demikian, tidak sedikit pula yang merespons manuver ini dengan biasa-biasa saja. Mereka ini telah memprediksi bahwa Nazaruddin pasti suatu saat akan muncul dan menyampaikan informasi-informasi negatif tentang partainya. Mereka yang tidak terkejut ini kemudian sebagian mendukung pernyataan Nazaruddin, sementara sebagian lagi bereaksi dengan menyatakan bahwa pernyataan Nazaruddin tidak lain dari bentuk kekecewaannya semata.

Mengapa pandangan masyarakat dapat berbeda-beda seperti tiu? Seperti kutipan yang saya gunakan di awal tulisan ini, the eye sees only what the mind is prepared to comprehend, ‘mata kita hanya akan melihat apa-apa yang mampu dinalar oleh pikiran kita’. Mereka yang sudah apatis pada sistem politik Indonesia tentu sangat mudah percaya dengan apa yang dikatakan Nazaruddin, karena pikiran mereka, sadar maupun tidak, telah terbentuk untuk menerima pernyataan apapun, baik fakta maupun rekaan, yang dapat menunjukkan buruknya sistem politik Indonesia. Begitupun sebaliknya. Dengan kondisi seperti ini, sangat sulit bagi kita untuk merespons situasi dengan pendekatan dan tindakan yang objektif.

Apakah tidak mungkin pikiran ini diubah sehingga kita mampu merespons dengan lebih objektif?
Tentu saja sangat mungkin, bahkan tanpa harus mengubah apapun, karena yang disebut objektif seringkali merupakan kumpulan subjektivitas belaka. Jika banyak orang yang mempercayai suatu pernyataan, maka pernyataan tersebut dapat saja menjadi sebuah objektivitas. Akan tetapi, mungkin saja kita perlu mengubah cara berpikir dan cara pandang kita agar dapat memahami situasi tidak semata-mata apa yang terlihat di mata telanjang. Sejatinya, hal inilah yang dibutuhkan dalam rangka perbaikan kondisi Indonesia, baik dalam hal ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, hingga pertahanan dan keamanan. Apa yang kita butuhkan adalah kemauan dalam diri kita untuk memahami situasi tidak sekadar dengan melihatnya dari mata telanjang.

Pada tulisan yang lalu, saya sudah pernah menyinggung soal blind spot saat meresensi buku “Theory U”. analogi blind spot tersebut memang sangat jelas dan mudah dipahami, bahwa pada suatu titik tertentu, mata kita tidak mampu melihat area dengan luas tertentu meskipun itu sebenarnya terletak dekat dari mata. Pada keadaan tersebut, apa yang harus dilakukan? Ya, mengubah jarak pandang. Pada jarak pandang yang diubah tersebut juga tentu ada blind spot baru yang terbentuk atas objek lainnya. Jika demikian, apa yang harus dilakukan? Tentu saja mengubah lagi jarak pandang. Demikian seterusnya.

Ini menunjukkan bahwa kita memang membutuhkan usaha lebih untuk dapat melihat suatu objek dengan sempurna/objektif, dan sangat jarang kita mau melakukan usaha lebih itu. Kita lebih memilih untuk melihat apa yang terlihat tanpa mempertimbangkan blind spot tadi. Jika setiap orang mempertahankan cara ini, maka kita tidak akan mampu memperbaiki apapun dari situasi yang ada.

Indonesia memiliki ribuan doktor dari berbagai bidang ilmu. Sebagian besar dari mereka terjun ke dunia akademis, sebagian lagi berada di ranah birokrasi, dan sedikit sisanya berada di sektor bisnis. Tanpa perlu menghadirkan data apapun, saya yakin sebagian besar pembaca sepakat bahwa banyak akademisi yang memiliki persepsi negatif kepada para birokrat. Bagi mereka, birokrat adalah orang-orang yang memiliki mind set yang malas, koruptif, dan kelewat patuh pada atasan. Saya dapat mengatakan ini karena dulu saya berada diantara para akademisi.

Di sisi lain, para birokrat sendiri saat ini memiliki dua pandangan atas akademisi. Bagi mereka, akademisi adalah “pakar” alias “apa-apa dibuat sukar”. Mereka juga menganggap akademisi itu adalah orang-orang yang hanya memahami sisi teoritis dari ilmu yang dimilikinya dan buta akan sisi praktisnya. Namun di sisi lain, birokrat masih menganggap sebagian besar akademisi adalah pihak yang independen dan objektif dalam menyampaikan gagasannya.

Jika alam bawah sadar dari para akademisi ini mempertahankan persepsi negatif tentang birokrat dan alam bawah sadar dari para birokrat mempertahankan persepsi negatif tentang akademisi, maka sejatinya segala bentuk kerja sama antara mereka adalah kerja sama menuju kehancuran semata. Dengan mempertahankan persepsi ini, dalam mengerjakan fungsi masing-masing pun mereka tidak akan pernah sempurna menjalankannya. Akademisi yang demikian hanya akan menjadi pekerja yang menjual kata-kata kepada peserta didiknya tanpa menanamkan nilai kebaikan kepada mereka. Birokrat yang demikian juga hanya akan sekadar menjadi pekerja yang semata-mata mencari penghasilan bagi keluarganya. Mereka tidak akan memberikan nilai tambah kepada masyarakat yang lebih luas.

Persoalan persepsi antaraktor tadi hanya sebuah contoh kecil belaka yang tentunya dapat berakibat besar. Contoh lainnya tentu dalam bagaimana para aktor ini memandang jabatan yang mereka emban sebagai sebuah amanat, bukan kesempatan individu atau kelompok semata. Ego sektoral memang masih menjadi sebuah persoalan yang umum ditemui di Indonesia saat ini. Tidak perlu kita bicara ego sektoral antarinstansi, dalam sebuah instansi pun ego sektoral ini seringkali ditemui. Ini terjadi baik dalam dunia usaha, birokrasi pemerintah, maupun di dunia pendidikan.

Dalam dunia usaha, gesekan-gesekan antarunit kerja telah menjadi kajian ilmu manajemen sejak puluhan tahun silam, terutama sejak ilmu manajemen memasuki fase humanis yang dikembangkan oleh Elton Mayo. Dalam dunia pendidikan, tidak jarang para guru besar atau dosen senior berlaku seperti tuan tanah atas suatu mata kuliah, sehingga menolak saat ada dosen muda untuk bergabung dalam mata kuliah tersebut. Dalam birokrasi pemerintah, sebuah satuan kerja atau unit kerja akan bersaing dengan satuan kerja atau unit kerja yang lain dalam arti negatif, yaitu bersaing memperoleh anggaran besar dan enggan saat anggarannya dialihkan ke satuan kerja atau unit kerja yang lain.

Contoh-contoh seperti ini menunjukkan betapa cara pandang kita atas sebuah situasi akan menentukan pendekatan dan tindakan kita dalam merespons situasi tersebut. Andaikan para aktor ini MAU mengupayakan cara pandang yang lebih objektif, tentu perbaikan atas situasi menjadi lebih mungkin.

Andaikan para akademisi mau memandang sejajar antara dirinya dan birokrat tanpa ada kecenderungan negatif, tentu mereka tidak akan segan mengkritik birokrat secara langsung manakala ada yang salah dari birokrat tersebut, atau mengapresiasi birokrat secara langsung manakala ada prestasi dari birokrat tersebut. Apa yang terjadi saat ini adalah mereka memandang dirinya berada pada level/kasta yang lebih tinggi dari birokrat. Mereka menempatkan diri sebagai Brahmana dan birokrat dianggap sebagai Sudra atau kelas pekerja. Perjalanan sejarah memang membuktikan bahwa profesi akademisi dan hakim adalah pemegang noble duties atau tugas-tugas yang terhormat dalam masyarakat. Akan tetapi, apalah arti kehormatan itu apabila tidak mampu memberikan kehormatan bagi masyarakatnya.

Andaikan para birokrat mau memandang akademisi sebagai mitra kerja yang seimbang dengan mereka, tentu pekerjaan-pekerjaan mereka akan sangat terbantu. Bahwa akademisi memiliki kekurangan dalam memahami peraturan dan sisi praktis, itu tentu bukan penghalang, tetapi menjadi sisi yang dapat dilengkapi oleh para birokrat yang saya yakin sebagian besar tidak begitu menguasai sisi teoritis dari sebuah kajian. Apa yang terjadi saat ini adalah birokrat belum mau memposisikan diri sebagai mitra kerja yang berimbang, yang mungkin disebabkan ketakutan akan ide-ide murni dari para akademisi yang dapat mengubah kestabilan pekerjaan mereka. Akan tetapi apalah arti kestabilan pekerjaan jika tidak mampu memberikan kestabilan pada masyarakat yang lebih luas sebagai pemangku kepentingan mereka.

Andaikan semua aktor mau mengontrol ego sektoral mereka, tentulah nilai luhur bangsa Indonesia, musyawarah, akan dapat terejawantah dengan sempurna. Musyawarah diantara dosen senior (yang menguasai sejarah ilmu dan teori-teori klasik) dan junior (yang menguasai perkembangan ilmu dan teori-teori modern) dalam menentukan materi dan sumber referensi tentu pada akhirnya akan menguntungkan bagi peserta didik. Musyawarah diantara unit-unit kerja pemerintah tentu akan dapat membuka jalan dalam menentukan prioritas pembangunan dan bagaimana cara menjalankannya.

Semua ini bukan sekadar mimpi. Memang ini masih berada dalam pemikiran saya saja. Tapi seperti kata Albus Dumbledore dalam Harry Potter and the Deathly Hallows part 2, apabila suatu hal terjadi dalam pikiranmu, tidak berarti itu bukanlah suatu kenyataan. Tidak sulit untuk mewujudkannya. Cukup dengan KEMAUAN untuk melihat lebih jauh (dan lebih dekat) segala hal yang ada di hadapan kita. Ini dapat menjadi kenyataan jika kita memimpikannya bersama. Seperti John Lennon: “a dream you dream alone is only a dream. A dream we dream together, that’s reality

Pamulang, jelang Ramadhan 1432H.

Tidak ada komentar: