Saya sudah menulis beberapa artikel di blog
ini dan pengunjung juga sudah lebih dari 2.000 orang, namun saya belum bisa
merasakan adanya perubahan seperti yang saya harapkan. Tujuan saya menuliskan
pemikiran saya dalam blog sebenarnya ada tiga, yaitu menunjukkan perspektif
saya kepada pembaca, meningkatkan wawasan pembaca atas persoalan birokrasi, dan
menggugah peran serta pembaca dalam upaya reformasi birokrasi. Tujuan pertama
saya yakin sudah tercapai karena itu otomatis terjadi setiap kali saya
mengunggah tulisan baru. Akan tetapi, tujuan kedua dan ketiga mungkin nisbi dan sangat rendah ketercapaiannya. Hal ini mungkin disebabkan kelemahan saya
dalam memahami pemahaman pembaca atas isu birokrasi. Saya seringkali mengasumsikan
pembaca sudah paham konsep-konsep yang digunakan dalam tulisan saya. Akibat hal
ini, bisa jadi pembaca salah memahami pandangan saya atau mungkin saja langsung
beralih ke laman lain karena tidak paham bahasa yang saya gunakan.
Sejak awal, blog ini bukan saya desain
sebagai panduan, makanya dulu saya beri nama "alfie berbagi cerita". Akan tetapi, dengan melihat kecenderungan yang terjadi, saya
ingin mencoba memberikan beberapa artikel dasar tentang administrasi publik,
sebuah ilmu yang baru saya pelajari sepuluh tahun terakhir ini. Pada
dasarnya, dari ilmu tersebutlah pemikiran dan gagasan yang saya tuangkan dalam
blog ini terlahir. Oleh karenanya, saya ingin berbagi dasar-dasar dari ilmu
tersebut yang memungkinkan saya dan pembaca memiliki frekuensi yang sama dalam
memahami perspektif saya (tentu saja pembaca tetap dapat membaca artikel saya
dengan tujuan masing-masing). Beberapa topik yang akan saya unggah adalah
tentang birokrasi, pemerintahan daerah, manajemen sumber daya manusia aparatur,
pelayanan publik, dan reformasi birokrasi.
Di artikel pertama ini saya akan bicara
tentang konsep besar di ilmu administrasi publik, yaitu birokrasi. Oleh karena
ini adalah sebuah konsep yang dalam pergaulan umum maupun keilmuan di Indonesia
mengalami perluasan makna, maka tulisan ini perlu saya batasi pada sejarah
singkat dan pentingnya memahami birokrasi.
Birokrasi:
Sebuah Perjalanan Panjang
Birokrasi sebagai sebuah konsep dalam ilmu
pengetahuan boleh jadi tidak setua istilah-istilah dalam astronomi, geografi,
atau biologi. Akan tetapi, apabila menilik sejarah, konsep ini bisa dikatakan
sama tuanya dengan peradaban manusia. Di Timur Tengah, tepatnya di Persia
(meliputi Iran dan sekitarnya saat ini), tiga dinasti yang lahir sejak tahun
6000 SM, yaitu Achaemenid, Parsi, dan Sasanid, memiliki tiga model pemerintahan
yang unik dan terbangun rapi yang memberi pengaruh pada pemerintahan di wilayah
lain di seluruh dunia. Achaemenid memiliki pengaruh kuat pada model
pemerintahan Romawi dan Kekaisaran Usmawi (Ottoman). Pemerintahan Parsi yang
desentralistis juga mengilhami model pemerintahan di Eropa, sementara Sasanid
yang kalah dari pasukan Arab muslim pada tahun 651 juga mewarnai model
pemerintahan awal khilafah.[i]
Di Asia daratan, cikal bakal birokrasi
sudah dimulai sejak abad ke-5 sebelum masehi ketika Dinasti Nanda membentuk
pemerintahan kerajaan di lembah Gangga, yang kemudian melahirkan dinasti
Maurya.[ii]
Pada waktu yang berdekatan (sekitar abad ke-2 sebelum masehi), kaisar Shih
Huang Ti di Tiongkok juga membentuk sistem pemerintahan baru yang lebih
kompleks dan sentralistis yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah Tiongkok. Sistem ini bertahan
hingga berabad-abad kemudian karena keberhasilannya dalam mengelola keuangan,
pekerjaan umum, dan bantuan sosial kepada masyarakat.[iii]
Kemiripan dari kedua sistem pemerintahan tersebut adalah adanya sentralisasi
kekuasaan, pegawai yang khusus dibayar untuk bekerja pada pemerintah, dan
rekrutmen pegawai yang bukan berdasarkan hubungan darah melainkan melalui
serangkaian tes kecakapan dan loyalitas kepada pemimpin.
Lalu apa sebenarnya birokrasi sampai saya
membawa contoh-contoh tersebut? Sebenarnya tidak ada definisi yang cukup baik
untuk menggambarkan apa yang dimaksud birokrasi. Istilah ini lahir dari seorang
ekonom Perancis, Jacques Claude Marie Vincent de Gournay (1712-1759), yang
menggabungkan kata kratia (kekuasaan)
dari bahasa Yunani yang sering digunakan untuk demokrasi atau aristokrasi
dengan kata bureau (meja) dari bahasa
Perancis. Pada awalnya, Gournay
menggunakan istilah ini untuk menggambarkan kekesalannya akibat kelambatan
proses yang menghambat perdagangan pada organisasi yang dipimpinnya ketika dia
menjabat sebagai intendant du commerce
pada 1751. Dengan demikian, secara etimologis, birokrasi merujuk pada organisasi pemerintah.
Banyak buku yang mengasosiasikan
“birokrasi” dengan sosiolog Jerman Max Weber. Weber sendiri sebenarnya tidak
pernah mendefinisikan kata birokrasi secara khusus. Weber hanya menyatakan
karakteristik dari organisasi yang ideal yang disebutnya sebagai birokrasi.
Karakteristik tersebut adalah:[iv]
- Fungsi-fungsi dalam organisasi dilakukan secara rutin, bukan semata-mata untuk memuaskan pimpinan;
- Tugas-tugas dalam organisasi terbagi dalam area kerja fungsi yang masing-masing diatur kewenangan dan sanksinya;
- Organisasi diatur dalam hierarki;
- Sumber daya organisasi harus terpisah dari sumber daya individu dalam organisasi;
- Kekuasaan dalam organisasi tidak dapat diwariskan, melainkan melalui profesionalitas dari anggota organisasi;
- Pelaksanaan fungsi-fungsi organisasi berlandaskan dokumen tertulis; dan
- Pengawasan internal organisasi dilakukan secara impersonal dan berlandaskan aturan.
Secara sederhana, birokrasi merupakan organisasi
yang melandaskan setiap tindakannya pada aturan tertulis (rule based), memiliki pegawai yang bekerja penuh dan dikelola
secara profesional, dan dibangun atas struktur yang hierarki dengan pembagian
kewenangan pada setiap tingkatan. Organisasi seperti itu tidak hanya bisa dibentuk
untuk sektor publik semata, tetapi bisa juga dibentuk untuk sektor privat.
Lalu mengapa istilah birokrasi menjadi
sangat asosiatif dengan organisasi pemerintah? Setidaknya ada 2 alasan yang
dapat saya kemukakan. Pertama, dibentuknya suatu organisasi pemerintah
seringkali memiliki tujuan yang majemuk. Ini berbeda dengan organisasi privat
yang hampir seluruhnya dibentuk dengan tujuan utama memperoleh keuntungan (profit) dan mampu bertahan dalam jangka
panjang (sustainable). Tujuan yang
majemuk ini juga seringkali bertentangan satu dengan lainnya. Sebagai contoh, Kementerian
Tenaga Kerja dibentuk bukan hanya untuk menjamin tenaga kerja memperoleh upah
yang layak, tetapi juga untuk menjamin bahwa upah yang dibayarkan kepada tenaga
kerja tersebut sesuai dengan kemampuan pemberi kerja. Dua tujuan yang saling
berkontestasi tersebut harus dicapai oleh kementerian. Apabila kementerian
tidak memiliki landasan hukum dalam pengambilan keputusannya, maka salah satu
pihak dapat mempertanyakan legitimasi keputusan tersebut. Padahal, legitimasi
adalah modal dasar pemerintah menjalankan kekuasaan yang dimilikinya.
Alasan lain adalah beragamnya pemangku
kepentingan yang harus diperhatikan oleh organisasi pemerintah. Apabila pada
organisasi privat pemangku kepentingan relatif lebih terbatas (karyawan,
konsumen, pemilik/pemegang saham, pemerintah), pada organisasi publik bisa
sangat variatif, mulai dari pegawai, pimpinan politik, legislatif, organisasi
publik lain, pengguna layanan, bahkan hingga generasi mendatang. Pemerintah
perlu memberikan rasa keadilan kepada para pemangku kepentingan ini. Tindakan
yang berdasarkan hukum, pegawai yang direkrut dan dikelola profesional, serta
pertanggungjawaban hierarkis dianggap sebagai instrumen yang ideal untuk
mewujudkan keadilan tersebut. Dengan kedua alasan tersebut, maka konsep birokrasi lebih dekat dengan pemerintah dibandingkan dengan organisasi privat, karena bagi organisasi privat, model yang akan digunakan untuk organisasinya dapat saja tidak harus berkarakteristik birokrasi.
Birokrasi Weberian, sebutan bagi organisasi
dengan karakter sebagaimana dinyatakan Weber, menjadi tren di dunia terutama
sejak akhir 1920-an hingga awal dekade 1970-an. Hal ini sejalan dengan
perkembangan dunia pada masa itu, yaitu depresi besar akhir 1920-an hingga awal
1930-an, Perang Dunia II 1939-1945, dan masa pemulihan pascaperang 1945 s.d. 1950-an.
Kepastian yang ditawarkan oleh birokrasi Weberian dianggap tepat sebagai solusi
pada masa krisis, karena saat itu semua pemangku kepentingan menghadapi musuh
yang sama. Birokrasi dianggap mampu menciptakan hal-hal yang dibutuhkan pada
masa krisis, yaitu keamanan, stabilitas, dan keadilan.[v]
Akan tetapi, pada periode 1970-an, konsep
birokrasi dihujani kritik tajam. Ini terutama datang dari kelompok neoliberal.
Kritik ini bukan tanpa alasan, karena memang sejak era 1920-an, pengeluaran
sektor publik semakin besar, namun keberhasilan dari pengeluaran tersebut
dirasakan terlalu rendah oleh masyarakat. Birokrasi dipandang menjadi serba
berlebihan, yaitu terlalu hierarkis, terlalu kaku pada aturan, dan terlalu kaku
dalam mengelola pegawainya. Akibatnya, organisasi pemerintah menjadi tidak inovatif dan gagal merespon kebutuhan yang semakin beragam. Ini sejatinya menjadi antitesis dari justifikasi lahirnya birokrasi itu sendiri.
Salah satu kritik yang paling tajam datang
dari kelompok yang menganut teori pilihan rasional (rational choice), sebuah teori yang menggunakan pendekatan ekonomi
dalam menganalisis persoalan sosial. Sebagaimana dalam ilmu ekonomi, setiap
manusia dianggap mampu bertindak secara rasional, yaitu dengan memaksimalkan
keuntungan yang akan diperolehnya. Kelompok penganut ini melihat bahwa
birokrasi pun demikian. Namun, keuntungan yang dimaksimalkan birokrasi bukanlah
keuntungan yang bersifat altruistik (kepentingan sesama) melainkan keuntungan
individu dan/atau kelompok dalam birokrasi itu sendiri. Itulah mengapa meskipun
anggaran sektor publik semakin besar, manfaatnya tidak terlalu dirasakan oleh
publik.
Secara kebetulan, pada era tersebut
sejumlah tokoh politik konservatif memenangi pemilihan umum di negara-negara
besar seperti Amerika Serikat (Ronald Reagan) dan Inggris (Margaret Thatcher). Tokoh-tokoh
inilah yang mengawali perubahan besar dalam sistem pemerintahan di AS dan
Inggris. Privatisasi besar-besaran yang dilakukan oleh Thatcher dianggap
sebagai perubahan monumental kedua dalam sistem pemerintahan Inggris sejak
laporan Northcote-Travelyan pada 1854 (saya akan ceritakan soal laporan Northcote-Travelyan
ini pada artikel berikutnya, atau silakan pembaca googling sendiri). Reagan sendiri menjadikan kontrak (contracting out) sebagai instrumen yang
sangat populer dalam pemerintahan.
Privatisasi dan kontrak merupakan dua
instrumen utama pada era yang disebut New Public Management (NPM) ini, karena
keduanya mengurangi peran aktif pegawai pemerintah dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Pada privatisasi, peran pemerintah benar-benar diminimasi karena diambil
alih oleh sektor privat. Sementara itu, pada sistem kontrak, peran pemerintah beralih
dari pelaksana menjadi regulator. Dengan demikian, secara sederhana dapat
dikatakan bahwa NPM berupaya mengurangi peran pemerintah dan memasukkan
pengelolaan berbasis privat dalam penyelenggaraan pemerintahan. NPM ini pula
yang memperkenalkan instrumen-instrumen lain ke dalam manajemen sektor publik,
seperti manajemen strategis, manajemen kinerja, dan kepemimpinan wirausaha.
Lalu, apakah dengan munculnya NPM berarti
mengubah birokrasi secara total? Jelas tidak. NPM adalah konsep yang lahir
untuk meminimasi kelemahan-kelemahan dari birokrasi, bukan untuk menggantikan
birokrasi itu sendiri. Bahkan, sebagai sebuah konsep, NPM tidak dapat
menandingi komprehensifnya konsep birokrasi Weber. Oleh karenanya, dalam
derajat tertentu, birokrasi Weberian masih relevan untuk dipertahankan.[vi]
Pada perkembangan selanjutnya, NPM juga dikritik dan dengan didorong oleh
sejumlah organisasi internasional, berkembanglah perspektif governance. Saya akan membahas soal ini
di kemudian hari, namun pada prinsipnya governance
mengedepankan hubungan berimbang antara pemerintah, dunia usaha, dan civil society dalam menjalankan
kekuasaan negara. Dalam governance
pun bukan berarti birokrasi tidak relevan, melainkan perlu dimodifikasi.
Pentingnya
Memahami Birokrasi
Ringkasan sejarah tersebut mengantar pada
pertanyaan penting: mengapa perlu memahami soal birokrasi? Bagi saya dan para
birokrat lain mungkin jawabannya adalah karena kami bekerja dalam birokrasi.
Memahami birokrasi sama dengan memahami tempat kami bekerja, sehingga kami
dapat bekerja dengan lebih yakin apa yang menjadi hakikat dan tujuan organisasi
kami. Akan tetapi, bagi pembaca yang bukan birokrat, memahami birokrasi menjadi
penting setidaknya untuk 3 alasan, yaitu birokrasi sebagai konsumen anggaran
publik, birokrasi sebagai pengelola pelayanan publik, dan birokrasi sebagai
aktor kebijakan publik.
Birokrasi merupakan konsumen anggaran
publik karena operasional birokrasi didanai oleh APBN/APBD yang sumber dananya
adalah dari pajak-pajak yang dibayarkan oleh warga negara. Apabila kita
menengok RAPBN Perubahan 2013, dapat dilihat bahwa belanja pegawai mencapai
20,13 persen dari total belanja negara dengan nilai mencapai lebih dari Rp 240
triliun. Perlu diketahui pula bahwa dalam pos belanja barang yang bernilai
lebih dari Rp 190 triliun juga terdapat komponen-komponen yang akan masuk ke
kantong birokrat, misalnya berupa honorarium sebagai narasumber atau panitia
kegiatan. Jika pembaca acuh tidak acuh pada bagaimana birokrasi dikelola, sama
saja pembaca tidak peduli pada aliran uang yang pembaca bayarkan setiap
tahunnya kepada pemerintah.
Birokrasi sebagai pengelola layanan publik
bisa memainkan beberapa peran, baik sebagai pemberi layanan langsung ataupun
sebagai regulator pelayanan publik. Ketika birokrasi memberikan layanan
langsung, seperti halnya dalam pembuatan dokumen kependudukan atau perizinan,
tentu pembaca akan sangat berkepentingan mengetahui bagaimana birokrasi
dikelola, karena pengelolaan yang tidak tepat akan menghasilkan pelayanan yang
juga tidak tepat. Demikian pula ketika birokrasi berperan sebagai regulator.
Meskipun pemberi pelayanan adalah perusahaan swasta, namun masalah dasar dalam
pelayanan tersebut tetap merupakan tugas dari birokrasi.
Birokrasi sebagai aktor kebijakan publik
mungkin peran yang tidak banyak diperhatikan oleh pembaca. Perlu diketahui
bahwa sebagian besar undang-undang yang lahir sejak zaman Orde Baru hingga
sekarang merupakan inisiatif pemerintah (eksekutif), artinya rancangannya
disusun oleh birokrasi. Mayoritas undang-undang yang diinisiasi oleh DPR pun
hanya yang berkaitan dengan pembentukan daerah otonom baru. Belum lagi jika
kita melihat peraturan perundang-undangan di level yang lebih rendah. Apabila
pembaca sebagai masyarakat tidak peduli pada birokrasi, maka dapat dikatakan
bahwa pembaca juga tidak peduli pada biaya yang dikeluarkan, cara penyusunan,
dan kualitas dari peraturan dan keputusan tersebut yang jumlahnya ribuan. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa sejatinya birokrasilah yang memberi bentuk
pada negara ini. Hal ini seringkali tidak disadari oleh publik maupun politisi
yang menjadi menteri atau anggota DPR karena mereka tidak mau mengurus
persoalan teknis. Padahal, kebijakan-kebijakan ini mungkin secara dampak lebih
nyata dibandingkan undang-undang yang mereka buat.[vii]
Simpulan
Birokrasi adalah sistem dilahirkan oleh
peradaban manusia sejak awal. Meskipun sebagai konsep baru berkembang pada abad
ke-19, namun birokrasi dalam praktik sudah berusia ribuan tahun. Dibentuknya
birokrasi adalah untuk mencapai tujuan dibentuknya pemerintahan negara. Birokrasi
hadir dalam pemerintahan di negara manapun di dunia, dengan modifikasi yang
beragam sesuai dengan perkembangan perspektif NPM dan governance yang berkembang di negara masing-masing.
Memahami birokrasi bagi publik bukan
sekadar menambah pengetahuan semata, melainkan untuk memanifestasi
kedaulatannya sebagai warga negara dalam negara demokrasi. Dengan memahami
birokrasi, publik akan dapat bersikap untuk mengontrol apabila birokrasi
berjalan tidak sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya.
[i] Farazmand, A 2009,
“Bureaucracy and the administrative system of ancient world-state Persian
Empire: implications for modern administration”, in Farazmand, A (ed.) 2009, Bureaucracy and administration, CRC,
Boca Raton, pp. 20-21.
[ii] Subramaniam, V 2009, “Indian
legacy of bureaucracy and administration”, in Farazman, A (ed.) 2009, Bureaucracy and administration, CRC,
Boca Raton, pp. 54-58.
[iii] Jing, Y 2010, “History
and context of public administration in Mainland China”, in Berman, E (ed.)
2010, Public administration in East Asia:
Mainland China, Japan, South Korea, and Taiwan, CRC, Boca Raton, pp. 34-35.
[iv] Fry, BR 1989, Mastering public administration: from Max
Weber to Dwight Waldo, Chatham House, New Jersey, p. 31.
[v] Osborne, D &
Gaebler, T 1993, Reinventing government:
how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector, Penguin
Book, New York, pp. 12-15.
[vi] Olsen, JP 2005, “Maybe
it’s time to rediscover bureaucracy”, Journal
of Public Administration Research and
Theory, Vol. 16, No. 1, pp 17-19.
[vii] Page, EC 2012, Policy without politicians: bureaucratic
influence in comparative perspective, Oxford University Press, Oxford, pp.
1-2.
2 komentar:
salah satu yg kritikny tajam mngkn ini http://www.paecon.net/PAEReview/issue33/Drechsler33.htm
Terima kasih mas. Emang banyak kritik sejenis, bahkan dari para eks proponents NPM seperti Chris Hood. Sebagian besar akhirnya setuju dengan Schick bahwa untuk NPM bisa berhasil, birokrasi Weberian harus sudah terbangun, seperti yang dilakukan NZ. Bahkan kegagalan di AS juga dikatakan karena fondasi birokrasinya belum solid.
Posting Komentar