Kamis, 12 September 2013

Mengenal Birokrasi

Saya sudah menulis beberapa artikel di blog ini dan pengunjung juga sudah lebih dari 2.000 orang, namun saya belum bisa merasakan adanya perubahan seperti yang saya harapkan. Tujuan saya menuliskan pemikiran saya dalam blog sebenarnya ada tiga, yaitu menunjukkan perspektif saya kepada pembaca, meningkatkan wawasan pembaca atas persoalan birokrasi, dan menggugah peran serta pembaca dalam upaya reformasi birokrasi. Tujuan pertama saya yakin sudah tercapai karena itu otomatis terjadi setiap kali saya mengunggah tulisan baru. Akan tetapi, tujuan kedua dan ketiga mungkin nisbi dan sangat rendah ketercapaiannya. Hal ini mungkin disebabkan kelemahan saya dalam memahami pemahaman pembaca atas isu birokrasi. Saya seringkali mengasumsikan pembaca sudah paham konsep-konsep yang digunakan dalam tulisan saya. Akibat hal ini, bisa jadi pembaca salah memahami pandangan saya atau mungkin saja langsung beralih ke laman lain karena tidak paham bahasa yang saya gunakan.

Sejak awal, blog ini bukan saya desain sebagai panduan, makanya dulu saya beri nama "alfie berbagi cerita". Akan tetapi, dengan melihat kecenderungan yang terjadi, saya ingin mencoba memberikan beberapa artikel dasar tentang administrasi publik, sebuah ilmu yang baru saya pelajari sepuluh tahun terakhir ini. Pada dasarnya, dari ilmu tersebutlah pemikiran dan gagasan yang saya tuangkan dalam blog ini terlahir. Oleh karenanya, saya ingin berbagi dasar-dasar dari ilmu tersebut yang memungkinkan saya dan pembaca memiliki frekuensi yang sama dalam memahami perspektif saya (tentu saja pembaca tetap dapat membaca artikel saya dengan tujuan masing-masing). Beberapa topik yang akan saya unggah adalah tentang birokrasi, pemerintahan daerah, manajemen sumber daya manusia aparatur, pelayanan publik, dan reformasi birokrasi.

Di artikel pertama ini saya akan bicara tentang konsep besar di ilmu administrasi publik, yaitu birokrasi. Oleh karena ini adalah sebuah konsep yang dalam pergaulan umum maupun keilmuan di Indonesia mengalami perluasan makna, maka tulisan ini perlu saya batasi pada sejarah singkat dan pentingnya memahami birokrasi.

Birokrasi: Sebuah Perjalanan Panjang

Birokrasi sebagai sebuah konsep dalam ilmu pengetahuan boleh jadi tidak setua istilah-istilah dalam astronomi, geografi, atau biologi. Akan tetapi, apabila menilik sejarah, konsep ini bisa dikatakan sama tuanya dengan peradaban manusia. Di Timur Tengah, tepatnya di Persia (meliputi Iran dan sekitarnya saat ini), tiga dinasti yang lahir sejak tahun 6000 SM, yaitu Achaemenid, Parsi, dan Sasanid, memiliki tiga model pemerintahan yang unik dan terbangun rapi yang memberi pengaruh pada pemerintahan di wilayah lain di seluruh dunia. Achaemenid memiliki pengaruh kuat pada model pemerintahan Romawi dan Kekaisaran Usmawi (Ottoman). Pemerintahan Parsi yang desentralistis juga mengilhami model pemerintahan di Eropa, sementara Sasanid yang kalah dari pasukan Arab muslim pada tahun 651 juga mewarnai model pemerintahan awal khilafah.[i]

Di Asia daratan, cikal bakal birokrasi sudah dimulai sejak abad ke-5 sebelum masehi ketika Dinasti Nanda membentuk pemerintahan kerajaan di lembah Gangga, yang kemudian melahirkan dinasti Maurya.[ii] Pada waktu yang berdekatan (sekitar abad ke-2 sebelum masehi), kaisar Shih Huang Ti di Tiongkok juga membentuk sistem pemerintahan baru yang lebih kompleks dan sentralistis yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah Tiongkok. Sistem ini bertahan hingga berabad-abad kemudian karena keberhasilannya dalam mengelola keuangan, pekerjaan umum, dan bantuan sosial kepada masyarakat.[iii] Kemiripan dari kedua sistem pemerintahan tersebut adalah adanya sentralisasi kekuasaan, pegawai yang khusus dibayar untuk bekerja pada pemerintah, dan rekrutmen pegawai yang bukan berdasarkan hubungan darah melainkan melalui serangkaian tes kecakapan dan loyalitas kepada pemimpin.

Lalu apa sebenarnya birokrasi sampai saya membawa contoh-contoh tersebut? Sebenarnya tidak ada definisi yang cukup baik untuk menggambarkan apa yang dimaksud birokrasi. Istilah ini lahir dari seorang ekonom Perancis, Jacques Claude Marie Vincent de Gournay (1712-1759), yang menggabungkan kata kratia (kekuasaan) dari bahasa Yunani yang sering digunakan untuk demokrasi atau aristokrasi dengan kata bureau (meja) dari bahasa Perancis.  Pada awalnya, Gournay menggunakan istilah ini untuk menggambarkan kekesalannya akibat kelambatan proses yang menghambat perdagangan pada organisasi yang dipimpinnya ketika dia menjabat sebagai intendant du commerce pada 1751. Dengan demikian, secara etimologis, birokrasi merujuk pada organisasi pemerintah.

Banyak buku yang mengasosiasikan “birokrasi” dengan sosiolog Jerman Max Weber. Weber sendiri sebenarnya tidak pernah mendefinisikan kata birokrasi secara khusus. Weber hanya menyatakan karakteristik dari organisasi yang ideal yang disebutnya sebagai birokrasi. Karakteristik tersebut adalah:[iv] 
  1.  Fungsi-fungsi dalam organisasi dilakukan secara rutin, bukan semata-mata untuk memuaskan pimpinan;
  2. Tugas-tugas dalam organisasi terbagi dalam area kerja fungsi yang masing-masing diatur kewenangan dan sanksinya;
  3. Organisasi diatur dalam hierarki;
  4. Sumber daya organisasi harus terpisah dari sumber daya individu dalam organisasi;
  5. Kekuasaan dalam organisasi tidak dapat diwariskan, melainkan melalui profesionalitas dari anggota organisasi;
  6. Pelaksanaan fungsi-fungsi organisasi berlandaskan dokumen tertulis; dan
  7. Pengawasan internal organisasi dilakukan secara impersonal dan berlandaskan aturan.


Secara sederhana, birokrasi merupakan organisasi yang melandaskan setiap tindakannya pada aturan tertulis (rule based), memiliki pegawai yang bekerja penuh dan dikelola secara profesional, dan dibangun atas struktur yang hierarki dengan pembagian kewenangan pada setiap tingkatan. Organisasi seperti itu tidak hanya bisa dibentuk untuk sektor publik semata, tetapi bisa juga dibentuk untuk sektor privat.

Lalu mengapa istilah birokrasi menjadi sangat asosiatif dengan organisasi pemerintah? Setidaknya ada 2 alasan yang dapat saya kemukakan. Pertama, dibentuknya suatu organisasi pemerintah seringkali memiliki tujuan yang majemuk. Ini berbeda dengan organisasi privat yang hampir seluruhnya dibentuk dengan tujuan utama memperoleh keuntungan (profit) dan mampu bertahan dalam jangka panjang (sustainable). Tujuan yang majemuk ini juga seringkali bertentangan satu dengan lainnya. Sebagai contoh, Kementerian Tenaga Kerja dibentuk bukan hanya untuk menjamin tenaga kerja memperoleh upah yang layak, tetapi juga untuk menjamin bahwa upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja tersebut sesuai dengan kemampuan pemberi kerja. Dua tujuan yang saling berkontestasi tersebut harus dicapai oleh kementerian. Apabila kementerian tidak memiliki landasan hukum dalam pengambilan keputusannya, maka salah satu pihak dapat mempertanyakan legitimasi keputusan tersebut. Padahal, legitimasi adalah modal dasar pemerintah menjalankan kekuasaan yang dimilikinya.

Alasan lain adalah beragamnya pemangku kepentingan yang harus diperhatikan oleh organisasi pemerintah. Apabila pada organisasi privat pemangku kepentingan relatif lebih terbatas (karyawan, konsumen, pemilik/pemegang saham, pemerintah), pada organisasi publik bisa sangat variatif, mulai dari pegawai, pimpinan politik, legislatif, organisasi publik lain, pengguna layanan, bahkan hingga generasi mendatang. Pemerintah perlu memberikan rasa keadilan kepada para pemangku kepentingan ini. Tindakan yang berdasarkan hukum, pegawai yang direkrut dan dikelola profesional, serta pertanggungjawaban hierarkis dianggap sebagai instrumen yang ideal untuk mewujudkan keadilan tersebut. Dengan kedua alasan tersebut, maka konsep birokrasi lebih dekat dengan pemerintah dibandingkan dengan organisasi privat, karena bagi organisasi privat, model yang akan digunakan untuk organisasinya dapat saja tidak harus berkarakteristik birokrasi.

Birokrasi Weberian, sebutan bagi organisasi dengan karakter sebagaimana dinyatakan Weber, menjadi tren di dunia terutama sejak akhir 1920-an hingga awal dekade 1970-an. Hal ini sejalan dengan perkembangan dunia pada masa itu, yaitu depresi besar akhir 1920-an hingga awal 1930-an, Perang Dunia II 1939-1945, dan masa pemulihan pascaperang 1945 s.d. 1950-an. Kepastian yang ditawarkan oleh birokrasi Weberian dianggap tepat sebagai solusi pada masa krisis, karena saat itu semua pemangku kepentingan menghadapi musuh yang sama. Birokrasi dianggap mampu menciptakan hal-hal yang dibutuhkan pada masa krisis, yaitu keamanan, stabilitas, dan keadilan.[v]

Akan tetapi, pada periode 1970-an, konsep birokrasi dihujani kritik tajam. Ini terutama datang dari kelompok neoliberal. Kritik ini bukan tanpa alasan, karena memang sejak era 1920-an, pengeluaran sektor publik semakin besar, namun keberhasilan dari pengeluaran tersebut dirasakan terlalu rendah oleh masyarakat. Birokrasi dipandang menjadi serba berlebihan, yaitu terlalu hierarkis, terlalu kaku pada aturan, dan terlalu kaku dalam mengelola pegawainya. Akibatnya, organisasi pemerintah menjadi tidak inovatif dan gagal merespon kebutuhan yang semakin beragam. Ini sejatinya menjadi antitesis dari justifikasi lahirnya birokrasi itu sendiri.

Salah satu kritik yang paling tajam datang dari kelompok yang menganut teori pilihan rasional (rational choice), sebuah teori yang menggunakan pendekatan ekonomi dalam menganalisis persoalan sosial. Sebagaimana dalam ilmu ekonomi, setiap manusia dianggap mampu bertindak secara rasional, yaitu dengan memaksimalkan keuntungan yang akan diperolehnya. Kelompok penganut ini melihat bahwa birokrasi pun demikian. Namun, keuntungan yang dimaksimalkan birokrasi bukanlah keuntungan yang bersifat altruistik (kepentingan sesama) melainkan keuntungan individu dan/atau kelompok dalam birokrasi itu sendiri. Itulah mengapa meskipun anggaran sektor publik semakin besar, manfaatnya tidak terlalu dirasakan oleh publik.

Secara kebetulan, pada era tersebut sejumlah tokoh politik konservatif memenangi pemilihan umum di negara-negara besar seperti Amerika Serikat (Ronald Reagan) dan Inggris (Margaret Thatcher). Tokoh-tokoh inilah yang mengawali perubahan besar dalam sistem pemerintahan di AS dan Inggris. Privatisasi besar-besaran yang dilakukan oleh Thatcher dianggap sebagai perubahan monumental kedua dalam sistem pemerintahan Inggris sejak laporan Northcote-Travelyan pada 1854 (saya akan ceritakan soal laporan Northcote-Travelyan ini pada artikel berikutnya, atau silakan pembaca googling sendiri).  Reagan sendiri menjadikan kontrak (contracting out) sebagai instrumen yang sangat populer dalam pemerintahan.

Privatisasi dan kontrak merupakan dua instrumen utama pada era yang disebut New Public Management (NPM) ini, karena keduanya mengurangi peran aktif pegawai pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada privatisasi, peran pemerintah benar-benar diminimasi karena diambil alih oleh sektor privat. Sementara itu, pada sistem kontrak, peran pemerintah beralih dari pelaksana menjadi regulator. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa NPM berupaya mengurangi peran pemerintah dan memasukkan pengelolaan berbasis privat dalam penyelenggaraan pemerintahan. NPM ini pula yang memperkenalkan instrumen-instrumen lain ke dalam manajemen sektor publik, seperti manajemen strategis, manajemen kinerja, dan kepemimpinan wirausaha.

Lalu, apakah dengan munculnya NPM berarti mengubah birokrasi secara total? Jelas tidak. NPM adalah konsep yang lahir untuk meminimasi kelemahan-kelemahan dari birokrasi, bukan untuk menggantikan birokrasi itu sendiri. Bahkan, sebagai sebuah konsep, NPM tidak dapat menandingi komprehensifnya konsep birokrasi Weber. Oleh karenanya, dalam derajat tertentu, birokrasi Weberian masih relevan untuk dipertahankan.[vi] Pada perkembangan selanjutnya, NPM juga dikritik dan dengan didorong oleh sejumlah organisasi internasional, berkembanglah perspektif governance. Saya akan membahas soal ini di kemudian hari, namun pada prinsipnya governance mengedepankan hubungan berimbang antara pemerintah, dunia usaha, dan civil society dalam menjalankan kekuasaan negara. Dalam governance pun bukan berarti birokrasi tidak relevan, melainkan perlu dimodifikasi.

Pentingnya Memahami Birokrasi

Ringkasan sejarah tersebut mengantar pada pertanyaan penting: mengapa perlu memahami soal birokrasi? Bagi saya dan para birokrat lain mungkin jawabannya adalah karena kami bekerja dalam birokrasi. Memahami birokrasi sama dengan memahami tempat kami bekerja, sehingga kami dapat bekerja dengan lebih yakin apa yang menjadi hakikat dan tujuan organisasi kami. Akan tetapi, bagi pembaca yang bukan birokrat, memahami birokrasi menjadi penting setidaknya untuk 3 alasan, yaitu birokrasi sebagai konsumen anggaran publik, birokrasi sebagai pengelola pelayanan publik, dan birokrasi sebagai aktor kebijakan publik.

Birokrasi merupakan konsumen anggaran publik karena operasional birokrasi didanai oleh APBN/APBD yang sumber dananya adalah dari pajak-pajak yang dibayarkan oleh warga negara. Apabila kita menengok RAPBN Perubahan 2013, dapat dilihat bahwa belanja pegawai mencapai 20,13 persen dari total belanja negara dengan nilai mencapai lebih dari Rp 240 triliun. Perlu diketahui pula bahwa dalam pos belanja barang yang bernilai lebih dari Rp 190 triliun juga terdapat komponen-komponen yang akan masuk ke kantong birokrat, misalnya berupa honorarium sebagai narasumber atau panitia kegiatan. Jika pembaca acuh tidak acuh pada bagaimana birokrasi dikelola, sama saja pembaca tidak peduli pada aliran uang yang pembaca bayarkan setiap tahunnya kepada pemerintah.

Birokrasi sebagai pengelola layanan publik bisa memainkan beberapa peran, baik sebagai pemberi layanan langsung ataupun sebagai regulator pelayanan publik. Ketika birokrasi memberikan layanan langsung, seperti halnya dalam pembuatan dokumen kependudukan atau perizinan, tentu pembaca akan sangat berkepentingan mengetahui bagaimana birokrasi dikelola, karena pengelolaan yang tidak tepat akan menghasilkan pelayanan yang juga tidak tepat. Demikian pula ketika birokrasi berperan sebagai regulator. Meskipun pemberi pelayanan adalah perusahaan swasta, namun masalah dasar dalam pelayanan tersebut tetap merupakan tugas dari birokrasi.

Birokrasi sebagai aktor kebijakan publik mungkin peran yang tidak banyak diperhatikan oleh pembaca. Perlu diketahui bahwa sebagian besar undang-undang yang lahir sejak zaman Orde Baru hingga sekarang merupakan inisiatif pemerintah (eksekutif), artinya rancangannya disusun oleh birokrasi. Mayoritas undang-undang yang diinisiasi oleh DPR pun hanya yang berkaitan dengan pembentukan daerah otonom baru. Belum lagi jika kita melihat peraturan perundang-undangan di level yang lebih rendah. Apabila pembaca sebagai masyarakat tidak peduli pada birokrasi, maka dapat dikatakan bahwa pembaca juga tidak peduli pada biaya yang dikeluarkan, cara penyusunan, dan kualitas dari peraturan dan keputusan tersebut yang jumlahnya ribuan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sejatinya birokrasilah yang memberi bentuk pada negara ini. Hal ini seringkali tidak disadari oleh publik maupun politisi yang menjadi menteri atau anggota DPR karena mereka tidak mau mengurus persoalan teknis. Padahal, kebijakan-kebijakan ini mungkin secara dampak lebih nyata dibandingkan undang-undang yang mereka buat.[vii]

Simpulan

Birokrasi adalah sistem dilahirkan oleh peradaban manusia sejak awal. Meskipun sebagai konsep baru berkembang pada abad ke-19, namun birokrasi dalam praktik sudah berusia ribuan tahun. Dibentuknya birokrasi adalah untuk mencapai tujuan dibentuknya pemerintahan negara. Birokrasi hadir dalam pemerintahan di negara manapun di dunia, dengan modifikasi yang beragam sesuai dengan perkembangan perspektif NPM dan governance yang berkembang di negara masing-masing.

Memahami birokrasi bagi publik bukan sekadar menambah pengetahuan semata, melainkan untuk memanifestasi kedaulatannya sebagai warga negara dalam negara demokrasi. Dengan memahami birokrasi, publik akan dapat bersikap untuk mengontrol apabila birokrasi berjalan tidak sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya.

Lena Karmel Lodge, 12 September 2013




[i] Farazmand, A 2009, “Bureaucracy and the administrative system of ancient world-state Persian Empire: implications for modern administration”, in Farazmand, A (ed.) 2009, Bureaucracy and administration, CRC, Boca Raton, pp. 20-21.
[ii] Subramaniam, V 2009, “Indian legacy of bureaucracy and administration”, in Farazman, A (ed.) 2009, Bureaucracy and administration, CRC, Boca Raton, pp. 54-58.
[iii] Jing, Y 2010, “History and context of public administration in Mainland China”, in Berman, E (ed.) 2010, Public administration in East Asia: Mainland China, Japan, South Korea, and Taiwan, CRC, Boca Raton, pp. 34-35.
[iv] Fry, BR 1989, Mastering public administration: from Max Weber to Dwight Waldo, Chatham House, New Jersey, p. 31.
[v] Osborne, D & Gaebler, T 1993, Reinventing government: how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector, Penguin Book, New York, pp. 12-15.
[vi] Olsen, JP 2005, “Maybe it’s time to rediscover bureaucracy”, Journal of Public Administration Research and Theory, Vol. 16, No. 1, pp 17-19.
[vii] Page, EC 2012, Policy without politicians: bureaucratic influence in comparative perspective, Oxford University Press, Oxford, pp. 1-2.

2 komentar:

unggulcenter mengatakan...

salah satu yg kritikny tajam mngkn ini http://www.paecon.net/PAEReview/issue33/Drechsler33.htm

Unknown mengatakan...

Terima kasih mas. Emang banyak kritik sejenis, bahkan dari para eks proponents NPM seperti Chris Hood. Sebagian besar akhirnya setuju dengan Schick bahwa untuk NPM bisa berhasil, birokrasi Weberian harus sudah terbangun, seperti yang dilakukan NZ. Bahkan kegagalan di AS juga dikatakan karena fondasi birokrasinya belum solid.