Minggu, 10 Agustus 2008

Kampung Asimilasi Gandul, Perbaikan Kecil dari Sebuah Borok Besar...

Tulisan ini terinspirasi dari karya tulis gue bersama dua teman gue, Sarah Choirinnisa dan Endah Dwi Novianti, yang tahun lalu gue ikutkan dalam LKTM (Lomba Karya Tulis Mahasiswa) Bidang IPS. Guys, maaf ya tulisannya gue masukin ke blog gue. Gue cuma pengin sharing pendapat gue dengan teman-teman yang lain.

Kata orang, berikan seseorang kepercayaan agar kita tahu orang tersebut bisa dipercaya atau tidak. Hal inilah kiranya yang menjadi dasar berpikir adanya Lembaga Pemasyarakatan Terbuka (selanjutnya lapas terbuka). Idealnya, sebuah lapas terbuka ditujukan bagi seluruh narapidana yang menjalani masa pidananya dengan baik. Mereka akan menjalani ini di masa akhir pidananya sebagai persiapan kembali ke masyarakat. Hal ini pula yang menyebabkan organisasi tersebut bernama lembaga pemasyarakatan, karena fungsi utama yang dijalankan adalah memasyarakatkan kembali seorang narapidana. Penyebutan penjara yang selama ini dikenal masyarakat luas sebenarnya hanya salah satu tujuan dari adanya lapas, yaitu pembalasan (retribution) atas hal yang telah dilakukan oleh narapidana. Dalam kerangka besar pemasyarakatan, keberadaan lapas sebenarnya ditujukan pada tiga hal, pembalasan, efek jera bagi masyarakat lain (deterrence), dan pengembalian narapidana ke masyarakat (rehabilitation). Karena tujuan akhirnya itu, mengapa rangkaian kegiatan ini disebut pemasyarakatan.

Gue tidak akan bicara bagaimana fungsi penjara jika hukuman yang didapat adalah pidana mati. Tentu namanya bukan pemasyarakatan lagi, tapi pengarwahan. Hahaha... yah, lagipula kalau bicara hukuman mati kan membutuhkan perdebatan sendiri yang nggak gue fasilitasi dari tulisan ini.

Untuk mencapai ketiga tujuan pemasyarakatan tersebut, ada dua model lapas yang bisa dikembangkan. Model pertama adalah dengan single-purpose prison. Pada model ini, pemerintah membangun lapas yang memiliki tujuan masing-masing (retribution, deterrence, dan rehabilitation) yang dipisahkan atas jenis lapas maximum security, medium security, dan minimum security. Model ini telah banyak diterapkan, terutama di negara-negara maju. Indonesia juga punya yang seperti ini, tapi hanya di Nusakambangan. Ini adalah model ideal dari lapas, karena memisahkan narapidana yang baru masuk (yang biasanya masih mengalami guncangan mental) dengan narapidana yang telah beberapa lama di lapas (yang diasumsikan telah lebih stabil namun mungkin belum sepenuhnya jera) dengan narapidana yang akan bersiap kembali ke masyarakat (yang diasumsikan telah jera). Kalau tidak demikian, bisa-bisa terjadi yang selama ini kita sebut penjara sebagai sekolah untuk meningkatkan kemampun kriminal, atau yang istilah kriminologinya adalah prisonisasi.

Model kedua, adalah dengan membangun lapas yang menjalankan ketiga jenis keamanan sebagai ejawantah dari fungsi-fungsinya. Jadi, di lapas tersebut ada kriteria maximum, medium, dan minimum sekaligus. Hal ini dilakukan di Indonesia. Memang, jika luasan lapas yang ada memadai, model ini bisa juga menjadi efektif. Akan tetapi, jika kapasitas lapas tidak memadai, prisonisasi bukan saja potensi, namun menjadi keniscayaan.

Logikanya adalah seperti ini. Situasi ekonomi di masyarakat semakin mengkhawatirkan dan mencekik leher. Hal ini mengakibatkan emosi masyarakat menjadi tidak terkendali. Emosi yang tidak terkendali memudahkan orang untuk melakukan tindak pidana, baik itu mencuri, berniaga secara ilegal (barang bajakan), atau bahkan membunuh. Hal ini mengakibatkan jumlah penghuni lapas meningkat. Nah, kalau orang-orang yang tadinya hanya mencuri karena terpaksa bergabung dengan mereka yang telah “mahir” mencuri dan dengan mereka yang telah “mahir” membunuh (sementara petugasnya kurang memberi pembekalan), ketika mereka keluar dari lapas, mereka akan juga menjadi “mahir”. Iya kalau mereka memiliki bekal keterampilan dan modal untuk berusaha. Kalau nggak? Makin banyaklah mereka yang sengsara dan melakukan tindak kejahatan. Rantai setannya akan terus berlanjut seperti ini.

Kalau lapas bisa menjalankan fungsinya dengan baik, bukan tidak mungkin narapidana memiliki kesempatan mendapatkan keterampilan yang lebih (setelah jera dengan tindakannya) dibandingkan masyarakat di luar lapas. Setelah mereka keluar dari lapas, keterampilan ini bisa dijadikan modal menjadi wirausaha atau bekerja di tempat lain. Ini kan justru menjadikan lapas satu napas dengan pembangunan ekonomi masyarakat.

Persoalan kedua adalah apakah masyarakat mau menerima mantan narapidana ke lingkungannya? Stigma negatif mengenai narapidana telah membuat masyarakat takut untuk menerima kehadiran mereka. Padahal, bukan sepenuhnya salah narapidana jika mereka tidak dapat menjadi manusia yang lebih baik setelah berada di lapas. Bisa saja itu terjadi karena sistem lapasnya yang tidak berjalan baik. Akhirnya, ketika mereka kembali ke masyarakat, mereka malah teralienasi dan berpotensi melakukan tindak kejahatan lagi.

Salah satu cara yang kemudian ditempuh oleh Indonesia untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mendirikan lapas terbuka. Konsep lapas terbuka ditujukan bagi narapidana non-kasus narkotika dan korupsi yang telah menjalani minimal setengah masa pidananya dengan catatan kelakukan baik selama di lapas sebelumnya. Lapas ini juga dijadikan tempat bagi mereka yang mengajukan Pembebasan Bersyarat (PB) namun belum siap bergabung sepenuhnya dengan masyarakat. Di Indonesia, konsep ini berawal dari ide Menteri Kehakiman dan HAM (saat ini namanya Menteri Hukum dan HAM) Yusril Ihza Mahendra pada tahun 2003 lewat Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M.03.PR.07.03 Tahun 2003 tanggal 16 April 2003 perihal Pembentukan Lapas Terbuka Pasaman, Jakarta, Kendal, Nusakambangan, Mataram, dan Waikabubak.

Sesuai namanya, lapas terbuka benar-benar berkonsep terbuka. Hal ini membuat narapidana dapat berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Konsep inilah (ditambah dengan stigma penjara dan narapidana yang buruk) yang membuat banyak komunitas menolak adanya lapas terbuka di daerahnya. Misalnya saja di Pasaman Barat. Lapas terbuka Pasaman berdiri sejak 2004 dan memiliki luas lahan 20 hektar. Lapas ini memiliki 9 kamar dengan kapasitas 100 narapidana. Sayangnya, prasarana lapas tersebut tidak didukung dengan kondisi jalan, listrik, air, dan anggaran yang memadai. Lokasi Lapas Terbuka Pasaman juga sangat jauh dari permukiman umum. Hal ini membuat interaksi antara narapidana dengan masyarakat sulit terjadi. Padahal interaksi dengan masyarakat merupakan bagian penting dari tahap asimilasi (tahap penggabungan kembali narapidana dengan masyarakat). Narapidana yang menghuni Lapas Pasaman pun hanya berjumlah 9 orang pada bulan Mei 2007. Lapas Terbuka Mataram, yang terletak di Lombok Tengah, pun hanya dihuni oleh 5 narapidana saja. Hal ini disebabkan seleksi narapidana yang dapat menerima pembinaan di lapas-lapas terbuka tersebut sangat ketat.

Gue dan dua teman gue kemudian mencoba untuk melakukan pengamatan, bagaimana dengan Lapas Terbuka Jakarta? Sebagai informasi, Lapas Terbuka Jakarta terletak di daerah Gandul, Jakarta Selatan, tepatnya di kompleks Pusdiklat Depkumham. Untuk dapat masuk ke lapas ini, kita harus masuk dulu ke kompleks tersebut. Dari pintu depan kompleks, kira-kira kita perlu berjalan 500 meter untuk bisa sampai ke depan lapas.

F:\Lapas untuk Blog\Welcome to Kampung Si Dul.JPG

Jalan masuk lapas sendiri nggak ada gerbangnya. Bahkan nggak ada pintu sama sekali. Cuma ada pos jaga yang isinya paling dua-tiga orang.

F:\Lapas untuk Blog\Pos Jaga Lapas.JPG

Pemandangan dari lapas itu benar-benar asri. Lapas dikelilingi oleh sungai dan kebun milik warga sekitar. Lapas ini benar-benar mirip sebuah penginapan kecil lah. Kesan tersebut semakin menguat kalau Anda masuk lagi semakin ke dalam. Setelah pos jaga tersebut, terdapat sebuah kantin yang di seberangnya terdapat seperangkat alat band.

F:\Lapas untuk Blog\Alat-alat band di dekat kantin.JPGF:\Lapas untuk Blog\Alat-alat band di dekat kantin.JPG

Nggak cuma sampai di situ, teman-teman pasti bakal langsung lupa kalau itu adalah lapas begitu melihat deretan kamar yang ternyata adalah kamar-kamar yang diperuntukkan narapidananya. Di depan kamar-kamar tersebut, ada lapangan serba guna, bisa untuk main bulu tangkis, basket, atau futsal abal-abal lah. Buat teman-teman mahasiswa, tentu yang seperti ini menjadi idaman kalau mencari tempat kos. Hehehe...

F:\Lapas untuk Blog\Kamar-kamar lapas.JPG

Tampilan memang menjadi salah satu elemen penting dalam sebuah lapas terbuka. Kesan bahwa tempat tersebut bukanlah lapas akan membuat narapidana kembali terbiasa dengan situasi di rumah. Nah, situasi inilah yang menjadi titik vital dari lapas terbuka. Untuk dapat mencapai tujuannya, lapas terbuka seharusnya ditempatkan di lokasi yang tidak jauh dari permukiman warga. Untuk kasus lapas terbuka Jakarta (mereka menamainya Kampung Si Dul alias Kampung Asimilasi Gandul), lokasi inilah yang menjadi titik lemah. Oke bahwa secara jarak, lapas tidak jauh dari Jalan Raya Gandul. Bahkan lapas terletak di kompleks Pusdiklat yang artinya terdapat rumah-rumah warga. Akan tetapi, letak lapas di kompleks tersebut adalah di paling belakang. Artinya, orang dari luar (Jalan Raya Gandul) nggak akan tahu bahwa di sana ada lapas. Terus, kalaupun dibilang bahwa letaknya di kompleks warga, maka warga yang mana? Warga Pusdiklat adalah mereka yang berada di lingkungan Depkumham, yaitu dari Akademi Ilmu Pemasyarakatan dan Akademi Keimigrasian. Mereka ini kan pemahaman hukumnya tinggi. Lagian lapas kan pekerjaannya Depkumham. Tentu penerimaan mereka terhadap narapidana akan tinggi dibandingkan dengan warga biasa. Hal inilah kiranya yang menjadi titik lemah dari Kampung Si Dul.

Tapi, dari dinamika yang terjadi di dalamnya, dan mengingat bahwa Kampung Si Dul hanya bagian kecil dari sistem pemasyarakatan Indonesia yang luar biasa besar, gue bisa bilang bahwa inilah best practice pemasyarakatan tahap asimilasi. Kenapa? Karena para petugas di lapas ini telah mampu bersikap sebagaimana mestinya. Mereka sadar bahwa narapidana yang ada di lapas ini adalah narapidana pilihan, narapidana terbaik, sehingga narapidana ini harus diperlakukan sebagaimana memperlakukan masyarakat pada umumnya, tentu dengan syarat yang berlaku. Hal ini benar-benar menunjukkan profesionalisme para petugas pemasyarakatan di sini.

Secara singkat, inilah yang gue bilang dinamika yang mendukung proses pemasyarakatan di Kampung Si Dul:

1. Narapidana diperbolehkan keluar-masuk lapas hanya dengan meminta izin petugas. Jika mereka keluar lapas lebih dari satu jam dalam satu hari, mereka tinggal mengatakan akan ke mana (ke mal misalnya), pulang jam berapa, keperluan apa. Tidak jarang, untuk keperluan seperti ini petugas bahkan meminjamkan kendaraan (motor) mereka. Hal ini akan membangun kepercayaan.

2. Narapidana juga diberikan CMK (cuti mengunjungi keluarga) dengan prosedur yang mudah. Jika CMK di lapas umum harus diurus hingga Kanwil, maka di lapas terbuka Kepala Lapas bisa langsung memberikan izin. CMK di lapas terbuka Jakarta dikenal dengan nama asimilasi. Waktu maksimalnya adalah 2 (dua) hari. Narapidana dapat dijemput oleh keluarga atau diantar oleh petugas sampai rumahnya. Hal ini akan meningkatkan interaksi narapidana dengan keluarga, elemen pertama yang ditemuinya di masyarakat.

3. Keluarga dari narapidana juga diizinkan untuk berkunjung dan menginap maksimal 1 hari. Terdapat 1 kamar yang terutama diperuntukkan bagi istri narapidana. Biasanya, istri narapidana yang tinggal bukan di Jakarta yang mengunjungi suaminya di lapas terbuka dapat memanfaatkan kamar ini untuk kebutuhan biologisnya. Hal ini dimaksudkan agar narapidana mampu memahami bahwa kebutuhan biologis harus disalurkan dengan benar dan juga menanamkan kepercayaan dalam diri narapidana terhadap lapas.

4. Narapidana juga diperbolehkan bekerja di luar lapas (jika memiliki pekerjaan), akan tetapi mereka harus pulang pada sore hari. Pihak lapas tidak menghalangi hal ini, karena justru dengan telah memiliki pekerjaan, narapidana tidak lagi mengalami kesulitan berinteraksi dengan masyarakat. Lapas, selepas pekerjaan, hanya berfungsi sebagai motivator dan pembekal bagi mereka.

5. Bagi yang tidak memiliki pekerjaan, lapas terbuka memberikan pembekalan/pelatihan di beberapa bidang: tanaman hias, perikanan, pertanian, peternakan, laundry, dan kebersihan lingkungan. Hal ini akan menjadikan narapidana terampil dalam hal-hal tersebut.

F:\Lapas untuk Blog\Salah satu bentuk pelatihan yang diberikan, perikanan.JPG

6. Selain keterampilan, lapas terbuka juga memberikan siraman rohani secara rutin kepada penghuninya. Warga binaan lapas diajak untuk mengaji bersama secara rutin. Untuk shalat Jumat, biasanya dilakukan bersama di masjid kompleks Depkumham.

7. Selain itu, untuk dinamika internal, di Kampung Si Dul juga terjadi sebuah tradisi unik. Di sana terdapat 4 buah kolam ikan. Sebuah kolam utama yang terletak di bawah kantin menjadi tempat untuk menceburkan diri bagi narapidana ataupun petugas yang baru masuk ke lapas terbuka Jakarta. Hal ini berlaku bagi siapa saja, bahkan Kepala Lapas Terbuka yang baru bekerja di sana pada 2006 pun harus rela menceburkan dirinya ke kolam tersebut.

F:\Lapas untuk Blog\Nyemplung ke Kolam.JPG

8. Selain itu, hubungan antara petugas dengan warga binaan juga sangat cair. Mereka terbiasa berinteraksi tanpa formalitas yang tinggi. Alat band yang terdapat di dekat kantin biasanya dimainkan bersama jika ada kegiatan kumpul-kumpul (biasanya sebulan sekali). Mereka juga sering berolahraga bersama.

F:\Lapas untuk Blog\Kepala Lapas main pingpong bareng narapidana.JPG

Gue nggak bisa bilang lapas ini udah optimal. Untuk kasus lapas terbuka Jakarta, ada beberapa hal yang menurut gue bisa jadi pertimbangan untuk dilakukan:

1. Kerja sama dengan industri kecil atau lembaga keuangan. Pelatihan yang diberikan nggak akan ada artinya kalau setelah bergabung ke masyarakat si mantan warga binaan nggak punya modal dan/atau nggak diterima masyarakat. Kerja sama dengan industri kecil akan membuat mereka memiliki akses untuk masuk ke dunia usaha begitu lepas dari lapas. Atau lembaga keuangan perlu dikerjasamakan dengan pemerintah sebagai pengelola lapas agar mau memberikan pinjaman modal kepada warga binaan. Pilihan ketiga adalah kombinasi. Artinya mantan warga binaan dikumpulkan untuk membentuk industri kecil bersama, dengan bantuan modal dari lembaga keuangan.

2. Berikan porsi interaksi dengan warga sekitar yang lebih besar. Masalah lokasi sudah sulit untuk ditangani, karena lapas sudah terbangun. Akan tetapi, soal interaksi dengan warga menjadi vital. Ini bisa ditangani dengan memperkenankan warga binaan untuk berusaha di sekitar hunian warga, dengan mendirikan warung misalnya.

Khusus untuk lapas terbuka Jakarta, gue pikir emang hanya itu yang perlu dikembangkan. Tapi, sekali lagi, ini hanya satu bagian dari kerangka besar sistem pemasyarakatan Indonesia. Perbaikan di Lapas Terbuka Jakarta nggak akan menjadi hal yang signifikan kalau perbaikan sistem pemasyarakatan dan sistem-sistem terkait nggak dilakukan oleh pemerintah. Pemasyarakatan bukan sistem yang berdiri sendiri. Masalah penuhnya penjara sampai overcapacity, prisonisasi, dan praktik remisi yang tidak adil tidak bisa hanya ditangani oleh pemasyarakatan. Pemasyarakatan hanya hilir dari persoalan-persoalan hulu, yaitu sistem pidana, sistem kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan. Seperti banjir kiriman, kalau di hulu nggak baik, apapun yang dilakukan di hilir nggak akan berefek.

Gue, dengan kapasitas gue, cuma bisa memberi masukan dalam hal ini. Ayo teman-teman, kalau kalian punya ide yang lain, kita bagi dan kita sebarkan ke masyarakat, untuk Indonesia yang lebih baik. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar: