Pendahuluan
Terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi
2015-2019 memberikan indikasi kuat perubahan arah kebijakan dan pendekatan
reformasi birokrasi nasional. Pada masa inisiasi reformasi birokrasi
(2005-2009) dan tahap pertama program reformasi birokrasi nasional (2010-2014),
arah kebijakan reformasi birokrasi adalah pembentukan infrastruktur birokrasi
nasional yang ditandai dengan terbitnya sejumlah undang-undang (UU) fundamental
aparatur negara beserta peraturan pelaksanaannya, diantaranya UU Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dan UU Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pendekatan yang digunakan oleh
pengelola reformasi birokrasi nasional, yang dipimpin oleh Wakil Presiden
selaku Ketua Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) dan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi selaku Ketua Tim
Reformasi Birokrasi Nasional (TRBN) adalah mendorong dan memastikan
kementerian/lembaga/pemerintah daerah melaksanakan serangkaian peraturan perundang-undangan
tersebut. Reformasi birokrasi 2015-2019, dengan berangkat dari Nawa Cita dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, memiliki arah kebijakan
penyempurnaan sistem manajemen dan pelaporan kinerja, penerapan e-government untuk mendukung proses
bisnis pemerintahan dan pembangunan, penerapan open government, restrukturisasi kelembagaan birokrasi pemerintah,
penguatan kapasitas pengelolaan reformasi birokrasi nasional, penerapan
manajemen aparatur sipil negara, dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Arah kebijakan ini ditempuh untuk menciptakan birokrasi yang berbasis kinerja (performance-based bureaucracy). Berbeda
dengan program reformasi birokrasi nasional 2010-2014 yang menggunakan
pendekatan pembangunan fundamental birokrasi, program reformasi birokrasi
nasional 2015-2019 akan dilakukan dengan pendekatan kontekstual.
Artikel ini berupaya menjustifikasi pendekatan kontekstual yang
digunakan dalam program reformasi birokrasi nasional 2015-2019, dengan
menggunakan metode penelaahan literature study. Dalam pembahasan tersebut, artikel ini akan diorganisasi dengan
pemaparan kerangka pikir kontekstualisasi reformasi birokrasi, termasuk
rasionalitas dan signifikansinya. Pada bagian selanjutnya, artikel akan
memaparkan secara singkat isu-isu strategis reformasi birokrasi 2015-2019,
dilanjutkan dengan menganalisis strategi kontekstualisasi reformasi birokrasi
yang dikaitkan dengan kebutuhan penguatan fundamental reformasi birokrasi yang
telah dimulai pada tahap sebelumnya.
Reformasi Birokrasi
Kontekstual
Reformasi sektor publik telah menjadi tren pemerintahan di seluruh
dunia sejak 1980-an dan menjadi industri sejak Osborne dan Gaebler menerbitkan
buku mereka Reinventing Government
(1992). Buku tersebut menandai masa kejayaan paradigma New Public Management (NPM) dalam ilmu dan praktik administrasi
publik di Amerika Serikat pada khususnya dan dunia pada umumnya. Organisasi
keuangan internasional seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF)
bersama lembaga-lembaga donor dari negara maju beramai-ramai mempromosikan
metode NPM seperti privatisasi, pengurangan ukuran pemerintah (downsizing), dan otonomisasi
kelembagaan. Dengan kekuatan pendanaan yang mereka miliki, lembaga-lembaga
donor tersebut memastikan bahwa metode-metode tersebut menjadi prasyarat dari
dana bantuan yang mereka berikan kepada negara-negara berkembang (Polidano
& Hulme 1999). Ketika NPM semakin redup sebagai sebuah paradigma global
sejak awal 2000-an, yang ditandai kritik dari sejumlah pakar (misalnya Hood
2000), lembaga-lembaga donor kembali mempromosikan paradigma lain yang
berkembang saat itu, yaitu good
governance. Berbeda dengan NPM yang berangkat dari pandangan kelompok
liberal, good governance didorong
oleh perspektif demokrasi dan hak asasi manusia.
Akan tetapi, good governance
pun tidak luput dari kritik, terutama karena paradigma ini lahir dari Bank
Dunia saat lembaga tersebut mengevaluasi pelaksanaan Structural Adjustment Programmes (SAPs) di kawasan Sahara Afrika
pada akhir 1980-an. Saat itu, Bank Dunia dengan standard negara-negara Barat
menilai bahwa SAPs gagal karena negara-negara di kawasan Sahara Afrika tidak
memiliki good governance layaknya
negara-negara Barat (Demmers, et al. 2004). Artinya, sama halnya dengan NPM,
paradigma good governance juga
berangkat dari nilai-nilai Barat yang ditanamkan di negara-negara non-Barat.
Dijalankannya NPM dan good governance
di negara-negara non-Barat (yang umumnya negara berkembang) adalah lebih karena
bagian dari bantuan finansial yang mereka terima dari lembaga donor.
Penyelenggara negara-negara ini tidak memiliki rasa memiliki (sense of ownership) atas ide reformasi
sektor publik yang dilakukan. Pada akhirnya, reformasi cenderung berujung pada
kegagalan (Aberbach dan Christensen 2014).
Berangkat dari latar sejarah tersebut, kontekstualisasi dalam
reformasi sektor publik, termasuk reformasi birokrasi, menjadi sangat penting. Instrumen
dan teknik yang terbukti berhasil saat digunakan oleh sebuah entitas atau
negara bisa menjadi tidak berguna jika diterapkan tanpa kontekstualisasi di
entitas atau negara lain. Hal ini terjadi karena salah satu atau kombinasi dari
dua hal: capaian awal dari masing-masing entitas atau organisasi dan budaya
yang berkembang di entitas atau organisasi tersebut. Pada tingkat dunia,
negara-negara memiliki sejarah dan capaian yang berbeda-beda. Negara yang baru
pulih dari konflik tidak dapat dibandingkan secara sederhana dengan negara yang
telah mencapai tingkat kemapanan sosial-ekonomi yang tinggi, dan sebaliknya.
Demikian pula pada tingkat organisasi, kementerian/lembaga/pemerintah daerah
yang telah memiliki capaian tinggi dan sumber daya yang memadai akan cenderung
lebih maju dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, dan sebaliknya.
Budaya juga aspek dari kontekstualisasi yang penting dalam strategi
reformasi birokrasi. Budaya mewakili proses pembelajaran bersama dalam
menghadapi masalah di masa lalu (Neo & Chen 2007), sekaligus kecenderungan
pola yang akan dilakukan untuk masalah di masa mendatang. Reformasi birokrasi
sebagai cara memecahkan permasalahan dalam birokrasi akan menemukan
relevansinya apabila memerhatikan aspek budaya dalam desain dan implementasinya
(Im 2014). Memerhatikan aspek budaya bukan berarti meninggalkan instrumen
reformasi yang tidak cocok (incompatible)
dengan budaya di suatu organisasi, melainkan menyesuaikan instrumen tersebut
dan secara bersamaan juga membentuk budaya baru dalam organisasi sehingga
organisasi mampu menjadi organisasi pembelajar (learning organisation). Dengan demikian, instrumen yang ada tidak
semata-mata diadopsi tetapi juga diadaptasikan dengan karakteristik organisasi,
sementara organisasi sendiri senantiasa berupaya mempelajari situasi yang
dihadapinya. Sebagaimana dikatakan Neo dan Chen (2007), organisasi publik yang
pembelajar akan menghasilkan pemerintahan yang dinamis, yaitu yang memiliki karakteristik
berpikir antisipatif (think ahead),
reflektif (think again) dan inovatif
(think across). Pembentukan karakter
ini menjadi sama pentingnya, atau bahkan lebih penting, dari penggunaan
instrumen-instrumen keras reformasi birokrasi seperti penataan peraturan
perundang-undangan, kelembagaan, tatalaksana, sumber daya manusia aparatur,
pengawasan, akuntabilitas, dan pelayanan publik.
Isu Strategis Reformasi
Birokrasi Nasional
Reformasi birokrasi pada dasarnya adalah upaya pemerintah untuk
meningkatkan kepercayaan publik kepada pemerintah. Menurut Vigoda-Gadot dan Mizrahi
(2014), inefisiensi dan ketidakadilan dalam pelayanan publik merupakan sumber
utama ketidakpercayaan publik kepada pemerintah. Reformasi birokrasi sebagai
upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, akuntabel, efektif, efisien,
dan memberikan pelayanan berkualitas juga memiliki tujuan membangun kepercayaan
publik kepada pemerintah. Sebaliknya, kepercayaan publik juga dapat memberikan
manfaat bagi kepemerintahan, antara lain mengurangi biaya transaksi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, meningkatkan legitimasi kebijakan yang diambil
pemerintah, dan meningkatkan modal sosial utamanya dalam hubungan antara
pemerintah dan masyarakat (Dwiyanto 2010).
Terlepas dari sejumlah kekurangan yang dimiliki program reformasi
birokrasi nasional 2010-2014, antara lain belum tercapainya sebagian besar
target program sebagaimana terlihat pada Tabel 1, kepercayaan publik kepada
pemerintah cenderung meningkat, misalnya seperti ditunjukkan Edelman Trust
Barometer, dari 47 persen pada 2013 menjadi 65 persen pada 2015 (Edelman 2012
& Edelman 2015). Naiknya kepercayaan publik ini selain ditopang oleh
harapan baru yang dibawa pemerintahan baru juga karena upaya berkelanjutan yang
telah dilakukan pemerintah sejak dimulainya program reformasi birokrasi
nasional.
Tabel 1.
Target dan Capaian Program
Reformasi Birokrasi 2010-2014
Target
|
Indikator
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
Target 2014
|
|
Birokrasi yang bersih dan bebas
KKN
|
Indeks persepsi korupsi
|
2,8
|
2,8
|
3,0
|
32
|
32
|
34
|
50
|
|
Opini BPK
|
Pusat
|
42,17
|
56
|
63
|
77
|
74
|
76
|
100
|
|
Daerah
|
2,73
|
3
|
9
|
16
|
27
|
35
|
60
|
||
Peningkatan kualitas pelayanan
publik
|
Integritas Pelayanan Publik
|
Pusat
|
6,64
|
6,2
|
7,1
|
6,86
|
7,37
|
7,22
|
8,0
|
Daerah
|
6,46
|
5,3
|
6,0
|
6,3
|
6,82
|
n.a
|
8,0
|
||
Peringkat kemudahan berusaha
|
122
|
121
|
129
|
116
|
120
|
114
|
75
|
||
Peningkatan kapasitas dan akuntabilitas
birokrasi
|
Indeks efektivitas pemerintahan
|
-0,29
|
-0,20
|
-0,25
|
-0,29
|
n/a
|
n/a
|
0,5
|
|
Instansi pemerintah yang akuntabel
|
Pusat
|
47,40
|
63,3
|
82,9
|
95,1
|
94,05
|
98,76
|
100
|
|
Provinsi
|
3,8
|
31
|
63,3
|
75,8
|
84,85
|
87,88
|
80
|
||
Kab/Kota
|
5,1
|
8,8
|
12,8
|
24,4
|
30,3
|
44,90
|
60
|
Sumber: Permenpanrb Nomor 11 Tahun 2015
Meskipun secara umum kepercayaan publik mulai terestorasi, masih
cukup banyak isu strategis yang perlu dikelola dan diperbaiki dalam reformasi
birokrasi periode 2015-2019, antara lain komitmen pimpinan instansi di tingkat
pusat maupun daerah dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi; peran Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP); partisipasi publik dan transparansi dalam
penyelenggaraan pemerintahan; penerapan e-government;
inefisiensi penggunaan anggaran; dan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik (Permenpanrb 11/2015). Isu-isu strategis ini, bersama sejumlah isu
strategis lainnya, membutuhkan pendekatan yang khusus dalam pemecahannya. Hal
ini disebabkan sebagian isu tersebut telah ada sejak masa program reformasi
birokrasi 2010-2014 dan belum berhasil diselesaikan, sementara sebagian lain
adalah isu yang muncul seiring dengan tantangan perubahan teknologi dan
lingkungan birokrasi.
Strategi Kontekstualisasi
Reformasi Birokrasi
Fokus pelaksanaan reformasi birokrasi 2010-2014 adalah pada instansi
pemerintah pusat (kementerian/lembaga) dan masih sangat sedikit menyentuh
pemerintah daerah. Pada program reformasi birokrasi 2015-2019, prioritas perlu
lebih diarahkan kepada pemerintah daerah mengingat sebagian besar instansi
pemerintah pusat telah memiliki kerangka institusional yang relatif baik untuk
melanjutkan reformasi birokrasi. Selain itu, reformasi pada birokrasi
pemerintah daerah juga sejalan dengan gagasan dalam Nawa Cita dan RPJMN
2015-2019 yaitu peningkatan kualitas pelayanan publik sebagai bagian dari
pemulihan kepercayaan publik kepada pemerintah. Sejak gelombang besar
desentralisasi dimulai pada tahun 2001, sebagian besar urusan pelayanan publik
sehari-hari diatur dan diurus oleh aparatur pemerintah daerah. Oleh sebab itu,
relevansi prioritasi reformasi birokrasi pada pemerintah daerah menjadi semakin
tinggi.
Heterogenitas karakter Daerah yang jauh lebih tinggi dari instansi
pemerintah pusat menjadikan penyeragaman aktivitas reformasi birokrasi mustahil
dilakukan. Heterogenitas ini disebabkan perbedaan budaya lokal, lingkungan politik lokal, budaya organisasi,
dan sumber daya. Dua faktor pertama cenderung tidak dihadapi oleh
kementerian/lembaga. Meskipun demikian, kontekstualisasi reformasi birokrasi
juga perlu diterapkan kepada kementerian/lembaga karena pada dasarnya setiap
organisasi memiliki budaya, sumber daya, dan kondisi awal (baseline/starting point) yang berbeda-beda.
Kontekstualisasi juga jalin
berkelindan dengan pengarusutamaan reformasi birokrasi 2015-2019, utamanya
terkait peningkatan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan dan
perluasan agenda reformasi birokrasi. Partisipasi masyarakat membutuhkan
perubahan pendekatan pemerintah menjadi
fasilitatif, komunikatif, dan terbuka pada kepentingan yang beraneka
ragam dari masyarakat. Dibutuhkan keluwesan memahami budaya lokal sekaligus
revolusi mental aparatur untuk melakukan perubahan ini. Studi yang dilakukan
Kadir (2014) di Halmahera Utara menunjukkan bahwa pendekatan kultural dengan
memahami dan memanfaatkan nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal dapat
mendukung keberhasilan reformasi birokrasi pemerintah daerah. Sementara itu,
revolusi mental yang digagas Presiden Joko Widodo pada prinsipnya sejalan
dengan pemikiran sistem (systems thinking)
yang mendorong perubahan pada mental
model untuk menghasilkan perubahan yang berkelanjutan (Senge 1990). Lebih
lanjut, Scharmer (2009) menyatakan bahwa untuk benar-benar memecahkan
persoalan, dibutuhkan kemampuan memahami, menyelami, dan memecahkan
kompleksitas yang ada dalam masalah tersebut dengan pendekatan yang tepat.
Solusi yang reaktif, seragam untuk setiap masalah tanpa memerhatikan keunikan
masing-masing masalah akan cenderung berujung pada solusi sementara dan justru
menjadi masalah yang lebih besar dalam jangka panjang.
Untuk mengembangkan reformasi birokrasi yang kontekstual, kerangka
kerja dynamic governance yang digagas
Neo dan Chen (2007) sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1 dapat digunakan
sebagai kerangka strategi kontekstualisasi reformasi birokrasi. Program dan
kegiatan reformasi birokrasi sebagaimana dimuat dalam Road Map Reformasi
Birokrasi 2015-2019 adalah upaya untuk menciptakan sumber daya manusia aparatur
yang andal (able people) dan
kepemerintahan yang responsif (agile
processes). Namun, untuk mewujudkan pemerintahan kelas dunia yang bersih,
akuntabel, efektif, efisien, dan memberikan pelayanan publik berkualitas,
dibutuhkan budaya organisasi pembelajar yang mampu berpikir antisipatif,
reflektif, dan inovatif dengan berbasis pada budaya dan nilai-nilai luhur yang
ada pada lingkungan internal dan eksternal birokrasi.
Sumber: Neo dan Chen (2007)
Gambar 1.
Kerangka Kerja Dynamic Governance
Pemikiran antisipatif memiliki makna setiap aparatur negara (baik
individual maupun kolektif sebagai organisasi) harus mampu berpikir jangka
panjang dengan mempertimbangkan ketidakpastian yang ada di masa depan.
Pemikiran reflektif berarti aparatur negara perlu mempertimbangkan prinsip
kehati-hatian (prudential) dalam
pembuatan kebijakan. Sementara itu, pemikiran inovatif berarti aparatur negara
harus mampu berpikir dalam skala luas, termasuk potensi dampak kebijakan yang
akan disusun terhadap berbagai segi kehidupan masyarakat. Selain itu, pemikiran
inovatif juga berarti aparatur negara harus mampu berpikir di luar kebiasaan (out of the box) dalam menemukan solusi
atas permasalahan yang dihadapi. Di Singapura, pengembangan kerangka berpikir inovatif (think across) terepresentasi dalam kebijakan pembinaan administrative service (seperti JPT di Indonesia). Para administrative officers tidak memiliki instansi induk, tetapi mereka secara periodik ditugaskan pada instansi-instansi yang berbeda, sehingga kecenderungan untuk berpikir silo dan egosektoral pun relatif rendah. Selain itu, mereka juga diberikan pelatihan termasuk magang di perusahaan swasta dan BUMN, sehingga kemampuan mereka memecahkan masalah tidak terjebak kepada cara-cara konvensional sektor publik.
Kemampuan berpikir antisipatif, reflektif, dan inovatif bukan
dibangun semata-mata melalui pelatihan, melainkan juga lewat pembangunan proses
bisnis kepemerintahan –baik penyusunan kebijakan, pembangunan daerah, maupun
penyelenggaraan pelayanan publik– yang menjamin aparatur negara berpikir
antisipatif, reflektif, dan inovatif dalam setiap keputusan dan tindakan
administrasi pemerintahannya. Secara filosofis, proses bisnis seperti ini telah
terwadahi oleh UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Namun,
tentu setiap instansi perlu menyusun lebih lanjut prsoes bisnisnya
masing-masing untuk menjamin kerangka kerja reformasi birokrasi kontekstual
berbasis dynamic governance ini dapat
berjalan baik. Perubahan proses bisnis ini pasti menghadapi tantangan baik
berupa waktu penyesuaian ataupun resistensi dari sebagian SDM aparatur, namun
dalam jangka menengah hingga jangka panjang, perubahan ini akan mengubah model
mental keseluruhan aparatur negara, sehingga apapun perubahan lingkungan yang
terjadi sebagai tantangan birokrasi, baik itu lingkungan politik, sosial,
ekonomi, teknologi, ataupun masalah internal birokrasi, dapat disiapkan
solusinya sejak dini sesuai kebutuhan masing-masing organisasi. Hasil dari
pemikiran antisipatif, reflektif, dan inovatif yang berbasis budaya ini sangat
mungkin berbeda-beda antarinstansi pemerintah, tetapi hasil tersebut juga
adalah yang terbaik bagi instansi dan pada akhirnya bagi Indonesia.
Tantangan terbesar bagi pendekatan reformasi birokrasi kontekstual
adalah memastikan keselarasan arah pembangunan nasional pada umumnya dan
pembangunan birokrasi pada khususnya. Namun demikian, secara legal-formal,
tantangan ini telah diantisipasi dengan ditetapkannya 8 (delapan) area
perubahan dan hasil-hasil yang diharapkan dicapai oleh setiap instansi
pelaksana reformasi birokrasi tingkat mikro. Menjadi tugas Kementerian PANRB
sebagai penggerak utama reformasi birokrasi sekaligus bagian dari pelaksana
reformasi birokrasi tingkat makro dan meso untuk memastikan arah kebijakan
kementerian/lembaga/pemerintah daerah konsisten dengan area perubahan ini,
sekaligus dalam waktu bersamaan mendorong kontekstualisasi reformasi birokrasi
sesuai kebutuhan masing-masing instansi.
Penutup
Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019 telah memberikan pedoman dan
warna baru dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Serangkaian
penyempurnaan sistem yang merupakan kelanjutan dari reformasi birokrasi periode
sebelumnya dan prioritasi pada reformasi birokrasi pemerintah daerah telah
terakomodasi dalam Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019. Dokumen hidup (living document) ini juga menjamin
setiap instansi pelaksana reformasi birokrasi tingkat mikro
(kementerian/lembaga/pemerintah daerah) untuk melaksanakan reformasi birokrasi
sesuai kebutuhan masing-masing. Heterogenitas karakteristik dan kemajuan
reformasi birokrasi di masing-masing instansi, terutama pemerintah daerah,
merupakan faktor utama kebutuhan kontekstualisasi reformasi birokrasi ini.
Dalam rangka mendorong kontekstualisasi reformasi birokrasi, setiap
instansi perlu mengembangkan kepemerintahan yang dinamis berbasis nilai-nilai
dan budaya. Kerangka kerja dynamic
governance yang berlandaskan prinsip pemikiran
antisipatif, reflektif, dan inovatif (think
ahead, think again, think across) menjadi salah satu
kerangka pikir dan kerja yang dapat digunakan instansi pemerintah. Dengan
kontekstualisasi reformasi birokrasi, pemerintah daerah tidak hanya menjadi
lebih siap secara kelembagaan untuk memecahkan persoalan yang sedang
dihadapinya, namun juga memiliki modal mental yang tepat untuk menghadapi
tantangan-tantangan lain di masa depan.
*tulisan ini saya buat pada akhir bulan Agustus 2015. Awalnya, tulisan ini dibuat atas permintaan kawan untuk diterbitkan di Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara, atas nama orang lain. Tapi agar tulisan ini lebih mudah diakses masyarakat, saya putuskan untuk memasukkannya di blog ini.
Referensi:
Aberbach, Joel D. & Tom Christensen, 2014, “Why reforms so often
disappoint”, American Review of Public
Administration, vol. 44, no. 1, pp. 3-16.
Demmers, Jolle, Alex E. Fernandez Jilberto, & Barbara Hogenboom,
2004, “Good governance and democracy in a world of neoliberal regimes”, dalam
Jolle Demmers, Alex E. Fernandez Jilberto, & Barbara Hogenboom (eds), Good Governance in the Era of Global
Neoliberalism: Conflict and Depolitisation in Latin America, Eastern Europe,
Asia, and Africa, New York, Routledge, pp. 1-32.
Dwiyanto, Agus, 2010, Mengembalikan
Kepercayaan Publik melalui Reformasi Birokrasi, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama.
Edelman, 2015, “Edelman trust barometer 2013”, laporan penelitian, http://www.slideshare.net/EdelmanInsights/global-deck-2013-edelman-trust-barometer-16086761,
dilihat pada 10 September 2015.
Edelman, 2015, “Trust in Asia Pacific, Middle East, & Africa”, laporan, http://www.edelman.com/2015-edelman-trust-barometer/trust-around-world/trust-asia-pacific-middle-east-africa-2015/,
dilihat pada 10 September 2015.
Hood, Christopher, 2000, “Paradoxes of public-sector managerialism,
old public management and public service bargains”, International Public Management Journal, vol. 3, no. 1, pp. 1-22.
Im, Tobin, 2014, “Bureaucracy in three different worlds: The
assumptions of failed public sector reforms in Korea”, Public Organization Review, vol. 14, pp. 577-596.
Kadir, A. Gau, 2014, “Cultural-value-based bureaucratic reform in
North Halmahera Regency”, International
Journal of Administrative Science & Organization, vol. 21, no. 2, pp.
97-102.
Neo, Boon Siong & Geraldine Chen, 2007, Dynamic Governance: Embedding Culture, Capabilities, and Change in
Singapore, Singapore, World Scientific Publishing.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019.
Polidano, Charles & David Hulme, 1999, “Public management reform
in developing countries”, Public
Management Review, vol. 1, no. 1, pp. 121-132.
Scharmer, C. Otto, 2009, Theory
U: Leading from the Future as it Emerges, San Fransisco, Berrett-Koehler.
Senge, Peter M. The Fifth
Discipline: The Art & Practice of Learning Organization, New York, Doubleday/Currency.
Vigoda-Gadot, Eran & Shlomo Mizrahi, 2014, Managing Democracies in Turbulent Times:
Trust, Performance, and Governance in Modern States, Heidelberg, Springer.