Belakangan ini wacana moratorium rekrutmen CPNS semakin berkembang dan menggurita. Dikatakan bahwa moratorium CPNS merupakan solusi untuk mengurangi beban anggaran pemerintah. Dikatakan bahwa moratorium CPNS merupakan jalan untuk mengoptimalkan PNS yang sudah ada. Dikatakan bahwa moratorium CPNS merupakan cara untuk menjadikan organisasi pemerintah lebih ramping. Masih banyak lagi pendapat lainnya yang pada intinya mendukung moratorium ini.
Dapat dipahami bahwa masyarakat telah semakin cerdas dalam mengawasi berjalannya pemerintahan. Masyarakat tentu sadar bahwa komposisi anggaran pemerintah, terutama pemerintah daerah, saat ini lebih berat pada belanja langsung (rutin) daripada belanja pembangunan. Pada sejumlah daerah bahkan saya dengar dari pemda-nya memiliki komposisi belaja langsung dengan pembangunan mencapai 80:20 persen. Dengan kondisi seperti ini, tentu sulit bagi masyarakat berharap pemerintahnya akan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka melalui program-program pembangunan. Hal inilah yang selalu saya katakan sebagai pemerintah yang berfungsi sebagai lapangan pekerjaan, bukan pemerintah sebagai agen pembangunan layaknya negara-bangsa berideologi sosialisme atau pemerintah sebagai pengawas pembangunan layaknya negara-bangsa berideologi liberal-kapitalisme. Ditambah dengan sejumlah pemberitaan negatif mengenai korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di sejumlah daerah, opini publik yang semakin negatif menjadi semakin beralasan.
Akan tetapi, upaya mengaitkan secara langsung antara inefisiensi anggaran dan penyalahgunaan kekuasaan dengan moratorium rekrutmen aparatur sipil negara menjadi terlihat sangat dangkal. Apalagi, jika kita mencoba melihat persoalan ini dalam pemikiran sistem (systems thinking).
Masih kurang optimalnya manajemen SDM aparatur sipil negara di negara ini bukan sekadar persoalan rekrutmen CPNS atau besaran jumlah aparatur. Manajemen SDM merupakan sebuah sirkuit yang hubungan antarunitnya terjalin dengan kompleksitas tinggi, dengan rangkaian dari rekrutmen, penempatan, pengembangan, hingga kesejahteraan (remunerasi dan pensiun) yang saling terkoneksi. Benar bahwa dalam pemikiran sistem, menemukan pengungkit (leverage) yang tepat pada satu titik akan mampu mengurai permasalahan di titik-titik lainnya. Akan tetapi, kesalahan dalam mengintervensi suatu titik dapat berarti menambah persoalan pada titik-titik lainnya.
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 telah menetapkan komitmennya untuk melakukan penataan pada sejumlah area perubahan, diantaranya pada penataan sistem manajemen SDM aparatur. Dalam program penataan sistem manajemen SDM aparatur, telah diatur bahwa pemerintah wajib menyelesaikan 21 kegiatan selama periode 2010-2014, dengan rincian sebagai berikut:
Penyempurnaan pedoman Standar Kompetensi Jabatan
Penyusunan Perencanaan Pegawai (Formasi) secara Nasional
Penyusunan Pedoman Assessment Kompetensi Individu Pegawai
Penyempurnaan Kebijakan Analisis Kebutuhan dan Pengembangan Sistem Diklat
Penyusunan Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja
Penyusunan Pedoman Penyusunan Pola Karir (sistem penempatan, promosi, mutasi)
Penyusunan Pedoman Pengembangan Database SDM Aparatur Negara
Penyusunan Pedoman Evaluasi Jabatan
Penyusunan Pedoman Analisis Jabatan
Penyusunan Pedoman Pengendalian Kepegawaian/Audit Kepegawaian
Penyusunan Pedoman Pengendalian Diklat
Penyusunan Kebijakan tentang Sistem Remunerasi SDM Aparatur Negara
Penyempurnaan PP tentang Pengadaan PNS
Penyusunan PP tentang Pegawai Tidak Tetap (Pegawai Pemerintah Non-PNS)
Penyempurnaan PP tentang Diklat Jabatan PNS
Penyempurnaan PP tentang Penilaian Kinerja Pegawai
Penyempurnaan PP tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural
Penyempurnaan PP tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS
Penyempurnaan PP tentang Disiplin PNS
Pengembangan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Secara Terpusat
Penyusunan Kebijakan dan Penganggaran untuk Exit Policy
Dari 21 kegiatan tersebut, terlihat bahwa pemerintah pada dasarnya memahami bahwa penataan SDM aparatur sipil negara bukan merupakan persoalan yang dapat dipecahkan secara parsial melainkan komprehensif. Akan tetapi, patut diakui bahwa baru sebagian saja dari kegiatan-kegiatan tersebut yang telah tuntas dilaksanakan. Terhadap hal inilah kiranya masyarakat memfokuskan perhatian, agar penataan SDM aparatur sipil negara dapat berjalan sesuai dengan target.
Memaksakan moratorium rekrutmen PNS tanpa menyadari kompleksitas ini menurut saya sebuah keluguan berpikir. Terlebih lagi, pihak-pihak yang mengusulkan moratorium ini pada awalnya menyampaikan agar moratorium dilakukan selama 3-4 bulan. Ini sangat menggelikan bagi pihak-pihak yang menyadari bahwa proses rekrutmen CPNS berlangsung dengan periode satu tahun, sehingga moratorium 3-4 bulan bukan hanya tidak memiliki dasar pemikiran yang kuat, tetapi juga ide yang sangat tidak ideal. Memang pada akhirnya (seperti pada Kompas, 14 Juli 2011), disampaikan bahwa moratorium dilakukan selama 12 bulan, akan tetapi pertanyaannya kembali adalah apakah usulan ini telah melalui kajian yang matang?
Jika moratorium dilakukan untuk mengefisienkan anggaran pemerintah, maka alasan ini menjadi absurd, karena efisien/tidaknya anggaran akibat moratorium menjadi sangat bergantung pada komposisi SDM aparatur yang ada pada setiap instansi. Jika pada sebuah instansi SDM aparaturnya banyak yang memasuki usia pensiun pada tahun 2012, tentu moratorium dapat mengefisienkan anggaran belanja langsung mereka. Ini karena para pensiun akan menerima tunjangan pensiun yang jauh lebih kecil dari yang biasa dibayarkan dan tidak akan ada pula pembayaran gaji 80 persen dan tunjangan untuk para CPNS plus biaya seleksinya. Akan tetapi, seberapa besarkah efektivitasnya? Hal ini dapat dikonfrontasi dengan alasan kedua: mengoptimalkan SDM aparatur yang ada. Bagaimana jika SDM aparatur yang tersisa telah berada pada golongan/kepangkatan yang tinggi, sementara mereka membutuhkan tenaga muda dalam pelayanan publik? Tentu instansi yang menyadari hal ini akan merekrut tenaga tidak tetap, meskipun pemerintah sudah membatasi hal ini. Apakah ini kemudian menjadikan anggaran efisien? Tidak, karena pembatasan penggunaan tenaga tidak tetap ini membuat instansi (terutama pemda) mencari jalan dengan membiayai penggajian mereka dari anggaran lainnya, sehingga efisiensi yang diharapkan terjadi ternyata hanya sekadar fatamorgana. Pengoptimalan SDM aparatur yang ada pun setali tiga uang dengan isu efisiensi ini.
Bagaimana jika alasannya adalah untuk mereduksi besaran organisasi pemerintah supaya menjadi ramping? Sepintas memang argumentasi ini masuk akal. Tapi saya yakin, semua orang yang pernah mempelajari manajemen sumber daya manusia tentu tahu bahwa rekrutmen pegawai baru dan masuknya pegawai lama ke masa pensiun dianalogikan seperti pipa air. Tenaga baru yang masuk akan berinteraksi dengan tenaga lama yang akan pensiun, sehingga terjadi transfer pengetahuan di dalam pipa tersebut. Jika kedua ujung pipa disumbat, interaksi diantara mereka menjadi terlalu lama dan jenuh. Jika ujung pipa tempat air keluar disumbat, maka tekanan (persaingan) dalam pipa menjadi sangat besar dan tidak baik. Jika ujung pipa tempat air masuk disumbat, maka tidak akan terjadi transfer pengetahuan antara pegawai baru dan pegawai senior. Oleh sebab itu, isu perampingan ukuran (downsizing) bukan lagi isu yang utama untuk dikedepankan, melainkan isu penepatan ukuran (rightsizing).
Lho, bukannya bagus jika pegawai baru tidak dikotori oleh pemikiran seniornya yang kurang kompeten dan mungkin melakukan penyelewengan? Pemikiran ini tentu muncul seiring argumentasi saya tadi. Akan tetapi, bagaimanapun, pengetahuan dalam organisasi adalah kekayaan yang tidak akan dimiliki oleh orang lain di luar organisasi. Jika pengetahuan ini tidak dikuasai oleh pegawai baru, maka mereka dengan ide-ide baru mereka tidak akan mampu melakukan perubahan dalam organisasi tersebut.
Berangkat dari pemikiran ini, saya berpikir moratorium bukanlah jalan keluar yang dicari. Mungkin saja moratorium menjadi sebuah delay yang memang dimungkinkan dalam pemikiran sistem, akan tetapi, ketika kita memutuskan untuk melakukan delay, kita harus benar-benar yakin bahwa delay tersebut tidak akan mengakibatkan masalah di kemudian hari. Jika moratorium dilakukan setahun lalu tahun depannya formasi diberikan dua kali lipat, tentu hal ini menjadi sia-sia belaka. Moratorium harus disertai dengan pemikiran yang jernih untuk mengawal dan menekan agar proses penataan sistem manajemen SDM aparatur berjalan sesuai target dan menemui hasil yang optimal.
Di atas genteng sebuah rumah di Pamulang, 14 Juli 2011
4 komentar:
Good thinking Fie, cuman masalahnya apakah sistem penataan SDM aparatur yg termaktub dalam roadmap reformasi birokrasi bisa dilaksanakan oleh BKN, BKD atau bagian kepegawaian di masing2 kementrian atau SKPD. Sinkronisasi ini yg mungkin harus dicapai, kemenpan sebagai pengatur/pembuat kebijakan, dan unit teknis diatas harus sejalan.
Kalo ngga bubarin aja tuh BKN, hehehe. DP3 juga harus dirombak euy...hehehehe
selamat siang kak alfie,kak..saya mau tanya,kalo kebijakan moratorium ini benar2 direalisasikan, hal apakah yang akan terkena dampak pertama kali akibat moratorium ini?terima kasih
@my life my journey:
Yg akan terpengaruh oleh moratorium ini tentunya pertama sekali adalah anggaran, sebagaimana disasar banyak pihak. Dgn moratorium, anggaran utk seleksi,remunerasi CPNS,dan pra-jabatan tentu menurun. Akan tetapi, perlu dikaji lebih lanjut apakah penurunan ini signifikan dibanding dengan dampak lanjutannya. Misalkan saja tenaga fungsional tertentu di suatu instansi yg keberadaannya signifikan, seperti dokter,pengawas gunung api, atau lainnya. Apakah jika terjadi moratorium tdk mengganggu fungsi dr instansi tersebut pada sektor2 signifikan td. Jika ternyata berpengaruh, tentu masyarakat sendiri yg akan merugi. Di sisi internal instansi sendiri,seperti sudah sy sampaikan di post, moratorium tentu akan berdampak pada kelancaran mutasi pegawai. Jika suatu jabatan tertentu kosong, akan sulit bagi pegawai yg lebih muda mengisinya krn belum cukupnya golongan/kepangkatan yang bersangkutan. Kalau ini terjadi di level eselon II ke atas, open recruitment sudah terbuka lebar seluruh indonesia, tp utk eselon III ke bawah masih sulit. Inilah kiranya dampak jangka pendek dari kebijakan moratorium.
@wisdom money management:
Pertanyaannya bagi saya bukan apakah bisa atau tidak, karena memang harus bisa. Itu sudah menjadi kewajiban pihak2 yang mas sebutkan tadi. Dalam negara dengan sistem kepegawaian yang bukan unified personnel system ataupun separated personnel system seperti Indonesia, peran pemerintah pusat memang jadi sedikit rancu. Indonesia dengan integrated personnel system-nya, yg merupakan gabungan kebaikan kedua sistem SDM aparatur sebelumnya, memposisikan pemerintah pusat melalui Menpan sbg pengatur. Sayangnya, hingga saat ini masih cukup jamak terjadi instansi pusat maupun daerah yg kebijakannya tdk sejalan dengan yg telah digariskan menpan. Ini bisa terjadi karena memang beberapa peraturan pendukung belum selesai dikerjakan, sehingga terjadi interpretasi mandiri. Diharapkan dengan telah terbitnya Road Map Reformasi Birokrasi, apa-apa yg menjadi kewajiban pemerintah pusat ini dapat benar-benar terpenuhi hingga seluruh instansi baik di pusat maupun daerah dpt mengikuti ketentuan yg ada. Utk itu, dibutuhkan perhatian masyarakat dlm mengawasi proses ini, karena sejatinya persoalan aparatur negara tidak kalah penting dibandingkan korupsi politik yg marak terjadi belakangan.
Posting Komentar